• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaksi Belanda Terhadap Peran Paku Buwono X Dalam

BAB IV. HASIL PENELITIAN

C. Reaksi Belanda Terhadap Peran Paku Buwono X Dalam

Pada awal pergerakan, pemerintah Belanda memangcukup dibuat bingung oleh ulah organisasi-organisasi yang bermunculan. Salah satunya adalah Sarekat Islam. SI menjadi satu payung raksasa bagi para pribumi. Keterikatan hubungan dagang dan agama menjadikan organisasi ini cepat tumbuh. Kolonial Belanda pun melihatnya sebagai sebuah ancaman berbahaya yang harus segera diatasi. Apalagi pengaruhnya bahkan sudah masuk ke dalam keraton Kasunanan Surakarta. Demi memukul mundur kekuatan SI ini, diperlukan strategi untuk menggeser

commit to user

keberpihakan kaum bangsawan Jawa. Boedi Oetomo dipandang oleh pemerintah kolonial sebagai arus untuk menyedot kembali keberpihakkan tersebut.

Kaum nasionalis dalam gerakannya melawan kekuasaan Belanda, memulai dengan gerakan-gerakan membangkitkan dan menanam jiwa nasional pada rakyat. Ini dapat dilakukan melaui pandidikan atau melalui gerakan kebangsaan, seperti yang dilakukan Boedi Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam. Berdasarkan keputusan ini semua organisasi yang akan didirikan harus mendapat izin dulu dari Gubernur Djendral, dengan mengajukan permohonan serta melampirkan anggaran dasar dan penjelasan mengenai tujuan organisasi. Boedi Oetomo telah memenuhi persyaratan ini, sebaliknya pada Sarekat Islam, hal ini sangat menimbulakn ketakutan dan panik diantara penduduk Belanda. Orang-orang Belanda melihat Sarekat Islam adalah suatu organisasi berbahaya yang merencanakan pemberontakan, dibarengi dengan melancarkan teror terhadap masyarakat asing. Maka setelah Sarekat Islam akhirnya diberi izin berdiri oeh Gubernur Djendral, masyarakat Belanda menuduh jika terjadi apa-apa maka ini adalah kesalahan dari Gubernur Djendral. Maka SI oleh orang-orang Belanda sempat diartikan “salah

Idenburg”, karena Gubernur Djendral yang memberi izin bernama Idenburg (R.M

Karno, 1990: 176).

Kekuasaan Pemerintah Belanda tidak pernah memberikan peluang usaha kepada dunia usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya yang bisa amembawa rakyatnya hidup lebih baik. Karena sesungguhnya yang bisa menciptakan kemakmuran rakyatnya adalah dunia usaha. Pemerintah kolonial menggunakan dunia usaha sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Pengaruh politik Belanda terhadap Vorstenlanden adalah suksesnya Belanda dalam aksi milternya di daerah seberang. Nusantara kaya akan kekayaan alam, maka Belanda memanfaatkan sebagai lahan penghasilan bagi negaranya. Meskipun tujuan utamanya perdagangan, namun hasil alam Indonesia sangat menngiurkan. Sehingga mereka mempunyai pikiran untuk menguasai da memonopoli perdagangan Indonesia.

commit to user

Pemerintah Kolonial Belanda memandang Sarekat Islam adalah organisasi yang membahayakan. Karena pada dasarnya SI adalah gerakan untuk untuk membentuk pemerintah baru yang akan melancarkan perang dan mengusir Belanda dan Cina dari Jawa. Sarekat Islam bertujuan untuk merebut Jawa dari Belanda lewat sebuah revolusi dan akan menyerahkan kembali pada Susuhunan (George D. Larson, 1990: 66).

Pemerintah kolonial Belanda di Surakarta berkeinginan memonopoli hubungan pemerintah. Dengan demikian gerakan politik Paku Buwono X sangat terbatas, yaitu tidak leluasa berhubungan dengan bangsa atau negara lain kecuali pada pemerintah Belanda. Sebab dengan adanya pembatasan ataupun larangan untuk berhubungan dengan bangsa lain, maka kemungkinan Paku Buwono X memberontak sangat kecil, hal ini disebabkan karna tidak adanya bantuan dari negara lain.

RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu Sinuhun untuk duduk dalam pimpinan Sarekat Islam, RM. Woerjaningrat sendiri adalah bupati nayoko keraton Surakarta. Van Wijk tiba-tiba mendengar bahwa pangeran Hangabehi, salah seorang putra Paku Buwono X diangkat menjadi pelindung Sarekat Islam. Oleh residen Van Wijk, pangeran Hangabehi diminta untuk meletakkan jabatannya sebagai pelindung, bahkan untuk menjaga agar tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan Pangeran Hangabehi disingkirkan ke negeri Belanda dengan alasan belajar.

Di Kasunanan Surakarta sebagai kerajaan terdapat permasalahan yang cukup serius. Hal ini berkaitan dengan adanya sisitem penjajahan Belanda di Indonesia. Apabila dipandang dari sudut luar, maka keraton Kasunanan Surakarta merupakan alat bagi sistem penjajahan Belanda. Raja-raja yang berkuasa selalu bekerja sama dengan pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini terlihat dari adanya perjanjian-perjanjian antara setiap raja yang berkuasa dengan pemerintah Belanda. Pemerintah kolonial Belanda selalu mengawasi perkembangan organisasi- organisasi yang berkembang di Surakarta, seperti halnya perkembangan organisasi Sarekat Islam yang berkembang pest di Surakarta karena mereka takut apabila organisasi ini cepat menyebar memperoleh banyak massa dan

commit to user

mempengaruhi rakyat untuk menentang pemerintah kolonial Bealanda. Mengenai status hukum yang diajukan Sarekat Islam sejak tahun1913 sealau ditolak oleh gubernur Jenderal Idenberg dikarenakan berbagai alasan, dan baru diakui pada tahun 1916, itupun hanya Sarekat Islam lokal, sedang Sentral Sarekat Islam beranggotakan Sarekat Islam lokal.

Pada tahun-tahun pertama keterlibatan keraton Surakarta dalam Boedi Oetomo masih agak berhati-hati, tetapi pada akhir 1921 ketika Sunan Pakubuwono X mulai mengadakan kunjungan ke daerah-daerah lain di pulau Jawa. Pada Januari 1916 Sunan mengadakan perjalanan ke Priangan dengan rombongan 52 orang dan pelayan istana telah menimbulkan kegemparan. Sesudah berhenti di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, ia mengadakan kunjungan yang lama di Garut dan Tasikmalaya. Masa sangat tertarik untuk membeli air bekas dan sisa makanan yang dijual oleh anggota rombongan tingkat rendah maupun pegawai hotel. Makanan dan air ini sangat dicari karena dianggap mengandung kekuatan magis yang mampu memberi nasib baik kepada yang memikinya. Perlawatan-perlawatan ini sangat memusingkan residen Harloff. Ia berusaha untuk membatasi ulah Sunan yang sangat mahal dengan menunjukkan keadaan raja bahwa biaya Sunan itu luar biasa besarnya, tidak sesuai dengan peranan raja yang pantas menurut semangat baru yang demokratis.

Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri Buwono yang dilakukan oleh Sunan ini. Belanda memikirkan masalah uang yang dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini, karena meskipun ia dianggap mengadakan perjalanan incognito, ia menonjolkan dirinya sebagai kaisar Jawa (George D. Larson, 1990: 222). Hal tersebut Pada awal abad ke-20 ini, pada masa jabatan Residen Vogel, Sunan melakukan perjalanan ke Semarang dengan membawa dua ratus pengiring. Melihat itu, residen-residen yang menjabat berikutnya selalu berusaha untuk mengurangi pengawal Sunan apabila bepergian, dan Residen Van Der Wijk berhasil menekannya menjadi 36 orang. Penekanan jumlah pengawal ini terus dilakukan oleh pemerintah Belanda sepanjang Sunan melakukan perjalanan. Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya sangat keberatan, apabila Sunan pergi ke daerah-daerah lain, karena walaupun kunjungan itu

commit to user

dilakukan secara incognito, tetapi kenyataannya Suanan selalu menampilkan diri sebagai Maharaja di Jawa (Darsiti Soeratman, 2000: 383-385).

Pemerintah Kolonial memiliki dua tujuan utama untuk perluasan pengaruhnya di Surakarta. Tujuan ini adalah menjamin posisi politisnya terhadap anacaman yang muncul baik dari para raja pribumi maupun dari kekuatan asing, yang memungkinkan bisa membahayakan kedudukannya. Dasar kedua yang melandasi tindakan Pemerintah kolonial Belanda adalah faktor ekonomi. Kepentingan ekonomi modal swasta telah memperluas aktivitasnya di seluruh wilayah Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, mereka meminta bantuan kepada pemerintah Belanda untuk pengamanan daerah usahanya. Atas permintaan ini pemerintah Belanda memandang bukan hanya untuk mengamankan secara fisik dengan menggunakan kekuatan senjata, melainkan mengamankan secara politis kawasan dunia usaha ini. Langkah yang ditempuh untuk mewujudkan terciptanya keamanan di kawasan usaha tersebut adalah melalui intervensi permasalahan dalam negeri raja-raja pribumi setempat, khususnya dikalangan elit politiknya.

Dengan perjanjian-perjanjian dan pernyataan Paku Buwono X kepada pemerintah kolonial Belanda, maka dapat digarisbawahi yaitu aktualisasi janji setia dan mengakui bahwa kekuasaan di Surakarta bersumber pada pemerintah kolonial Belanda. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa Belanda sudah mempengaruhi Keraton Surakarta lama sebelum paku Buwono X. Kekhawatiran Pemerintah kolonial Belanda tersebut juga untuk menghalang-halangi supaya Paku Buwono X tidak menuntut terhadap pemerintah kolonial Belanda, bahkan pertahanan akan dikuatkan lagi. Dalam pelaksanann administrasi pemerintahan di Kasunanan juga di awasi dengan ketat. Yang dimaksud dengan administrasi disini adalah segala kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah dari terciptanya suatu kelancaran dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam pelaksanaan administrsi pemerintahan, meskipun pada waktu itu dijajah Belanda, namun pemegang kekuasaan di daerah Kasunanan Surakarta masih ada pada tangan Sunan Paku Buwono X. Sedangkan pelaksanaan

commit to user

pemerintahan diserahkan kepada patih dalem. Maka disini patih berfungsi sebagai wakil Paku Buwono X. Meskipun patih dalem mempunyai wewenang yang didapat dari Paku Buwono X, namun dengan adnya ketentuan tersebut maka patih juga harus tunduk terhadap kebijaksanaan Belanda atau tuan residen. Dengan demikian patih dalem tidak bisa berbuat banyak hal dalam menjalankan tugasnya sebelum mendapat ijin atau sepengetahuan pemerintah kolonial Belanda. Selain dari raja, pengesahan program kerja patih dalem harus sepengetahuan residen atau pemerintah kolonial Belanda.Hal ini jelas bahwa pemerintah kolonial Belanda selalu mengawasi kegiatan politik dalam rangka memutar roda pemerintahan di Kasunann Surakarta.

Proses yang terjadi selama setengah abad sejak tahun 1890-an ini telah menciptakan ketegangan baik secara ekspresif maupun terselubung di kalangan stratifikasi sosial yaitu masyarakat bawah khususnya di wilayah Kasunanan Surakarta. Beberapa reaksi bersifat menentang intevensi kolonial baik secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi muncul dalam benturan yang terjadi. Berbagai kebijakan kolonial yang diterapkan untuk masyarakat Surakarta telah menciptakan konflik meluas yang berpengaruh dan menyebar ke daerah pinggiran bahkan daerah penopang di Surakarta. Kalangan kelompok masyarakat bawah lebih cenderung mengungkapkan reaksi keras yang terjadi ini dengan melakukan letupan perlawanan fisik di kota Surakarta yang menggunakan simbol-simbol kolonial sebagai sasarannya.

commit to user

89 BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Usaha-usaha Paku Buwono X membangun kehidupan politik di Surakarta dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu keadaan Surakarta terdiri atas wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran, keduanya dipisahkan oleh suatu jalan besar. Bagian tengah Surakarta yang merupakan kota lama didiami oleh beberapa etnik, yaitu Jawa, Cina, Arab dan Eropa, masing-masing menempati daerah tertentu secara terpisah. Etnik tersebut memiliki komunitas sendiri di daerahnya masing-masing, baik dari mata pencaharian maupun peranan dalam hubungannya dengan Keraton Kasunanan. Kondisi politik yang dibangun oleh Paku Buwono X Surakarta dipengaruhi oleh kondisi politik sebelum abad ke-20 yang sarat dengan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan pemerintah kolonial Belanda, yaitu gerakan Islam pada abad ke-19. Paku Buwono X yang mempunyai gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Syidin Panotogomo Ingkan

Jumeneng Kaping Sadasa Ing Nagari Surakarta Hadiningrat. Paku

Buwono X memiliki Kepribadian yang kuat, dalam arti bahwa beliau memiliki disiplin diri yang kuat dan bijaksana. Sunan memiliki andil besar dalam pergerakan kebangsaan dengan mengayomi organisasi-organisasi politik di Surakarta. Dalam usahanya membangun landasan politik di Surakarta dilakukan Sunan dengan cara Mendirikan madrasah Mamba’ul

Ulum pada tahun 1905 dan Sekolah-sekolah bagi rakyat dan bagi para sentana yaitu sekolah Kasatrian, Sekolah Parmadi Siwi, Parmadi Putri, sekolah pertanian dan perkebunan, serta melakukan suatu perjalanan

commit to user

dilakukan oleh Sunan dalam rangka membangun kehidupan politik di Surakarta dan nasionalisme Indonesia melawan pejajahan Belanda.

2. Awal abad ke-20 merupakan suatu periode awal bangkitnya pergerakan serta perubahan struktur sosial kemasyarakatan oleh pemerintah kolonial. Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X. Sunan Paku Buwono X telah mendorong masyarakat Jawa memasuki zaman baru. Keraton Kasunanan Surakarta merupakan merupakan tempat yang subur bagi pertumbuhan organisasi-organisasi sosial politik. Untuk mengenyahkan Belanda dari bumi Indonesia, Paku Buwono X merangkul kaum nasionalis, karena merasa jengkel atas campur tangan Belanda dalam pemerintahannya di Surakarta. Kaum nasionalis dalam gerakannya melawan kekuasaan Belanda, memulai dengan gerakan-gerakan membangkitkan dan menanam jiwa nasioanl pada rakyat. Ini dapat dilakukan melaui gerakan kebangsaan, seperti yang dilakukan Boedi Oetomo atau melalui gerakan perbaikan ekonomi dan sosial seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam. Gerakan Nasional pertama yang muncul di Surakarta adalah Sarekat Islam pada tahu 1912. Gerakan ini langsung disongsong oleh Sinuhun tentunya dengan caranya sendiri. Kerjasama antara Sarekat Islam dan istana Paku Buwono X yang secara tepat digambarkan sebagai suatu hubungan yang sangat dekat. Beberapa orang elit istana ada yang menjadi anggota Sarekat Islam antara lain adalah Woeryaningrat yang merupakan kemenakan dan bahkan menantu Susuhunan menjadi anggota kehormatan. Selain itu, beberapa hari sebelum kongres Sarekat Islam ke-3 yang berlangsung pada bulan Maret 1913, seorang menantu Sunan, pangeran Hangabehi diangkat sebagai anggota kehormatan dan pelindung Sarekat Islam. Selain itu peran Sunan juga terlihat pada organisasi Boedi Oetomo. Boedi Oetomo adalah gerakan priyayi baru, yang mendapat kedudukan berkat pendidikan Barat yang mereka peroleh, dan statusnya tidak diperoleh karena mereka adalah keturunan keluarga pangreh praja lama. Di Surakarta, nama yang dapat

commit to user

dihubungkan dengan Boedi Oetomo, yang sangat menonjol adalah Raden Mas Arya Wuryaningrat, seorang bupati nayaka yang menjadi menantu Sunan Paku Buwono X, Ia adalah cucu Paku Buwono IX, karena ibunya adalah putri Paku Buwono IX atau kakak Paku Buwono X. Sunan mendorong Raden Mas Arya Wuryaningrat untuk melakukan pergerakan melalui organisasi ini. Pada tahun-tahun pertama keterlibatan keraton Surakarta dalam Boedi Oetomo masih agak berhati-hati, tetapi pada akhir 1921 ketika Sunan Pakubuwono X mulai mengadakan kunjungan ke daerah-daerah lain di pulau Jawa yang menimbulkan peningkatan semangat radikalisme Boedi Oetomo.

3. Pemerintah Kolonial Belanda memandang Sarekat Islam adalah organisasi yang membahayakan. Karena pada dasarnya Sarekat Islam adalah gerakan untuk untuk membentuk pemerintah baru yang akan melancarkan perang dan mengusir Belanda dan Cina dari Jawa. Sarekat Islam bertujuan untuk merebut Jawa dari Belanda lewat sebuah revolusi dan akan menyerahkan kembali pada Susuhunan. Pemerintah kolonial Belanda di Surakarta berkeinginan memonopoli hubungan pemerintah. Dengan demikian gerakan politik Paku Buwono X sangat terbatas, yaitu tidak leluasa berhubungan dengan bangsa atau negara lain kecuali pada pemerintah Belanda. Sebab dengan adanya pembatasan ataupun larangan untuk berhubungan dengan bangsa lain, maka kemungkinan Paku Buwono X memberontak sangat kecil, hal ini disebabkan karena tidak adanya bantuan dari negara lain. RM. Woerjaningrat kemenakan dan bahkan menantu Paku Buwono X yang duduk dalam pimpinan Sarekat Islam dan pangeran Hangabehi, salah seorang putra Paku Buwono X diangkat menjadi pelindung Sarekat Islam diminta untuk meletakkan jabatannya. bahkan untuk menjaga agar tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan Pangeran Hangabehi disingkirkan ke negeri Belanda dengan alasan belajar. Selain itu Banyak kritik dari pejabat Belanda tentang perjalanan Ngideri Buwono

yang dilakukan oleh Sunan yang menimbulkan peningkatan semangat radikalisme Boedi Oetomo. Belanda memikirkan masalah uang yang

commit to user

dikeluarkan maupun mengenai efek politik dari invasi ini, karena meskipun ia dianggap mengadakan perjalanan incognito. Melihat itu, pemerintah Belanda selalu berusaha untuk mengurangi pengawal Sunan apabila bepergian.

B. IMPLIKASI

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka muncul implikasi yang dapat dipandang dari berbagai segi:

1. Teoritis

Awal abad ke-20 merupakan suatu periode awal bangkitnya pergerakan serta perubahan struktur sosial kemasyarakatan oleh pemerintah kolonial. Nasionalisme yang muncul di Indonesia pada dasarnya sama dengan nasionalisme di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk dari reaksi atau antithesis terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara penjajah dan yang di jajah. Keraton Surakarta dianggap sebagai pembawa panji gerakan nasional yang mana sangat mempertinggi kedudukan Sinuhun. Sunan memiliki andil besar dalam pergerakan kebangsaan dengan mengayomi organisasi-organisasi politik di Surakarta, yaitu dalam organisasi Sarekat Islam dan Boedi Oetomo.

2. Praktis

Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata rakyat. Paku Buwono X merupakan suatu sosok kekuasaan “Jawa” yang tak tampak disekelilingnya setiap hari dibangun wibawa. Keterlibatan Sinuhun dengan organisasi nasional yang ada di Surakarta ini suatu hal yang sangat besar dan dampaknya pun dapat dirasakan secara meluas baik di Surakarta sendiri maupun daerah-daerah disekitarnya. Figur Sinuhun masih merupakan daya tarik bagi masyarakat.

commit to user

C. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, diajukan saran sebagai berikut:

1. Bagi mahasiswa sejarah dan generasi muda, semoga penelitian ini akan dapat digunakan sebagai salah satu literatur dalam memahami masalah yang terjadi di Indonesia, khususnya Surakarta. Dengan demikian mahasiswa tidak hanya memiliki pengetahuan yang monoton terutama yang berkaitan dengan sejarah Surakarta yang sebenarnya cukup kompleks.

2. Kepada pengelola perpustakaan program studi Sejarah, mohon referensi buku tentang sejarah Surakarta, khususnya tentang tokoh-tokoh yang mempunyai peranan penting di Surakarta ditambah, karena masih sulit mencari sumber tentang tokoh-tokoh Surakarta di sana.

3. Bagi pemerintah kota Surakarta hendaknya menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan Paku Buwono X serta meneladani jiwa nasionalisme Paku Buwono X bagi perkembangan Surakarta.

commit to user

94

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ari Dwipana, AA GN. 2004. Bangsawan dan Kuasa Kembalinya Para Ningrat

dari Dua Kota. Yogyakarta: IRE Press.

Arifin, MT, dkk. 2005. Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Badri Yatim. 1999. Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

Cahyo Budi Utomo, 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. IKIP Semarang Press.

Darsiti Soeratman. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.

Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional

Surakarta. Jakarta: CV. Ilham Bangun Karya.

Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Gottchalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press.

Helius Syamsudin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta : Jalan Pintu Satu, Direktorat jendral dikti depdikbud.

Houben, Vincent J. H. 2002. Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta,

1830-1870. Terjemahan E. Setiawati Alkhatab. Yogyakarta: Bentang

Budaya, KITLV.

Hutauruk. 1984. Gelora Nasionalisme Indonesia. Jakarta : Erlangga. Isjwara. F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta

Kahin, George Mc. 1995. Nasionalisme Dan Revolusi Indonesia. Surakarta: UNS- Press.

Kansil, C. S. T & Julianto. 1984. Sejarah Perjuangan Kebangsaan Indonesia.

commit to user

Karno. 1990. Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Paku

Buwono X 1893-1939. Jakarta.

Kartini Kartono. 1983. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Koentjaraningrat. 1986. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta : Gramedia. . 1997. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta. Gramedia.

Kohn. Hans. 1961. Nasionalisme. Arti dan Sejarahnya. Jakarta: PT Pembangunan. Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil?, Jakarta: Grafiti Pers. Kuntowijoyo. 1995. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

. 2004. Raja, Priyayi, Dan Kawula. Yogyakarta: Ombak.

Larson, George D. 1990. Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan

Politik di Surakarta, 1912-1942. Terjemahan Dr. A. B. Lapian.

Yogyakarta : UGM Pres.

Miriam Budihardjo. 1984. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad Ke-21 I, Dari Kebangkitan Nasional Sampai

Linggarjati, Yogyakarta: Kanisius.

Muhammad Hawari. 2003. Politik Partai. Merentas Jalan Baru Perjuangan

Partai Politik Islam. Terjemahan. Bogor: Idea Pustaka.

Mulyadi, Hari M, dkk. 1999. Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit” (Studi

Radikalisasi Sosial “Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta).

Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan.

Nagasumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908- 1918. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Nugroho Notosusanto. 1971. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Depdikbub . 1986. Norma-Norma Dasar Penelitian Dan Penulisan

Sejarah. Jakarta: Dephankam.

Pringgodigdo. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat.

commit to user

Pemberton, John. 2003. “Jawa” On The Subject Of Java. Terjemahan Hartono Hadikusumo.Yogyakarta: Mata Bangsa.

Poesponegoro, Marwati Djoened &Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional

Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.

Purwadi, dkk. 2009. Sri Susuhunan Paku Buwono X Perjuangan, Jasa &

Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa. Jakarta: Bangun Jasa.

Ricklefs, 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Press.

Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Prenada Media.

Sajid. 1984. Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko Mangkunegaran.

Sargent, Lynan Tower. 1987. Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer. Jakarta: Gramedia.

Sartono Kartodirjo. 1984. Pengantar Sejarah Nasional : Dari Emporium ke

Imperium. Jakarta : Balai Pustaka.

. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Scherer, Savitri Prastiti. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-

pemikiran priyayi nasionalisme jawa awal abad XX. Terjemahan Jiman S.

Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan.

Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912- 1926. Terjemahan Hilmar Farid. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : Bathara.

Soerjono Soekanto. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Sudiyo. 1997. Perhimpunan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta dan Bina Adi Aksara.

Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan 1830-1930. Yogyakarta: Tiara Wacana.

. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai