• Tidak ada hasil yang ditemukan

C) pada bulan Januari, Maret, Agustus dan Oktober 2010 di perairan Kabupaten Kepulauan Aru.

2) Lingkungan biofisik (1) Geomorfologi pulau

4.3.5 Ekosistem padang lamun 1) Keragaan sumber daya

Lamun merupakan salah satu habitat pesisir terkaya dan paling penting di laut, dan mendukung berbagai spesies laut penting secara ekologis dari semua tingkat trofik (Orth et al., 2006). Lamun adalah tanaman berbunga bawah air (di

kelas Monocotyledoneae) yang membentuk padang rumput luas, berbunga dan pembibitan di bawah air, setelah berevolusi dan kembali memasuki jutaan tahun di laut. Lamun bukan saja menjadi habitat penting, tetapi juga merupakan komponen dari ekosistem yang lebih kompleks dalam zona pesisir dan laut, memberikan kontribusi bagi kesehatan terumbu karang dan mangrove, dan ekosistem rawa (Duke et al, 2007; Heck et al, 2008).

Lamun memiliki produktivitas primer yang tinggi dan merupakan dasar rantai makanan di laut melalui hewan herbivora dan siklus detritus (Hemminga dan Duarte, 2000), Lamun menyediakan nutrisi (N dan P) dan karbon organik ke bagian lain dari laut, termasuk laut dalam, dan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan karbon (Suchanek et al, 1985; Duarte et al, 2005). Nilai jasa ekosistem lamun telah diperkirakan sebesar US $ 34.000 per hektar/tahun (Costanza et al, 1997). Ekosistem lamun juga mendukung perikanan artisanal dan mata pencaharian jutaan masyarakat di pesisir, terutama di daerah tropis (Björk et al, 2008; Unsworth dan Cullen, 2010). Lamun adalah makanan utama dari dugong, manatee dan beberapa penyu laut (IUCN, 2010).

Habitat lamun sangat penting dalam menjaga fungsi ekologis dan ekonomi (Gullstrom et al, 2002; Duarte et al, 2005; Nyunja et al, 2009), tetapi secara umum ekosistem ini terancam oleh dampak manusia yang berhubungan dengan pembangunan pesisir dan tekanan yang meningkat dari aktivitas perikanan rakyat (Duarte, 2002; Waycott et al, 2009).

Perairan pesisir di kawasan konservasi Aru Tenggara memiliki 11 jenis lamun, 7 genus dan 2 famili, dengan luas total daerah persebarannya mencapai 50,02 km2 (Gambar 36).

Gambar 36

Pe

Berdasarkan kehadirannya pada setiap pulau, maka tingkat kehadiraan tertinggi spesies lamun dijumpai pada Pulau Karang yakni 11 jenis (100%), selanjutnya Pulau Jeh dan Pulau Marjinjin menempati urutan kedua yakni sebanyak 10 jenis (90,91%), sedangkan kehadiran jumlah jenis lamun paling sedikit ditemukan di pulau Jeudin sebanyak 5 jenis (45,45%).

Ada 4 jenis lamun yang dijumpai pada seluruh pulau yakni Enhalus

acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata dan Thalassia hemprichii,

dengan frekwensi kehadiran 100%, sedangkan jenis dengan frekwensi kehadirannya sangat rendah ditemukan sebanyak 3 jenis, diantaranya adalah

Halophila minor, Halophila spinulosa dan Thalassodendrom ciliatum dengan

nilai frekwensi kehadiran relatifnya sebesar 57,14% (Tabel 14 dan Gambar 37). Keberadaan jenis-jenis lamun ini di kawasan konservasi Aru Tenggara, memberikan peluang besar bagi tumbuh dan berkembangnya hewan-hewan endemik seperti penyu dan dugong yang memanfaatkan jenis-jenis tertentu dari lamun sebagai sumber makanannya. Itulah sebabnya kawasan konservasi ini sejak ditetapkan pada tahun 1993 sebagai Cagar Alam Laut, adalah dengan maksud untuk dijadikan sebagai daerah perlindungan jenis hewan langkah (penyu dan dugong) beserta ekosistemnya.

Tabel 14 Jensi-jenis lamun yang ditemukan pada setiap pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara

Keterangan :

1 = P. Enu 3 = P. K. Selatan 5 = P. Mar 7 = P. Marjinjin

2 = P. Karang 4 = P. Jeh 6 = P. Jeudin

1 2 3 4 5 6 7 1 Enhalus acoroides        7 100,00 2 Halodule uninervis      5 71,43 3 Halodule pinifolia       6 85,71 4 Halophila ovalis        7 100,00 5 Halophila minor     4 57,14 6 Halophila spinulosa     4 57,14 7 Syringodium isoetifolium       6 85,71 8 Thalassodendrom ciliatum     4 57,14 9 Cymodocea serrulata        7 100,00 10 Cymodocea rotundata       6 85,71 11 Thalassia hemprichii        7 100,00 Total 9 11 8 10 10 5 10 7 Presentase (%) 81,82 100,00 72,73 90,91 90,91 45,45 90,91 11

Gambar 37 Luas, jumlah jenis, genus, famili, persen tutupan dan kerapatan ekosistem lamun di kawasan konservasi Aru Tenggara

Dari sekian banyak hewan laut, penyu hijau (Chelonia mydas) dan ikan duyung atau dugong (Dugong dugon) adalah dua hewan yang menyukai padang lamun. Boleh dikatakan, dua hewan ini sangat bergantung pada lamun. Hal ini karena tumbuhan tersebut merupakan sumber makanan penyu hijau dan dugong. Penyu hijau biasanya menyantap jenis lamun Cymodoceae spp, Thalassia spp, dan

Halophila spp, begitu pula penyu yang memakan lamun jenis Syriungodium

isoetifolium dan Thalassia hemprichii, sedangkan dugong senang memakan jenis

Poisidonia spp dan Halophila spp, begitu pula Dugong mengkonsumsi lamun

terutama bagian daun dan akar rimpangnya (rhizoma) karena dua bagian ini memiliki kandungan nitrogen cukup tinggi (Bittaker, 1986; Iverson and Bittaker, 1986; Nonjti 1987; Jupp at al., 1996; Valentine F. J and K. L. Heck, 2000; Sebastian at al, 2004; Pinna et al., 2009).

Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kerapatan lamun di perairan kawasan konservasi Aru Tenggara tergolong tinggi, terutama pada Pulau Jeudin dengan kerapatan tertinggi sebesar 99 individu/m2, sedangkan terendah pada Pulau Jeudin yakni sebesar 20 individu/m2, walaupun masih terdapat ruang di dasar perairan yang kosong dan ditempati oleh komponen pasir.

Kisaran persen tutupan lamun di kawasan ini antara 60,02% - 72,06%, dengan rata-rata persen tutupan dalah 65%. Hal ini berarti keberadaan ekosistem lamun di kawasan konservasi Aru Tenggara dapat dikatakan dalam kondisi baik. Namun demikian berbagai aktivitas pemanfaatan di areal ini perlu dijaga, agar tidak dapat menimbulkan dampak bagi kerusakan ekosistem beserta sumber daya yang ada, terutama bagi spesies-spesies langkah seperti penyu dan dugong.

Aktivitas pemanfaatan sumber daya pada ekosistem lamun tergolong lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Hasil identifikasi memperlihatkan sebanyak 12 aktivitas pemanfaatan dengan jumlah aktivitas pada masing-masing pulau bervariasi antara satu dengan lainnya (Tabel 15).

Sebanyak 7 aktivitas yang paling banyak (100%) dilakukan pada ekosistem lamun di seluruh pulau, sedangkan ada 5 pulau yang mengalami tekanan terbanyak (100%), kecuali Pulau Enu dan Pulau karang yang kawasan lamunnya kurang mendapatkan tekanan (66,67%). Secara keseluruhan rata-rata tingkat pemnfaatan masyarakat pada ekosistem lamun berdasarkan aktivitas adalah sebesar 88,10%. Dari Tabel 15, juga memperlihatkan bahwa aktivitas pemanfaatan didominasi oleh aktivitas perikanan tangkap dan selebihnya adalah aktivitas perikanan budidaya. Tabel 15 Aktivitas pemanfaatan pada ekosistem lamun di kawasan

1 2 3 4 5 6 7

1 Bameti      5 71,43

2 Bubu        7 100,00

3 jaring insang hanyut        5 71,43 4 jaring insang dasar        7 100,00

5 Panah        7 100,00

6 Selam (mutiara)        7 100,00 7 Selam (teripang)        7 100,00 8 Pancing permukaan        7 100,00 9 Pancing dasar        7 100,00 10 Budidaya rumput laut      5 71,43 11 Budidaya teripang      5 71,43 12 Budidaya ikan (KJA)      5 71,43

Total 8 8 11 11 11 11 11 12

Persentase (%) 66,67 66,67 91,67 91,67 91,67 91,67 91,67 7 88,10 No Aktivitas Pemanfaatan Pulau Total %

Keterangan :

1 = P. Enu 3 = P. K. Selatan 5 = P. Mar 7 = P. Marjinjin 2 = P. Karang 4 = P. Jeh 6 = P. Jeudin

Sumbangsi ekosistem lamun untuk pemenuhan konsumsi protein hewani adalah 16 orang per hektar per tahun (Kirsch et al., 2002, Pogoreutz et al., 2012; Vonk, at al., 2008; Vonk, at al., 2010). Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dengan kondisi ekosistem lamun yang ada di kawasan konservasi Aru Tenggara seluas 73,34 km2 (7.334 ha), maka jumlah masyarakat yang dipenuhi konsumsi protein hewaninya sebanyak 117.114 orang/tahun.

Dengan melihat besarnya kontribusi ekosistem lamun bagi kehidupan masyarakat, maka diharapkan agar pemanfaatan sumber daya dengan penggunan teknologi penangkapan yang ada, tidak diperuntukan bagi penangkapan spesies yang dilindungi seperti penyu maupun dugong. Hal ini perlu dijaga, karena mengingat keberadaan ekosistem lamun sebagai tempat makan potensial bagi penyu hijau dan dugong, sehingga kebaradaan spesies ini tidak terus mengalami penurunan bahkan ditakutkan akan hilang dari kawasan konservasi Aru Tenggara sebagai akibat dari pemanfaatan yang terus-menerus terhadap spesies-spesies dimaksud.

Penyu hijau berdasarkan hasil penelitian telah mengalami penurunan populasi sejak tahun 1950, karena kegiatan perikanan (Marquez 1990) dan pemanenan telur (Nichols, 2003), perburuan dan perikanan insidental bycatch

di dunia sebanyak 35.000 penyu per tahun, termasuk 7.500 penyu hijau tewas per tahun (Nichols et al, 2002, Hays et al, 2003; Nichols dan Safina, 2004; Koch et al, 2006; Peckham et al, 2007, 2008; Mancini dan Koch, 2009; Mancini, 2009). 2) Kompleksitas permasalahan sumber daya perikanan pada ekosistem lamun

Ekosistem lamun di kawasan konservasi Aru Tenggara merupakan kawasan yang paling banyak bertumpu harapan dan penghidupan masyarakat kawasan yang ditandai dengan teridentifikasinya 12 aktivitas pemanfaatan, di bandingkan dengan aktivitas pemanfaatan pada ekosistem lainnya. Pada ekosistem ini selain kegiatan perikanan tangkap juga merupakan kawasan yang potensial untuk pengembangan perikanan budidaya. Berdasarkan pengamatan lapangan dijumpai 3 aktivitas perikanan budidaya diantaranya budidaya teripang, rumput laut dan budidaya ikan sistem keramba jaring apung.

Hamparan ekosistem lamun yang luas baik di dalam maupun di luar areal konservasi memberikan dukungan yang kuat bagi berkembangnya organisme laut baik berupa ikan, moluska, krustasea, ekinodermata dan sumber daya lainnya. Hadir di dalamnya spesies endemik seperti penyu dan dugong yang memanfaatkan ekosistem ini sebagai tempat makan yang potensial. Jenis-jenis lamun yang disukai oleh penyu dan dugong banyak dijumpai pada kawasan ekosistem ini. Itulah sebabnya jika dilihat dari pola migrasi penyu, maka kawasan ini menjadi kawasan lintasan yang potensial bagi penyu-penyu baik untuk kepentingan mencari makan maupun untuk tujuan bertelur atau berkembang biak.

Kegiatan penangkapan yang dilakukan di dalam ekosistem lamun umumnya masih bersifat tradisional karena menggunakan alat tangkap yang sangat sederhana seperti pancing, panah, bubu, selam serta kegiatan koleksi kerang- kerangan (Gambar 38). Namun demikian bukan berarti kegiatan tersebut tidak memberikan dampak bagi kerusakan ekosistem dan keberlangsungan sumber daya penting yang ada, karena beberapa aktivitas seperti jaring, panah selain ditujukan untuk kepentingan penangkapan ikan, juga dilakukan untuk menangkap hewan langka seperti penyu yang memiliki harga yang relatif tinggi. Untuk itulah maka dalam merancang dan menetapkan rencana pengelolaan di kawasan, hendaknya

memperhatikan jenis-jenis alat tangkap yang selektif untuk tidak menangkap spesies-spesies lindung.

Gambar 38 Kerangka masalah sumberdaya perikanan pada ekosistem lamun Kegiatan atau aktivitas penangkapan yang sifatnya ilegal ini dapat terjadi di kawasan, menunjukan bahwa efektivitas pengelolaan kawasan sebagai kawasan konservasi belum sepenuhnya dilakukan dengan benar. Efektivitas pengelolaan kawasan konservasi laut adalah suatu upaya pengukuran terhadap tingkat pengelolaan kawasan telah mencapai tujuan yang dinyatakan oleh suatu Kawasan Konservasi Laut (Hockings et al., 2006). Pada setiap kawasan konservasi laut, ada beragam hal, seperti faktor-faktor biofisik, tata-kelola dan sosio-ekonomi, yang dapat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kinerja pengelolaan secara menyeluruh. Bila dirancang dengan benar dan dikelola secara efektif, kawasan konservasi akan memainkan peranan dalam melindungi ekosistem.

Kondisi eksisting lamun Hubungan/Pengaruh

Upaya pengelolaan yang efektif sudah seharusnya dimulai pada kawasan konservasi Aru Tenggara, mengingat tingkat pemanfaatan yang cenderung meningkat serta kegiatan-kegiatan ilegal yang terus-menerus dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang hanya mencari keuntungan tanpa memperhatikan keberlanjutan sumber daya dan ekosistemnya. Diharapkan kedepan akan terjadi terjadi peningkatan atau perbaikan perikanan pesisir dan laut (IUCN-WCPA, 2008), sehingga akan memulihkan fungsi-fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati laut, disamping untuk meningkatkan kondisi sosio- ekonomi sebagai hasil dari peningkatan produksi perikanan yang meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan (Parks et al., 2006).

4.3.6 Ekosistem terumbu karang