• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ada Pemurtadan di IAIN

Dalam dokumen Ada Pemurtadan di IAIN (Halaman 94-97)

PENUTUP : Mereka Menghalangi Syari’at Islam

Lampiran 1 Ada Pemurtadan di IAIN

Masih segar dalam ingatan, ada kasus menghebohkan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati, Bandung. Jum‘at, 27 September 2004, ratusan mahasiswa baru tengah mengikuti acara taaruf.

Beberapa kali mahasiswa baru dan orang yang menyaksikan acara itu terkaget-kaget mendengar slogan-slogan yang diteriakkan para tokoh mahasiswa. Di Fakultas Ushuluddin, misalnya, mahasiswa baru disambut dengan slogan, Selamat bergabung di area bebas tuhan.

Kata-kata semacam itu terus mengalir bak air bah. Presiden Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Aqidah Filsafat bahkan mengajak mahasiswa baru, sambil mengepalkan tangan, berteriak, Kita dzikir bersama, anjing-hu akbar!

Nyaris saja peristiwa itu menguap begitu saja. Beruntung Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) mendapat laporan tentang kejadian itu melalui rekaman video compact disk (VCD). Menjelang Hari Raya Idul Fitri lalu, KH Athian Ali M Da’i (Ketua FUUI) membeberkan rekaman itu kepada khalayak.

Kenapa peristiwa itu mesti terjadi di IAIN, yang diharapkan menjadi tempat mencetak kader cendekiawan Muslim? Mengapa pemikiran anti-Tuhan semacam itu tumbuh semakin liar?

Dr Roem Rowi, dosen senior di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, Surabaya, mencoba menelaah tragedi di atas. Roem Rowi sangat memahami hal itu, sebab ia telah menceburkan dirinya di lingkungan IAIN semenjak tahun 1977.

Asisten Direktur (Asdir) I Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel ini menerima wartawan Hidayatullah, Ali Athwa dan Bahrul Ulum, dalam sebuah perbincangan panjang di kantornya. Wawancara kemudian dilanjutkan oleh Cholis Akbar di Masjid Al-Akbar Surabaya. Roem Rowi adalah Direktur Imarah (ta‘mir) masjid terbesar di Jawa Timur itu. Berikut petikan wawancaranya:

Apa tanggapan Anda begitu mendengar kasus di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung?

Iya. Saya sendiri sangat pedih melihat kondisi itu. Sudah banyak orang mengkritik IAIN, misalnya institusi pendidikan Islam ini dianggap telah meniru dan menjiplak Barat.

Ibarat sebuah pepatah, Siapa yang menanam, dia yang akan memetik buahnya. Nah, kalau dulu ditanamnya seperti itu, sekarang ini sudah sangat kelihatan buahnya.

Maksud Anda?

Saya kira, IAIN mulai gencar seperti itu di saat Menteri Agama kita dipimpin oleh Pak Munawir Sadzali. Beliau yang sejak lama menginginkan seperti itu. Sampai-sampai ketika itu, muncullah gagasan beliau tentang reinterpretasi Al- Qur‘an dan ide-ide pembaratan Islam.

Menurut saya, tidak masalah belajar di Barat. Cuma, seharusnya yang belajar di Barat haruslah orang-orang yang sudah terseleksi keislamannya, sehingga tidak mudah tertarik dengan pemikiran-pemikiran yang tidak islami yang justru menjauhkan dari nilai-nilai Islam.

Secara metodologis, Barat memang sangat bagus dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Masalahnya, belajar di Barat kan tidak harus terbaratkan atau membaratkan diri. Apalagi tiba-tiba nilai-nilai Islam ikut terbaratkan juga. Barat tetaplah Barat. Masa iya sih, orang-orang Barat—yang notabene ghairul Islam-- mau memberi beasiswa gratis pada para mahasiswa Islam tanpa ada tujuan dan imbalan lain?

Sejauhmana mental terbaratkan melanda kalangan IAIN?

Kalau seluruh Indonesia saya tidak bisa memastikan. Tetapi, kondisi umumnya seperti itu. Ada pengalaman menarik, ketika sebuah kampus IAIN membuka program Pasca Sarjana. Mahasiwanya kebanyak dosen-dosen agama di perguruan tinggi swasta, sementara staf pengajarnya dari IAIN. Para mahasiswa merasa kaget, sampai ada yang berkomentar, Lho, kesannya, kok kami ini seolah-olah mau disesatkan?

Menurut penilaian mereka, materi kuliah yang disampaikan sangat jauh dari nilai-nilai Islam, bahkan sengaja dijauhkan. Bahasa kasarnya, mereka melihat ada pemurtadan di IAIN.

Sebegitu parahnya?

Belum sampai keseluruhan. Itu baru kasus umum. Cuma, sebagai motornya bisa dilihat, seperti di IAIN Sunan Kajiga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Masalahnya kemudian, orang yang diproduk dari situ—kebanyakan sarjana S-2 dan S-3--adalah orang-orang daerah yang akan kembali ke kampus masing-masing. Efeknya bisa kita lihat. Di Jawa Timur, misalnya, sampai pernah ada yang mengusulkan harus ada Tafsir Kebencian. Kata mereka, dalam Al- Qur‘an ada ketidakadilan dan kebencian kepada wanita. Bagaimana bisa seperti itu? Tafsir ya tafsir saja, gak usah tafsir kebencian segala.

Kenapa kalangan nyeleneh seperti itu belakangan ini banyak muncul di tengah masyarakat?

Mungkin salah satu faktornya karena ummat Islam sendiri tidak bisa menampilkan prestasi yang dapat dibanggakan. Sementara Barat sudah mencapai kemajuan yang sangat pesat. Barangkali hal itu menyilaukan mereka. Menurutnya Islam sepertinya tidak menjanjikan apa-apa, sebaliknya Barat menyediakan semua.

Di lain sisi kita sudah apologis melihat keberhasilan Islam di masa lalu yang sempat menguasai dunia selama tujuh abad. Sehingga kita tidak percaya pada diri kita sendiri. Padahal kalau mau jujur, kemajuan Barat saat ini belum mencapai angka itu.

Di samping itu memang ada usaha dari mereka untuk terus-menerus menekan potensi ummat Islam. Barat tentu sudah menghitung potensi kebangkitan kembali kekuatan Muslim.

Anda sendiri lama di pesantren, juga lama di Timur Tengah. Ketika pertama kali masuk lingkungan IAIN, apa kesan Anda?

Pertama, IAIN itu terlalu ideal. Lembaga ini menerima input dari beragam mahasiswa, ada yang dari pesantren, aliyah, juga SMU, SMK, dan STM yang landasan agamanya jelas sangat minim. Memang banyak yang dari pondok pesantren, tetapi kualitas keagamaan pesantren juga jauh merosot karena dominan warna umumnya. Jika yang berlatar belakang

sekolah agama saja merasa merosot, apalagi sekolah umum.

Mahasiswa yang berlatar belakang umum itu masuk tanpa ada program matrikulasi atau tanpa penyetaraan. Pandangan tentang Islam pada masa awal ikut mempengaruhi pandangan selanjutnya. Itulah sebabnya muncul efek yang bisa kita lihat bersama. Pernyataan semacam area bebas Tuhan adalah akibat dari seleksi awal tadi.

Kedua, banyak yang berlatar belakang pesantren. Tetapi ketika mempelajari filsafat atau apapun namanya, mereka tidak makin mendalami ilmu-ilmu Islam. Saya sering mengingatkan mahasiswa bahwa filsul-filsuf agung Islam terdahulu seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Al-Ghazali, sudah sangat paham Al-Qur‘an dan hadits, matang dalam lughah, balaghah, dan hafal ilmu-ilmu Islam yang lain di luar kepala. Nah, anak-anak IAIN sekarang ini tidak memiliki itu. Dia belajar filsafat tapi Al-Qur‘an dan hadits tidak hafal. Jadi, logis jika output-nya jadi begitu.

Saya sering guyon (bergurau), Wah, kalau begini terus, bukan Ushuluddin namanya. Tapi Uculudin, plesetan dari ucul (pisah—bahasa Jawa) dari ad-din (agama).

Bagaimana perasaan Anda hidup dalam lingkungan seperti itu?

Orang-orang seperti saya, yang pikiran-pikirannya seperti ini, menjadi barang langka. Saya justru dianggap aneh. Sejak dulu, saya memang selalu mengatakan bahwa apa kata Al-Qur‘an ya kata Al-Qur‘an. Jangan ditambah, dikurangi, atau direkayasa. Akhirnya orang seperti saya ini dianggap tekstual dan fundamentalis. Padahal, orang seperti Fazlur Rahman, dalam bukunya Tafsir Kontekstual justru menyarankan agar kita tidak boleh punya pra-konsepsi sebelum memahami betul ayat Al-Qur‘an. Misalnya, orang menggugat soal waris yang sudah jelas 2:1 untuk pria dan wanita. Kata mereka, seharusnya waris dibagi rata karena ada ayat adil dalam Al-Qur‘an. Itu namanya sudah punya pra- konsepsi sebelumnya bahwa adil itu harus sama.

Tapi Anda kelihatan enjoy saja?

Lho, saya ini mengeluh. Barangkali, hanya saya, dosen yang tiap kali masuk kelas selalu menanyai latar belakang sekolah mahasiswa. Saya tanya satu per satu latar belakangnya, saya beri tanda cawang jika mereka dari sekolah umum atau yang tidak mengerti bahasa Arab. Saya katakan, Anda wajib mengambil program Bahasa Arab di luar sebelum mengambil mata kuliah saya, karena yang Anda pelajari ini tafsir. Saat masuk lagi, saya cek ulang, sudah apa belum. Kalau tidak memenuhi permintaan saya, nilai mata kuliahnya akan saya kurangi 50%.

Tetapi inisiatif seperti itu berasal dari saya pribadi. Padahal sebenarnya hal-hal seperti itu sudah ketentuan resmi institusi dan pihak rektorat. Bagaimana bisa disebut sarjana Islam yang tahu dan paham tafsir dan ilmu-ilmu Islam yang lain jika tak matang dalam bahasa Arab?

Sejak awal aktif di IAIN, hal itu sudah saya usulkan. Boleh saja menerima mahasiswa lulusan STM atau SMK, tetapi harus ada penyetaraan dan matrikulasi. Minimal, matang berbahasa Arab sebab itu adalah alat untuk mempelajari ilmu- ilmu Islam yang lain. Tetapi usulan saya itu tampaknya belum laku.

Saya pernah mengantar seorang staf pengajar dari Perancis ke sebuah kampus pendidikan Islam di Jombang (Roem Rowi menyebut nama sebuah perguruan tinggi). Di sana, sang tamu disambut oleh petinggi perguruan tinggi itu. Tamu saya ini geleng-geleng kepala, Kok bisa, pimpinan sekolah jurusan agama Islam tak paham bahasa Arab, bahasa agamanya sendiri? Kalau belajar Islam tetapi tak menguasai bahasa agamanya, gimana?

Ini orang Perancis, non-Muslim, tapi fasih berbahasa Arab.

Sekarang ini repot. Lulusan Jurusan Peradaban Islam nggak ngerti sejarah Islam. Jurusan Tafsir Hadits tak paham bahasa Arab. Dan program seperti itu masih jalan terus. Malah ada rekrutmen dosen baru berlatar belakang umum dan tidak paham Islam. Sudah mahasiswanya seperti itu, dosennya begitu juga. Belakangan, datang sarjana-sarjana Barat yang mengajar di IAIN. Ya sudah, jadilah begitu.

Sempat ada yang melontarkan gagasan agar IAIN dihapus saja. Tanggapan Anda?

Tidak harus begitu. Karena sudah telanjur seperti ini, lebih enak dibenahi saja. Saya masih berharap agar dari IAIN lahir sarjana Muslim atau tokoh agama sekaligus yang hanif (lurus), tidak nyleneh dan aneh-aneh.

Saya memahami keprihatinan banyak orang. Termasuk keprihatinan kalangan pesantren yang mulai gerah setelah mengetahui perkembangan santri-santrinya yang kuliah di IAIN. Saya kira, keresahan itu bagian dari cinta mereka untuk bisa mengembalikan IAIN menjadi lebih baik.

Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di kota Ponorogo, Roem Rowi melanjutkan belajar di Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Lulus dari Gontor (1967), ia kuliah di IAIN Jurusan Ushuluddin IAIN Sunan Ampel. Tapi itu hanya berjalan setengah tahun. Roem Rowi dapat panggilan beasiswa dari Universitas Islam Madinah. Ia lalu berangkat ke sana dan masuk di Jurusan Dirasat Islamiyah hingga lulus tahun 1971.

Dari Madinah, Roem Rowi melanjutkan jenjang S-2 di Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir). Ia mengambil Jurusan Tafsir Hadits. Tahun 1976 kembali ke tanah air dan mengajar di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel. Roem sempat berhenti kuliah karena sang ayah meninggal dan harus menjadi kepala keluarga untuk membesarkan adik-adiknya. Roem pergi lagi ke Al-Azhar, menempuh program S-3 Jurusan Tafsir Al-Qur‘an. Ia lulus tahun 1989 dengan disertasi berjudul HAMKA wa Jihaaduhuu fii Tafsir Al-Qur‘anul Kariim fii Kitab al-Azhar. Saat itu, di Indonesia hanya ada beberapa gelintir orang yang bergelar doktor bidang tafsir.

Mengapa Anda tertarik menekuni bidang tafsir?

Saya menganggap Al-Qur‘an adalah pedoman hidup. Tidak ada satu pun kitab yang siap menyertai kita mulai hidup dan mati, sampai kita dihidupkan kembali kelak, kecuali Al-Qur‘an.

Belakang banyak orang yang melakukan studi kritis terhadap Al-Qur‘an. Sebenarnya siapa yang punya otoritas menafsirkan Al-Qur‘an?

Menurut saya, tafsir Al-Qur‘an ya sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau merupakan juklak (petunjuk pelaksanaan) Al-Qur‘an. Beliau telah memberikan contoh bagaimana caranya menafsirkan Al-Qur‘an. Itulah yang harus kita ikuti. Adapun dalam hal-hal tertentu, kita diberi peluang untuk berijtihad. Dan peluang itu sangat terbuka lebar dibanding yang telah dicontohkan.

Meskipun jelas harus berpedoman kepada Rasulullah, ternyata banyak sekali versi penafsiran terhadap Al- Qur‘an?

Inilah yang menjadi masalah. Kita lebih banyak disibukkan dengan hal-hal yang sebenarnya sudah dicontohkan Rasulullah. Kita harus sepakat menerima kode etik dalam penafsiran Al-Qur‘an karena sudah ada rambu-rambunya. Al-Qur‘an itu firman Allah Subhanahu wa Taala, maka yang paling mengerti maksudnya adalah Allah sendiri. Jadi harus kita sepakati bahwa acuan pertama berangkatnya dari sana. Kalau Allah mengatakan begini ya sudah, jangan ditawar-tawar lagi. Itu sudah juklaknya.

Terus terang saya su’uzhan, tampaknya ada skenario besar sedemikian rupa agar kita disibukkan dengan permasalahan yang sebenarnya sudah sangat jelas. Sehingga kita berpolemik memikirkan itu-itu saja dan tidak pernah memikirkan hal lain. Celakanya, kita sering tidak menyadari.

Jadi tidak boleh sembarang orang menafsirkan Al-Qur‘an?

Harus pakai aturan. Banyak syarat yang harus dipenuhi, misalnya harus menguasai nahwu, sharaf, asbabun nuzul, balaghah, badi’, dan semacamnya. Harus kompeten. Kalau tidak, nanti hasilnya ya tidak karuan. Sama dengan orang yang tidak tahu mesin motor disuruh membongkar mesin. Akibatnya bisa fatal.

Tapi repotnya, aturan semacam itu oleh sebagian kelompok dinilai memonopoli Al-Qur‘an. Padahal ini menyangkut soal otoritas disiplin ilmu. (Contohnya) saya ini dosen ilmu tafsir, maka tidak punya otoritas berbicara di bidang kedokteran. (Kalau saya berbicara dan bertindak sebagai dokter), bisa-bisa nanti saya malah jadi membunuh orang. Ketepatan dalam memberikan penafsiran, membuat iman seseorang semakin kuat. Sebaliknya, jika keliru justru akan menjerumuskan.

Al-Qur‘an itu tidak seperti koran atau karya tulis lain yang tak masalah bila diotak-atik. Tetapi Al-Qur‘an itu wahyu. Rasulullah memberi peringatan keras kepada penafsir ayat Al-Qur‘an yang hanya didasari pendapat semata. Mereka yang demikian itu disuruh bersiap-siap masuk neraka. Ini merupakan rambu-rambu supaya kita berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur‘an. Kalau keluar dari rambu-rambu itu, maka nanti makna Al-Qur‘an tidak sesuai dengan yang diinginkan Allah.

Menurut para ulama, kalau kita akan menafsiri ayat hendaknya berangkat dari hati yang bersih. Tidak ada prakonsepsi yang dapat mengarahkan pada penafsiran menurut selera kita. Kita kosongkan pikiran, tapi kosong ini dalam arti mohon petunjuk kepada Allah agar tidak menyimpang. Untuk bisa seperti itu, para ulama memberikan persyaratan antara lain aqidah yang kuat. Ini persyaratan mutlak. Sebab bila aqidahnya tidak benar, maka akan menyeret dan mencelakakan ummat manusia.

Ada orang yang berpendapat bahwa Al-Qur‘an itu sudah out of date. Tanggapan Anda?

Ia seolah-olah menganggap Allah itu dungu. Secara tidak langsung mereka membodohkan Allah. Seolah dia berkata, Allah itu tidak tahu kalau sekarang zaman sudah berubah. Na’udzubillah (kita berlindung kepada Allah) untuk mengatakan semacam itu. (Cholis Akbar/Hidayatullah) (Majalah Suara Hidayatullah, edisi Januari 2005-02-17)

Dalam dokumen Ada Pemurtadan di IAIN (Halaman 94-97)