• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sawar Darah Otak Tikus pascacedera Kepala ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala

2.1.4 Reactive Oxygen Species dan Respon Inflamas

Reactive oxygen species (ROS) adalah molekul oksigen tunggal yang diproduksi secara berkesinambungan pada keadaan aerobik dan terlibat pada berbagai proses di dalam tubuh seperti transformasi, regulasi, dan atau degradasi (Gardes-Albert et al., 2003; Favier, 2003). Meskipun demikian kadar ROS dikontrol ketat oleh antioksidan endogen dalam rangka melindungi tubuh dari efek negatif ROS. ROS mencakup radikal anion superoxide (O2-) terutama yang diproduksi di sitosol,

mitokondria, dan retikulum endoplasma; hidrogen peroksida (H2O2) yang diproduksi peroksisom; radikal hidroksil reaktif (OH); oksigen singlet (1O2). Ketidakseimbangan oksidatif seperti gangguan keseimbangan produksi ROS atau radikal bebas atau prooksidan dengan antioksidan dikenal sebagai stres oksidatif. Keadaan ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan sel yang pada akhirnya berakibat pada hilangnya fungsi dan integritas sel (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Molekul ROS secara fisiologis berperan sebagai second messenger dalam regulasi proses apoptosis (Curtin et al., 2002) dalam mengaktivasi faktor transkripsi, seperti NFκB dan pγ8-MAPkinase yang berperan pada aktivasi gen respon imun (Owuor dan Kong, 2002) dan gen yang mengkoding enzim- enzim antioksidan (Holgrem, 2003). Peran stres oksidatif sangat krusial pada modulasi fungsi selular, terutama pada apoptosis dan excitotoxicity

astrosit dan mikroglia. Apoptosis dan produksi ROS berlebih pada akhirnya akan menimbulkan disfungsi mitokondria (Yun et al., 1996). Stres oksidatif erat kaitannya dengan respon inflamasi. Sehingga secara teori respon inflamasi akan meningkatkan produksi ROS.

Cedera kepala akan menimbulkan respon inflamasi yang mencakup serangkaian respon neurohormonal dan pengeluaran sejumlah mediator biokimia. Respon neurohormonal yang terjadi di antaranya adalah stimulasi poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) (Amaral, 2006). Stimulasi hipotalamus di antaranya dapat meningkatkan sekresi AQP4. Selain itu, melalui poros HPA, hipotalamus akan menstimulasi kelenjar

pituitari atau hipofisis. Stimulasi kelenjar pituitari meningkatkan sekresi

adrenocoticotropin hormone (ACTH) dan stimulasi kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal yang terstimulasi akan mengeluarkan katekolamin dan menstimulasi sel makrofag dan limfosit. Stimulasi makrofag dan limfosit selanjutnya menyebabkan pengeluaran sitokin, yaitu mediator biokimia yang berperan besar pada respon inflamasi seperti edema serebri (Visser dan Labadarios, 2002).

Sitokin adalah glikoprotein yang disintesis oleh mikroglia, astrosit, dan beberapa sel tubuh lainnya, seperti makrofag, limfosit, sel Kupffer, dan lain- lain. Sitokin berperan dalam menghantarkan sinyal antar sel- sel sistem imun dan memodifikasi metabolisme (Lin et al., 2001; Visser dan Labadarios, 2002). Sitokin memiliki ukuran molekul relatif besar (8-65 kDa) dan bersifat hidrofilik. Oleh karena itu, secara fisiologis tidak dapat melewati SDO. Protein ini dapat berhubungan dengan sel otak melalui empat mekanisme, yaitu (1) transpor pasif sitokin ke dalam otak pada daerah ventrikel yang tidak melewati SDO, seperti antero-ventral ventrikel III, eminensia mediana, area postrema, hipofisis posterior, sub komisura, dan glandula pineal, (2) ikatan sitokin pada endotel pembuluh darah otak sehingga memicu pembentukan second messenger seperti prostaglandin dan nitic oxide. (3) transpor yang diantarai oleh pembawa sitokin ke otak sehingga dapat melewati SDO, dan (4) aktivasi sitokin pada terminal saraf aferen perifer pada tempat penlepasan sitokin (McKeating dan Andrew, 1998; Turnbull dan Rivier, 1999)

Sitokin diregulasi secara bertahap dengan cara induksi dari sitokin sebelumnya yang akan memicu produksi sitokin berikutnya. Respon spesifik terhadap sitokin dihasilkan oleh reseptor sitokin yang sangat unik sehingga sel yang mengekspresikan reseptor fungsional terhadap satu sitokin hanya akan beresipon terhadap sitokin tersebut. Aktivitas sitokin beraneka ragam, tetapi seluruhnya berfungsi terutama sebagai mediator inflamasi (Hirano et al., 1990; McKeating dan Andrew, 1998; Baratawidjaja, 2002). Sitokin pada dasarnya terdiri atas dua jenis yaitu sitokin proinflamasi dan sitokin antiinflamasi (Tabel 2.1), pembedaan ini berdasarkan kemampuan mereka dalam memengaruhi proses inflamasi dan respon imun (Lin et al., 2001). Sitokin proinflamasi secara langsung ataupun tidak memengaruhi timbulnya berbagai keadaan pascacedera kepala. Sebaiknya sitokin antiinflamasi seperti IL-4, IL-10 dan IL-12 berperan dalam menekan proses inflamasi dengan cara menurunkan fungsi sel, menurunkan sintesis sitokin lain, dan sebagai penghambat reaksi imunitas tubuh (Tabel 2.1) (Maas, 2000; Dokka, 2001). Pengaruh langsung sitokin adalah secara lokal dan sistemik sesuai dengan beratnya proses inflamasi. Sitokin berperan dalam proses penyembuhan luka dan perbaikan jaringan karena dapat menyebabkan: (1) vasodilatasi sehingga aliran darah meningkat, (2) peningkatan ambilan neutrofil, monosit, dan elemen darah lain untuk mencegah infeksi, (3) bertahannya hemostasis melalui peningkatan koagulasi darah, (4) induksi angiogenesis dan proliferasi sel, serta (5) induksi respon fase akut (RFA). Respon fase akut

adalah serangkaian proses fisiologis sistemik yang terjadi segera setelah terjadinya infeksi, trauma, dan beberapa jenis keganasan sehingga terjadi berbagai perubahan patologis dan metabolik seperti demam, peningkatan permeabilitas vaskular, dan yang paling mencolok adalah peningkatan protein fase akut (PFA).

Tabel 2.1. Jenis Sitokin berdasarkan aktivitas Biologis Sitokin Aktivitas biologis Sekresi di

otak Reseptor di otak Rujukan Interferon (IFN)-α Antivirus, antiproliferatif, meningkatkan ekspresi kompleks histokompatibilitas mayor, pirogenik, antitumor

+ + McIntosh et al.,

1999; Lezlinger

et al., 2001 IFN- Antivirus, antiproliferatif,

meningkatkan ekspresi kompleks histokompatibilitas mayor, pirogenik, antitumor

? + McIntosh et al.,

1999; Lezlinger

et al., 2001

IFN- Antivirus, aktivasi makrofag, meningkatkan ekspresi kompleks histokompatibilitas mayor, pirogenik, antitumor, memicu protein fase akut

+ + McIntosh et al., 1999; Lezlinger et al., 2001 Tumor necrosis factor (TNF)α

Sitotoksis, aktivasi sel T, pirogenik, antitumor, renjatan septik + + Teasdale, 1998; Kossman, 2002 Tumor necrosis factor (TNF)

Sitotoksis, aktivasi sel T, antitumor, renjatan septik

+ + Teasdale, 1998;

Kossman, 2002

Eritropoietin Stimulasi pertumbuhan sel eritroid + + Maas dan Dearden, 2000 Granulo-sit colony stimula-ting factor

Stimulasi pertumbuhan granulosit + ? McKeating dan Andrew, 1998

Interleukin

(IL)1α Aktivasi sel T, B, dan endotel pirogenik, memicu protein fase akut, hematopoiesis

+ + Kronfol dan

Ziad, 2000; Woichichowsk, 2002

IL-1 Aktivasi sel T, B, dan endotel pirogenik, memicu protein fase akut, hematopoiesis

+ + Kronfol dan

Ziad, 2000; Woichichowsk, 2002

IL-2 Aktivasi sel T, B, dan NK antitumor

+ + Eduardo dan

Arantxa, 2003 IL-3 Pertumbuhan dan diferensiasiasi

sel hematopoietik, hematopoiesis

+ + Arand, 2001

IL-4 Aktivasi sel T, B, dan NK IgG dan IgE, supresi monosit, antitumor

+ ? Young et al.,

1981 IL-5 Proliferasi dan diferensiasi

eosinofil, produksi IgA, eosinofilia

+ ? Turnbull dan

Rivier, 1999 IL-6 Produksi IgG, aktivasi sel T,

pemicu protein fase akut, pirogenik, hematopoiesis

+ + Hirano et al.,

1990;

Dimopoulou et al., 2004

IL-8 Kemotaksis neutrofil dan sel T, pengeluaran netrofil

+ + Kishimoto et al.,

1995 IL-10 Inhibisi sintesis sitokin, proliferasi

sel T, inhibisi renjatan septik

+ + Morganti-

Kossman dan Rancan, 2002 IL-12 Stimulasi pertumbuhan sel NK,

penurunan produksi IgE

+ ? Morganti-

Kossman dan Rancan, 2002 Sumber: Cytokines and The Brain, Am J Psychiatry, 2000

Inflamasi berperan saat terjadinya gangguan neurologis pascatrauma (Lenzlinger et al., 2001; Morganti-Kossmann et al., 2002; Hutchinson et al., 2007; Laird et al., 2008). Peningkatan kadar sitokin proinflamasi pada cairan serebrospinal secara klinis berhubungan dengan peningkatan TIK dan kerusakan neurologis pascacedera kepala (Hayakata et al., 2004; Hutchinson et al., 2007). Konsisten dengan hubungan kausatif antara IL-1 dan edema serebri, penelitian pada hewan coba dengan defisiensi reseptor IL-1 tipe 1 (IL-1R) menunjukkan penurunan intensitas edema vasogenik dan sitotoksik pascaiskemia-

hipoksia (Lazovic et al., 2005). Pemberian IL-1 diketahui dapat meningkatkan ekspresi AQP4 melalui aktivasi faktor transkripsi proinflamasi, yaitu NFκB. Data ini menunjukkan peran IL-1 dalam terjadinya edema serebri melalui regulasi AQP4 (Ito et al., 2006).

Dokumen terkait