• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sawar Darah Otak Tikus pascacedera Kepala ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala

2.2.6 Peran Melatonin pada Penurunan Edema Serebr

Lotufo et al., menjelaskan modulasi interaksi antara endotel dan leukosit (Lotufo et al., 2001), efek langsung pada sel endotel (Lotufo et al.,

2006), penekanan produksi NO pada jaringan otak hipoksia, dan menjelaskan antioksidan (Cuzzocrea et al., 1997; Cuzzocrea et al., 1999; Bilici et al., 2002; El-shenawy et al., 2002). Sifat antioksidan Melatonin ini adalah karena antioksidan dapat menangkap radikal bebas dan memicu ekspresi enzim antioksidan. Melatonin dapat menyingkirkan radikal hidroksil (OH), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oxygen, asam hipoklorat, anion peroksinitrit (ONOO-) dan atau asam peroksinitrat (Reiter

et al., 2003; Haldar et al., 2001). Melatonin meningkatkan dan ekspresi enzim antioksidan, seperti superoksid dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase meningkat oleh Melatonin (Pablos et al., 1995; Ozturk et al., 2000; Meki dan Hussein, 2001; Reiter et al., 2004; Subramanian et al., 2007). Lebih jauh lagi, efek antioksidan Melatonin terjadi karena kemampuannya dalam menurunkan peroksidasi lipid (Kacmaz et al., 2005). Aldehid seperti Malondialdehyde (MDA) dan 4-

hidroksi-2-nonenal terbentuk selama peroksidasi lipid karena kerusakan jaringan dapat meningkatkan kadar radikal bebas (Esterbauer et al.,1991). Melatonin diketahui dapat berinteraksi langsung dengan MDA dan menghindari kerusakan selular karena stres oksidatif (Li et al., 2005). Stres oksidatif ini terjadi bila ada inflamasi dan kerusakan selular terjadi karena produksi sitokin proinflamasi yang berlebih.

Melatonin dapat berperan sebagai antiinflamasi karena dapat menyupresi produksi sitokin proinflamasi dan reactive oxygen species

(ROS). Produksi sitokin proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, dan TNFα diinduksi oleh NFκB yang teraktivasi, transkripsi (Li et al., 2005) ini berperan pada aktivasi sel termasuk sel mikroglia dan pembentukan ROS (Gitto et al., 2004)

Gambar 2.10 Signaling Melatonin pada Sel Melalui Aktivasi Gpcr dan Reseptor Inti (Tae-Young., et al., 2014).

Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa Melatonin efektif mencegah kerusakan sel. Salah satunya adalah Gitto et al., yang meneliti peran Melatonin terhadap produksi sitokin proinflamasi pasca pembedahan pada hewan coba. Gitto et al., mendapatkan kadar IL-6 dan IL-8 lebih rendah secara bermakna pada kelompok perlakuan yang mendapat suplementasi Melatonin 10 mg/kgBB (Gitto et al., 2004). Penelitian hewan coba mendapatkan bahwa tingkat kerusakan otak pascacedera dapat ditekan

dengan pemberian Melatonin 5 mg/kgBB (Mesenge et al., 1998). Penelitian berikutnya adalah dengan memberikan injeksi Melatonin 10 mg/kgBB pada hewan coba dengan cedera kepala lebih berat. Kemudian sampai dengan dua jam pascatrauma diberikan tiga kali injeksi ulang dengan dosis yang sama. Pada hasil akhir didapatkan bahwa volume kontusio menurun secara bermakna. Jumlah dari kerusakan jaringan saraf yang dinyatakan sebagai volume kontusio penting diketahui untuk estimasi defisit neurologis yang timbul akibat cedera (Sarrafzadeh et al.,

2002; Kerman et al., 2005). Beni et al., menguji efikasi Melatonin dalam perbaikan gangguan neufisiologi dan perubahan molekular yang sebagai akibat cedera. Pada uji ini digunakan hewan coba yang diberikan Melatonin dengan dosis 1-10 mg/ kgBB setelah induksi trauma. Hasil yang didapat adalah 5 mg/kgBB merupakan dosis efektif untuk menekan kerusakan jaringan saraf. Perbaikan terjadi pada hari pertama, keempat, dan ketujuh pascatrauma. Hewan coba yang mendapat Melatonin mengalami pemulihan lebih cepat dan lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kemudian, diketahui bahwa Melatonin meningkatkan kadar antioksidan, menghambat dengan sempurna aktivasi fase lanjut NFκB, dan menurunkan jumlah apoptocyc (AP)-1. Makna dari penemuan ini adalah bahwa Melatonin menghambat kerusakan intraselular sel saraf melalui peningkatan kadar antioksidan intraselular dan meningkatkan pemulihan neurologis karena menghambat respon inflamasi melalui reduksi NFκB dan AP-1 fase lanjut (Beni et al., 2004).

Studi oleh Genovese et al., menguji pemberian kombinasi Melatonin dengan steroid dalam menghadapi stres oksidatif atau nitrosatif. Kelompok perlakuan mendapatkan deksametason 10 mg/kgBB dan Melatonin 0,025 mg/kgBB diberikan secara intraperitoneal pada satu dan empat jam pascatrauma. Sejumlah penanda kerusakan selular diamati termasuk sitokin proinflamasi TNFα yang terkait dalam respon inflamasi. Pengamatan dilakukan setiap hari selama sepuluh hari pascatrauma. Setelah diuji, diketahui bahwa terapi kombinasi deksametason dan Melatonin secara bermakna menurunkan kerusakan morfologis sel saraf melalui supresi TNFα (Genovese et al., 2007). Hasil ini konsisten dengan studi Samanta et al., yang memberikan perlakuan Melatonin 45 mg/kgBB pada 15 menit pascatrauma dan diamati selama 48 jam kemudian. Samanta et al., menyatakan bahwa Melatonin menurunkan secara bermakna ekspresi kalpain, respon inflamasi, kerusakan akson, dan kematian sel saraf (Samanta et al., 2008). Secara teoretis, sebagai respon dari terjadinya inflamasi akan terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif ini kemudian meningkatkan ekspresi NFκB dan TNFα. Nuclear factor κ-B aktif akan mengaktivasi TNFα. Kemudian, TNFα inilah yang akan menghasilkan dan mengaktifkan berbagai sitokin proinflamasi lain, sehingga penekanan pada NFκB dan TNFα diduga berperan pada hambatan aktivasi sitokin pro inflamasi dan menurunkan produksi MPO dan ROS. (Kaur et al., 2008).

Torii et al., meneliti peran Melatonin dalam supresi edema serebri dengan uji klinis pada hewan coba. Kelompok perlakuan mendapatkan Melatonin 6 mg/kgBB per oral sebanyak dua kali, yaitu pada satu jam pascaoklusi middle cerebral artery (MCA) dan satu hari setelah pembedahan. Pada analisis diketahui bahwa volume edema kelompok perlakuan menurun 51,6 % (p< 0,01) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Efek protektif Melatonin terhadap edema ini tampak lebih besar pada korteks serebri. Edema korteks serebri menurun 59,8 % (p< 0,01) dibandingkan dengan striatum yang 34,2% (p< 0,05) (Torii et al., 2004). Sebelumnya, Kondoh et al., juga menyatakan bahwa Melatonin berperan dalam menurunkan pembentukan edema serebri pada hewan coba dengan iskemia (Kondoh et al., 2002). Melatonin diketahui dapat menurunkan permeabilitas vaskular karena dapat menurunkan kadar jaringan VEGF (Kaur et al., 2006; Kaur et al., 2007; Sivakumar et al.,

2008), sehingga produksi AQP4 dan formasi edema serebri menurun (Kaur et al., 2006).

Ayer et al., melakukan penelitian pada hewan coba dengan memberikan Melatonin dosis tinggi, yaitu 150 mg/kgBB pada dua jam pascatrauma. Sebagai pembanding, terdapat dua kelompok kontrol yang satu kelompok mendapat etanol 10% dan satu kelompok lainnya mendapat Melatonin 15 mg/ kgBB. Kemudian hewan coba diamati pada delapan dan 24 jam pascatrauma, dan kemudian diukur kandungan cairan otak pada 24 jam pascatrauma. Pada kesimpulannya Ayer et al.,

menyatakan bahwa survival rate kelompok perlakuan lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kedua kelompok kontrol. Begitu juga dengan jumlah cairan otak kelompok perlakuan. Hasil ini mengindikasikan adanya hubungan antara jumlah cairan otak dengan edema serebri dan tingkat mortalitas. Melatonin dosis tinggi dapat mencegah peningkatan kadar cairan otak secara bermakna (Ayer et al., 2008).

Sejalan dengan Ayer et al., Lee et al., juga melakukan penelitian pada hewan coba untuk mengetahui efek antioksidan Melatonin pada hewan coba pascabedah otak. Lee et al., membagi subjek menjadi tiga kelompok, Kelompok pertama mendapat Melatonin 5 mg/kgBB, kelompok kedua mendapat Melatonin 15 mg/kgBB, dan kelompok ketiga mendapat Melatonin 150 mg/kgBB. Seluruh kelompok mendapat injeksi Melatonin satu jam pasca pembedahan dan kemudian efek Melatonin diamati pada 24 jam pasca pembedahan. Setelah dianalisis, diketahui bahwa Melatonin dosis rendah memiliki kecenderungan menurunkan kadar cairan otak dan Melatonin dosis tinggi (150 mg/kgBB) menurunkan kadar cairan otak dan edema serebri secara bermakna (Lee et al., 2008).

Dari beberapa penelitian di atas diketahui peran Melatonin pada penurunan edema serebri. Namun mekanisme pasti yang mendasari ini masih menjadi kontroversi. Selain sifat Melatonin sebagai antioksidan yang dapat menekan kerusakan sel, Kaur et al., menduga hal ini juga karena kemampuan Melatonin dalam menurunkan ekspresi AQP4 dan supresi pembengkakan astrosit. Akibatnya terjadi penurunan ambilan

cairan oleh sel dan pembentukan edema dapat ditekan (Kaur et al., 2006). Kemampuan ekspresi Melatonin dalam menurunkan ekspresi AQP4 diduga berhubungan dengan kemampuannya sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan, Melatonin berperan dalam menghambat NFκB sehingga aktivasi dan ekspresi NFκB menurun. Penghambatan NFκB ini menurunkan (80%) regulasi AQP4 pascatrauma secara signifikan (p<0,01) (Kakulavarapu et al., 2011).

2.3 Kerangka Teori

Dokumen terkait