• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Deskripsi Hasil Penelitian

2. Hasil Wawancara

a. Kemiskinan dan budaya kemiskinan

1) Faktor kemiskinan yang berpengaruh pada sikap orang tua terhadap anak

Kemiskinan bukanlah suatu masalah yang tabu untuk dikaji bagi semua negara, karena kemiskinan merupakan suatu fenomena yang pastinya akan selalu terjadi dimanapun manusia itu berada.

Kemiskinan sama halnya dengan usia kehidupan, seolah-olah fenomena kemiskinan yang selalu terjadi dimana-mana akan membuat siapapun pasti pernah mengalaminya.

Tingginya angka kemiskinan di Indonesia juga dirasakan di berbagai sudut pelosok kota, hal tersebut menyebabkan semua orang yang berada pada posisi tersebut berusaha untuk bisa mengatasinya, dengan kata lain berusaha untuk keluar dari kemiskinan itu sendiri.

Banyak cara yang dilakukan setiap orang untuk bisa keluar dari kemiskinan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada. Dalam kasus ini, para orang tua memanfaatkan anak-anaknya sebagai sumber daya manusia yang bisa menghasilkan uang baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang tuanya, hal ini seperti yang dikatakan oleh Adel 15 tahun, seorang pengemis anak di Kota Tua Jakarta.

“Aku cari uang buat mama, buat adek-adek.”12

Adel yang merupakan pengemis anak menyatakan bahwa dirinya memang mengemis untuk membiayai dirinya dan adik-adiknya, tidak hanya itu, Adel juga mengaku bahwa dia sudah harus menanggung hidupnya sendiri sejak usia 10 tahun saat pertama kali dia mengemis.

” Kan kata mama aku, aku kalo udah gede harus urusin aku sendiri, mama aku anaknya udah banyak, aku jadinya nggak dibelain lagi.”13

Tidak hanya adel, hal serupa juga dinyatak oleh Marsha 14 tahun, yang sudah mengemis sejak kecil, Marsha yang merupakan anak pertama melakukan kegiatan mengemis untuk diberikan kepada Ibunya untuk adik-adiknya agar bisa bersekolah.

“Bantuin mama aja aku mah. Buat beli HP, buat sekolahin adek-adek.”14

Terlepas dari berdasarkan keinginan pribadi ataupun paksaan, namun anak-anak tersebut sudah ter-setting pemikirannya untuk membantu orang tua mereka untuk memenuhi kebutuhan secara ekonomi yang tidak sanggup ditanggung sendiri oleh orang tuanya. Hal tersebut di dukung oleh pernyataan Marsha.

“Mama aku juga kalo lagi nggak punya duit Sukanya marah-marah, aku jadinya biarin aja cari duit buat bantuin mama, mama juga nggak apa-apa malah seneng aku dapet duit.”15

Mereka yang terjerat dalam kemiskinan dan tidak memiliki potensi didalam dirinya untuk memperbaiki keadaan, akan mencari jalan pintas semudah mungkin untuk bisa memenuhi kebutuhan

12 Lampiran, Transkip Wawancara, Adel, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

13 Lampiran, Transkip Wawancara, Adel, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

14 Lampiran, Transkip Wawancara, Marsha, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

15 Lampiran, Transkip Wawancara, Marsha, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

hidupnya meskipun banyak konsekuensi yang mereka abaikan, dalam kasus ini adalah orang tua yang karena keterdesakannya, membuat anak-anak mereka turut serta membantu mencari jalan keluar dalam kemiskinan dengan cara mempekerjakan mereka.

Keterpaksaan tersebut disampaikan oleh Adel yang secara terang-terangan mengungkapkan bahwa sebetulnya dia tidak ingin menjadi seorang pengemis.

“Enggak, nggak apa-apa, tapi sebenernya aku nggak mau, kan aku bukan anak pengemis.”16

Namun hal berbeda dinyatakan oleh Devi, dia dengan suka rela membantu orang tuanya untuk mencari uang dengan cara mengemis.

” Aku mau bantuin mama, aku mau sendiri.”17

Meskipun dengan kesukarelaan Devi menjadi pengemis untuk membantu Ibunya, namun orang tua Devi sering memperlakukan Devi dengan tidak baik. Beberapa kali Devi mendapatkan pukulan dari Ibunya ketika sedang kesal, hal tersebut disampaikan sendiri oleh Devi.

“Kadang mama kalo lagi kesel banget aku dipukul. Kadang kakinya, kadang tangannya, pake benda, kemaren kembaran aku sininya berdarah *mengarahkan tangannya ke kepala bagian belakang* gara-gara ngilangin getokan es, dipukul sama mama aku.”18

Tidak hanya Devi, perlakuan tidak baik juga sering dialami oleh anak-anak lain yang sama bekerja sebagi pengemis. Dalam keadaan ekonomi yang menghimpit, tidak jarang para orang tua

16 Lampiran, Transkip Wawancara, Adel, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

17 Lampiran, Transkip Wawancara, Devi, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

18 Lampiran, Transkip Wawancara, Devi, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

akan melampiaskan amarahnya kepada anak-anaknya, hal ini dibenarkan oleh pernyataan Radit 10 tahun.

“*Radit memperagakan ketika ibunya sedang kesal* “eh radit, keluar lu”, terus sayanya digebukin, ininya

*menunjukan kaki, perut dan bahunya* pake kaki.”19

Hal serupa juga dialami oleh Deva dan Adel, mereka menyatakan bahwa dirinya kerap kali diperlakukan tidak baik oleh orang tuanya ketika sedang kesal.

“Paling mama aku marah-marah doang, kalo lagi kesel banget aku dipukul gini *menunjukan luka di kepalanya yang masih terlihat basah * gara-gara ilangin cocokan es, padahal bukan aku yang ilangin.”20

“Biasanya kalo aku lagi nggak mau ngemis akunya diomelin.”21

Berdasarkan pernyataan dari ke lima responden di atas, dapat terlihat bahwa memang faktor ekonomi dalam hal ini kemiskinan, dapat mempengaruhi perilaku orang tua terhadap anak, orang tua yang berada dalam kondisi ekonomi yang sulit, akan terdesak dan berusaha untuk bisa memenuhi kebutuhannya dengan cara apapun, termasuk dengan mempekerjakan anak-anak mereka.

Dengan menjadikan anak sebagai sumber pencari uang, orang tua akan dengan sendirinya terbiasa menikmati hasil yang didapatkan dari jerih payah anak-anaknya, ketika anak-anak mereka tidak bisa menghasilkan uang dalam kondisi kemiskinan yang melilit keluarga, oran tua dalam keadaan terdesak ekonomi, maka orang tua dengan sadar ataupun tidak, akan

19 Lampiran, Transkip Wawancara, Radit, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

20 Lampiran, Transkip Wawancara, Deva, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

21 Lampiran, Transkip Wawancara, Adel, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

melampiaskannya kepada anak, dan anak diperlakukan dengan cara yang kurang baik.

2) Faktor budaya kemiskinan yang berpengaruh pada pola pikir orang tua

Budaya kemiskinan memang erat kaitannya dengan fenomena kemiskinan iu sendiri, namun beberapa orang yang terbiasa dengan budaya kemiskinan, akan dengan sangat gampang memilih jalan termudah untuk bisa menghasilkan uang tanpa perlu repot-repot menggali potensi yang ada didalam diri sendiri.

Cara termudah untuk bisa menghasilkan uang dengan jumlah yang cukup banyak dalam sehari adalah dengan cara memanfaatkan belas kasihan dari orang lain, pola pikir instant inilah yang dijadikan acuan bagi para orang tua yang terjerat dalam budaya kemiskinan. Padahal mereka bisa keluar dari budaya kemiskinan tersbut jika mereka mau lebih berusaha menggali potensi diri agar tidak terjebak dalam budaya kemiskinan terus menerus.

Hanya dengan memanfaatkan belas kasihan dari orang lain, seseorang bisa menghasilkan uang yang cukup banyak, dalam satu hari, hal ini didasarkan pada keterangan yang diberikan oleh ke lima responden pengemis anak di Kota Tua Jakarta.

“Hmmm… *sambil memainkan jari-jarinya* kadang kalo lagi bener dapetnya Rp. 300.000,- kalo lagi nggak bener dapetnya Rp. 200.000,- kadang cepe (Rp. 100.000,-) juga.”22

Dalam satu hari, Adel bisa mengasilkan uang hingga Rp.400.000,- setiap kali mengemis, hasil tersebut terbilang cukup banyak dan tidak perlu menggunakan potensi apapun, hanya bermodalkan belas kasihan dari orang yang melihatnya.

22 Lampiran, Transkip Wawancara, Adel, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

“Kadang kalo lagi main ama dia *menunjuk adel, teman sesama pengemis* Rp.400.000,- kadang kalo enggak Rp.200.000,- kadang Rp.100.000,-”23

Sama halnya dengan pengakuan Adel mengenai pendapatan sehari-harinya, Devi juga memiliki penghasilan perhari yang sama, jika sedang ramai maka penghasilan mereka bisa mencapai Rp.400.000,- per hari, namun jika sedang sepi pengunjung uang yang bisa mereka hasilkan berjumlah sekitar Rp.100.000,-

“Nggak tentu juga kadang mah kalo ngemis cuma Rp.100.000,- tapi kalo lagi dagang Rp.200.000,- tergantung.”24

Namun berbeda dengan yang dikatakan oleh Marsha, Marsha mengaku bahwa ketika mengemis dirinya hanya mampu menghasilkan uang hingga Rp.100.000,- saja, sedangkan ketika berjualan es keliling, dia mampu menghasilkan uang hingga Rp.200.000,- per hari. Hal mengejutkan justru diungkapkan oleh Radit.

“Saya nggak ngitung, semuanya langsung dikasihin ke mama, saya nggak dibagi, Cuma buat jajan doang paling.”

Radit mengaku, bahwa dia jarang menghitung hasil pendapatan mengemisnya, biasanya uang yang dia dapatkan langsung dia setorkan kepada Ibunya, barulah setelah itu jika Radit ingin jajan, Radit bisa minta uang ke Ibunya. Juga seperti yang dikatakan oleh Adel mengenai setoran uang ke orang tuanya.

“Gak apa-apa, kan disuruh mama. Kalo mama, kalo aku jadi pengemis mama duduk manis doang, bagian duit doang.”25

23 Lampiran, Transkip Wawancara, Devi, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

24 Lampiran, Transkip Wawancara, Marsha, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

25 Lampiran, Transkip Wawancara, Adel, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

Adel mengaku bahwa setiap kali dirinya mengemis, Ibunya hanya akan menerima hasilnya saja, tanpa perlu susah payah bekerja lagi, hanya mengandalkan uang hasil mengemis Adel.

“Hm… kelaperan, kehausan, keujanan, kalo temen-temen aku banyak disini (jalan Kali Besar), ada yang disuruh mamanya ngemis, banyak kalo malem, mamanya santai-santai aja, tinggal setor, tinggal setor.”26

Selain itu, buadaya kemiskinan juga menyebabkan orang tua yang terjerat didalamnya menjadikan suatu kebiasaan bagi anak-anaknya sehingga budaya kemiskinan tersebut terjadi secara turun-temurun, seperti yang dikatakan oleh Bapak Fachrizal selaku SATGAS yang mengamankan Kota Tua.

“Tangapannya, ya gimana ya… susah sih kalo buat naggepin anak jalanan mah, ya gimana ya jelasinnya, kalo anak jalanan begitu sih dia karena faktor ekonomi, karena udah tergantung sama ekonomi dan pergaulannya dia juga, karena dia dari kecil udah diajarin kaya begitu jadi keenakan ampe tua kaya begitu, jadi emang gaya hidup dan ekonomi juga.”27

Karena terjerat dalam budaya kemiskinan, seseorang akan selalu berpikir untuk mengambil jalan pintas agar bisa menghasilkan uang tanpa mau berusaha lebih dan menggunakan cara termudah dengan meminta belas kasihan dari orang lain.

Pada kasus ini, orang tua menggunakan anak-anaknya sebagai alat untuk bisa mendapatkan simpati dari orang lain, seperti yang dikatakan oleh Ibu Ati, seorang wisatawan di Kota Tua Jakarta.

“Ya gitu aja paling, kalo disini kan rame yah, jadi berapa banyak pengemis gitu yang dateng ke kita, keganggulah pasti, apalagi kalo pengemisnya yang anak-anak kecl gitu kan kita juga kasian ngeliatinnya.”28

26 Lampiran, Transkip Wawancara, Adel, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

27 Lampiran, Transkip Wawancara, Fachrizal, SATGAS Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

28 Lampiran, Transkip Wawancara, Ati, Wisatawan Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

Budaya kemiskinan menyerang pada pola pikir seseorang, dimana orang tersebut sebenarnya mampu secara fisik untuk terlepas dari budaya kemiskinan, namun secara sadar menolak untuk bisa keluar dari lingkaran tersebut hanya karena tidak mau berusaha lebih untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Ibu Ati juga menambahkan, bahwa banyak juga diantara pengemis-pengemis yang berkeliaran sebenarnya lebih mampu secara ekonomi dibanding dengan beberapa wisatawan lainnya.

“Kasian mbak, tapi kan kita nggak tau yah mereka gimana, kadang ada aja kan gitu pengemis yang lebih kaya dari kita, pura-pura aja jadi pengemis biar gampang dapet uang, tapi kalo emang yang ngemis karena kebutuhan sih ya kasian juga, buat makan gitu.”29

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat terlihat bahwa budaya kemiskinan merupakan jebakan bagi setiap orang yang pada dasarnya tidak mau melakukan lebih untuk hidup yang lebih baik, karena budaya kemiskinan mempengaruhi pola pikir seseorang yang akhirnya akan secara sadar ataupun tidak, budaya tersebut akan dibawa turun temurun dan menjadikannya suatu kebiasaan. Dalam hal ini seorang pengemis anak, anak-anak di bawah usia 17 tahun bekerja sebagai pengemis karena desakan dari orang tuanya ataupun secara suka rela, membuat diri mereka terjebak dan mewarisi budaya kemiskinan dari orang tua mereka.

Budaya kemiskinan akan menjerat siapa saja orang-orang yang terlena dengan rasa malas, karena sesulit apapun perekonomian seseorang, apabila orang tersebut tidak terjebak dalam pola pikir budaya kemiskinan, maka orang tersebut pasti akan bisa mencari cara lain untuk bisa memenuhi keutuhan hidupnya, mereka sebenarnya mampu, namun mereka terlalu terlena dan malas untuk menggali potensi yang ada didlam dirinya dan sudah terlanjut terlena dengan pola bikir budaya

29 Lampiran, Transkip Wawancara, Ati, Wisatawan Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

kemiskinan, sehingga mereka akan melakukan cara-cara instant untuk menghasilkan uang, seperti dengan cara mengemis.

b. Eksploitasi Anak

1) Pekerja Anak di Kota Tua Jakarta

Eksploitasi anak akhir-akhir ini semakin menjadi perbincangan umum bagi setiap kalangan, khususnya para komunitas perlindungan anak dan juga orang tua, bukan hanya di negara-negara miskin saja, namun di Indonesia sendiri yang statusnya adalah negara berkembang, eksploitasi anak masih menjadi sorotan yang harus segera dibenahi. Salah satu kegiatan eksploitasi anak yang sangat disoroti adalah terjadinya ekploitasi anak di Ibu Kota negara Republik Indonesia, tepatnya di Kota Tua Jakarta.

Kota Tua Jakarta yang merupakan tempat wisata primadona Jakarta ini dijadikan sasaran yang tepat bagi sebagian orang untuk bisa mengeksploitasi anak di bawah umur. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan kelima anak-anak yang bekerja sebagai pengemis di Kota Tua Jakarta, mereka justru tidak mengetahui apa itu tindakan eksploitasi. Mayoritas dari mereka mengemis dari siang hingga malam hari, seperti yang dikatakan oleh Marsha.

“Aku biasanya mah dari siang, tapi kalo lagi ada acara dari pagi, sampe bubaran ini, jam 10 malem.”30

Menurut perkataan Marsha, dia biasanya mulai mengemis siang hari sekitar pukul 11.00 WIB, namun jika di Kota Tua sedang ada acara, biasanya Marsha akan datang dari pagi karena jika ada acara Kota Tua akan lebih ramai wisatawan dari hari biasa. Hal tersebut dikatakan pula oleh Devi.

“Aku biasanya dari siang sampe beres ini (sampai Kota Tua tutup pukul 22.00)”

30 Lampiran, Transkip Wawancara, Marsha, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

Pernyataan berbeda disampaikan oleh Adel, Adel mengaku bahwa dirinya tidak pernah ditargetkan waktu untuk mengemis, Adel dibebaskan untuk menentukan sendiri waktu untuk mengemis oleh Ibunya.

“Aku mah enggak, kalo sama mama terserah yang penting aku keluar (mengemis) dapet uang.”

Meskipun tidak ditargetkan dalam waktu tertentu, namun Adel mengaku bahwa sebenarnya dia sudah lama menjadi seorang pengemis, bahkan sempat diringkus oleh satuan polisi pamong praja dan berakhir di dinas sosial.

“Aku ngemis udah dari sepantaran dia *menunjuk Devi, yang berusia 10 tahun* pernah ketangkep terus dibawa ke dinsos, Cuma disuruh naek ke mobil aja, terus mama aku nggak tau, terus di kasih tau sama temen aku “mamanya adel, adelnya masuk dinsos”, terus ditolongin sama mamanya temen aku, aku dikeluarin.”

Berdasarkan keterangan yang Adel berikan, meskipun dirinya sempat tertangkap oleh satuan polisi pamong praja dan diserahkan ke dinas sosial, namun orang tua Adel bersikap acuh dan tetap menyuruh Adel untuk mengemis dan berjualan es di wilayah Kota Tua Jakarta.

“Disuruh mama, kalo aku nggak nurut, aku nggak dianggep anaknya lagi.”31

Berdasarkan keterangan di atas, dapat terlihat bahwa pekerja anak di Kota Tua masih ada meskipun tidak terlalu banyak terlihat, dengan kita sadari ataupun tidak, adanya anak yang bekerja di bawah usia standar minimum pekerja anak, dengan jam kerja yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang 1945 No.13 Tahun 2003 pasal 63, merupakan suatu tindakan eksploitasi anak.

2) Kekerasan yang dialami oleh anak yang tereksploitasi

31 Lampiran, Transkip Wawancara, Adel, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

Kekerasan merupakan suatu hal yang erat kaitannya dengan tindakan tidak baik, anak-anak yang tereksploitasi dan mengalami kekerasan, akan sangat berdampak pada kesehatan fisik dan mentalnya. Anak-anak yang sering dibentak akan suka membentak temannya, anak-anak yang sering dipukul akan sering juga memukul, karena apapun yang anak lakukan adalah apa saja yang dia contoh, dia lihat, dan dia alami. Oleh sebab itu kekerasan erat kaitannya dengan tumbuh kembang seorang anak.

Dampak kekerasan bukan hanya terlihat pada fisiknya saja, namun juga akan terlihat dampak psikisnya dikemudian hari.

Kekerasan secara fisik maupun psikologi sudah sering dirasakan oleh kelima responden, salah satunya adalah Adel yang mengalami kekerasan psikis jika dirinya tidak mendapatkan uang dari hasil mengemis.

“Kalo nggak dapet duit paling akunya dikurung di rumah, nggak dikasih makan, nggak dikasih minum sampe sore.”32

Hal serupa juga disampaikan oleh Marsha, dia mengaku bahwa Ibunya mengatakan jika dia tidak mau mengemis, maka dia tidak akan bisa makan malam.

“Marah-marah, “kamu nggak kerja, kamu nggak makan malem ini ya” gitu *memperagakan mamanya ketika sedang memarahinya* Cuma di empos doang paling.”33

Marsha juga menambahkan, bahwa Ibunya akan marah apabila dia pulang tidak membawa uang, dan tidak memperbolehkannya untuk tidur dikamar.

“Marah, paling disuruh tidur di dapur, nggak boleh tidur di kamar.”34

32 Lampiran, Transkip Wawancara, Adel, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

33 Lampiran, Transkip Wawancara, Marsha, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

34 Lampiran, Transkip Wawancara, Marsha, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

Namun hal berbeda dinyatakan oleh Devi, dia mengaku bahwa dirinya tidak akan dimarahi Ibunya apabila hanya mendapatkan uang Rp.100.000,- saja.

“Enggak, kalo dapet cepe (Rp.100.000,-) mama nggak marah, bilang aja lagi sepi, emang sepi kok, hari senin.”

Tidak hanya kekerasan dari orangtua saja yang mereka dapatkan, Devi menyatakan bahwa dirinya juga sering mendapati kekerasan psikis berupa penolakan dari para wisatawan.

“Suka, kadang gini “enggak ya dek”, kadang akunya didorong, aku dalem hati aku “yaudah kali selow”.”35

Hal serupa juga dialami oleh Adel, dia menyatakan bahwa dirinya sering sedih apabila mengalami penolakan dari wisatawan.

“Ada pernah, diusir, sedihlah, emangnya nggak sakit apa digituin, kan aku masih kecil.”36

Selain kekerasan psikis yang dirasakan oleh mereka, kekerasan fisikpun sering mereka terima. Hal ini dinyatakan langsung oleh Devi.

“Kadang mama kalo lagi kesel banget aku dipukul. Kadang kakinya, kadang tangannya, pake benda… Mama kalo lagi kesel banget aku dipukul, kata mama kalo mama lagi tidur jangan bangunin macan lagi tidur”37

Dengan penyataan-pernyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai pengemis di Kota Tua Jakarta mengalami kekerasan dari orang tua mereka, serta dengan penolakan kehadiran mereka dari pada wisatawan, membuat mereka terluka secara psikologinya.

35 Lampiran, Transkip Wawancara, Devi, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

36 Lampiran, Transkip Wawancara, Adel, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

37 Lampiran, Transkip Wawancara, Devi, Pengemis anak di wilayah Kota Tua Jakarta, 4 November 2019

3) Terampasnya hak-hak anak yang tereskploitasi

Jika berbicara mengenai eksploitasi anak, maka akan sangat akrab dengan terampasnya hak-hak yang dimiliki seorang anak.

Anak-anak yang seharusnya memiliki hak untuk mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari orang tua, justru malah kehilangan haknya tersebut, bukan hanya hak mendapatkan kasih sayang, namun juga haknya sebagai anak untuk mendapatkan pendidikan harus terampas. Seperti yang dialami oleh Adel, dirinya tidak pernah bersekolah sama sekali sejak dia kecil hingga saat ini.

“Aku enggak sekolah.”38

Hanya kata-kata tersebutlah yang keluar dari mulut Adel.

Berbeda dengan Adel, Devi menyatakan bahwa dirinya dulu sempat bersekolah namun diberhentikan oleh Ibunya karena Devi tidak bisa mengeja huruf nama Ibunya.

“Aku udah nggak sekolah, pernah dulu aku sekolah terus diberentiin sama mama gara-gara aku nama mama aja nggak bisa (mengeja huruf nama mamanya).”39

Devi menyatakan bahwa sebenarnya cita-citanya ingin menjadi pekerja dikantoran, namun ternyata dia harus putus sekolah. Hal yang sama juga dikatakan oleh Marsha.

“Nggak apa-apa, aku sekolah dulu cuma sampe kelas 2 SD terus udah.”

Marsha harus putus sekolah karena keterbatasan ekonomi yang menghimpit orang tuanya, sehingga Marsha harus berhenti sekolah dan membantu Ibunya mencari uang. Tidak hanya hak mendapatkan pendidikan, anak-anak juga memiliki hak untuk bisa bermain. Sedangkan waktu bermain mereka harus digunakan

Marsha harus putus sekolah karena keterbatasan ekonomi yang menghimpit orang tuanya, sehingga Marsha harus berhenti sekolah dan membantu Ibunya mencari uang. Tidak hanya hak mendapatkan pendidikan, anak-anak juga memiliki hak untuk bisa bermain. Sedangkan waktu bermain mereka harus digunakan