PENERAPAN TEMA KEDALAM KASUS PROYEK
3.3 Eksplorasi Penerapan Tema kedalam Kasus Proyek .1 Studi bentuk rumah tradisional Karo .1 Studi bentuk rumah tradisional Karo
Studi Bentuk dari Rumah Tradisional Karo akan dibagi menjadi bagian-bagian pembahasan arsitektural.
a.Orientasi Bangunan.
Pola perkampungan Karo pada umumnya mengelompok atau berbaris mengikuti alur sungai, dimana pintu utama menghadap ke hulu sungai sedangkan pintu belakang menghadap ke hilir sungai. Namun ada kalanya juga mengikuti arah Utara Selatan, dimana sisi terpendek terdapat pada arah
Timur dan Barat.58 Berikut merupakan salah satu contoh peta permukiman
Karo pada Gambar 3.24.
58
Ir. M. Nawawiy Loebis M.Phil, Ph.d (2004), Raibnya para Dewa, Bina Teknik Press
Gambar 3.24 Perletakan dan Orientasi Rumah-rumah Tradisional pada Desa Karo
b. Tipologi Bangunan.
Menurut sumber Buku Raibnya Para Dewa, Karangan Prof. Ir. Nawawiy Lubis, pembagian tipologi bangunan rumah adat Karo terbagi menjadi:
1. Rumah dengan atap (Tersek) tak bertingkat yang dinamakan Rumah
Kurung Manik, seperti pada Gambar 3.25.
2. Rumah dengan atap satu tingkat (Sada Tersek), seperti pada Gambar
3.26.
Gambar 3.26 Rumah dengan Atap Satu Tingkat, Kabanjahe, 1910 Sumber: Tropenmusium
Gambar 3.25 Rumah dengan Satu tersek, Atau Rumah
Kurung Manik Sumber: Tropenmusium
Namun, menurut sumber lain, yaitu http://bastanta-meliala.blogspot.com, yang ditulis oleh seorang bersuku Karo bernama Bestanta Permana Sembiring Meliala, jenis rumah adat Karo dapat dibagi dengan pembagian sebagai berikut:
1. Berdasarkan Bentuk Atap.
i. Rumah Sianjung-anjung.
Rumah Sianjung-anjung memiliki muka empat ataupun lebih, yang
terdiri dari satu tersek ataupun dua tersek yang bertanduk, seperti
pada Gambar 3.27.
ii. Rumah Mecu, seperti pada Gambar 3.28.
Rumah ini bentuknya sederhana, yang membedakannya adalah proses pendiriannya, penghuninya, fungsinya, serta model atapnya.
Gambar 3.27 Tipe Rumah Sianjung-Anjung Sumber: bastanta –meliala.blogspot.com
Rumah Mecu ini bermuka dua dan mempunyai sepasang kepala kerbau bertanduk.
2. Berdasarkan Binangun.
i. Rumah Sangka Manuk.
Rumah Sangka Manuk adalah rumah yang tiangnya dibuat dari balok yang bertindihan, seperti pada Gambar 3.29.
Gambar 3.28 Tipe Rumah Mecu Sumber: http://bastanta-meliala.blogspot.com
Gambar 3.29 Konstruksi Balok yang Ditindih Sumber: http://bastanta –meliala.blogspot.com
ii. Rumah Sendi.
Rumah yang binangunnya yang berdiri dan masing-masing binangun itu dihubungkan dengan balok satu dengan lainnya sehingga menjadi padu dan kokoh, seperti pada Gambar 3.30.
c.Kulit luar, sudut dan bukaan.
Rumah Karo memilik dua buah pintu (labah), masing-masing terletak dibagian lebar bangunan dan secara umum berada di hilir dan hulu. Tetapi ada kalanya dibagian sebelah kamar rumah raja dibuat juga pintu yang bentuknya sama persis, hanya saja agak kecil. Paling tidak terdapat dua buah jendela disetiap sisi panjang bangunan, dan sering juga terdapat pada setiap kamar. Jendela kecil ini bentuknya memanjang dengan ukuran 120
cm dan lebar 25 cm.59
59
Ir. M. Nawawiy Loebis M.Phil, Ph.D (2004), Raibnya para Dewa hal 101-102 Bina Teknik Press Material yang dipakai untuk selubung bangunan adalah kayu untuk dinding dan lantai, ijuk untuk atap dan batu untuk pondasi.
Gambar 3.30 Sendi-sendi pada sudut rumah Sumber: http://bastanta –meliala.blogspot.com
d. Struktur.
1. Struktur bawah.
Struktur bawah rumah Karo merupakan barisan kolom yang dibuat dengan kayu damar laut atau pohon enau berbentuk segi delapan atau bulat dengan diameter sekitar 30 cm sebanyak 16 buah. Delapan diantaranya digunakan untuk memikul atap dan delapan yang lain hanya memikul lantai saja. Jarak antara kolom adalah 3 meter dan diikat dengan susunan balok berukuran 10 x 20 cm yang ditembus melewati kolom dengan pen dan disusun berselang seling dengan jarak antar lapis sekitar 15-20 cm. Pada kolom sudut, balok menjulur keluar sekitar 40 cm. Ketinggian kolom dari permukaan tanah ke permukaan lantai adalah sekitar 1,5 hingga 2,5 m. Pondasi yan digunakan adalah pondasi batu
kali yang diletakkan diatas beberapa lembar sirih dan sejenis besi60,
seperti terlihat pada Gambar 3.31.
60
Ir. M. Nawawiy Loebis M.Phil, Ph.d (2004), Raibnya para Dewa hal –98-99, Bina Teknik Press Gambar 3.31 Pondasi dari Rumah Adat Karo
2. Struktur Tengah.
i. Lantai.
Konstruksi rangka lantai diawali dari balok-balok kecil (awit) terbuat dari pohon enau yang kering berdiameter 10 cm atau berbentuk papan berukuran 8x12 cm yang menjorok keluar sepanjang 70 cm dan terletak melintang diatas balok penghubung
kolom (pemajang). Diatas balok-balok awit tersebut diletakkan
belahan-belahan bambu (galigar awit) berkuruan 6x12 cm yang
disusun rapat dan ditutup dengan lapisan salimar yang terlbuat dari papan dengan ketebalan 6 cm. Diatas susunan belahan bambu tersebut terdapat balok atau konsol (binangun kalang papan) berukuran 7x40 cm yang letaknya berlawanan dengan arah susunan bamboo, kemudian diatas balok ini diletakkan balok kalang papan berukuran 8x15 cm yang berfungsi menunjang
langsung papan-papan lantai berukuran 5x20cm.61
ii. Dinding.
Dinding bangunan posisinya berdiri miring sekitar 30 derajat
setinggi lebih kurang 1 meter, terletak diatas dapur-dapur dan
terdiri dari papan-papan berukuran 100x30x5 cm yang
61
dihubungkan satu sama lain dengan cara diikat dengan tali ijuk
(ret-ret).Dibagian bawah, dinding ini disambungkan dengan lidah
dan celah dengan bagian dapur-dapur, dan dibagian atas dikaitkan
pada balok (junjungan derpih)berukuran 7x15 cm yang berfungsi
sebagai penguat. Dibagian atas ini juga terdapat rusuk-rusuk (perongkil) penahan tutup atap ijuk, yang berukuran 5x5x200 cm berjarak sekitar 40 cm antara satu dengan yang lainnya dan terbuat
dari batang enau. 62
iii. Beranda
Setiap rumah memiliki dua buah beranda atau teras (ture), masing-masing terletak disebelah hilir dan hulu. Beranda ini terbuat dari lantai bambu bulat dan berfungsi sebagai tempat para wanita menganyam, berbincang, memandikan anak-anak dan berbagai fungsi lainnya yang tidak dapat dilakukan didalam rumah. Terdapat anak tangga yang menghubungkan tanah dengan teras
yang jumlahnya selalu ganjil, yaitu rata-rata lima anak tangga.63
62
Ir. M. Nawawiy Loebis M.Phil, Ph.d (2004), Raibnya para Dewa hal –101, Bina Teknik Press 63
3. Struktur Atap
Kuda-kuda konstruksi atap terdiri dari beberapa tiang utama (tunjuk langit) yang berfungsi sebagai penerima sebagian besar beban atap, sedangkan sisa beban pada atap yang diakibatkan gaya horizontal
terhadap bidang miring disalurkan oleh rusuk-rusuk atap. Barisan tunjuk
langit ini dihubungkan oleh balok (pemayang tunjuk langit) yang memanjang searah panjang bangunan, berukuran 5x12 cm. Dari potongannya dapat diambil kesimpulan bahwa dinding miring bangunan hampir tidak menahan beban. Teritis atap hanya melewati dinding 20 cm, sekedar untuk menghindari tempias air hujan. Bentuk atap merupakan gabungan dari atap pelana dan perisai, dan pada ujung puncak atap pelana terdapat kepala kerbau yang terbuat dari ijuk sebagai simbol. Atap pada bangunan Karo merupakan unsur yang paling dominan dari segi tampak dan potongan, karena meliputi ¾ tinggi rumah. Bagian segitiga yang dibentuk oleh atap pelana yang dinamakan
Lambe-lambe terbuat dari papan yang dianyam sedemikian rupa
sehingga memiliki hiasan. Motif yang terdapat pada lambelambe
-biasanya adalah motif bunga Gundur, Tampune-tampune, Pako-pako,
Lumut Laut, Ampik Lembu, Ujen Jabang, Desa si Waluh serta Lipan-lipan.64
64
e.Ruang dan Fungsi
1. Akses
Rumah adat Karo tidak memiliki batas berupa pagar antara satu rumah dengan rumah yang lainnya. Akses publik maupun penghuni rumah tidak memiliki perbedaan dan harus menaiki tangga untuk mencapai
ture.
2. Pintu Masuk
Pintu masuk untuk memasuki rumah ini terdiri dari dua, yaitu menghadap utara dan selatan atau hulu dan hilir sungai. Tidak ada perbedaan pintu masuk antara publik dan penghuni rumah, dan pintu
yang dominan dijadikan entrance adalah pintu bagian depan rumah,
yaitu yang menghadap utara atau hulu sungai.
3. Sekuens
Rumah Adat Karo disebut juga Rumah Siwaluh Jabu karena pada
umumnya dihuni oleh Waluh Jabu (delapan keluarga), selain rumah
Siwaluh Jabu ada juga rumah adat yang lebih besar yaitu Sepuludua
Jabu (dua belas keluarga) yang dulu terdapat di kampung Lingga,
Jabu yang pernah ada di Kampung Juhar dan Kabanjahe, tetapi sekarang
rumah adat Sepuludua Jabu dan Sepuluenem Jabu sudah tidak ada lagi.
Setiap Jabu (keluarga) menempati posisi di Rumah Adat sesuai dengan
struktur sosialnya dalam keluarga. Letak Rumah Adat Karo selalu disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebut desa Nggeluh, di
sebelah Timur disebut Bena Kayu (pangkal kayu) dan sebelah Barat
disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu dalam rumah adat mencerminkan
kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas dan
teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu
Bena Kayu/Jabu Raja. Nama, posisi dan peran Jabu dalam rumah adat
Karo (Rumah Siwaluh Jabu) adalah sebagai berikut65, pada Gambar 3.32
dan Gambar 3.33.
65
Sinusuka (2010), Rumah Siwaluh Jabu,
Gambar 3.32 Interior Rumah Siwaluh Jabu Sumber: www.sinusuka.wordpress.com
Berikut merupakan keterangan dari Jabu sesuai dengan gambar diatas.
1. Jabu Bena Kayu, merupakan tempat bagi keluarga simanteki
Kuta/Bangsa Tanah (keluarga yang pertama mendirikan Kuta). Jabu
Bena Kayu juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan
seluruh anggota Jabu dalam sebuah rumah adat, berperan sebagai
pengambil keputusan dan penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala permasalahan dan pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi penghuni rumah.
2. Jabu Ujung Kayu, merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak
perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu Ujung Kayu
berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga
keharmonisan seisi rumah dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam
menyampaikan perkataan atau nasehat-nasehatnya kepada setiap
penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu Ujung Kayu adalah
pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam
rumah maupun di dalam lingkup adat.
Gambar 3.33 Susunan Perletakan Jabu pada Interior Rumah
Sumber: Penulis
1 5 7 4
3 8 6 2
T
3. Jabu Lepar Bena Kayu, nama ini mungkin diakibatkan karena Jabu ini
berada di seberang Jabu Bena Kayu. Jabu ini ditempati oleh anak dari
penghuni rumah yang termasuk juga bangsa tanah. Jabu ini sering
juga disebut ‘Jabu Sungkun Berita’. Hal ini tidak terlepas dari
kewajiban penghuni tempat ini yaitu mencari dan mendengarkan berita ataupun kabar yang berkembang di luar. Misalnya kalau ada orang lain yang hendak mengadakan perang, ia harus terlebih dahulu
mengetahuinya.66
4. Jabu Lepar Ujung Kayu, merupakan tempat bagi pihak Kalimbubu
(pihak dari klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu ini sangat
dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu.
Kalimbubu dalam masyarakat Karo merupakan derajat tertinggi dalam
struktur adat. Jabu Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu
Simangan Minem (pihak yang makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja hanya hadir untuk makan dan minum.
5. Jabu Sedapuren Bena Kayu, merupakan tempat bagi anak beru menteri
dari JabuBena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga disebut Jabu
Peninggel-ninggel (pihak yang mendengarkan). Perannya adalah
66
Tantabangun (2010), Menilik Nilai-Nilai dalam Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu, www.tantabangun.wordpress.com
untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu runggu
(musyawarah) para anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak
pendengar, Jabu Sedapuren Bena Kayu juga berperan sebagai saksi
untuk berbagai kepentingan setiap anggota rumah adat, baik di lingkup rumah maupun di lingkup kota.
6. Jabu Sedapuren Ujung Kayu, merupakan tempat anak atau saudara
dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai
Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan
dan ketentraman bagi seluruh Jabu di rumah adat. Jabu Arinteneng
sering juga ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik
tradisional, yang terkadang menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan.
7. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu, merupakan tempat bagi anak atau
saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar Bena
Kayu juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu
Sedapuren Lepar Bena Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam menerima dan menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo
secara umum berperan sebagai penerima tamu keluarga di dalam sebuah rumah adat dan bertugas menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni rumah adat.
8. Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu, merupakan kedudukan bagi Guru
(dukun /tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebut Jabu
Bicara Guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung
Kayu berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena
Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan
obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara yang menyangkut dengan kepercayaan
pada masyarakat Karo jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar
Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu.
f.Studi Simbol dan Ragam Rias Rumah Adat Karo.67
Rumah adat Karo merupakan bangunan tradisional yang ditandai ornamen yang keseluruhan ornamen memiliki hal-hal yang berhubungan dengan lambang yang bermakna adat istiadat. Dalam pembuatan ornamen rumah adat Karo akan melewati berbagai proses perencanaan yang matang dan tidak terlepas dari adat istiadat yang telah ditetapkan sebagai sumber hukum
67
Tri Utami Br. Sembiring (2010), Bentuk dan Fungsi Ornamen Rumah Tradisional Karo di Desa Lingga sebagai Daya Tarik Wisata Budaya, Reprository USU
yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, melalui sidang adat raja, yang kemudian dikirim kepada ahli kesenian (penggerga) yang mendapat perintah dari penghulu tanah. Setiap lembar papan yang dihiasi ornamen pada masyarakat Karo ada yang bermakna keindahan, kekeluargaan dan yang mengandung unsur mistik untuk menjaga pemilik rumah dan sebagai pengerat sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo. Berikut merupakan ornamen-ornamen yang terdapat pada rumah adat Karo.
1. Ornamen Lumut-lumut Lawit.
a.Bentuk.
Kotak-kotak tersebut terdiri dari empat bagian. Antara bagian yang pertama, kedua, ketiga dan keempat memiliki sisi yang sama. Adapun panjang, lebar dan luas dari masing-masing kotak berukuran sama.
Kotak-kotak pada bagian tengah tersebut berwarna putih, sedangkan sisi yang menutupi kotak-kotak tersebut berwarna hitam, seperti
Gambar 3.34 Ornamen Lumut-lumut Lawit
Sumber: Bentuk dan Fungsi Ornamen Rumah Tradisional Karo di
terlihat pada Gambar 3.34. Ornamen Lumut-lumut lawit bermotif geometris karena merupakan gambaran tumbuh-tumbuhan yang ada di alam laut. Adapun ornamen ini diambil dari gambaran rumput laut dengan lumut-lumut yang bertebaran di laut pada batu karang. Rumput laut yang licin akan menjaga batu karang yang merupakan kekuatan untuk menjaga kelangsungan hidupnya di alam laut dari segala macam gangguan yang di timbulkan oleh alam dan manusia untuk merusak laut. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi
masyarakat Karo membentuk ornamen Lumut-lumut lawit yang
mereka percaya dapat menggelincirkan segala niat jahat yang berusaha mengganggu ketentraman pemilik rumah. Ornamen ini terbuat dari bambu yang dibelah dan dianyam sedemikian rupa
membentuk segi empat yang diletakkan pada ayo-ayo depan rumah
adat Karo. Adapun bambu yang dianyam itu diberikan warna hitam dan putih yang merupakan tiruan dari batu karang dan Lumut yang mana lumut berwarna hitam sedangkan batu karang berwarna putih.
b. Fungsi.
Ornamen Lumut-lumut Lawit diatas diletakkan pada ayo-ayo rumah
1. Penolakan kepada segala niat jahat Penolakan berarti menepis segala hal-hal yang tidak baik karena masyarakat Karo pada zaman dahulu masih percaya akan adanya roh-roh jahat yang hendak mengganggu ketentraman rumah. Roh-roh jahat itu dikirim melalui bantuan dukun yang gunanya untuk merusak dan membinasakan orang yang tinggal di rumah, sehingga mereka
mempercayai ornamen Lumut-lumut Lawit dapat dijadikan
penangkal untuk menggagalkan segala niat jahat orang tersebut.
2. Sebagai ventilasi udara Ornamen Lumut-lumut Lawit di letakkan
pada ayo-ayo depan rumah adat Karo memiliki fungsi sebagai
ventilasi udara. Ornamen ini akan memberikan cahaya matahari
karena ornamen ini diletakkan pada ayo-ayo rumah adat yang
dibuat dengan cara dianyam sehingga udara segar masuk melalui ornamen tersebut.
c.Makna
Lumut-lumut Lawit dalam masyarakat Karo memiliki makna berupa
keamanan. Ornamen Lumut-lumut Lawit akan menjaga keamanan
dari setiap anggota keluarga dari segala niat jahat orang. Niat jahat tersebut bentuknya tidak terlihat karena dibuat untuk menghancurkan dan membinasakan orang yang ada dalam rumah adat. Roh-roh jahat tersebut dikirim dengan bantuan dukun yang
berusaha untuk merusak keharmonisan para anggota keluarga yang tinggal dalam rumah adat. Niat jahat orang tersebut akan menjadikan pertengkaran antara satu keluarga dengan keluarga lainnya yang tinggal di rumah adat. Kekuatan jahat tersebut juga dapat membinasakan orang yang ada di rumah adat. Dengan datangnya penyakit yang secara tiba-tiba, sehingga sebelum terjadi hal-hal
tersebut harus dicegah. Ornamen Lumut-lumut Lawit di percaya
dapat menghancurkan niat jahat tersebut dan menjaga ketentraman
anggota keluarga yang ada dalam rumah adat. Ornamen
Lumut-lumut Lawit dipercaya dapat menghalau dan menggelincirkan segala niat jahat orang tersebut sehingga ketentraman rumah akan terjaga.
2. Ornamen Bindu Matagah.
a.Bentuk.
Bentuk ornamen ini berupa garis yang menyilang diagonal dan
membentuk persegi yang melambangkan pesilah simehuli
(menyingkirkan yang tidak baik). Penyingkiran yang tidak baik itu
merupakan kekuatan ornamen Bindu Matagah untuk menjaga
lingkungan dan manusia dari roh-roh alam semesta yang ditimbulkan oleh manusia sendiri ataupun alam yang berusaha
mengganggu dan merusak ketentraman desa dan pemilik rumah adat. Ornamen ini bermotif geometris seperti pada Gambar 3.35.
Bahan dasar ornamen ini adalah kayu yang tehnik pembuatannya di ukir dan dibuat garis menyilang membentuk persegi.
b. Fungsi .
Ornamen ini memiliki fungsi sebagai penyingkir yang tidak baik dalam masyarakat Karo yang memiliki arti apabila seorang tamu
hendak memasuki kampung atau rumah maka ornamen Bindu
Matagah akan dilukiskan di tanah dan tamu tersebut harus memijak
ornamen Bindu Matagah. Ada anggapan masyarakat bahwa tidak
semua orang mempunyai sifat baik apalagi kalau ada orang asing yang datang ke kampung atau ke rumah, maka orang tersebut harus
memijak ornamen Bindu Matagah dengan kaki kanan agar supaya
Gambar 3.35 Ornamen Bindu Matagah
Sumber:Bentuk dan Fungsi Ornamen Rumah
Tradisional Karo di Desa Lingga sebagai Daya Tarik Wisata Budaya
segala niat jahat yang mungkin di bawa orang tersebut hilang, dan tidak masuk ke rumah atau kampung, sehingga ketentraman tetap terjaga. Ornamen ini juga berfungsi untuk menjaga pemilik rumah atau orang kampung yang sedang berburu kehutan. Apabila penghuni kampung di hutan memiliki ketakutan, akibat adanya gangguan dari binatang buas seperti ular, harimau dan hewan-hewan liar yang berusaha mengganggu dan mengancam jiwa mereka, maka ornament ini dilukiskan ditanah dan dipijakkan dengan kaki kanan, maka hal-hal buruk tidak akan terjadi.
c.Makna.
Makna yang terdapat pada ornamen ini adalah makna kekuatan dan
makna kepercayaan. Makna kekuatan ornamen Bindu Matagah
mempunyai kekuatan untuk menjaga orang kampung dari niat jahat orang ketika mereka kedatangan tamu dari luar desa yang tidak dikenal. Masyarakat Karo menganggap setiap orang yang tidak
dikenal belum tentu mempunyai niat baik maka ornamen Bindu
Matagah akan memiliki kekuatan untuk menjaga orang kampung dan pemilik rumah dari segala ancaman dan gangguan yang datangnya terlihat maupun tidak terlihat. Gangguan yang terlihat seperti merusak hubungan persaudaraan masyarakat yang menghuni
kampung dan gangguan yang tidak terlihat berupa gangguan yang dikirim lewat udara dengan bantuan dukun. Makna kepercayaan
terlihat dari kepercayaan masyarakat Karo pada ornamen Bindu
Matagah saat kedatangan tamu, tamu tersebut harus memijak
ornament Bindu Matagah dengan kaki kanan agar niat jahat tidak
masuk ke kampung atau kerumah. Ornamen ini juga dipercaya akan memperkuat roh orang yang akan berburu kehutan ketika mereka berjumpa dengan hewan binatang buas di hutan dengan melukisan ornamen ini di tanah dan memijaknya dengan kaki kanan.
3. Ornamen Embun Sikawiten.
a. Bentuk.
Ornamen ini bermotif alam yang merupakan tiruan dari awan akan tetapi ornamen ini dibuat menyerupai gambar bunga yang menjalar membentuk segitiga. Ornamen ini merupakan gambar awan yang beriring dilangit yang memiliki gumpalan tebal yang ketika lapisan awan atas bergerak maka bayangan awan dibawahnya akan ikut. Terjemahan secara bebas ornamen ini adalah awan yang berkaitan
atau rangkaian awan yang beriringan yang berarti rakut sitelu