• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Eksploitasi Anak Jalanan Karena Faktor Ekonomi Sebagai Pengemis di Kota

Fenomena kemiskinan bukanlah suatu hal yang bisa kita anggap remeh, pasalnya fenomena kemiskinan akan selalu menimpa siapapun tanpa kita mengetahuinya terlebih dahulu. Sekarang ini di Indonesia masih menjadi polemik bagi pemerintahan dan instansi keuangan lainnya, pasalnya meskipun angka kemiskinan di Indonesia sudah menurun, namun tetap saja angka tersebut masih harus diperhatikan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia seanjutnya.

Gambar 4.16

Jumlah kemiskinan di Indonesia, Maret 2019

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2019 mencapai 25,14 juta orang. Dibandingkan September 2018 dan tahun-tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun 529,9 ribu orang.42 Dengan masih banyaknya jumlah penduduk miskin di Indonesia, membuat setiap orang yang berada didalam kemiskinan tersebut harus mencari jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, bagaimanapun caranya.

Kemiskinan pula merupakan salah satu faktor yang akan sangat berpengaruh terhadap sikap orang tua kepada anak, ketika orang tua terhimpit dalam kemiskinan yang tidak dapat mereka selesaikan, maka hal tersebut akan membuat beberapa diantara orang tua akan melampiaskan amarah mereka kepada anak, tidak hanya mendapatkan lampiasan kemarahan, tidak jarang pula anak-anak tersebut mendapat perlakuan tidak baik dari orang tuanya berupa kekerasan fisik dan psikis seperti pukulan, ancaman dan sebagainya, seperti yang dialami oleh Adel, orang tuanya kerap kali memarahi dan memukul Adel jika orang tuanya tidak memiliki uang. Itulah sebabnya mengapa faktor kemiskinan erat kaitannya dengan tindakan kriminal dan kekerasan.43

Bagi sebagian orang, mengemis mungkin merupakan satu-satunya cara untuk bisa mendapatkan uang dengan mudah, budaya kemiskinan akan melekat bagi setiap orang yang menjadikan pola pikir orang tersebut menjadi sempit, sehingga cenderung menggunakan cara-cara instant untuk bisa menghasilkan uang dengan mudah tanpa mau berusaha lebih.

Budaya kemiskinan inilah yang biasanya dianut oleh para pengemis, mereka memanfaatkan simpati dari orang lain untuk bisa menghasilkan uang dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dalam kasus yang diteliti ni, para pengemis memanfaatkan keadaan kanak-kanaknya untuk menarik simpati wisatawan, seperti yang dilakukan oleh Deva dan Devi,

42 Berita Resmi Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2019 No. 56/07/Th. XXII, 15 Juli 2019

43 Hasil Wawancara

dengan tubuhnya yang mungil dimanfaatkan untuk menarik simpati wisatawan agar iba dengan diri mereka yang masih kecil namun sudah harus meminta-minta.44

Budaya kemiskinan akan sangat mempengaruhi pola pikir orang tua, mereka yang sudah terjerat dalam budaya kemiskinan akan berpikir bahwa dengan menggunakan anak-anak mereka sebagi pencari uang, maka mereka tidak perlu repot-repot untuk mencari kerja untuk menafkahi seluruh kebutuhan hidup keluarga mereka. Para orang tua yang sehat secara fisik akan menggunakan anak-anak mereka yang tergolong usia batita hingga remaja awal untuk menarik simpati dari orang lain, seperti yang sudah dikatakan oleh Adel bahwa dirinya sudah diajak untuk mengemis oleh orang tuanya sejak dirinya masih bayi. Begitupun dengan yng dikatakan oleh Rahmat, dia mengaku bahwa sejak masih balita dirinya sudah sering mengemis dengan ibunya.

Anak-anak di bawah umur dipaksa dan dibiarkan bekerja mencari uang untuk diri sendiri dan orang tua tanpa memikirkan bagaimana keadaan anak tersebut. Para orang tua dengan mudahnya menyuruh anak mereka untuk menghasilkan uang dengan cara mengemis, karen anak-anak di bawah umurlah yang biasanya akan lebih banyak mendapatkan simpati dari orang-orang yang melihatnya, mereka akan merasa iba dan memberikan sejumlah uang untuk para pengemis anak. Marsha mengatakan bahwa apabila dirinya tidak mau mengemis, maka orang tuanya tidak akan memberikan dirinya makan. Sama dengan yang dialami Rahmat, dia akan mendapatkan omelan dari orang tuanya apabila dirinya tidak mau saat diperintah untuk mengemis.45

Rata-rata pengemis anak yang berada di kawasan wisata Kota Tua Jakarta akan bekerja selama 9 hingga 10 jam dalam satu hari. Mereka akan mulai mengemis pada siang hari dan baru akan pulang pada saat Kota Tua Jakarta tutup sekitar pukul 22.00 WIB. Pengemis anak di bawah

44 Ibid

45 Ibid

usia 8 tahun biasanya masih didampingi oleh orang tua mereka yang terlihat sedang mengawasi dengan jarak yang tidak terlalu jauh, namun pengemis anak yang berusia kisaran 10 tahun keatas, mereka mengemis tanpa pengawasan dari orang tua mereka, biasanya mereka akan mengemis dengan cara bergerombol 3 orang atau 2 orang secara bersamaan menghampiri wisatawan satu persatu.

Pengemis anak usia di atas 10 tahun beberapa diantaranya terpaksa menjadi pengemis karena orang tua mereka, beberapa lagi diantaranya memang berdasarkan dari keinginan pribadi untuk membantu orang tuanya. Namun meskipun dengan suka rela menjadi pengemis, hal ini tetap masuk kedalam pengeksploitasian anak karena orang tua tidak berupaya untuk mencegah atau melarang anak-anak mereka agar tidak mengemis, bahkan mereka kerap kali mendapat perlakuan kasar dan ancaman dari orang tua mereka apabila dalam satu hari mereka sedang tidak ingin mengemis. Mereka akan mendapatkan pukulan dari orang tua mereka, serta ancaman tidak akan diberikan makan dan minum apabila mereka tidak mau bekerja.

Anak-anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis di Kota Tua Jakarta tidak menggunakan atribut-atribut untuk menarik simpati wisatawan, hanya bermodal usia kanak-kanak, mereka bisa membuat wisatawan merasa iba dan memberikan sejumlah uang. Para pengemis anak akan dengan sangat giat menghampiri satu persatu wisatawan untuk mendapatkan uang meskipun mereka kerap kali menerima penolakan dari beberapa wisatawan dengan cara mengabaikan dan mengusir. Para pengemis anak harus mendapatkan uang, karena jika mereka tidak menyetorkan uang hasil mengemisnya kepada orang tua mereka, maka mereka akan diperakukan tidak baik, dibentak dan dipukul oleh orang tua mereka.

Rata-rata para pengemis anak akan menghasilkan uang sebesar Rp.200.000,- sampai Rp.400.000,- dalam sehari, tergantung dari jumlah wisatawan yang ada. Uang tersebut akan langsung mereka setorkan ke

orang tua mereka, barulah setelah itu mereka akan diberikan uang jika ingin jajan. Uang yang mereka dapatkan akan disetorkan ke orang tuanya dan digunakan untuk makan dan jalan-jalan atau membeli HP. Meskipun tidak ditentukan target berapa banyak jumlah uang yang harus mereka dapatkan dalam satu hari, namun karena perlakuan tidak baik yang mereka terima dari orang tua mereka saat tidak mendapatkan uang, membuat mereka bekerja dengan giat tanpa rasa malu.

Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta mengemis dengan cara yang mudah, mereka hanya perlu menggunakan wadah plastik bekas es atau hanya dengan mengangkat tangan mereka ketika sedang meninta-minta satu persatu menghampiri wisatawan. Mereka pun tidak segan untuk bersentuhan atau menepuk tangan wisatawan apabila mereka diabaikan. Meskipun tidak diawasi oleh siapapun, mereka jarang sekali bersantai-santai atau istirahat, karena jika ketahuan mereka akan dimarahi oleh orang tua mereka dan diperintahkan untuk mengemis lagi, apalagi jika sedang ramai wisatawan, hal itu merupakan kesempatan baik untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Dengan waktu mengemis yang terbilang cukup lama 9-10 jam, membuat hak-hak mereka sebagai anak yang seharusnya didapatkan justru malah harus terenggut dan tidak terpenuhi. Banyak diantara mereka harus putus sekolah agar bisa mengemis dan menghasilkan uang, padahal sekolah merupakan satu hal yang paling penting yang seharusnya didapatkan oleh seorang anak untuk bekal kehidupan masa depannya, jam bermain mereka pun harus terenggut karena kegiatan mengemis yang menyita banyak waktu, juga kasih sayang dari orang tua yang tidak dapat terpenuhi dengan baik.

Dengan terampasnya hak-hak mereka, meski dengan cara sukarela, hal tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa mereka mengalami eksploitasi yang dilakukan oleh orang tua mereka. Bahkan dari salah seorang responden yang pernah mengalami tertangkap oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan berakhir di Dinas Sosial, dengan teganya orang tua anak

tersebut membiarkan dan mengabaikan anak mereka yang tertangkap oleh Satpol PP padahal kejadian tersebut terjadi karena mereka menyuruh anaknya untuk mengemis, dan ketika sudah bebas anak tersebut tetap diperintah untuk mengemis meskipun sudah pernah tertangkap sebelumnya.

Sikap acuh yang dilakukan oleh orang tua kepada anak, membuat mereka secara sadar ataupun tidak, membiarkan terjadinya tindakan eksploitasi anak. Hal ini terjadi karena adanya kesulitan ekonomi yang menjerat mereka dan membuat mereka mau tidak mau mempekerjakan anak-anak mereka untuk membantu mereka agar menghasilkan uang.

Budaya kemiskinan juga tidak luput dalam kasus ini, para orang tua yang memiliki mindset budaya kemiskinan, akan melakukan cara termudah untuk menghasilkan uang. Hal tersebut selaras dengan yang dikatakan oleh Oscar Lewis mengenai budaya kemiskinan, orang-orang yang terjerat dalam budaya kemiskinan akan menggunakan cara termudah tanpa mau berusaha lebih untuk bisa terlepas dari kemiskinan itu, dan orang-orang yang terjebak dalam budaya kemiskinan akan terus berada dalam mental kemiskinan itu sendiri jika tidak mau berusaha untuk merubahnya.

Oscar Lewis secara terang-terangan mengungkapkan bahwa budaya kemiskinan merupakan suatu fenomena yang lebih berbahaya dari kemiskinan itu sendiri. Berdasarkan dari perilaku yang ditunjukan oleh anak-anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis di Kota Tua Jakarta, menujukan bahwa terjadinya kontaminasi mindset budaya kemiskinan yang dimiliki oleh anak-anak itu. Mereka dengan mudahnya menunjukan bahwa mengemis merupakan cara yang mudah untuk bisa menghasilkan uang, tanpa harus susah payah bersekolah tinggi untuk menghasilkan uang dengan cara yang lebih baik lagi.

Budaya kemiskinan yang dimiliki oleh anak-anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis ini tidak lain diturunkan oleh orang tuanya.

Kebanyakan dari anak-anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis di Kota Tua Jakarta memiliki orang tua yang juga bekerja di jalanan

(pedagang asongan dan pedagang kaki lima) mereka mewariskan apa yang biasa dilakukan oleh orang tua mereka, mereka akan bisa berdagang, mengamen, mengemis dan dengan mudah dapat menghasilkan uang tanpa harus memikirkan kemampuan apa yang mereka punya, karena pekerjaan dijalan tergolong pekerjaan yang mudah untuk dilakukan.

Kelima anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis di Kota Tua Jakarta tidak ada yang bersekolah, beberapa diantara mereka sempat mengenyam dunia pendidikan meskipun harus putus sekolah karena faktor ekonomi yang dialaminya. Mereka yang putus sekolah dan belum sempat menyenyam dunia pendidikan merasa baik-baik saja meskipun tanpa sekolah. Hal tersebutlah yang menjadi bukti perkataan Oscar Lewis mengenai “Budaya kemiskinan lebih berbahaya dibanding dengan kemiskinan itu sendiri”, yang mana dengan adanya pemikiran budaya kemiskinan yang dimiliki oleh seseorang, akan membuat mereka terlena dalam rasa malas dan tidak ingin berusaha untuk menjadi lebih baik.

Anak-anak yang tereksploitasi juga secara sadar ataupun tidak, mau melakukan pekerjaan mengemis karena adanya arti dan makna bagi dirinya sendiri dan orang lain. Adel mengaku bahwa sebenarnya dia tidak ingin menjadi seorang pengemis, namun dia dengan terpaksa ikhlas melakukannya karena orang tuanya mengatakan bahwa dia harus sudah bisa mengurus dirinya sendiri dan juga Adel merasa ingin membantu orang tuanya mencari uang. Seperti yang dikatakan oleh Max Weber dalam teori tindakan sosial, bahwa seseorang bertindak karena adanya makna bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Anak-anak yang dipaksa ataupun dengan sukarela menjadi pengemis, melakukan itu karena hal tersebut berarti bagi kehidupannya juga bagi kehidupan orang tuanya.

Mereka mengemis dengan tujuan untuk menunjukan bahwa mereka patuh kepada orang tua mereka. Dengan cara mengemis mereka akan membantu masalah perekonomian yang tidak bisa diselesaikan oleh orang tua mereka.

Selaras dengan yang dikatakan oleh Max Weber mengenai teori Tindakan Sosial bahwa seseorang melakukan tindakan tidak selau ditentukan oleh norma dan nilai. Seperti dengan yang dilakukan oleh anak-anak pengemis jalanan, mereka mengemis tanpa memperdulikan nilai-nilai dan norma yang ada, mereka mengemis meskipun mereka tau betul bahwa mengemis bukanlah suatu pekerjaan yang bernilai baik dimata masyarakat. Adel dan Marsha tau betul bahwa mengemis bukanlah suatu kegiatan yang baik untuk dilakukan, tapi mereka melakukan itu atas dasar untuk membatu orang tua mereka.

Pada teori ini Weber juga menjelaskan bahwa seseorang yang berada dalam suatu masyarakat tertentu cenderung untuk mengikuti atau meniru sesuatu yang biasanya dilakukan oleh orang-orang dilingkungan sekitarnya, para pengemis anak juga melakukan hal yang sama atau meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang yang ada dilingkungan sekitarnya, mereka hidup dilingkungan yang mayoritas warganya berprofesi sebagai orang jalanan (pemulung, pengemis, pengamen, dan sebagainya) itulah sebabnya mengapa anak-anak jalanan tersebut bisa dengan mudah menjadi pengemis karena melakukan proses peniruan apa yang dilakukan oleh orang disekitar mereka, bahkan mereka juga meniru dan mengadaptasi apa yang orang tua mereka lakukan, dari kelima responden yang diwawancarai, mereka semua berasal dari keluarga yang juga hidupnya mencari uang dijalanan, orang tua mereka mayoritas bekerja sebagai pedagang kaki lima di sekitaran stasiun Kota Jakarta, hal tersebutlah yang sudah jelas mereka adaptasi dan mereka tiru, bahwa memang yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya adalah kegiatan yang akan mereka lakukan nantinya.