• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sawar Darah Otak Tikus pascacedera Kepala ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala

2.1.1 Edema serebr

Cedera kepala karena iskemia adalah keadaan lanjutan dari kontusio primer jaringan otak. Iskemia dapat berlanjut menjadi edema vasogenik karena terbukanya sawar darah otak (SDO) dan edema sitotoksik yang karena adanya pembengkakan astrosit (Blumbergs, 2005). Efek dari sekuel cedera kepala ini biasanya lebih besar dari pada cedera itu sendiri. Lebih dari itu, peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi merupakan penentu utama keadaan klinis individu (Ghajar, 2000).

Cedera kepala dapat memicu terjadinya berbagai mekanisme sehingga menyebabkan perlukaan sekunder yaitu edema serebri (Cooper, 1985). Edema serebri adalah peningkatan akumulasi cairan otak intraselular dan atau ekstraselular (Klatzo, 1967). Keadaan ini ditandai dengan pembengkakan jaringan otak sesuai dengan peningkatan progresif kadar cairan otak yang dapat terjadi karena iskemia (Ribeiro et al., 2006), trauma (Zador et al., 2007), tumor (Saadoun et al., 2002), dan inflamasi (Papadopoulos dan Verkman, 2005). Terbatasnya rongga kranium dan pembengkakan progresif jaringan otak mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK), penurunan aliran darah ke otak, herniasi serebri, dan bahkan kematian. Berdasarkan mekanismenya, Klatzo membagi edema serebri menjadi dua kategori, yaitu edema sitotoksik atau intraselular dan edema vasogenik atau ekstraselular. Keduanya dapat diketahui dengan rinci melalui studi mikroskopik dan ultrastruktural. Pengukuran kadar cairan jaringan melalui pencitraan

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membedakan edema sitotoksik dan edema vasogenik (Klatzo, 1967).

Edema sitotoksik adalah akumulasi cairan di kompartemen intraselular (Klatzo, 1967) neuron, mikroglia, dan astrosit (Unterberg et al.,

2004). Edema sitotoksik berhubungan dengan kegagalan pompa Na/K

ATP-dependent yang berhubungan dengan energi. Kegagalan asupan energi jaringan otak yang terjadi pada keadaan iskemia dapat memengaruhi kinerja pompa Na/K ATP-dependent. Keadaan ini

berhubungan dengan terganggunya pertukaran ion intrasel dan ekstrasel, sehingga osmolalitas intrasel meningkat dan cairan akan masuk ke dalam sel dan kemudian menimbulkan gangguan intrasel. Oleh karena itu, edema sitotoksik disebut juga edema ionik. Pada keadaan tertentu, bila cairan yang terakumulasi sangat banyak, dapat terjadi ruptur membran sel dan cairan keluar ke kompartemen ekstraselular (Marmarou et al., 2000). Meskipun edema sitotoksik lebih sering terjadi dibandingkan dengan edema vasogenik, pada akhirnya keduanya dapat meningkatkan TIK dan berlanjutnya iskemia (Marmarou et al., 2006). Adakalanya edema sitotoksik tidak menimbulkan peningkatan cairan jaringan otak atau pembengkakan dan peningkatan TIK, tetapi kerusakan dan kematian sel yang terjadi berhubungan dengan kerusakan jaringan otak (Donkin dan Vink, 2010).

Gambar 2.1 Ilustrasi keadaan Sel Normal (A); Edema Sitotoksik (B), Edema Vasogenik (C) (Donkin dan Vink, 2010)

Edema vasogenik adalah peningkatan cairan esktrasel yang terjadi karena kebocoran SDO. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan osmotik dan cairan ke luar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam kompartemen ekstraselular. Cairan intravaskular ini keluar melalui endotel dengan mekanisme pinositosis dan atau tight junction yang bocor. Edema vasogenik sering disebut juga edema osmotik. Kebocoran SDO dapat terjadi karena beberapa keadaan seperti cedera kepala, tumor, infeksi, perdarahan intraserebri, dan inflamasi. Oleh karena itu, edema vasogenik

(C)

(B)

sangat berhubungan dengan peningkatan kadar cairan otak, pembengkakan jaringan otak, dan peningkatan TIK.

Pada keadaan tertentu dapat terjadi edema serebri yang didasari oleh kedua mekanisme di atas, misalnya edema transependimal. Edema transependimal adalah peningkatan cairan interstitial periventrikular karena kerusakan lapisan ependimal dinding ventrikular. Hal ini biasanya terjadi pada hidrosefalus. Edema hidrostatik adalah bagian dari edema vasogenik yang terjadi ketika tekanan perfusi serebral meningkat. Keadaan ini biasanya terjadi pada ensefalopati hipertensi. Pada dasarnya, baik edema sitotoksik maupun edema vasogenik terjadi ketika osmolalitas plasma menurun sehingga terjadi pengeluaran cairan. Meskipun demikian, keduanya dipisahkan menjadi dua klasifikasi yang berbeda. Beberapa keadaan klinik berkembang menjadi edema serebri berdasarkan kombinasi mekanisme edema yang berbeda. Ini bergantung pada gangguan yang timbul akibat penyakit dan waktu perjalanan penyakit (Nag

et al., 2009).

Kerusakan SDO adalah salah satu peran utama dalam terjadinya edema serebri. Kedua tipe edema, yaitu vasogenik dan sitotoksik mengakibatkan peningkatan TIK, dan penurunan tekanan perfusi serebral (TPS), dan pada akhirnya menimbulkan iskemia jaringan. Iskemia berperan pada terjadinya vasodilasi melalui mekanisme autoregulator yang berfungsi sebagai restorasi perfusi serebral. Vasodilasi yang terjadi akan meningkatkan volume darah serebral, dan pada akhirnya juga

meningkatkan TIK, menurunkan TPS, serta memicu berlanjutnya iskemia (Rosner dan Rosner, 1995). Beberapa studi eksperimental menyatakan bahwa beberapa neurotransmitter, seperti glutamat, asetilkolin, dan senyawa vasoaktif, seperti serotonin, histamin, prostaglandin, asam amino, asam laktat, dan lain-lain berperan dalam mediasi, inisiasi, dan propagasi edema otak. Platelet adalah sumber utama senyawa-senyawa di atas yang akan memproduksi neurotransmitter ketika melekat di pembuluh darah kapiler (Baethmann et al., 1980; Baethmann et al., 1991; Hayes et al., 1991). Prostaglandin berperan pada terjadinya edema serebri melalui mekanisme (1) peningkatan permeabilitas kapiler serebral, (2) vasokonstriksi yang menyebabkan iskemia (Yamamoto et al., 1972), dan (3) potensiasi dari senyawa lain seperti serotonin dan katekolamin.

Gambar 2.2 Pelepasan MPO oleh Sel-sel Imunokompeten pada sistem SDO (sawar darah otak) (Ke Ding., et al., 2014).

Proses terjadinya edema serebri diantarai oleh beberapa mediator di antaranya adalah aquaporin (AQP) dan sitokin. Aquaporin adalah kunci utama terjadinya edema serebri (Manley et al., 2000; Papadopoulos dan Verkman, 2008; Taya et al., 2008). Beberapa studi mendapatkan peningkatan kadar AQP pascacedera kepala dan peranannya pada kejadian edema serebri (Manley et al., 2000) sehingga penggunaan agen penghambat AQP diduga berperan dalam pengendalian edema serebri (Taya et al., 2008). Namun, beberapa studi lain mendapatkan bahwa perubahan kadar AQP ini berhubungan dengan jenis edema (Ghabriel et al., 2006; Papadopoulos et al., 2004, Sun et al., 2003). Penelitian pada hewan coba dengan iskemia serebral mendapatkan, bahwa hambatan ekspresi AQP berhubungan dengan penurunan tingkat edema dan luas area infark, serta peningkatan status fungsional. Keadaan ini terjadi pada edema sitotoksik. Hasil yang berbeda didapatkan pada edema vasogenik, yang luasnya edema meningkat saat dihambatnya AQP. Hasil ini menunjukkan bahwa AQP bermanfaat dalam menekan terjadinya edema vasogenik (Papadopoulos et al., 2004). Studi eksperimental mendapatkan adanya peningkatan kadar AQP4 pada sel glia dan penurunan kadar AQP4 perivaskular terhadap terjadinya edema vasogenik (Ghabriel et al.,

2006). Yang patut menjadi perhatian adalah penurunan gejala edema dan perbaikan status fungsional berhubungan dengan kembalinya AQP4 ke dalam keadaan normal. Kecepatan perbaikan kadar AQP4 setelah penatalaksanaan mengindikasikan adanya modifikasi posttranslational

yang berperan pada sintesis protein (Taya et al., 2009). Peningkatan kadar cairan jaringan otak ditunjukkan oleh komponen vaskular sebagai tempat pergeseran kompartemen sitotoksik. Hambatan AQP channel

berperan pada keadaan edema sitotoksik, tetapi tidak pada edema vasogenik, karena AQP channel melekat pada dinding sel.

Selain AQP, terdapat matriks metalloproteinase (MMP) yang berperan saat terjadinya edema serebri. Matriks metalloproteinase adalah enzim endopeptidase zinc-dependent yang berperan dalam perbaikan jaringan pada berbagai keadaan patologis. Regulasi MMP sangat kompleks dan terkontrol. Hilangnya kontrol regulasi sangat berperan dalam patofisiologi kerusakan sinaps dan SDO pada cedera kepala,

stroke, dan neurodegenerasi (Rosenberg dan Yang, 2007; Candelario-Jalil

et al., 2009; Ding et al., 2009; Rosenberg, 2009). Peran MMP dalam edema serebri adalah kemampuannya dalam memecah berbagai jenis protein matriks ekstraselular termasuk protein lamina basal neurovaskular dan protein tight junction SDO (Grossetete et al., 2009; Hayashi et al.,

2009; Vajtr et al., 2009). Kadar MMP terutama MMP2, MMP3, dan MMP9 meningkat pada keadaan cedera kepala (Falo et al., 2006; Vilalta et al.,

2008; Hayashi et al., 2009). Ketiganya menyebabkan kerusakan akut SDO, edema vasogenik, dan bahkan kematian sel. Peningkatan kadar MMP9 yang terjadi secara temporer berhubungan dengan kebocoran SDO dan terbentuknya edema (Gasche et al., 1999; Asahi et al., 2001). Sejalan dengan ini, defisiensi gen MMP9 pada hewan coba menunjukkan

efek protektif pada cedera kepala dengan iskemia fokal dan global (Wang

et al., 2000; Asahi et al., 2001; Gidday et al., 2005). Defisiensi gen MMP9 ini menurunkan kebocoran SDO dan pembentukan edema, menurunkan respons inflamasi, serta meningkatkan integritas membran sel dan status fungsional (Fujimoto et al., 2008; Vajtr et al., 2009, Homsi et al., 2009; Tejima et al., 2009).

Mediator lain untuk edema serebri adalah zat vasoaktif. Zat vasoaktif dapat meningkatkan permeabilitas SDO dan mengakibatkan edema serebri (Abbott, 2000). Studi terbaru menyatakan bahwa zat vasoaktif yang berperan tidak hanya mediator inflamasi klasik, tetapi juga mediator inflamasi neurogenik. Salah satu contoh zat inflamasi klasik adalah bradikinin, yaitu anggota kelompok kinin yang berperan penting pada terjadinya edema serebri (Plesnila et al., 2001). Bradikinin dibentuk dari pembelahan kininogen oleh kalikrein. Dengan bantuan enzim peptida, bradikinin menghantarkan sinyalnya melalui dua subtipe reseptor bradikinin, yaitu reseptor B1 dan B2. Kadar bradikinin meningkat maksimal pada dua jam pertama pascatrauma dan kedua reseptornya meningkat signifikan pada 24 jam pertama pascatrauma. Meskipun kedua reseptor ini meningkat, hanya supresi reseptor B2 saja yang secara bermakna mengurangi edema dan meningkatkan status fungsional pascaedema (Trabold et al., 2010). Pemberian antagonis reseptor B2 berperan dalam menurunkan tekanan intrakranial (TIK) dan volume kontusio pada hewan coba (Plesnila et al., 2001; Zausinger et al., 2003; Zweckberger dan

Plesnila, 2009; Su et al., 2009). Anggota lain dari keluarga kinin adalah takikinin, yaitu sebuah mediator peptida yang berperan pada inflamasi neurogenik.

Inflamasi neurogenik adalah proses yang terdiri atas vasodilasi, ekstravasasi plasma, dan hipersensitivitas neuronal yang disebabkan oleh penglepasan neuropeptida dari neuron sensorik (Geppetti et al., 1995). Neuropeptida yang telah teridentifikasi berperan pada inflamasi neurogenik adalah calcitonin gene-related peptide (CGRP), CGRP ini berperan pada vasodilasi yang senyawa P-nya meningkatkan ekstravasasi protein plasma (Nimmo et al., 2004).

Ada keterkaitan langsung antara aliran darah otak (ADO) dan metabolisme tubuh. Penurunan ADO berhubungan dengan hipoksia dan glikolisis anaerob. Hipoksia dapat menimbulkan gangguan SDO melalui berbagai mekanisme yang diperantarai oleh VEGF, NO, dan respon inflamasi. Hipoksia memicu peningkatan produksi Vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berakibat pada peningkatan permeabilitas vaskular dan pembentukan edema. VEGF diketahui berikatan dengan reseptor VEGF di pembuluh darah area iskemik dan berperan pada gangguan dan kebocoran SDO (Zhang et al., 2000; Zhang et al., 2002).

Nitric oxide diketahui dapat memodulasi aliran ion, zat gizi, dan molekul- molekul lain, serta meregulasi fungsi SDO (Janigro et al., 1994). Produksi NO yang berlebih dapat meningkatkan aliran darah dan permeabilitas SDO (Shukla et al., 1996; Thiel dan Audus, 2001). Keadaan iskemia-

hipoksia meningkatkan produksi prostaglandin dan kinin. Kedua mediator ini selanjutnya menginisiasi respon inflamasi yang dapat berakibat pada gangguan SDO (Zach et al., 1997; Yang et al., 1999; Saleh et al., 2004). Kemokin dan sitokin yang diproduksi oleh sel glia dan endotel pada saat iskemia-hipoksia meningkatkan migrasi limfosit melalui SDO dan juga permeabilitas pembuluh darah (Zach et al., 1997; Gong et al., 1998; Weiss

et al., 1998; Prat et al., 2001). Selain itu, respon inflamasi dapat mengaktivasi caspase, translokase, dan endonuklease yang dapat menginisiasi perubahan membran dan nukleosom DNA secara progresif. Hipoksia juga menyebabkan penglepasan beberapa neurotransmitter, seperti glutamat dan aspartat. Neurotransmiter ini akan mengaktivasi reseptor ionotropik dan metabotropik. Akibat dari ini akan terjadi influks ion kalsium (Ca) dan ion natrium (Na), serta efluks ion kalium (K). Influks ion Ca menimbulkan proses katabolisme intraselular, aktivasi enzim lipid peroksidase, akumulasi asam lemak bebas, dan radikal bebas. Untuk glikolisis anaerob, keadaan ini menyebabkan deplesi adenosin trifosfat (ATP) dan terganggunya pompa ion energy dependent di otak. Glikolisis anaerob ini juga berhubungan dengan akumulasi asam laktat dan peningkatan permeabilitas membran yang berakibat pada edema serebri.

Tujuan penatalaksanaan edema serebri adalah menjaga aliran darah otak (ADO) regional dan global untuk memenuhi kebutuhan metabolisme otak dan mencegah cedera sekunder dari iskemia serebri.

Dokumen terkait