• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dukungan Terhadap Sarekat Islam

BAB IV. HASIL PENELITIAN

B. Peran Keraton Dalam Pergerakan Kebangsaan

5) Dukungan Terhadap Sarekat Islam

Kerjasama antara Sarekat Islam dan istana Paku Buwono X yang secara tepat digambarkan sebagai suatu hubungan yang sangat dekat, paling tidak telah dimulai sejak September 1912 ketika dari pimpinan Sarekat Islam yang terdiri dari sebelas orang ada empat pegawai Susuhunan. Puncaknya tercapai setahun kemudian pada kongres Sarekat Islam yang kedua tanggal 23 Maret yang diselenggarakan di Surakarta di Sriwedari, taman hiburan dan pusat pertemuan yang termasuk dalam wilayah Susuhunan (George D. Larson, 1990: 66).

Sarekat Islam ini benar-benar gerakan massa. Macam-macam cerita beredar mengenai Sarekat Islam dalam kaitannya dengan keraton Surakarta, dengan Paku Buwono X baik yang berasal dari laporan-laporan residen maupun bupati pesisiran. Laporan yang masuk dari para pegawai gubernemen seluruh Jawa dan Madura bahwa hubungan Sarekat Islam dengan keraton menyebabkan penduduk mulai gelisah dibawah pemerintah Belanda, ini menyebabkan kerisauan para bupati. Residen Madiun beranggapan bahwa perlu diberi perhatian serius terhadap desas-desus yang santer di daerahnya, bahwa Paku Buwono X adalah anggota Sarekat Islam. Di daerah Surakarta orang beranggapan bahwa Sarekat Islam didirikan oleh perintah Paku Buwono X.

Berdirinya Sarekat Islam (SI) lebih tepat bila dikatakan sebagai reaksi terhadap pemerintah Kolonial yang melindungi kepentingan ekonominya sendiri.

commit to user

Sarekat Islam (SI) dibentuk dan merupakan wadah solidaritas untuk menghadapi pengusaha asing dan Cina. Sarekat Islam (SI) sendiri juga mendapat dukungan dari Sunan Pakubuwono X sehingga sempat tersiar sebutan “SI-nya Sunan” karena beberpa orang elit istana ada yang menjadi anggota SI antara lain adalah Wuryaningrat (anggota kehormatan). Selain itu, beberapa hari sebelum kongres SI ke-3 yang berlangsung pada bulan Maret 1913, seorang menantu Sunan, pangeran Hangabehi diangkat sebagai anggota kehormatan dan pelindung SI. Semenjak itu SI meluas bukan hanya terbatas pada kalangan bangsawan tetapi juga sudah sampai pada rakyat kebanyakan. Pada tahun 1913, anggota SI cabang Surakarta berjumlah 35.000 orang (M. Hari Mulyadi, dkk 1999 : 24).

Seorang bekas anggota Sarekat Islam yang diperiksa mengatakan bahwa Sarekat Islam didirikan untuk membentuk pemerintahan baru yang akan melancarkan perang mengusir Belanda dan Cina dari Jawa. Seorang bekas anggota pengurus Sarekat Islam di Surabaya mengatakan bahwa Sarekat Islam bertujuan merebut tanah Jawa dari tangan Belanda lewat revolusi dan akan menyerahkannya kembali kepada Paku Buwono X. Asisten residen di Nganjuk melaporkan bahwa anggota Sarekat Islam baru, sesudah diambil sumpahnya secara resmi, selalu diingatkan: “Jangan lupa bahwa di pulau Jawa hanya ada satu Ratu yang dapat memerintah secara adil”. Bupati Demak sangat tidak setuju bahwa pemerintah Hindia Belandamengesahkan anggaran dasar Central Comite Islam yang berkedudukan di Surakarta, karena dianggap bahwa Surakarta sebagai kota tradisional Jawa, masih memiliki pengaruh besar yang tidak dikehendaki bagi rakyat yang kurang pendidikan.

Di Batavia seorang asisiten residen melaporkan bahwa para anggota Sarekat Islam dilarang menghormati pemerintah Hindia Belanda. Jika terjadi sesuatu ada seseorang yang akan menolongnya, siapa itu orangnya tidak diberitahu. Residen Batavia juga menerima laporan tentang banyaknya desas- desus mengenai Sarekat Islam yang akan mengadakan pemberontakan yang didukung oleh Paku Buwono X. Kabar angin itu tidak hanya beredar diantara orang-orang Eropa yang kurang pendidikan tetapi juga dikalangan yang terpelajar. Belanda masih menyangsikan kebenaran berita-berita ini, karena tidak cocok

commit to user

dengan kepribadian dan penampilan Paku Buwono X yang diperlihatkan selama ini. Oleh karena itu didalam laporan-laporan gubernur Surakarta dikatakan tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan pada diri Paku Buwono X. Jika dipikir dalam-dalam, adanya Sarekat Islam sebenarnya sangat membantu kedudukan Paku Buwono X. Perhatian jutaan penduduk Jawa tertuju pada Surakarta, tertuju kepada Paku Buwono X lewat gerakan nasional ini. Keraton Surakarta tetap dianggap sebagai pembawa panji gerakan nasional yang mana sangat memeprtinggi kedudukan Paku Buwono X.

Suara-suara tentang hubungan Sarekat Islam dengan Keraton Surakarta akhirnya juga sampai telinga residen Surakarta Van Wijk. Karena itu Van Wijk mendesak agar Paku Buwono X mengurangi keterlibatannya dengan Sarekat Islam. Dan atas anjuran Van Wijk, Gubernur Jendral juga melarang Paku Buwono X mengadakan perjalanan keluar Vorstenlanden, karena dianggap bahwa perjalanan-perjalanan Paku Buwono X inilah yang membuat gerakan Sarekat Islam meluap-luap. Sementara itu bersama dengan larangan bagi Sinuhun untuk mengadakan perjalanan keliling, ternyata didalam pimipinan Sarekat Islam sendiri, timbul keretakan yang mengakibatkan agak mundurnya Keraton Surakarta dengan Sarekat Islam. Ada insiden-insiden kecil di Surakarta. Sri Mangkunegara yang takut melihat tambah besarnya keanggotaan Sarekat Islam yang pro Kasunanan, mencoba mendirikan Sarekat Islam tandingan yang diberi nama Darmo Hatmoko. Tetapi Darmo Hatmoko ini tidak dapat berkembang karena terkenal atas sifat kekerasannya (R.M Karno, 1990: 175-176).

Keterlibatan Paku Buwono X dengan organisasi nasional pertama yang ada di Surakarta ini merupakan suatu hal yang sangat besar dan dampaknya pun dapat dirasakan secar meluas baik di Surakarta sendiri maupun daerah-daerah disekitarnya. Figur Sinuhun masih merupakan daya tarik bagi masyarakat.

b. Boedi Oetomo

1) Latar Belakang terbentuknya Boedi Oetomo

Boedi Oetomo secara resmi didirikan oleh sekelompok mahasiswa didalam sebuah ruangan kelas di Sekolah kedokteran Stovia di Batavia dalam

commit to user

bulan Mei 1908, dan merupakan organisasi yang pertama di Hindia Belanda (George D. Larson, 1990: 78). Boedi Oetomo menempati tempat tersendiri dalam sejarah Indonesia, karena organisasi ini menandakan awal kebangkitan nasional di Nusantara. Namun kebangkitan nasional ini pada awalnya bukan kebangkitan nasional Indonesia melainkan kebangkitan nasional Jawa. Jadi pada awalnya kebangkitan nasional ini adalah kebangkitan nasional Jawa, bahkan secara samar- samar mengandung tujuan merestorasi kerajaan Jawa (R.M Karno, 1990: 190).

Di antara pendirinya terdapat orang-orang yang kemudian menjadi pimpinan-pimpinan nasional yang terkenal yaitu Raden Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan saudaranya Goenawan Mangoenkoesoemo. Mereka didesak oleh dokter Jawa Wahidin Soedirohoesoedo yang telah menjelajahi berbagai kota di Jawa untuk mengajak membangkitkan bangsa Jawa. Terjemahan nama Jawa Boedi Oetomo dalam bahasa Belanda dengan segera menjadi umum, yaitu “het schooner streven”, namun mempunyai konotasi yang lebih luas, dan

berarti juga “pengertian”, “kemampuan memahami”, “pembawaan”. “Oetomo” berarti tinggi atau luhur. Boedi Oetomo berarti kata-kata dengan arti yang dalam bagi priyayi Jawa, kata yang mengacu pada etika yang lebih tinggi. Ini tercermin

juga dalam semboyan dan lambang perkumpulan itu. Semboyan “Santoso

Waspodo nggajoeh Oetomo” berarti “Dengan kekuatan dan kecerdasan mencapai

keutamaan”. Lambang yang dirancang tahun 1917 itu terdiri dari huruf-huruf B.O. (singkatan Boedi Oetomo) yang ditembus oleh anak panah bermakna wahyu Tuhan, dan dikelilingi bulu yang menjadi lambang antara lain Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan, juga lambang perkembangan badaniah, rohaniah, dan susila. Lambang itu tergantung pada pita panca warna: menggambarkan keuletan (hitam), keberanian (merah), kekayaan material (kuning), kemakmuran (hijau), dan kesucian (putih). Boedi Oetomo adalah gerakan priyayi baru, yang mendapat kedudukan berkat pendidikan Barat yang mereka peroleh, dan statusnya tidak diperoleh karena mereka adalah keturunan keluarga pangreh praja lama. Sebagai priyayi baru, mereka itu moderat, dan biasanya loyal pada pemberi nafkah, yaitu pemerintah (Hans van Miert, 2003: 17).

commit to user

Dr. Wahidin Soedirohoesodo, seorang pensiunan dokter Jawa dari Yogyakarta, adalah yang pertama mengemukakan gagasan agar berupaya menghimpun orang-orang Jawa agar mempunyai pandangan ke depan, mempunyai tujuan bersama yaitu kemajuan rakyat Jawa. Gagasan ini meninggalkan kesan yang dalam pada para mahasiswa kedokteran Batavia, dan gagasan inilah yang akhirnya mendorong kepada pembentukan Boedi Oetomo. Sementara itu pers juga sedang gencar memuat karangan-karangan yang menggambarkan perkembangan pesat di Jepang dan Tiongkok, dan yang sangat menggemparkan ialah kemenangan Jepang atas Rusia (1904-1905). Sebagai organisasi politik yang mempunyai arti sangat penting karena mewakili suatu bangsa yang mengejar kemerdekaan, terutama bagi orang Jawa, Boedi Oetomo tidak boleh tidak harus mencantumkan kemerdekaan nasional sebagai program partainya. Namun karena keadaan belum mengizinkan, maka keinginan diwujudkan dalam suatu klausul dalam anggaran dasar yang mengatakan bahwa perhimpunan ini akan memperjuangkan tingkat hidup yang layak bagi rakyat lewat pembangunan nasional (R.M Karno, 1990: 190-191).

Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Boedi Oetomo sebagai tanda keberhasilan poltik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya, suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat Belanda lainnya mencurigai Boedi Oetomo atau semata-mata menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah. Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Boedi Oetomo itu. Sepanjang sejarahnya sebenarnya Boedi Oetomo sering kali tampak sebagai partai pemerintah yang seakan-akan resmi (M. C Ricklefs, 1991: 227-228).

Boedi Oetomo pada dasarnya merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Kebanyakan priyayi Jawa melihat kebangkitan kebudayaannya dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Aspirasi-aspirasi dan perwujudan-perwujudan yang ditemukan oleh persatuan ini menggambarkan presepsi-presepsi priyayi.

commit to user

Aspirasi utama Boedi Oetomo adalah peningkatan keserasian ke dalam masyarakat Jawa (Savitri Prastiti Scherer, 1985: 53).

Sampai tahun 1917 Boedi Oetomo bukanlah partai politik. Para priyayi adalah abdi negara kolonial Belanda, pelestari tradisi Jawa. Berbagai organisasi pribumi, dengan semangat yang semakin besar memasuki kehidupan politik yang bergelora yang oleh kaum priyayi dipersamakan dengan kekacauan, pemberontakan, dan kemelut. Provokasi politik berarti gangguan terhadap keseimbangan, ancaman terhadap keserasian, karenanya bertentangan dengan apa yang mereka anggap sebagai watak orang Jawa. Lebih lagi aksi politik itu biasanya bersifat melawan pemerintah, majikan kaum priyayi. Tetapi Boedi Oetomo yang menghimpun kaum priyayi menengah dan rendah dengan bersemangat memutuskan untuk memasuki arena politik, lengkap dengan program partainya. Sejak 1918 nasionalisme Jawa seperti yang diangkat oleh Boedi Oetomo memiliki komponen politik yang kuat (Hans van Miert, 2003: 24-26).

Boedi Oetomo pada pokoknya adalah pendukung kebudayaan Jawa. Organisasi ini mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang dianggap masuk dalam kelompok yang berbahasa Jawa, Sunda dan Madura, yang keseluruhannya telah melebur ke dalam suatu bentuk kebudayaan Jawa) menuju kepada suatu perkembangan yang harmonis (Robert van Niel, 1984: 84).