• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksploitasi Anak Jalanan Karena Faktor Ekonomi Sebagai Pengemis di Kota Tua Jakarta. Skripsi. Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Eksploitasi Anak Jalanan Karena Faktor Ekonomi Sebagai Pengemis di Kota Tua Jakarta. Skripsi. Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Diamar Dwi Diyan Fitri 11150150000091

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

i

Penelitian ini membahas tentang Eksploitasi anak jalanan karena faktor ekonomi sebagai pengemis di Kota Tua Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Eksploitasi Anak Jalanan Karena Faktor Ekonomi Sebagai Pengemis di Kota Tua Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif desktiptif. Data dikumpulkan dengan cara observasi non partisipasi dan wawancara. Informan yang diwawancarai antara lain pengemis anak usia 10-15 tahun sejumlah 5 orang, salah satu petugas Kota Tua Jakarta, dan seorang wisatawan Kota Tua Jakarta. Teknik analisis data menggunakan model Miles dan Huberman.

Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor ekonomi adalah faktor terbesar yang mendorong seseorang atau orang tua untuk melakukan tindakan eksploitasi kepada anak dibawah umur. Kesulitan ekonomi yang dihadapi seseorang bukan hanya menyiksa namun juga membuat seseorang yang terjerat dalam kemiskinan membuat sebuah keputusan yang terburu-buru karena keadaan yang menghimpit.

Kata Kunci: Eksploitasi Anak, Kemiskinan, Anak Jalanan, Pengemis di bawah Umur

(8)

ii

This study discusses the exploitation of street children due to economic factors as beggars in the Old City of Jakarta. This study aims to determine the Exploitation of Street Children Due to Economic Factors as Beggars in the Kota Tua Jakarta. This research uses descriptive qualitative research methods. Data was collected by non-participation observation and interviews. Informants interviewed included 5 children aged 10-15 years, a number of 5 people, one of the Kota Tua Jakarta officials, and a tourist of Kota Tua Jakarta. Data analysis techniques using the model of Miles and Huberman.

The results showed that economic factors are the biggest factors that encourage a person or parents to take action to exploit minors. The economic hardships faced by someone not only torture but also make someone who is trapped in poverty make a hasty decision because of the pressing conditions.

Keywords: Child Exploitation, Poverty, Street Children , Beggars under Age

(9)

iii

Pengemis Karena Faktor Ekonomi di Kota Tua Jakarta” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Berkat izin, nkmat dan bantuan yang Allah berikan kepada penulis tanpa henti, penulis bisa menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat kelulusan di tingkat strata 1 ini dengan cara yang baik dan in shaa Allah penuh dengan keridhoan NYA.

Sholawat serta salam penulis lantunkan tiada henti untuk junjungan baginda Rasulullah SAW yang dberkat semangat dan kegigihannya untuk mengajarkan agama islam, menjadi teladan bagi penulis untuk terus menimba ilmu sebanyak-banyaknya dengan rasa ikhlas dan semangat, semata-mata hanya mencari ridho Allah SWT agar ilmu yang penulis pelajari selama ini dapat diamalkan sebaik-baiknya dan menjadi jariah untuk tabungan di akhirat.

Semangat yang Rasulullah contohkan ketika tiada hentinya Beliau mengajarkan agama Islam tanpa Lelah, tanpa pamrih dan penuh rasa semangat dan percaya sepenuhnya kepada Allah SWT, membuat penulis terinspirasi dan tergerak hatinya untuk juga bisa mengamalkan apa yang Rasulullah kerjakan sehingga terketuklah hati penulis untuk mengerjakan skripsi ini dengan penuh keikhlasan, rasa syukur, kesabaran, dan mempercayakan sepenuhnya kepada Allah dengan perasaan yang menggebu-gebu penuh rasa semangat.

Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, penuh dengan bantuan dari pihak lain yang dengan suka rela membantu tanpa pamrih. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

2. Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd, selaku Ketua jurusan Pendidikan Imu Pengetahuan Sosial sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan banyak perhatian, bimbingan, serta motivasi kepada

(10)

iv

3. Bapak Andri Noor Ardiansyah, M.Si, selaku sekertaris Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang juga senantiasa memberikan banyak perhatian dan motivasi kepada mahasiswa tingkat akhir disela-sela kesibukannya, memotivasi kami para siswa akhir dengan candaan khasnya yang membuat kami semakin semangat.

4. Ibu Cut Dhien Nourwahida, MA, selaku dosen pembimbing pertama yang telah bersedia meluangkan waktu serta selalu memberikan motivasi, bimbingan dan nasehat selama penulisan skripsi ini, penulis sadar bahwa tanpa bimbingan, dan bantuan yang Beliau berikan, penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Bapak Mochammad Noviadi Nugroho, M.Pd, selaku dosen pembimbing kedua yang telah bersedia meluangkan waktu serta selalu memberikan motivasi, bimbingan dan nasehat selama penulisan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah memberikan ilmu selama penulis mengenyam pendidikan di kampus ini.

7. Kepada seluruh informan yang telah membantu saya dalam pelaksanaan penelitian.

8. Kepada kedua orang tua, Bapak Hartoko dan Ibu Muminah terimakasih atas seluruh doa yang selalu dipanjatkan untuk penulis dan dukungan moril maupun materil serta kasih sayang yang selalu mengiringi langkah penulis hingga saat ini, penulis sadar bahwa doa Ibu dan Bapak yang membuat penulis bisa menyelesaikan penelitian ini, terimakasih yang sedalam- dalamnya penulis sampaikan kepada Ibu dan Bapak yang telah sabar dan mendukung setiap langkah yang penulis jalani dengan penuh rasa cinta dan keridhoan.

9. Kepada kakak tercinta Mas Teguh Prasetyo Utomo terimakasih setulus-

(11)

vi

dukungan dan kasih sayang yang diberikan penulis bisa bertahan dan akhirnya bisa menyelesaikan penelitian ini.

10. Kepada kakak ipar ku Annisa Citra Utami yang juga turut andil dalam memberikan semangat dan dukungan hingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

11. Kepada keponakan ku tercinta Afta Bayanaka Prasetyo yang dengan kehadirannya membuat penulis menjadi semakin bersemangat untuk bisa menyelesaikan penelitian ini.

12. Kepada Ghibah sahabat-sahabat terbaikku selama masa perkuliahan terimakasih telah menjadi tempat berkeluh kesah selama masa perkuliahan Retno Pusparani, Selvi Komariyah, Restu Amalia, Putri Yulinda Sari, Ilfi Laily, Humairoh Ramadanty, Irma Majidah, Tahsya Okta, Ajeng Dwi Lestari, Dinda Mufirdah, Nabilla Kafa terimakasih karena sudah menjadi orang-orang yang selalu mendengarkan dengan ikhlas keresahan yang penulis rasakan.

13. Kepada Afiyanti Harirah dan Yuniar Pratiwi terimakasih telah ikut andil dalam menyemangati peneliti untuk bisa menyelesaikan penelitian ini.

14. Teman-teman Jurusan Pendidikan IPS angkatan 2015 atas kekompakannya selama ini, baik di kelas ataupun saat praktikum.

15. Seluruh pihak yang penulis sadari atau tidak sadari telah membantu secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis harapkan semoga segala kebaikan yang diberikan mendapatkan pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT, senantiasa selalu dilindungi oleh Allah SWT , dan penuh dalah keridhoan NYA, semoga kita semua termasuk kedalam golongan orang-orang yang beruntung.

(12)

vii

ini dapat bermanfaat, khusunya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, 15 Oktober 2019

Diamar Dwi Diyan Fitri 11150150000091

(13)

vii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING UJI REFERENSI

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB 1 ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Perumusan Masalah... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II ... 11

KAJIAN TEORI ... 11

1. Eksploitasi Anak di Bawah Umur ... 11

2. Anak Jalanan ... 15

3. Faktor Ekonomi ... 20

4. Pengemis ... 24

A. Kajian Teori ... 27

B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 32

C. Kerangka Berpikir ... 36

BAB III ... 38

METODOLOGI PENELITIAN ... 38

A. Tempat dan Waktu Penelitian... 38

(14)

viii

E. Instrumen Penelitian ... 50

F. Sumber Data ... 52

G. Teknik Analisis Data ... 53

H. Rencana Penguji Keabsahan Data ... 54

BAB IV ... 56

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Profil Kota Tua Jakarta ... 56

1. Sejarah Kota Tua Jakarta ... 56

2. Kota Tua Jakarta Sebagai Lokasi Wisata Yang Menarik ... 58

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 67

1. Hasil Observasi ... 67

a. Hasil Observasi Kota Tua Jakarta... 67

b. Observasi Perilaku Anak Jalanan yang Bekerja Sebagai Pengemis ... 72

2. Hasil Wawancara ... 78

a. Kemiskinan dan budaya kemiskinan ... 78

b. Eksploitasi Anak ... 86

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 92

1. Eksploitasi Anak Jalanan Karena Faktor Ekonomi Sebagai Pengemis di Kota Tua Jakarta ... 92

D. Keterbatasan Penelitian ... 99

BAB V ... 101

PENUTUP ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Implikasi ... 101

C. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 107

DAFTAR JURNAL ... 109

DAFTAR ARTIKEL... 110

DAFTAR SKRIPSI ... 111

DAFTAR WEB... 112

(15)

ix

LAMPIRAN OBSERVASI ... 143 LAMPIRAN DOKUMENTASI ... 162 LAMPIRAN BIOGRAFI ... 165

(16)

x

Gambar 4.1 Ikon Kota Tua…….…….………..………... 56

Gambar 4.2 Peta Wiayah Kota Tua……….…. 58

Gambar 4.3 Lokasi Sekitar Museum Fatahillah…………...……….…... 60

Gambar 4.4 Penertiban Lokasi Sekitar Stasiun Jakarta Kota…...……… 61

Gambar 4.5 Suasana Pelabuhan Sunda Kelapa………...………. 62

Gambar 4.6 Suasana Jembatan Merah………...…………...… 62

Gambar 4.7 Kepadatan Sepanjang Jalan Wisata Kota Tua...……..……….… 64

Gambar 4.8 Pertunjukan Musisi Jalanan………..………..……. 65

Gambar 4.9 Pemulung dan Pengemis………...…..………… 66

Gambar 4.10 Pos Penjaga………...… 67

Gambar 4.11 Pedagang yang ditegur Satgas………...……… 69

Gambar 4.12 Pemulung……….……….. 70

Gambar 4.13 Pos-pos Keamanan……...……….. 71

Gambar 4.14 SATPOL PP…………..……….……… 72

Gambar 4.15 Pengemis………...………… 73

Gambar 4.16 Jumlah Kemiskinan di Indonesia……….………. 92

(17)

xi

Tabel 3.3 Pedoman Observasi Anak Jalanan….………. 43

Tabel 3.4 Pedoman Wawancara Anak Jalanan..……..……… 45

Tabel 3.5 Pedoman Wawancara Satgas……...……… 48

Tabel 3.6 Pedoman Wawancara Wisatawan……… 49

(18)

xii

Lampiran Dokumentasi………...………. 161

(19)

1

Anak adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada setiap orang tua, kehadiran anak selain sebagai pelengkap kebahagiaan, juga sebagai penerus keturunan dan harapan dimasa depan. Sebagai generasi penerus bangsa, anak merupakan modal pembentuk pembangunan bangsa dimasa mendatang, oleh sebab itu anak membutuhkan motivasi, dukungan, serta didikan yang baik dari orang tuanya dan keluarganya.

Anak merupakan aset penerus bangsa, setiap anak memiliki kemampuan, kompetensi dan hak masing-masing yang harus dipenuhi. Anak- anak yang memiliki semangat tinggi merupakan bibit unggul yang dimiliki oleh suatu bangsa dan harus dijaga, karena nantinya anak-anak itu akan berperan dalam memajukan negara. Sebagian dari generasi muda, anak merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal sumber daya manusia bagi pembangunan nasional sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara Negara”. 1

Setiap anak memiliki hak yang sama yaitu hak untuk mendapatkan Pendidikan yang layak, hak untuk bermain dan hak lain yang semestinya didapatkan oleh anak seusianya, agar bibit-bibit unggul tersebut tumbuh menjadi kualitas terbaik. Anak bagian dari generasi muda yang memiliki potensi sangat besar untuk meneruskan cita-cita bangsa, dan membutuhkan dukungan, perlindungan, bimbingan, agar tumbuh menjadi pribadi unggul secara fisik dan memiliki kemampuan yang dapat menguntungkan dirinya sendiri, orang tuanya dan bangsanya.

Hak anak mendapatkan Pendidikan yang baik dan layak, berdasarkan hadist yang berbunyi: “Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk menghadapi zaman yang berbeda dengan zaman mu”.2 Setiap anak

1 Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34

2 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.19

(20)

memiliki potensi dan kemampuan berbeda-beda, akan tetapi mereka memiliki hak sama yang harus kita penuhi sebagai orang tua untuk dapat mewujudkan apa yang telah menjadi cita-citanya, serta juga sebagai wujud kasih sayang yang diberikan orang tua terhadap anaknya.

Definisi fungsional keluarga menurut Koerner dan Fitzpatrick, didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi- fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu.

Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.3 Dari definisi tersebut tergambar jelas bahwa peran keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan dan hak-hak anak sangat berperan penting sebagai fasilitator pertama yang nantinya akan membuat anak terbekali secara mentalnya dengan baik, sementara itu akhir-akhir ini semakin banyak orang tua yang kurang optimal dalam menjalankan tugasnya sebagai orang tua, terbukti dengan banyaknya jumlah anak terlantar yang ada di Indonesia.

Anak-anak yang seharusnya mendapatkan hak-haknya dan terpenuhi kebutuhannya menjadi terabaikan, harus bisa mengurus dirinya sendiri bahkan harus bisa menghasilkan uang untuk membantu perekonomian dan bahkan untuk menopang kebutuhan keluarganya. Padahal seharusnya salah satu fungsi keluarga merupakan suatu dukungan ekonomi, yang mana keluarga seharusnya menyediakan tempat berlindung, makanan dan jaminan kehidupan.4

Fungsi keluarga sebagai tempat berlindung, belajar dan pemenuhan kebutuhan tidak bisa lagi dirasakan oleh sebagian dari anak-anak yang terampas hak-haknya, anak-anak yang tereksploitasi, yang sengaja dipekerjakan oleh orang tuanya karena faktor kemiskinan, menjadikan anak- anak mereka yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dijadikan alat untuk mencari uang, dengan alibi membatu mencari uang untuk keberlangsungan kehidupan keluarganya dan secara sadar sang orangtua telah merampas hak anaknya yang padahal seharusnya wajib kita lindungi.

3 Sri Lestari, Psikologi Keluarga, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h.5.

4 Ibid., h.22.

(21)

Anak-anak sekarang kurang mendapatkan perhatian dari pihak orang tua, sebagai contoh, seorang anak sebenarnya tugas utamanya adalah belajar di sekolah untuk mendapat ilmu, tapi dipekerjakan oleh orang tuanya untuk membantu melakukan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, hal tersebut merupakan salah satu contoh dari eksploitasi anak yang dilakukan oleh pihak orang tua terhadap anak sekarang sehingga mereka tidak lagi mendapatkan haknya dengan baik dan benar, sementara sudah tertulis dengan sangat jelas dalam surat At Tahrim ayat 6 yang berbunyi:

ةَكِئ َلََم اَهْيَلَع ُةَراَجِحْلاَو ُساَّنلا اَهُدىُقَو اًراَن ْمُكيِلْهَأَو ْمُكَسُفْنَأ اىُق اىُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأ اَي ٌ َلَِِ

َ َّاللَّ َنىُصْعَي َلَ داَدِش

َنوُزَمْؤُي اَم َنىُلَعْفَيَو ْمُهَزَمَأ اَم

Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.5

Dalam ayat tersebut tergambar jelas bahwa seharusnya setiap keluarga seharusnya saling melindungi, juga sebagai orang tua memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anaknya, memberikan apa yang dibutuhkan oleh anaknya, termasuk kasih sayang, didikan dan perlindungan.

”Mengingat, bahwa kebutuhan akan perlindungan khusus ini telah tercantum di dalam Deklarasi Jenewa tentang Hak Anak-Anak tahun 1924 dan telah diakui dalam Deklarasi sedunia tentang Hak Asasi Manusia serta undang-undang yang dibuat oleh badan-badan khusus dan organisasi- organisasi yang memberi perhatian bagi kesejahteraan anak-anak.”6 Orang tua, keluarga, dan Lembaga perlindungan anak, dan semua orang mempunyai kewajiban untuk melindungi anak-anak dari kasus eksploitasi yang sedang marak belakangan ini. Penjualanan anak sebagai PSK, penjualan organ tubuh, bahkan membiarkan anak untuk bebas diluaran menjadi anak jalanan seperti pengamen, pedagang asongan, pengemis, jika dengan hal tersebut anak-anak

5 Al- Quran Surat At-Tahrim ayat 6

6 UU RI no.3 1997 Undang-undang Peradilan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika,1997), h. 64

(22)

menjadi terbatasi, tidak ada waktu untuk memperoleh pelajaran, tidak mendapatkan kasih sayang, tidak ada waktu untuk bermain, merupakan suatu tindakan eksploitasi.

“Anak jalanan menurut Dinas Kesejahteraan Sosial adalah anak yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan waktunya 8-24 jam di jalan dengan cara mengamen, mengemis dan menggelandang untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya.”7 Banyaknya anak jalanan di Indonesia tidak dapat dipungkiri lagi, fenomena anak jalanan merupakan masalah sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Hal ini disebabkan karena dengan adanya anak-anak yang bebas di jalanan, membuat mereka sangat rentan dengan situasi buruk, perlakuan yang tidak baik, eksploitasi secara fisik dan psikis, tindakan kriminal, penyalahgunaan obat terlarang, dan berpengaruh kepada kesehatan mental, dan tumbuh kembang mereka, anak-anak yang tumbuh dijalanan tidak mendapatkan kehidupan yang layak, jauh dari kata pantas.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 20178, pekerja anak usia 10-17 tahun yang bekerja pada tahun 2016-2017 mengalami sebuah kenaikan, berdasarkan survei pada tahun 2016 berjumlah 6,99 persen,sedangkan pada tahun 2017 mengalami kenaikan sebanyak 0,24 persen, menjadi 7,23 persen dari sebelumnya berjumlah 6,99 persen seperti yang terlihat pada Gambar 1.1 Peningkatan angka pekerja anak di Indonesia ini tentunya harus mendapatkan perhatian khusus dari berbagai macam pihak, sebab pekerja anak di Indonesia bukan lagi hal yang bisa diabaikan, hal ini sudah menjadi polemik dari tahun ketahun dan terus mengalami peningkatan jumlah.

7 Ninik Yuniarti, Eksploitasi anak jalanan Sebagai Pengamen dan Pengemis di Terminal Tidar Oleh Keluarga, Jurnal UNNES, 2012, h. 211

8 Profil Anak Indonesia 2018, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), h. 130

(23)

Gambar 1.1 Presentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Aktivitas Bekerja 2016-2017

Gambar 1.2. Perkembangan Presentase Anak Usia 10-17 Anak Yang Bekerja 2016-2017

Perkembangan persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja selama periode 2012-2017 seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2, memperlihatkan persentase anak yang bekerja mengalami penurunan selama periode 2012-2015, dari 9,43 persen di tahun 2012, kemudian terus menurun menjadi 5,99 pada tahun 2015. Namun pada tahun 2016 persentase anak yang bekerja meningkat kembali menjadi 6,99 persen, dan di tahun 2017 menjadi 7,23 persen.9 Data ini menggambarkan bahwa dari tahun 2012 angka pekerja anak terus menurun hingga sampai ke tahun 2015, namun pada tahun 2016 terjadi kenaikan angka anak yang bekerja sebanyak 1% dari tahun 2015, dan

9 Profil Anak Indonesia 2018, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), h. 130

(24)

terus bertambah sampai tahun 2017. Hal ini menjadi PR untuk pemerintah serta orang tua untuk menekan angka kenaikan pekerja anak agar angka pekerja anak tidak semakin naik tiap tahunnya.

Rendahnya perekonomian di Indonesia sekarang ini menyebabkan banyak sekali kasus penelantaran anak dan tindakan eksploitasi selalu erat kaitannya dengan kemiskinan, seolah-olah kemiskinan merupakan suatu budaya yang memaksa sebagian oknum untuk sengaja mempekerjakan anak- anak di bawah umur.

Oscar Lewis memperlihatkan bahwa kemiskinan bukan semata- mata berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan,(psikologi) dan memberi corak sendiri pada kebudayaan yang seperti itu yang diwariskan dari generasi orang tua kepada generasi anak-anak dan seterusnya melalui proses sosialisasi, sehingga kalau dilihat dari perspektif ini, kebudayaan kemiskinan itu tetap lestari.10

Beliau secara mudah memperlihatkan kepada kita, bahwa kemiskinan sudah melekat menjadi sebuah kebudayaan, yang nantinya akan diwariskan oleh generasi selanjutnya, seolah-olah budaya kemiskinan sudah mandarah daging dalam kehidupan, yang secara tidak sadar mungkin, anak dipekerjakan menjadi tereksploitasi, terampas hak-haknya karena kebudayaan kemiskinan tersebut.

Mereka yang memanfaatkan kenyataan bahwa mereka adalah sebagai orang miskin, tidak dihormati dan tidak berkuasa. Biasanya mereka ini menentang nasib miskin yang melekat pada diri mereka dengan cara berusaha untuk mendapat kedudukan yang lebih tinggi dan lebih terhormat dengan cara menjadi kaya, karena kedudukan-kedudukan sosial yang lebih terhormat dapat tercapai dengan adanya uang yang mereka miliki. Dalam keluarga miskin, anak merupakan aset dari keluarga tersebut yang mana nantinya jika keluarga dalam keadaan terdesak ekonomi, maka seluruh anggota keluarga termasuk anak akan dipekerjakan sebagai upaya mencari

10 Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h.

xviii

(25)

jalan keluar agar mendapatkan kedudukan hidup yang lebih baik.11 Orang- orang yang bermasalah dengan status perekonomian dalam hal ini kemiskinan, biasanya lebih cenderung untuk mengeksploitasi orang lain, dalam kasus ini adalah anak-anak yang menjadi korban eksploitasi yang sengaja dipekerjakan untuk bisa membantu perekonomian.

11 Beta S Iryani, Priyarsono, “Eksploitasi terhadap Anak yang Bekerja di Indonesia”, Jurnal, Vol.13, No.2, 2013

(26)

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan penelitian yang penulis ajukan ini dapat diidentifikasi permasalahannya sebagai berikut:

1. Eksploitasi terhadap anak-anak di bawah umur 17 tahun yang semakin memprihatinkan

2. Faktor kemiskinan sebagai pemicu tindakan eksploitasi anak yang dilakukan oleh orang tua

3. Hak-hak anak yang terabaikan dan dirampas oleh orang tua dan orang dewasa

4. Fenomena anak jalanan dibawah 17 tahun yang menjadi seorang pengemis di Kota Tua Jakarta

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, maka penelitian ini dibatasi pada hal mengenai tindakan eksploitasi sebagai pengemis yang dilakukan oleh orang tua atau orang dewasa terhadap anak karena faktor kemiskinan dan kurangnya pengetahuan orang tua atau orang dewasa mengenai hak-hak yang dimiliki oleh anak.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dirumuskan sebuah masalah yaitu: Bagaimana Eksploitasi Anak Jalanan Karena Faktor Ekonomi Sebagai Pengemis di Kota Tua Jakarta?

E. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui Eksploitasi Anak Jalanan Karena Faktor Ekonomi Sebagai Pengemis di Kota Tua Jakarta.

F. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

a. Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan program Strata 1

(27)

b. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan edukasi kepada diri sendiri maupun pembaca mengenai tindakan eksploitasi yang dihadapi oleh anak-anak

c. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran bahwa kemiskinan meurupakan salah satu faktor terbesar yang membuat terjadinya tindakan eksploitasi

2. Bagi Orang Tua

a. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan edukasi terhadap orang tua mengenai eksploitasi anak

b. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan peringatan kepada orang tua untuk bisa lebih memperhatikan anak-anaknya agar terhindar dari eksploitasi

c. Penelitian ini bertujuan agar orang tua bisa lebih berhati-hati dalam memperlakukan anaknya yang masih di bawah umur, karena anak-anak di bawah umur 18 tahun karena mereka memiliki perlindungan yang tercatat dalam UU Perlindungan anak

3. Bagi pembaca

a. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai eksploitasi anak

b. Penelitian ini bertujuan untuk mengajak para pembaca untuk lebih memperhatikan keadan di sekitarnya, tentang fenomena eksploitasi anak yang mungkin terjadi di sekitar

c. Penelitian ini bertujuan untuk mengajak para pembaca agar bisa ikut serta melindungi dan memberikan hak-hak yang dimiliki oleh setiap anak

4. Bagi Pemerintah

a. Penelitian ini bertujuan untuk menyadarkan pemerintah bahwa di Indonesia khususnya didaerah Kota Tua Jakarta masih banyak sekali terjadi kasus eksploitasi anak

b. Penelitian ini bertujuan untuk mendorong pemerintah agar segera berupaya menyelesaikan permasalahan eksploitasi pekerja anak

(28)

c. Penelitian ini bertujuan agar pemerintah segera mengambil tindakan untuk pencegahan terjadinya kasus eksploitasi pekerja anak

d. Penelitian ini bertujuan agar pemerintah dapat memberikan solusi terkait masalah kemiskinan yang mendorong terjadinya tindakan eksploitasi pekerja anak

5. Bagi LSM

a. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai kasus eksploitasi anak yang semakin marak terjadi

b. Penelitian ini bertujuan agar LSM lebih memperhatikan keadaan masyarakat agar ekploitasi pekerja anak dapat segera tertangani dengan baik

6. Bagi Kepolisian

a. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pihak kepolisian bahwa kasus eksploitasi anak butuh untuk ditindak lanjuti b. Penelitian ini bertujuan agar pihak kepolisian bisa bekerja sama

dengan pihak-pihak lain untuk menekan angka eksploitasi pekerja anak.

(29)

11

Ekploitasi yang terjadi belakangan ini menjadi sebuah polemik yang perlu diperhatikan, anak-anak yang lemah sering kali menjadi korban eksploitasi karena ketidak berdayaannya mereka. Eksploitasi anak mengacu suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau oknum yang mana tindakan tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari korban. Tindakan eksploitasi kepada anak di bawah umur membuat terampasnya hak-hak anak yang mereka miliki, dimana seharusnya seorang anak bisa tumbuh dan berkembang dengan segala dukungan dari berbagai pihak tanpa adanya ancaman mengenai keselamatan dan tindakan eksploitasi.

a. Eksploitasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian eksploitasi adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, penghisapan, pemerasan atas diri orang lain yang merupakan tindakan tidak terpuji.1 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, eksploitasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan tanpa persetujuan suatu pihak yang dirugikan karena diperlakukan secara tidak baik untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Sedangkan menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007 eksploitasi didefinisikan sebagai:

Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau pemanfaatan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun in-materil.2

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia online, https://kbbi.web.id/eksploitasi , diakses pada tanggal 8 Oktober 2019, Pukul 10.27 WIB

2 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 (7)

(30)

Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa tindakan eksploitasi adalah segala suatu tindakan yang dilakukan dengan cara memaksa, tanpa persetujuan korban untuk mendapatkan keuntungan pribadi tanpa melihat sisi korban yang dirugikan.

b. Eksploitasi Anak

Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga ataupun masyarakat. Memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial ataupun politik tanpa memperhatikan hak- hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis & status sosialnya.

Tindakan eksploitasi anak merupakan bukti bahwa adanya tindakan yang merugikan anak. Dalam hal ini anak-anak yang tereksploitasi berada dalam posisi tidak berdaya, menghadapi resiko kecelakaan dan gangguan kesehatan, baik secara fisik maupun secara mental. Kecenderungan eksploitasi terhadap anak bisa jadi berkaitan secara signifikan dengan keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi karena gaya hidup matrealistis yang semakin meluas.3

Eksploitasi yang dilakukan kepada anak merupakan tindakan yang dilakukan oleh orang lain yang tidak bertanggung jawab tanpa meminta persetujuan dari anak yang bersangkutan sehingga terampaslah hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, dalam kasus eksploitasi anak juga dihadapkan pada suatu keadaan yang membuat mereka tidak berdaya dan mengharuskan mereka untuk menerima dan menjalaninya, mereka dihadapkan dengan berbagai macam resiko dan ancaman buruk yang sewaktu-waktu dapat menimpa mereka, hal tersebut dapat mempengaruhi mental dan kondisi psikis yang dimiliki anak, sehingga dalam pertumbuhan dan perkembangan anak tidak bisa terjadi secara optimal, waktu yang seharusnya dilakukan oleh anak-anak untuk bermain

3 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 132-135

(31)

dan belajar justru digunakaan untuk suatu hal yang menguntungkan bagi oknum-oknum yang mengeksploitasi secara materil, tanpa memperhatikan tumbuh kembang anak.

Tindakan Eksploitasi juga menyebabkan kurangnya kasih sayang yang seharusnya didapatkan oleh anak dari orang tuanya. Anak-anak yang tereksploitasi waktu dan tenaganya tidak akan mendapatkan kasih sayang yang cukup dari keluarganya karena waktunya dihabiskan untuk mencari uang, bahkan hak untuk mendapatkan pendidikan yang dimiliki oleh anak juga terlupakan begitu saja, karena waktu yang mereka punya dihabiskan untuk mencari uang sehingga tidak terpenuhinya pendidikan yang mana hal tersebut sangat penting untuk masa depan seora ng anak.

c. Jenis-jenis Eksploitasi Anak

Eksploitasi terhadap anak memiliki jenis yang beragam, terdapat 3 jenis eksploitasi terhadap anak bila ditinjau dari bentuk kegiatan atau pekerjaan, yaitu:

1. Eksploitasi Seks Komersial Anak

ESKA (Eksploitasi Seks Komersial Anak) merupakan tindakan sewenang-wenang dimana anak diperlakukan sebagai ojek seksual ataupun sebagai objek komersial.

2. Eksploitasi Ekonomi

Eksploitasi ekonomi adalah suatu pemanfaatan yang dilakukan secara berlebihan dan sewenang-wenang kepada anak untuk kepentingan ekonomi semata tanpa memperhatikan kesejahteraan kepada anak.

3. Perdagangan Perempuan dan Anak

Perdagangan perempuan dan anak adalah tindakan mengirim, memindahkan, menampung tenaga kerja perempuan dan anak-anak yang dilakukan dengan cara pemaksaan ancaman dan kekerasan dengan tujuan untuk memeras tenaga korban. Anak-anak dan

(32)

perempuan adalah pihak yang paling rentan menjadi korban penjualan dan eksploitasi.4

d. Batasan Usia

Mengenai batasan usia pekerja anak, sebetulnya sudah dijelaskan oleh ILO (Interntional Labour Organisation) mengenai Batasan di usia berapa anak diperbolehkan untuk bekerja:

ILO (Interntional Labour Organisation) convention No.138 of 1973, has as its objective the elimination of child labour. it sets at 15 the minimum age for enty into employment or wrok (or the age of compilation of compulsory schooling, where this higher); there is a proviso that some states may begin by setting a minimum age of 14 with a view to raising it once economic circumstances and the development of educational facilities allow. however, the minimum age for any type of work which is likely to jeopardize the health, safety or morals of young people is set at 18. at present, for hazardous work; but not all conform with the 1073 ILO standards.5 Konvensi Interntional Labour Organisation (ILO) No.138 tahun 1973 yang bertujuan untuk menghapuskan pekerja anak, menetapkan minimum usia anak yang boleh bekerja pada kisaran usia 14-15 tahun untuk meningkatkan perekonomiannya, namun Interntional Labour Organisation (ILO) menyatakan bahwa untuk keselamatan anak-anak, usia minimum untuk jenis pekerjaan yang membahayakan ditetapkan pada usia 18 tahun keatas, namun tidak semua negara mengikuti dan setuju dengan ketetapan standar yang Interntional Labour Organisation (ILO) buat.

Sama halnya dengan yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pasal 69 bahwa setiap anak yang berusia 13-15 tahun boleh bekerja pada kategori pekerjaan yang ringan, dengan beberapa syarat diantaranya dengan izin dari orang tua, tidak mengganggu waktu

4 Davit Setiawan, “Temuan dan Rekomendasi KPAI Tentang Perlindungan Anak di Bidang Perdagangan Anak (Trafficking) dan Eksploitasi Terhadap Anak”, Artikel

https://www.kpai.go.id/artikel/temuan-dan-rekomendasi-kpai-tentang-perlindungan-anak-di- bidang-perdagangan-anak-trafficking-dan-eksploitasi-terhadap-anak , diakses pada tanggal 7 Oktober 201, pukul 12.09 WIB

5 United Nations Children‟s Fund (UNICEF), Street And Working Children, (Italy: Arti Grafiche TICCI 1993), h.8

(33)

sekolah, bekerja tidak lebih dari 3 jam per hari, dan tidak mengganggu pertumbuhan fisik dan mentalnya.6

Seperti yang sudah tercantum pada Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pasal 69 tentang pekerja anak, setiap anak diatas usia 13-15 tahun boleh bekerja pada sektor pekerjaan yang aman dan tidak membahayakan, dengan pantauan dari orang tua, serta tidak mengganggu waktu sekolahnya, dilakukan maksimal selama 3 jam, dan tidak membahayakan pertumbuhan mental anak, pekerjaan yang dilakukan oleh anak harus menyenangkan dan tidak memberatkan apalagi sampai terjadi adanya pemaksaan terhadap anak dan sampai merampas hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh anak.

2. Anak Jalanan a. Anak

Anak merupakan keturunan dalam keluarga yang nantinya akan meneruskan silsilah dalam suatu keluarga, dalam pengertiannya, anak memiliki kategori penggolongan usia yang berbeda-beda tergantung kepada prioritasnya, seperti definisi yang dijelaskan oleh WHO (World Health Organization), batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Sedangkan berdasarkan Konvensi Hak- hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.7

Namun hal yang sama juga dinyatakan dalam Undang-Undang No.35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

6 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pasal 69,

https://pih.kemlu.go.id/files/UU_%20tentang%20ketenagakerjaan%20no%2013%20th%202003.p df , diakses pada tanggal 8 Oktober 2019, Pukul 10.53 WIB

7 Infodatin, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014, h.2

(34)

kandungan.8 Berbeda lagi dengan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, dapat dikatakan anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 butir 2). Kemudian dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa membatasi usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian sebelum mencapai 18 tahun (Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1). Sedangkan dalam undang- undang pemilihan umum yang dikatakan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun.9

Mengenai sampai usia berapa seseorang masih dapat dikatakan dalam kategori anak, ternyata masih terdapat ketidak seragaman tentang batasan usianya, hal ini dilatar belakangi oleh maksud dan tujuan masing- masing undang-undang itu sendiri. Namun tetap saja setiap kategori yang dikatakan dalam golongan anak seharusnya mendapatkan hak-haknya secara menyeluruh agar tumbuh kembangnya bisa berjalan dengan optimal.

b. Anak Jalanan

Anak Jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya dijalanan untuk bekerja dan bermain. Anak jalanan yang tinggal di jalanan disebabkan karena dicampakkan atau tercampakkan dari keluarga mereka yang sudah tidak sanggup menanggung beban karena terhimpitnya perekonomian keluarga mereka dan kehancuran keluarganya.

8 Undang-undang Republik Indonesia No.32 tahun 2014

9 Rahman, ”Implementasi Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang N0. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Perkara Tindak Pidana Perdagangan Anak (Child Trafficking)”, Artikel

https://www.google.com/search?q=Rahman%2C+%E2%80%9DImplementasi+Undang- Undang+No.+35+Tahun+2014+Tentang+Perubahan+Atas+Undang-

Undang+N0.+23+Tahun+2002+Tentang+Perlindungan+Anak+Terhadap+Perkara+Tindak+Pidana +Perdagangan+Anak+(Child+Trafficking)&oq=Rahman%2C+%E2%80%9DImplementasi+Unda ng-Undang+No.+35+Tahun+2014+Tentang+Perubahan+Atas+Undang-

Undang+N0.+23+Tahun+2002+Tentang+Perlindungan+Anak+Terhadap+Perkara+Tindak+Pidana +Perdagangan+Anak+(Child+Trafficking)&aqs=chrome..69i57.551864j0j9&sourceid=chrome&ie

=UTF-8# , diakses pada tanggal 30 September 2019, Pukul 21.01 WIB

(35)

Pada umumnya anak jalanan bekerja sebagai pedagang asongan, pemulung, tukang semir, dan pelacur anak, namun juga tidak jarang anak-anak jalan yang berkeliaran menjadi pencuri/copet untuk makan sehari-hari. Resiko yang dihadapi oleh anak jalanan sangatlah besar, kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan lain bisa saja terjadi karena lingkungan yang tidak aman dan tidak adanya pengawasan dari orang tua. Sedangkan pengertian anak jalanan menurut UNICEF adalah:

The most common definition of a street child or youth is “any girl or boy who has not reached adulthood, for whom the street (in the broadest sense of the word, including unoccupied dwellings, wasteland, etc.) has become her or his habitual abode and/or sources of livelihood, and who is inadequately protected, supervised or directed by responsible adults”10

UNICEF secara khusus mendefinisikan bahwa anak jalanan merupakan setiap anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang hampir mencapai usia dewasa dan berkeliaran dan tinggal di jalanan, mencari penghasilan sendiri dan tidak mendapatkan perlindungan atau pengawasan dari orang tua yang bertanggung jawab.

Anak jalanan, anak gelandangan, atau kadang disebut juga sebagai anak mandiri, adalah anak-anak yang tersisih dan terasingkan dari perlakuan kasih sayang orang tua serta keluarganya karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan jalanan kota yang keras dan bahkan sangat tidak bersahabat.

Anak jalanan harus bertahan hidup dengan cara-cara yang kurang bisa diterima oleh masyarakat umum, anak jalanan menghabiskan banyak waktunya berada di jalanan untuk sekedar mencari makan atau membantu orang tuanya. Mereka juga sering kali mendapat perlakuan

10 UNICEF, A Study on Street Children in Zimbabwe,

https://www.google.com/search?q=UNICEF%2C+A+Study+on+Street+Children+in+Zimbabwe

&oq=UNICEF%2C+A+Study+on+Street+Children+in+Zimbabwe&aqs=chrome..69i57.83094j0 j9&sourceid=chrome&ie=UTF-8# , diakses pada tanggal 30 September Tahun 2019, Pukul 21.04 WIB

(36)

yang tidak baik, mereka dianggap sebagai pengganggu dan dianggap mengotori lingkungan oleh sebagian masyarakat umum.

Dikatakan marginal karena anak jalanan biasanya melakukan pekerjaan yang kurang dihargai seperti mengemis, mengamen, berdagang asongan dan lainnya. Anak jalanan sangat rentan dengan adanya resiko yang sewaktu-waktu dapat menimpa mereka, dengan jam kerja yang tidak menentu juga lingkungan yang tidak aman mereka cenderung menjadi objek perlakuan yang tidak baik dan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan mental mereka.

Anak jalanan cukup beragam dan dapat dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungan dengan orang tuanya, kegiatan yang mereka lakukan di jalan dan juga berdasarkan jenis kelaminnya. Anak jalanan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Children On The Street, yaitu anak-anak yang bekerja di jalanan namun masih memiliki hubungan dengan orang tuanya, fungsi anak jalanan dalam kategori ini adalah untuk membantu perekonomian keluarganya, karena kemiskinan yang tidak dapat terselesaikan oleh orang tuanya.

2. Children Of The Street, yaitu anak-anak yang berada dijalanan karena meninggalkan rumah yang disebabkan oleh suatu hal, anak jalanan pada kategori ini sangat rentan dengan melakukan perbuatan yang salah secara emosional, fisik dan seksual yang berdampak buruk bagi diri mereka sendiri.

3. Children From Families Of The Street, anak jalanan pada kategori ini merupakan anak jalan dimana mereka berasal dari keluarga yang hidupnya juga di jalanan, hidupnya berpindah- pindah dari satu tempat ke tempat lain sejak masih dalam kandungan, biasanya anak jalanan pada kategori ini banyak

(37)

dijumpai diberbagai kolong jembatan dan rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api.11

Tiga bagian kelompok anak jalanan tersebut menggambarkan pengelompokan anak jalanan berdasarkan dari macam-macam kategori, anak yang masih memilki hubungan yang kuat dengan keluarganya dan masih memiliki rumah bisa dikatakan sebagai anak jalan apabila mereka menghabiskan sebagian waktunya untuk melakukan aktivitas dijalanan untuk menghasilkan uang. Lalu anak yang meninggalkan rumah karena suatu alasan dan memilih untuk hidup di jalanan bisa dikatakan sebagai anak jalanan karena kehidupannya dihabiskan di jalanan sebagai tempat tinggal dan menjadikan jalanan sebagai wadah untuk dapat menghasilkan uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makan, minum dan lain-lain. Ada juga anak-anak yang memang terlahir dari keluarga yang hidup dijalanan (bertempat tinggal di jalanan berpindah-pindah) dikatakan sebagai anak jalanan karena mereka menghabiskan seluruh waktunya di jalanan dan menjadikan jalanan sebagai tempat tinggal mereka.

Kata „jalanan‟ yang mereka kembangkan mempengaruhi perilaku mereka terkait dengan kegiatan tidur dan mandi. Bagi mereka tidak mandi dan tidur sembarangan adalah suatu hal yang wajar. Bahkan terkadang dapat menguntungkan mereka karena menimbulkan rasa iba dari masyarakat yang melihatnya, terutama jika mereka masih anak-anak di bawah umur.12 Anak-anak yang sudah memiliki cap sebagai anak jalanan biasanya tidak memperdulikan status mereka, dengan mereka hidup dijalanan dan menghabiskan sebagian waktunya dijalan akan membuat orang sekeliling yang melihatnya merasa iba, mereka menanggap hal tersebut sebagai suatu hal yang biasa bahkan bisa sangat menguntungkan bagi mereka, karena semakin iba seseorang melihat

11 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 200-201

12 Isbandi Rukminto Adi, Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), h.11

(38)

mereka, maka mereka akan semakin banyak mendapat keuntungan, mendapatkan uang karena belas kasihan, mendapatkan makan dan lain- lain.

3. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan suatu masalah yang dihadapi oleh seluruh manusia, faktor ekonomi mengacu pada suatu permasalahan yang cukup berat bagi sebagian orang yang sering disebut dengan kemiskinan.

a. Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Kemiskinan sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dimana masalah kemiskinan sudah terjadi sejak masa lampau, dan permasalahannya dapat melibatkan berbagai segi kehidupan yang dijalani oleh manusia. Dengan kata lain bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang sifatnya global, artinya masalah kemiskinan sudah menjadi pusat perhatian di seluruh dunia, dan masalah kemiskinan selalu ada di semua negara, walaupun dampak dari kemiskinan itu sendiri berbeda-beda.13

Kemiskinan tidak lain merupakan suatu fenomena yang terjadi dan selalu dihadapi oleh manusia, kemiskinan ada sejak adanya kehidupan itu sendiri, dimana sejak dulu bahkan sejak zaman penjajahan manusia akrab sekali dengan kata kemiskinan, sebagian masyarakat dihadapkan oleh kemiskinan yang membuat mereka mau tidak mau harus bekerja ekstra agar mendapatkan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Masalah kemiskinan bukan lagi suatu hal yang tabu, bahkan fenomena kemiskinan merupakan polemik yang dihadapi di beberapa negara berkembang, dengan kata lain bahwa kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang bersifat mendunia.

Kemiskinan merupakan suatu fenomena atau kejadian nyata yang terjadi pada sebagian masyarakat. Tolak ukur suatu kemiskinan yaitu

13 Nunung Nurwati, “Kemiskinan: Model Pengukuran, Permasalahan dan Alternatif Kebijakan”, Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 10, No. 1, Januari 2008, h.3

(39)

ketika hasil yang mereka dapat tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka.

Oscar Lewis dalam teori culture of poverty menyatakan:

There are many poor people in the world. Indeed, the poverty of the two-thirds of the world's population who live in the underdeveloped countries has been rightly called "the problem of problems." But not all of them by any means live in the culture of poverty.14

Lewis menyatakan bahwa banyak sekali orang miskin di dunia, namun tidak semua orang miskin memiliki kebudayaan kemiskinan itu sendiri. Pada dasarnya budaya kemiskinan lebih berbahaya dari pada kemiskinan itu sendiri, banyak orang kaya yang terjerat dalam kebudayaan kemiskinan. Lewis menyatakan bahwa orang-orang yang terjerat dalam kebudayaan kemiskinan mengalami kondisi dimana mereka tidak bisa mempergunakan uang mereka dengan baik, mereka mendapatkan penghasilan yang tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sebab dari mental kemiskinan itu sendiri, dengan kata lain kemiskinan merupakan suatu kondisi dan pola pikir yang dihadapkan pada manusia,

Pada dasarnya kemiskinan merupakan suatu ketidakmampuan seseorang dalam memuaskan kebutuhannya, sumber daya material yang dimiliki benar-benar terbatas dan tidak bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya.,15 Lewis mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan adalah keadaan dimana seseorang tidak mampu untuk memuaskan kebutuhannya dan materi yang dimilikinya hanya untuk kebutuhannya saja tanpa bisa menyejahterakan kehidupannya.

Berbeda halnya dengan yang dijelaskan oleh Selo Soemardjan, mengenai kemiskinan Selo Seomardjan mendefinisikan “Kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat ini memungkinkan

14 Oscar Lewis, The Culture of Poverty, Jurnal, Vol.215 No.4, 1966

https://www.google.com/search?q=culture+of+property+oleh+oscar+lewis&oq=culture+of+proper ty+oleh+oscar+lewis&aqs=chrome..69i57.11819j0j9&sourceid=chrome&ie=UTF-8# diakses pada tanggal 30 September 2019, Pukul 21.28 WIB

15 Bambang Rustanto, Menangani Kemiskinan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), h. 34

(40)

golongan masyarakat ini tidak ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.”16 Secara teoritis, kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial yang berlaku sedemikian rupa sehingga keadaan kelompok yang termasuk golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah hidupnya. Struktur sosial telah mengurung dan mengekang mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun temurun selama bertahun-tahun.

Berbeda dengan kemiskinan struktural yang dinyatakan oleh Selo Soemardjan dimana kemiskinan terjadi karena adanya struktur dalam masyarakat yang ada sehingga orang miskin tidak mampu untuk merubah hidupnya, kemiskinan yang dinyatakan oleh Baswir dan Sumodiningrat, secara sosio ekonomis, terbagi menjadi dua bentuk kemiskinan, yaitu:

1. Kemiskinan Absolut adalah kemiskinan di mana orang-orang yang dikategorikan miskin memiliki pendapatan rendah atau dibawah garis kemiskinan, atau bisa dikatakan bahwa jumlah pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya.

2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat dengan tingkat lainnya, seperti seseorang di lingkungan A dinilai sebagai seorang yang paling kaya, namun di lingkungan B orang tersebut bisa tergolong dalam orang miskin.17

Baswir dan Sumodiningrat sepakat bahwa kemiskinan yang sifatnya absolut memang terjadi pada orang-orang yang memiliki penghasilan kecil dan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan pokoknya. Sedangkan kemiskinan relatif bisa dilihat pada golongan orang-

16 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010), h. 803

17 Ibid., h.795-796

(41)

orang tertentu yang memiliki standar hidup yang berbeda, kemiskinan seseorang disuatu wilayah tidak dapat dijadikan sebagai suatu acuan sebab bisa jadi orang yang dikatakan kaya pada suatu daerah, bisa menjadi paling miskin di daerah lain.

Sedangkan menurut Ali Yafie berpendapat, miskin adalah “Barang siapa yang memiliki harta benda atau mata pencaharian tetap, yang mana salah satunya atau kedua-duanya hanya menutupi setengah lebih sedikit dari kebutuhannya.”18 Ali Yafie menyatakan bahwa apabila seseorang hanya bisa memenuhi seperempat atau setengah dari kebutuhan hidupnya maka orang tersebut dikatakan miskin.

Kemiskinan seringkali ditandai dengan ketidak mampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan tingginya tingkat pengangguran. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan memiliki keterbatasan akses terhadap kegiatan ekonomi sehingga akan tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi dibanding dengan mereka. Potensi dan kemampuan yang ada dalam diri seseorang mempengaruhi kegiatan ekonomi seseorang, dimana seseorang akan tertinggal secara perekonomian (miskin) apabila tidak memiliki potensi apapun yang ada di dalam diri mereka, atau potensi yang ada tidak sebanding dengan kemampuan yang dimiliki orang lain sehingga mereka tertinggal secara perekonomian. Kemiskinan diartikan sebagai “Suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.”19 Kemiskinan menurut pendapat umum dikategorikan dalam tiga unsur:

1. Kemiskinan yang disebabkan aspek badaniah, biasanya orang- orang tersebut tidak bisa berbuat maksimal sebagaimana manusia

18 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), Hal. 170

19 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Hal. 326

(42)

lainnya yang sehat jasmaniah. Karena cacat badaniah misalnya, dia lantas berbuat atau bekerja secara tidak wajar, seperti mengemis dan minta-minta, sedangkan yang menyangkut aspek mental, biasanya mereka disifati rasa malas untuk bekerja secara wajar sebagaimana mesti manusia lainnya.

2. Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam, mereka yang terkena bencana alam umumnya tidak memiliki tempat tinggal bahkan sumber daya alam yang mereka miliki pun termakan bencana alam.

3. Kemiskinan buatan disebut juga kemiskinan struktural, yang ditimbulkan oleh struktur-struktur ekonomi, sosial, dan kultur serta politik. Kemiskinan ini biasa disebut kemiskinan nasib atau dianggap sebagai takdir Tuhan.20

Kemiskinan badaniah merupakan suatu keadaan memaksa dimana seseorang yang cacat fisiknya tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa bersaing dengan yang lainnya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak. Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam merupakan suatu kondisi dimana seseorang yang tadinya bukan berada pada kategori miskin, namun aset kekayaannya hilang karena bencana alam yang menimpanya. Selanjutnya kemiskinan buatan atau kemiskinan struktural, seperti yang dinyatakan oleh Selo Seomardjan bahwa kemiskinan struktural merupakan suatu kemiskinan yang membuat orang tersebut tidak dapat memperbaiki status sosialnya karena struktur-struktur yang ada.

4. Pengemis

“Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dari meminta-minta ditempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.”21 Pengemis adalah seseorang yang mendapatkan penghasilan dengan cara meminta-minta dengan berbagai

20 Hartomo, Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 316-317

21 KepMenSos No.80/HUK/2010

(43)

macam cara untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain. Melakukan kegiatan mengemis berarti mau mengorbankan harga dirinya karena melakukan kegiatan yang dianggap sebelah mata oleh masyarakat umum.

Pengemis biasanya melakukan aktivitas perekonomian mereka hanya untuk memikirkan kebutuhannya pada hari tersebut dan bukan untuk hari selanjutnya. Pengemis dapat dikatakan cenderung mengalami keterpurukan dalam faktor ekonominya, mereka cenderung merasakan kesulitan secara materil dan minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia satu-satunya jalan yang mereka bisa lakukan adalah mengemis.22

Menurut Ali, eksistensi mengemis sudah ada sejak nenek moyang yang diturunkan secara terus-menerus dan menjadikan sebuah kebudayaan yang hingga kini masih sering dilakukan.23 Pengemis terbagi menjadi dua bagian, pertama adalah pengemis yang kekurangan secara materi, dilanda kemiskinan dan kesulitan ekonominya, sehingga jalan satu-satunya untuk mendapatkan penghasilan dengan mudah adalah dengan cara meminta- minta (mengemis). Sedangkan yang kedua adalah pengemis miskin mental, dimana pada golongan ini para pengemis yang masih tergolong mampu secara ekonominya, memilih untuk mengemis karena rasa malas untuk mendapatkan uang dari pekerjaan yang lebih pantas. Pada kategori ini pengemis yang miskin secara mental memilih untuk menghasilkan uang dari belas kasihan orang lain padahal sebenarnya mereka mampu untuk mencari pekerjaan yang lebih layak.24 Perilaku yang dilakukan pengemis

22 Riska Rahayu, “Permasalahan Sosial: Gelandangan dan Pengemis di Yogyakarta dalam Pembangunan Sosial”, Artikel, 2018

https://www.researchgate.net/publication/325284552_Permasalahan_Sosial_Gelandang_dan_Peng emis_di_Yogyakarta_dalam_Pembangunan_Sosial , diakses pada tanggal 29 Juli 2019, Pukul 18.31

23 M Ali Al Humaidy, “Pergeseran Budaya Mengemis di Masyarakat Desa Pragaan Daya Sumenep Madura”, Atikel, 2003

https://www.google.com/search?q=M+Ali+Al+Humaidy%2C+%E2%80%9CPergeseran+Budaya +Mengemis+di+Masyarakat+Desa+Pragaan+Daya+Sumenep+Madura&oq=M+Ali+Al+Humaidy

%2C+%E2%80%9CPergeseran+Budaya+Mengemis+di+Masyarakat+Desa+Pragaan+Daya+Sume nep+Madura&aqs=chrome..69i57.1037j0j9&sourceid=chrome&ie=UTF-8# , diakses pada tanggal 11 juni 2019, Pukul 11.04 WIB

24 Arzena Devita S, “Pelembagaan Perilaku Mengemis di Kampung Pengemis”, Jurnal, Vol. 4, No. 2, 2015

(44)

mencerminkan bahwa lemahnya potensi dan mental yang ada dalam diri mereka, sehingga seolah tidak ada pilihan lain, satu-satunya cara untuk mendapatkan uang adalah dengan cara mengemis.

Perilaku mengemis biasanya dilakukan bertahap, mula-mula pengemis biasanya menarik simpati orang lain dengan cara apapun, biasanya dengan penampilan fisik dan tak jarang para pengemis memanfaatkan ketidak sempurnaan fisiknya dengan tujuan agar orang lain yang melihatnya merasa iba, kemudian meningkat ke tahap dimana pengemis meminta-minta dengan cara mendesak dan memaksa agar diberikan uang, lalu tahap selanjutnya adalah tahap dimana mereka mereka meminta minta dengan cara yang mengancam dan menakut-nakuti. Raharjo menyatakan bahwa pengemis tidak selalu berpenghasilan kecil, akan memberikan penghasilan yang lumayan apabila dilakukan dengan cara yang profesional.25 Faktor penarik seseorang ingin menjadi seorang pengemis adalah:

1. Mengemis adalah pekerjaan yang mudah, hanya dengan meminta-minta dan mengandalkan belas kasihan dari orang lain, para pengemis akan dengan mudah mendapatkan uang.

2. Mengemis adalah pekerjaan fleksibel, bisa dilakukan seorang diri ataupun sekeluarga

3. Simpati calon dermawan, karena dengan ketidak berdayaan yang ditujukan oleh pengemis, para dermawan akan menunjukan simpatinya dengan memberikan uang

4. Mengemis tidak membutuhkan waktu lama, mereka hanya membutuhkan waktu 6 jam saja dalam 1 hari

25 Lita Yuniarti, “Perilaku Pengemis di Alun-Alun Kota Probolinggo”, Artikel, 2013 https://www.google.com/search?q=Lita+Yuniarti%2C+%E2%80%9CPerilaku+Pengemis+di+Alu n-

Alun+Kota+Probolinggo%E2%80%9D%2C&oq=Lita+Yuniarti%2C+%E2%80%9CPerilaku+Pen gemis+di+Alun-

Alun+Kota+Probolinggo%E2%80%9D%2C&aqs=chrome..69i57.53734j0j9&sourceid=chrome&i e=UTF-8#

(45)

5. Rata-rata penghasilan yang relatif besar, sudah menjadi rahasia umum bahwa memang kegiatan mengeis menghasilkan uang tidak sedikit.26

A. Kajian Teori

Teori merupakan sebuah konsep, asumsi dan generalisasi yang logis yang berfungsi untuk mengungkapkan, menjelaskan dan memprediksi perilaku yang memiliki keteraturan sebagai stimulan dan panduan untuk mengembangkan pengetahuan. Teori yang relevan dengan tema pembahasan dalam penelitian ini dengan menggunakan teori tindakan sosial yang dikemukakan oleh Max Weber.

Max Weber mengatakan, individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang kreatif dan realitas sosial bukan merupakan alat yang statis dari pada paksaan fakta sosial. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma, kebiasaan, nilai, dan sebagainya yang tercakup di dalam konsep fakta sosial.

Walaupun pada akhirnya Weber mengakui bahwa dalam masyarakat terdapat struktur sosial dan pranata sosial. Dikatakan bahwa struktur sosial dan pranata sosial merupakan dua konsep yang saling berkaitan dalam membentuk tindakan sosial.27

Dalam teori tersebut, Weber mengatakan bahwa manusia yang berada di dalam suatu kelompok masyarakat merupakan peniru yang kreatif dan tindakan manusia tidak semuanya dilakukan berdasarkan pada norma yang ada, manusia bersikap tidak selalu bertumpu pada nilai-nilai di dalam konsep fakta sosial (kesadaran dan representasi yang berkaitan dengan cara bertindak).

Dalam hal ini cara bertindak seseorang dijelaskan oleh Weber bahwa tindakan sosial merupakan suatu perilaku manusia yang memiliki arti bagi dirinya sendiiri dan orang lain. “Tindakan sosial merupakan suatu tindakan individu, yang memiliki arti atau makna (meaning) subjektif bagi dirinya dan dikaitkan dengan orang lain."28 Menurut Weber seseorang tidak mungkin

26 Putu Indra, I Gede Astra dan Aprilia R, “Determinasi Keberadaan Pengemis Perkotaan di Kecamatan Denpasar Barat”, Jurnal, Vol.6, No.1, 2017

27 I.B Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2013), h.98

28 Damsar, Pengantar Teori Sosiologi, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015), h.116

(46)

bertindak tanpa adanya makna dari tindakannya tersebut, yang juga ditujukan untuk orang lain, seperti ketika seseorang menyumbangkan pakaiannya untuk korban bencana alam, hal tersebut merupakan suatu tindakan sosial dimana tindakan tersebut memiliki arti yang bertujuan untuk membantu orang-orang korban bencana alam.

Weber menemukan bahwa tindakan sosial tidak selamanya memiliki dimensi rasional tetapi juga terdapat berbagai tindakan non-rasional yang dilakukan oleh seseorang, termasuk dalam tindakan orang tersebut yang berkaitan dengan tujuan suatu tindakan orang lain dalam kaitannya dengan berbagai aspek dari kehidupan, seperti politik, sosial, dan ekonomi.29 Weber secara jelas menyatakan bahwa tindakan seseorang tidak selalu berpatok kepada dimensi rasional akan tetapi seseorang juga bisa saja bertindak tidak rasional misalnya, seseorang berjalan sambil menggunakan payung padahal hari itu cuaca sedang tidak hujan dan tidak panas, orang tersebut menggunakan payung hanya karena dia merasa percuma ketika dirinya membawa sebuah payung tetapi tidak digunakan, hal tersebut jika dipikir kembali merupakan suatu tindakan yang tidak rasional karena pasti orang disekitar yang melihatnya akan merasa bahwa dia orang yang aneh. Hal tersebut merupakan suatu tindakan afektif, dimana hal tersebut terjadi secara spontan, dan merupakan ekspresi sosial individu yang tidak rasional.

Selain tidak selalu berpatok pada tindakan rasional, dalam teori tindakan sosial Weber berbasis pada teori dimana tindakan sosial, yaitu tindakan yang terkait dan ditunjukkan kepada orang lain.30 Sebagai contoh menurut teori yang dikemukakan oleh Weber adalah jika seorang anak menyapu lantai agar ibunya melihat bahwa anaknya sedang membantu ibunya, maka inilah yang disebut tindakan sosial, di mana seseorang melakukan suatu kegiatan (interaksi) dengan tujuan atau ditujukan kepada orang lain.

29 Ibid., h.117

30 Wirawan, op. cit., h.103

Gambar

Gambar 1.1 Presentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Aktivitas Bekerja  2016-2017
Tabel 3.1   Time Schedule  No  Kegiatan  April 2019  Mei  2019  Juni  2019  Juli  2019  Agustus 2019  1  2  3  4  1  2  3  4  1  2  3  4  1  2  3  4  1  2  3  4  1  Penyusunan  Proposal  2
Gambar 4.1  Ikon Kota Tua Jakarta
Gambar 4.13  Pos-pos Keamanan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kartu kanban yang digunakan adalah kartu kanban production instruction (PI-Kanban) yang akan memberikan perintah produksi core dan kartu kanban part withdrawal (PW-Kanban)

lokasi penelitian dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan rumah yang mendukung tikus dapat berkembangbiak di dalam rumah maupun diluar rumah seperti kondisi

Percobaan ini menggunakan metode pengendalian tikus dengan empat perlakuan dan tiga ulangan, rancangan perlakuannya yaitu P1: kontrol, P2: Trap Barrier Sistem ( TBS ), P3:

Tujuan operasi pada pasien dengan celah bibir dan palatum adalah perbaikan estetika dari bibir dan hidung, penutupan celah palatum, normalisasi bicara dan mendengar,

yang telah dilakukan uji parametrik menggunakan One Way Anova menunjukkan nilai signifikasi yaitu 0,000 (sig<0,05), dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pada

Covey dalam Suryana (2000:35), bahwa kemandirian merupakan paradigma sosial dengan tiga karakteristik yaitu mandiri secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), mandiri

Selanjutnya untuk memberikan arah dan sasaran yang jelas serta sebagai pedoman dan tolok ukur kinerja Pengadilan Tata Usaha Negara Bengkulu diselaraskan dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi terbaik hidrolisis enzim yaitu pada konsentrasi enzim selulase 5% v/v selama 12 jam pada hidrolisat asam sulfat 1%