PENERAPAN HASIL INTERPRETASI BENTUK RUMAH
TRADISIONAL KARO TERHADAP PERANCANGAN
RUMAH TINGGAL KONTEMPORER
TESIS
OLEH
NOVI RAHMADHANI
107020018/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENERAPAN HASIL INTERPRETASI BENTUK RUMAH
TRADISIONAL KARO TERHADAP PERANCANGAN
RUMAH TINGGAL KONTEMPORER
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik
Dalam Program Studi Magister Teknik Arsitektur
Pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
OLEH
NOVI RAHMADHANI
107020018/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERNYATAAN
PENERAPAN HASIL INTERPRETASI BENTUK RUMAH
TRADISIONAL KARO TERHADAP PERANCANGAN
RUMAH TINGGAL KONTEMPORER
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Medan, 1 Mei 2013
Judul Tesis : PENERAPAN HASIL INTERPRETASI BENTUK RUMAH TRADISIONAL KARO TERHADAP PERANCANGAN RUMAH TINGGAL
KONTEMPORER
Nama Mahasiswa : NOVI RAHMADHANI
Nomor Pokok : 107020018
Program Studi : TEKNIK ARSITEKTUR
Bidang Kekhususan : STUDI-STUDI ARSITEKTUR ALUR PENDIDIKAN
PROFESI
Menyetujui Komisi Pembimbing
Tanggal Lulus : 1 Mei 2013
(Prof. Julaihi Wahid, B. Arch, M. Arch, PhD) Ketua
(Imam Faisal Pane, ST, MT) Anggota
Ketua Program Studi
(Dr. Ir. Dwira N. Aulia M.Sc)
Dekan
TELAH DIUJI PADA
Tanggal : 1 Mei 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Julaihi Wahid, B. Arch, M. Arch, PhD Anggota : 1. Imam Faisal Pane, ST, MT
2. Wahyuni Zahrah, ST, M.S
3. Ir. Samsul Bahri, MT
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terkenal dengan kekayaan budaya dan alamnya. Indonesia memiliki beraneka ragam suku dengan adat istiadat serta budaya yang berbeda-beda yang menjadi ciri khas dari setiap daerah dimana budaya tersebut berasal.
Arsitektur tradisional mulai kehilangan eksistensinya didalam kemodernan arsitektur yang terjadi di kota Medan, terutama pada arsitektur rumah tinggal. Salah satu ciri dari arsitektur modern adalah mengedepankan fungsi dan bersifat universal, sementara masyarakat Timur masih memiliki kebudayaan khas dan kepercayaan yang kuat sebagai identitas. Aspek identitas ini mulai dilupakan dengan adanya pola
berpikir masyarakat yang ingin mengikuti trend, dan belum ada banyak arsitek yang
berusaha mengeksplorasi keunikan bentuk arsitektur Nusantara dan arsitektur rumah adat Karo. khususnya, kedalam desain rumah tinggal masa kini. Hal ini
mengakibatkan adanya kecenderungan pola style rumah tinggal yang berulang dan
monoton.
Dilihat dari sejarahnya, Medan memiliki tiga suku yang berperan dalam pengembangannya. Ketiga suku ini memasuki wilayah Sumatera Utara dengan cara yang berbeda dan memiliki karakter yang berbeda pula. Maka, untuk menghormati salah satu suku yang ada di kota Medan, yaitu suku Karo sebagai suku yang membuka perkampungan pertama di kota Medan, dan sebagai usaha dalam eksplorasi salah satu arsitektur rumah tradisional suku lokal yang berperan dalam sejarah kota Medan, penulis mencoba untuk memberikan alternatif desain rumah tinggal yang didapat dari eksplorasi bentuk arsitektur rumah tradisional Karo yang nantinya dituangkan dalam bentuk kontemporer dengan metode interpretasi hermeneutika.
ABSTRACT
Indonesia is an archipelago that known as a rich country with many cultures and natural resources. Indonesia has variety of tribes and traditions that make identity for every area from where the culture’s from.
Traditional architecture began to lose its exsistance in the development of modern architecture in Medan, especially in housing architecture. One of the characteristics of modern architecture is functional and universal, while Eastern still have special cultures and beliefs as their identities. This identity aspect began to be forgotten because of the mind setting of the people that follow the trend and there’s not many architects that want to try to explore the uniqueness of Indonesian Architecture, especially the architecture of Karonese house. This may cause the iteration of house style and monotonous.
In the history, Medan has three tribes that developed the city. These three tribes entered North Sumatera with different purposes and had different characteristics. As a tribute to one of the tribe that developed Medan, that is Karonese, and as an effort of the exploration of traditional architecture, the writer tries to give an alternative of housing design that created from the exploration of the Karonese house architecture and transformed to a contemporer house with an interpretation of hermeneutica architecture.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah menjadi
sumber kekuatan, inspirasi dan ridhaNya selama berlangsungnya pengerjaan Tesis
ini. Tesis ini mengambil judul “Penerapan Hasil Interpretasi Bentuk Rumah
Tradisional Karo terhadap Perancangan Rumah Tinggal Kontemporer”.
Pada kesempatan ini, dengan tulus dan kerendahan hati, penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang
sebesar-besarnya, yaitu kepada pembimbing Tesis Bapak Prof. Julaihi Wahid, B. Arch, M.
Arch, PhD dan Bapak
Tesis
ini merupakan syarat yang diwajibkan bagi mahasiswa untuk memperoleh gelar
Magister Teknik.
Imam Faisal Pane, ST, MT
Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis tujukan
kepada Ibu
, atas kesediaannya membimbing,
brain storming, memotivasi, dan memberikan pengarahan serta waktu beliau kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.
Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M. Sc, Ketua Program Studi Magister Teknik
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Bapak dan Ibu dosen staff
pengajar Program Studi Magister Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Sumatera Utara. Serta orang tua saya yang tercinta, Papa H. Nazwir Nazar dan Mama
Hj. Surtati Dja’afar dan Tante Hj. Delia, atas segala doa, dukungan, kesabaran dan
Kiranya Allah SWT memberikan dan melimpahkan kasih dan anugerah-Nya
bagi mereka atas segala yang telah diperbuat untuk penulis.
Penulis sungguh menyadari bahwa Tesis ini mungkin masih mempunyai
banyak kekurangan. Karena itu penulis membuka diri terhadap kritikan dan saran
bagi penyempurnaan Tesis ini. Dan, akhirnya penulis berharap tulisan ini
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di lingkungan
Program Studi Magister Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera
Utara.
Medan, 31 Januari 2012
Hormat saya,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Novi Rahmadhani
Alamat : Jl. Perwira Utama No.52 Medan Sunggal, Medan
Agama : Islam
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 11 April 1989
Jenis Kelamin : Perempuan
Anak ke : 2 dari 2
Warga Negara : Indonesia
Nama Ayah : H. Nazwir Nazar
Nama Ibu : Hj. Surtati Dja’afar
Pendidikan Formal : SD Harapan 2 Medan (tamat tahun 2000)
SLTP Harapan 2 Medan (tamat tahun 2003)
SMU Negeri 1 Medan (tamat tahun 2006)
Sarjana Teknik Arsitektur (tamat tahun 2010)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR TABEL ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Alasan Pemilihan Topik ... 3
1.3 Perumusan Masalah ... 4
1.4 Tujuan ... 5
1.5 Manfaat ... 5
1.6 Keluaran ... 6
1.7 Metodologi ... 6
1.7.1 Urutan kerja dan prosedur ... 8
1.7.2 Alat penelitian ... 8
1.7.3 Proses penelitian ... 9
1.8 Sistematika Penulisan Tesis ... 13
2.1 Pengertian Tema ... 16
2.1.1 Hermeneutika, filosofis terhadap arti interpretasi ... 17
2.1.2 Metode Hermeneutika dalam proses desain ... 22
2.2 Elaborasi Tema ... 26
2.2.1 Relevansi Hermeneutika dalam arsitektur ... 26
2.3 Studi Banding ... 28
2.3.1 Interpretasi arsitek Barat ... 28
2.3.2 Interpretasi arsitek Timur ... 30
BAB III PENERAPAN TEMA KEDALAM KASUS PROYEK ... 34
3.1 Deskripsi Proyek ... 34
3.1.1 Lokasi proyek ... 34
3.1.2 Luas ... 36
3.2 Studi Banding Kasus Proyek Sejenis ... 36
3.2.1 Interpretasi rumah Nias ... 37
3.2.2 Interpretasi rumah Panjang ... 43
3.3 Eksplorasi Penerapan Tema kedalam Kasus Proyek ... 48
3.3.1 Studi bentuk rumah tradisional Karo ... 48
BAB IV RUMUSAN KRITERIA PERANCANGAN ... 111
4.1 Teori Pembentuk Rumah ... 111
4.1.1 Cara pandang peneliti ... 114
4.2 Analisa Bentuk Rumah Tradisional Karo ... 116
4.2.1 Berdasarkan faktor sosial budaya ... 116
4.2.2 Berdasarkan faktor aktifitas ... 123
4.2.3 Berdasarkan faktor iklim ... 124
4.3 Analisa Makna Rumah Tradisional Karo ... 127
4.4 Perubahan Faktor-faktor Pembentuk Rumah ... 129
4.4.1 Perubahan faktor sosial budaya ... 132
4.4.2 Perubahan faktor aktifitas ... 135
4.4.3 Perubahan faktor iklim ... 136
4.4.4 Perubahan faktor konstruksi, material dan teknologi ... 136
4.5 Proses Interpretasi ... 137
4.5.1 Proses interpretasi bentuk rumah tradisional Karo ... 139
4.5.2 Proses interpretasi makna rumah tradisional Karo ... 149
BAB V KONSEP PERANCANGAN FISIK ... 151
5.1 Konsep Orientasi Bangunan terhadap Tapak ... 151
5.2 Konsep Transformasi Bentuk ... 152
5.2.1 Atap ... 152
5.2.2 Dinding ... 152
5.2.3 Panggung ... 153
5.2.4 Bukaan ... 154
5.2.5 Ornamen ... 154
5.2.6 Ruang dan fungsi ... 155
5.2.7 Akses dan entrance ... 159
5.2.8 Sirkulasi dan zoning ... 160
5.2.9 Material ... 161
5.3 Konsep Pemaknaan dengan Simbol ... 165
BAB VI PENERAPAN KRITERIA PERANCANGAN FISIK ... 167
6.1 Penerapan Hasil Interpretasi Bentuk ... 167
6.1.1 Penerapan hasil interpretasi atap ... 167
6.1.2 Penerapan hasil interpretasi dinding ... 168
6.1.3 Penerapan hasil interpretasi panggung ... 168
6.1.4 Penerapan hasil interpretasi bukaan ... 169
6.1.6 Penerapan hasil interpretasi ruang dan fungsi ... 171
6.1.7 Penerapan hasil interpretasi akses dan entrance ... 172
6.1.8 Penerapan hasil interpretasi sirkulasi dan zoning ... 173
6.2 Penerapan Hasil Interpretasi Makna ... 175
6.2.1 Penerapan makna melindungi ... 175
6.2.2 Penerapan makna kasih sayang ... 176
6.2.3 Penerapan makna interaksi ... 176
6.3 Kesimpulan dan Saran ... 177
DAFTAR GAMBAR
No. Judul
Halaman
1.1 Analisa Data Teoritis ... 9
1.2 Analisa Data Fisik ... 10
1.3 Analisa Data Wawancara ... 10
1.4 Pembentukan Konsep Perancangan ... 11
1.5 Diagram Keseluruhan Proses Menghasilkan Konsep Perancangan Akhir ... 12
1.6 Sistematika Penulisan Tesis ... 15
2.1 Perbedaan Tujuan dari Metode Proyeksi dan Hermeneutic Cycle ... 24
2.2 Diagram Proses Desain dengan Interpretasi ... 25
2.3 Interior Museum Castevecchio, Vienna, Italia ... 29
2.4 Denah Museum Castelvecchio dengan Satu Pintu Keluar dan Masuk ... 30
2.5 Hiroshima Peace Memorial Park ... 32
3.1 Lokasi dan Area Sekitarnya ... 34
3.2 Lokasi dan Area Sekitarnya ... 35
3.3 Lokasi pada Peta Terhitung CAD ... 35
3.4 Kondisi Site Berupa Lahan Kosong ... 36
3.5 Tetap Menggunakan Konsep Panggung Walaupun Hanya di Bagian- bagian tertentu ... 38
3.7 Transformasi Bentuk Atap Rumah Adat Nias ... 38
3.8 Gambar Atap Hasil Transformasi ... 39
3.9 Rumah Adat Nias yang Berderetan ... 39
3.10 Desain Rumah dengan Massat Tidak Tunggal ... 39
3.11 Taman, GSB, Kolan dan Teras serta Ruang Keluarga yang Besar Menjadi area Berkumpul dan Pesta ... 40
3.12 Area Serba Guna yang Terdapat dibawah Lantai Panggung untuk Tempat Berkumpul dan Berpesta ... 40
3.13 Jalusi Bambu pada Fasad Sebagai Bentuk Repetisi Vertikal ... 41
3.14 Suasana Interior pada Area Connecting ... 41
3.15 Site Plan Rumah Hasil Reinterpretasi Rumah Adat Nias ... 42
3.16 Denah Lantai 1 ... 42
3.17 Denah Lantai 2 ... 43
3.18 Tampak Depan Rumah ... 44
3.19 Pola Akar Bertaun dan Maknanya ... 45
3.20 Pengaplikasian pola pada Overhang Rumah ... 45
3.21 Gambar Denah Lantai 1 Beserta Konsep yang Membentuknya ... 46
3.22 Gambar Denah Lantai 2 ... 47
3.23 Gambar Potongan Rumah Hasil Interpretasi Rumah Panjang ... 47
3.24 Perletakan dan Orientasi Rumah-rumah Tradisional pada Desa Karo ... 48
3.25 Rumah dengan Satu Tersek, Atau Rumah Kurung Manik ... 49
3.27 Tipe Rumah Sianjung-Anjung ... 50
3.28 Tipe Rumah Mecu ... 51
3.29 Konstruksi Balok yang Ditindih ... 51
3.30 Sendi-sendi pada Sudut Rumah ... 52
3.31 Pondasi dari Rumah Adat Karo ... 53
3.32 Interior Rumah Siwaluh Jabu ... 58
3.33 Susunan Perletakan Jabu pada Interior Rumah ... 59
3.34 Ornamen Lumut-lumut Lawit ... 63
3.35 Ornamen Bindu Matagah ... 67
3.36 Ornamen Embun Sikawiten ... 70
3.37 Ornamen Cimba Lau ... 73
3.38 Ornamen Pengret-ret ... 75
3.39 Ornamen Bendi-bendi ... 78
3.40 Ornamen Bunga Gundur Sitelinen ... 81
3.41 Ornamen Ser-ser Sigembel ... 84
3.42 Ornamen Taruk- taruk ... 87
3.43 Ornamen Pantil Manggis ... 89
3.44 Ornamen Pucuk Merbung ... 91
3.45 Ornamen Bunga Bincole ... 94
3.46 Ornamen Lukisan Umang ... 96
3.48 Ornamen Tupak Salah Silima-lima ... 102
3.49 Ornamen Desa Delapan ... 105
3.50 Ornamen Tapak Raja Sulaiman ... 109
4.1 Diagram Faktor Penentu Bentuk Rumah ... 113
4.2 Skema Cara Pandang Penulis dalam Menginterpretasi Rumah Tradisional Karo ... 115
4.3 Bagian-bagian dari Rumah Tradisional Karo ... 117
4.4 Skema Hubungan Mikro Kosmos dan Makro Kosmos ... 117
4.5 Perbandingan Bentukan Rumah Adat Karo dengan Perahu Layar dulu ... 118
4.6 Perbandingan Bentuk Rumah Adat Karo dengan Analogi Suami Istri yang Sedang Duduk Bertolak belakang ... 119
4.7 Jenis Arah Mata Angin Disesuaikan dari Jumlah Jabu ... 121
4.8 Sirkulasi dan Penempatan Jabu di sisi Terpanjang ... 121
4.9 Suasana Bagian Dalam Rumah Tempo Dulu ... 123
4.10 Kontekstual dengan Alam yang Terdapat Dalam Desain Rumah Adat Karo ... 125
4.11 Analisa Sirkulasi Udara yang Terjadi didalam Rumah Karo ... 126
4.12 Diagram Penurunan Makna Bentuk Rumah Adat Karo ... 128
4.13 Transformasi Atap Rumah Adat Karo di Desa Liggayang ... 130
4.14 Rumah Adat yang Bertransformasi, Dibangung pada Tahun 1950 ... 131
4.15 Bagian Dalam Rumah yang Mulai Dirubah dan Disesuaikan dengan Aktifitas Pemilik Rumah ... 131
4.17 Bagian Teras Rumah Pemilik ... 133
4.18 Skema Pola Pikir dalam Proses Interpretasi yang Dilakukan Penulis ... 138
4.19 Diagram Penurunan Makna Rumah Karo ... 149
5.1 Perletakan Bangunan Terhadap Tapak Orientasi Bangunan ... 150
5.2 Transformasi Atap Rumah Karo Tampak Samping ... 151
5.3 Konsep Perubahan Bentuk Dinding Menjadi Tegak ... 152
5.4 Konsep Perubahan Sistem Panggung Menjadi Semi Panggung ... 153
5.5 Contoh Bentukan Ornamen dari Anyaman Bambu yang Terdapat pada Ayo-Ayo yang Kemudian Diubah Materialnya Menjadi Kayu Bekas ... 154
5.6 Konsep Penyusunan jabu pad Rumah Karo ... 155
5.7 Konsep perletakan Kamar Tidur pada Rumah Tinggal ... 157
5.8 Pembedaan Akses Sesuai dengan Pengguna ... 158
5.9 Konsep Perletakan Pintu Masuk dan Perubahan Bentuk Denah ... 159
5.10 Pembagian Zona Bangunan Secara Vertikal ... 160
5.11 Pembagian Zona Bangunan Secara Horizontal ... 160
5.12 Konsep Pemaknaan yang Berpengaruh pada Hasil Perancangan ... 165
6.1 Tampak Depan Rumah ... 167
6.2 Tampak Samping Rumah ... 167
6.3 Tiang Kayu yang Miring sebagai Penyangga Atap dan Dinding yang Tegak ... 168
6.4 Sistem Panggung yang Menjadi Sistem Semi Panggung ... 169
6.6 Sistem Panggung yang Menjadi Sistem Semi Panggung ... 170
6.7 Ornamen Lumut-lumut Lawit yang Terdapat pada Lubang Angin Atap ... 170
6.8 Pembagian Ruang pada Denah Lantai 1 ... 171
6.9 Pembagian Ruang pada Denah Lantai 2 ... 172
6.10 Gambar Pembedaan Akses Private dan Publik ... 173
6.11 Zona pada Denah Ground Plan ... 174
6.12 Zona pada Denah Lantai 2 ... 175
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1.1 Pembagian Jenis Data untuk Penelitian ... 8
4.1 Proses Interpretasi Bentuk dengan Lingkup Sosial Budaya ... 139
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terkenal dengan kekayaan budaya dan alamnya. Indonesia memiliki beraneka ragam suku dengan adat istiadat serta budaya yang berbeda-beda yang menjadi ciri khas dari setiap daerah dimana budaya tersebut berasal.
Arsitektur tradisional mulai kehilangan eksistensinya didalam kemodernan arsitektur yang terjadi di kota Medan, terutama pada arsitektur rumah tinggal. Salah satu ciri dari arsitektur modern adalah mengedepankan fungsi dan bersifat universal, sementara masyarakat Timur masih memiliki kebudayaan khas dan kepercayaan yang kuat sebagai identitas. Aspek identitas ini mulai dilupakan dengan adanya pola
berpikir masyarakat yang ingin mengikuti trend, dan belum ada banyak arsitek yang
berusaha mengeksplorasi keunikan bentuk arsitektur Nusantara dan arsitektur rumah adat Karo. khususnya, kedalam desain rumah tinggal masa kini. Hal ini
mengakibatkan adanya kecenderungan pola style rumah tinggal yang berulang dan
monoton.
Dilihat dari sejarahnya, Medan memiliki tiga suku yang berperan dalam pengembangannya. Ketiga suku ini memasuki wilayah Sumatera Utara dengan cara yang berbeda dan memiliki karakter yang berbeda pula. Maka, untuk menghormati salah satu suku yang ada di kota Medan, yaitu suku Karo sebagai suku yang membuka perkampungan pertama di kota Medan, dan sebagai usaha dalam eksplorasi salah satu arsitektur rumah tradisional suku lokal yang berperan dalam sejarah kota Medan, penulis mencoba untuk memberikan alternatif desain rumah tinggal yang didapat dari eksplorasi bentuk arsitektur rumah tradisional Karo yang nantinya dituangkan dalam bentuk kontemporer dengan metode interpretasi hermeneutika.
ABSTRACT
Indonesia is an archipelago that known as a rich country with many cultures and natural resources. Indonesia has variety of tribes and traditions that make identity for every area from where the culture’s from.
Traditional architecture began to lose its exsistance in the development of modern architecture in Medan, especially in housing architecture. One of the characteristics of modern architecture is functional and universal, while Eastern still have special cultures and beliefs as their identities. This identity aspect began to be forgotten because of the mind setting of the people that follow the trend and there’s not many architects that want to try to explore the uniqueness of Indonesian Architecture, especially the architecture of Karonese house. This may cause the iteration of house style and monotonous.
In the history, Medan has three tribes that developed the city. These three tribes entered North Sumatera with different purposes and had different characteristics. As a tribute to one of the tribe that developed Medan, that is Karonese, and as an effort of the exploration of traditional architecture, the writer tries to give an alternative of housing design that created from the exploration of the Karonese house architecture and transformed to a contemporer house with an interpretation of hermeneutica architecture.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terkenal dengan kekayaan budaya
dan alamnya. Indonesia memiliki beraneka ragam suku dengan adat istiadat serta
budaya yang berbeda-beda yang menjadi ciri khas dari setiap daerah dimana budaya
tersebut berasal.
Setiap pulau di Indonesia didiami oleh suku yang berbeda. Setiap suku tersebut
mendiami satu daerah secara turun temurun, dan setiap daerah atau propinsi di
Indonesia memiliki suku aslinya masing-masing.
Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau Sumatera
yang memiliki keunikan multi-etnis sejak dulu. Wilayah ini dulunya dibangun dan
dikuasai oleh tiga suku yang berbeda, yaitu Karo, Batak Nias dan Melayu. Propinsi
ini beribu kota di Medan, yaitu kota terbesar ketiga di Indonesia yang memiliki
kebudayaan yang majemuk dikarenakan telah adanya bermacam-macam suku yang
tinggal didalamnya.
Menurut sejarahnya, Guru Patimpus merupakan seorang tokoh dari suku Karo
yang membuka perkampungan pertama di tanah Deli yang kemudian menjadi cikal
bakal kota Medan sekarang ini.34
34
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kota-Medan
Menurut Volker, pada tahun 1860, Medan masih
permukiman-permukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung
Malaya.35
Seiring dengan berjalannya waktu, Medan mulai didatangi dan dihuni oleh
berbagai suku dan bangsa. Medan saat ini menjadi kota dengan multi-etnis dan
tumbuh menjadi kota metropolitan. Masyarakatnya berlomba-lomba untuk
meningkatkan taraf hidup dan rumah tinggal menjadi tolak ukur keberhasilan.
Perjalanan kota Medan menjadi kota masa kini tidak dapat terlepas dari isu
globalisasi yang juga mempengaruhi mindset mayarakatnya, khususnya dalam
mencitrakan diri mereka pada rumah tinggal. Dengan sendirinya, mayoritas dari
masyarakat kota Medan berusaha untuk mengikuti style tertentu untuk diterapkan
dalam rumah tinggal mereka, seakan-akan ada hukum yang mengatakan jika tidak
mengikuti trend style tersebut, maka menandakan si pemilik rumah bukan orang yang
memiliki taraf hidup tinggi.
Mindset ini menyebabkan sering terjadinya perulangan style pada rumah
tinggal, bersifat global dan membaurkan identitas dari si pemilik rumah. Peran arsitek
dalam mengubah pola pikir masyarakat juga belum begitu kental terasa, dikarenakan
eksplorasi arsitektur lokal yang masih minim. Masyarakat memiliki pengetahuan
yang minim pula atas kekayaan arsitektur tradisional daerah mereka dan ada
anggapan bahwa arsitektur daerah merupakan arsitektur yang sudah ketinggalan
zaman dan tidak layak dipakai kembali.
35
1.2 Alasan Pemilihan Topik Permasalahan
Dilihat dari sejarahnya, Medan memiliki tiga suku yang berperan dalam
pengembangannya. Ketiga suku ini memasuki wilayah Sumatera Utara dengan cara
yang berbeda dan memiliki karakter yang berbeda pula.
Etnis Karo termasuk kedalam ras Proto Melayu bercampur dengan Negrito.
Eksistensi Karo diperkirakan mencuat sejak tahun 1250, karena waktu telah berdiri
kerajaan bernama kerjaan Haru (Aru) yang menurut sebagian orang dikuasai oleh
Karo. Kerajaan ini cukup kuat dan wilayahnya sangat luas, mulai dari Siak (Riau)
sampai ke sungai Wampu di Langkat, namun sekitar tahun 1539 kerajaan Haru kalah
dan hancur total akibat serangan tentara kerjaan Samudera Pasai dari Aceh. 36
Setelah
mengalahkan kerajaan Haru Deli tua, Tuanku Seri Paduka Gocah Pahlawan dari Aceh
mendirikan kesultanan Deli dan memindahkan ibukota dari Deli Tua ke Labuhan
Deli.37
Perkembangan kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah kebangsaan.
Sedangkan perkembangan arsitektur terjalin erat dengan sejarah kebudayaan suatu
bangsa.
Hal tersebut menyebabkan rakyatnya pergi menyelamatkan diri dari wilayah
kerajaan Haru ke seluruh penjuru tempat yang dianggap aman. Mereka yang pergi
dan menempati tempat yang baru diluar Asahan kemudian disebut orang Karo yang
sebenarnya adalah rakyat sisa perang Haru.
38
36
Pinem, Netty Valentina, A Brief Description Of Karonese Surname History
Ketika penjajah datang dan berkuasa, terjadilah kemerosotoan kebudayaan
37
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Medan, (2011), Sejarah Kota Medan,
38
yang berlanjut hingga era kemerdekaan yaitu terciptanya ‘mental terjajah’ dan
kecenderungan mengikuti budaya bangsa asing yang berkuasa, yang menyebabkan
lunturnya kebanggaan akan jati diri bangsa yang punya identitas budaya.
Untuk menghormati salah satu suku yang ada di kota Medan, yaitu suku Karo
sebagai suku yang membuka perkampungan pertama di kota Medan, dan sebagai
usaha dalam eksplorasi salah satu arsitektur rumah tradisional suku lokal yang
berperan dalam sejarah kota Medan, penulis mencoba untuk memberikan alternatif
desain rumah tinggal yang didapat dari eksplorasi bentuk arsitektur rumah tradisional
Karo yang nantinya dituangkan dalam bentuk kontemporer dengan metode
interpretasi hermeneutika.
1.3 Perumusan Masalah
Kasus yang dibahas adalah upaya eksplorasi bentuk arsitektur tradisional yang
mulai kehilangan eksistensinya didalam kemodern-an arsitektur yang terjadi di kota
Medan, terutama pada arsitektur rumah tinggal. Salah satu ciri dari arsitektur modern
adalah mengedepankan fungsi dan bersifat universal, sementara masyarakat Timur
masih memiliki kebudayaan khas dan kepercayaan yang kuat sebagai identitas.
Namun, aspek identitas ini mulai dilupakan dengan adanya pola berpikir
masyarakat yang ingin mengikuti trend, dan belum ada banyak arsitek yang berusaha
Karo khususnya, kedalam desain rumah tinggal masa kini. Hal ini mengakibatkan
adanya kecenderungan pola style rumah tinggal yang berulang dan monoton.
Adapun lingkupan permasalahan yang akan dibahas, yaitu:
1. Filsafat apa saja yang diterapkan dalam adat Karo dan bagaimana filsafat
tersebut mempengaruhi perancangan bentuk rumah adat Karo.
2. Bagaimana metode interpretasi yang diterapkan dalam menemukan esensi
arsitektur Karo.
1.4 Tujuan
Adapun tujuan dari pemilihan kasus, adalah:
1. Menemukan esensi dari budaya dan adat istiadat yang diterapkan dalam
perancangan rumah tradisional Karo.
2. Menerapkan esensi arsitektur tradisional Karo kedalam desain kontemporer
sebagai upaya menciptakan arsitektur rumah tinggal masa kini yang
memiliki identitas, bersifat lokalitas, dan memiliki makna.
1.5 Manfaat
Beberapa manfaat yang diharapkan dapat diambil melalui pemilihan kasus ini,
adalah:
2. Produk penelitian akan bermanfaat terhadap perkembangan ilmu arsitektur
nusantara berbasis etnis.
1.6 Keluaran
Berdasarkan proses pembahasan masalah nantinya akan mengeluarkan
produk-produk sebagai berikut:
1. Kajian teoritis tentang bentuk rumah tradisional Karo dan aspek-aspek
pembentuk rumah tradisional Karo.
2. Proses interpretasi yang dilakukan untuk menemukan esensi dari bentuk
rumah tradisional Karo dengan menggunakan metode interpretasi
Hermeneutika.
3. Hasil interpretasi kemudian dirumuskan dalam bentuk konsep perancangan
yang diterapkan dalam perancangan rumah tinggal kontemporer.
1.7 Metodologi
Metode yang dipakai dalam riset desain ini adalah metode penelitian kualitatif.
Alasan dari pemilihan metode penelitian dengan metode penelitian kualitatif adalah
karena menekankan pada segi kualitas secara alamiah karena menyangkut pengertian
konsep nilai serta ciri yang melekat pada objek penelitian lainnya.39
39
Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat hal.5 Dr. Kaelan M.S (2005) Yogjakarta
Bogdan dan
Taylor (1975; dalam Metodologi Penelitian Kualitatif karya Lexy J. Moleong,
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pakar lain, Denzin dan Lincoln (Moleong,
2007) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan
latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan
dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada (wawancara, pengamatan, dan
pemanfaatan dokumen).
Moleong sendiri secara sederhana mengatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Sementara sebuah asumsi
mengatakan bahwa dalam paradigma kualitatif, semakin subyektif sebuah penelitian,
maka semakin obyektif penelitian tersebut (Engkus Kuswarno, Kuliah Riset
Komunikasi MKOM-UMB, 2007). Hal ini menunjukkan ukuran objektivitas
penelitian kualitatif ditentukan oleh tingkat subjektivitas peneliti. Peneliti merupakan
bagian dari instrumen penelitian.
1.
Menurut Nazir, 1985, sebelum sebuah penelitian dilaksanakan, peneliti perlu
menjawab sekurang-kurangnya tiga pertanyaan pokok, yaitu:
2.
Urutan kerja atau prosedur apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan
suatu penelitian.
3.
Alat-alat (instrumen apa yang akan digunakan dalam mengumpulkan data
serta teknik yang akan digunakan dalam menganalisis data).
1.7.1 Urutan kerja dan prosedur
1.
Urutan kerja terdiri dari beberapa tahapan yaitu:
Pengumpulan data.
Data yang diperlukan untuk menyusun penelitian ini terdiri dari tiga yaitu
data teoritis, data fisik dan data wawancara. Berikut merupakan susunan
data yang dibutuhkan, disusun dalam bentuk Tabel 1.1.
Data Teoritis Data Fisik Data Wawancara
a.
1. Arsitektur Karo
b.
Data Historis Data Arsitektural
a.
2. Teori Hermeneutika
b. Sejarah Hermeneutika c. Makna hermeneutika menurut ahli d. Relevansi hermeneutika terhadap arsitektur Metode hermeneutika dalam desain a.
1. Data lokasi perancangan b. Lokasi c. Luas lokasi d. Batas-batas lokasi e. Pencapaian lokasi Peraturan daerah a.
2. Data studi banding proyek sejenis b. Lokasi c. Luas lokasi d. Batas-batas lokasi Data bangunan Sistem dan organisasi yang diterapkan
1. Data keterangan
aplikasi budaya dan adat istiadat Karo saat ini yang masih berlaku di
dalam keluarga
responden
2. Data kebutuhan
responden yang akan
diaplikasikan kedalam
perancangan rumah
tinggal.
Sumber: Penulis
1.7.2. Alat penelitian
Alat paling utama dalam meneliti dengan metode analisis Hermeneutika adalah
interpretasi dari si peneliti itu sendiri, dimana data yang terkumpul digodok dan
[image:31.612.116.517.304.546.2]1.7.3 Proses penelitian
Setelah data terkumpul, hal selanjutnya yang dilakukan adalah menganalisa data
untuk mendapatkan intisari yang digunakan dalam membentuk konsep awal.
Penganalisaan data dilakukan dengan dua tahapan berbeda. Data Teoritis dianalisa
dengan basis teori dari tema, yaitu teori dan metode Hermeneutika yang dikeluarkan
oleh para ahli, seperti tergambar pada Gambar 1.1.
Sementara data fisik dianalisa dengan basis arsitektural yang dilakukan untuk
mendapatkan potensi dan kekurangan seperti yang tergambar pada Gambar 1.2. Data
wawancara dibutuhkan untuk mendapatkan konsep elemen perancangan, karena
berisi tentang kebutuhan responden dalam menampung aktifitasnya didalam rumah,
seperti tergambar pada Gambar 1.3.
Data Teoritis Interpretasi Baru
Teori dan Metode Hermeneutika
ANALISA
1. Keluaran konsep awal.
Konsep awal didapatkan dengan mengkombinasikan interpretasi baru,
potensi dan kelemahan, serta elemen perencanaan untuk membuat konsep
perancangan dalam merancang rumah tinggal, seperti tergambar pada
Gambar 1.4.
Data Fisik Potensi &
Kelemahan
Teori Arsitektural
[image:33.612.130.526.117.553.2]ANALISA
Gambar 1.2 Analisa Data Fisik Sumber: Penulis
Data Wawancara konsep elemen
perancangan
Kebutuhan responden dalam
perancangan ANALISA
Kajian konsep awal berfungsi untuk melihat kekurangan dari konsep dan
melihat perbaikan dan penambahan apa saja yang harus dilakukan untuk
penyempurnaan konsep. Kajian ini dapat berlangsung berulang kali untuk
penyempurnaan menuju konsep akhir.
2. Keluaran konsep akhir dan desain.
Konsep akhir yang diterapkan dalam desain dapat dikeluarkan setelah
konsep dinilai cukup sempurna dan dipakai dalam mendesain proyek seperti
[image:34.612.113.527.123.362.2]tergambar pada Gambar 1.5.
Gambar 1.4 Pembentukan Konsep Perancangan Sumber: Penulis
Konsep Perancangan
awal Data Teoritis
Konsep elemen perencanaan Interpretasi
baru
Potensi dan kelemahan
Data Fisik Data Wawancara
Teori & Metode
Teori Arsitektural
Kebutuhan & keterangan
Konsep Perancangan awal Data Teoritis Konsep elemen perencanaa n Interpretasi baru Potensi dan kelemahan
[image:35.612.107.524.139.637.2]Data Fisik Data Wawancara Teori & Metode Teori Arsitektural Kebutuhan & keterangan d Alternatif 1 Konsep perancang Alternatif 2 Konsep perancang Dan seterusnya F e e d B a c k Konsep Perancang an akhir
Gambar 1.5 Diagram Keseluruhan Proses Menghasilkan Konsep Perancangan Akhir
1.8 Sistematika Penulisan Tesis
Sistem penulisan tesis terdiri dari beberapa bab dan tahapan yang terdiri dari:
BAB 1 PENDAHULUAN, berisi tentang latar belakang, alasan pemilihan topik
permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metodologi dan
sistematika penulisan tesis.
BAB 2 DESKRIPSI TEMA, menjelaskan pengertian dan elaborasi tema
hermeneutika dalam arsitektur untuk menyelesaikan perancangan rumah tinggal
disertai dengan contoh studi banding sesuai dengan tema tersebut.
BAB 3 PENERAPAN TEMA KE DALAM KASUS PROYEK, menjelaskan
kasus proyek, studi banding kasus proyek sejenis, relevansi tema terhadap kasus
proyek, eksplorasi penerapan tema ke dalam kasus proyek, serta rangkuman
hasil eksplorasi.
BAB 4 KONSEP PERANCANGAN FISIK, berisi tentang konsep-konsep
perancangan proyek yang berkaitan dengan tema yang dipilih.
BAB 5 RUMUSAN KRITERIA PERANCANGAN FISIK, berisi tentang
rumusan-rumusan dan kriteria-kriteria dalam merancang fisik bangunan yang
dalam hal ini adalah sebuah hasil reinterpretasi konsep rumah adat Karo dalam
suatu perumahan.
BAB 6 PENERAPAN/PENGUJIAN KRITERIA PERENCANAAN DAN
PERANCANGAN FISIK, berisi tentang rencana dan rancangan skematik
foto slide, dll. Selain itu, bab ini juga berisi model penerapan dan pengujian
berupa presentasi akhir, peta, gambar terukur, diagram, tabel, sketsa suasana,
maket studi, simulasi komputer, foto, slide, dll.
BAB 7 EVALUASI AKHIR DAN REKOMENDASI, berisi tentang evaluasi
akhir dan rekomendasi terhadap desain akhir.
DAFTAR PUSTAKA, memuat perbendaharaan pustaka yang benar-benar diacu
dalam tesis ini.
LAMPIRAN, berisi keterangan atau informasi yang diperlukan pada
pelaksanaan kegiatan, misalnya lembar kuesioner yang dipergunakan dalam
penelitian, dan sifatnya hanya melengkapi proposal.
Tesis merupakan jenis tesis perancangan, dimana penulis melakukan
sistematika tesis, namun hasil dari tesis tersebut diterapkan dalam perancangan suatu
kasus proyek sebagai uji analisa dan konsep yang telah dilakukan sebagai bahan
evaluasi. Dalam tesis desain ini, hasil analisa tersebut didapat berdasarkan proses
interpretasi dengan metode hermeneutika, sesuai dengan tema. Sistematika penulisan
LATAR BELAKANG KASUS
• Suku Karo sebagai salah satu suku asli kota Medan
• Rumah tinggal sebagai identitas penghuninya
• Arsitek sebagai eksplorator terhadap potensi lokalitas
PERMASALAHAN
• Eksplorasi arsitektur lokal yang masih minim
• Isu Glonalisasi menghilangkan makna / esensi lokalitas pada bentuk rumah masa kini
MAKSUD DAN TUJUAN
• Menemukan esensi dari budaya dan adat istiadat yang diterapkan dalam perancangan rumah tradisional Karo
• Menerapkan esensi arsitektur tradisional Karo kedalam desain kontemporer sebagai upaya menciptakan arsitektur rumah tinggal masa kini yang memiliki identitas, bersifat lokalitas, dan memiliki makna.
STUDI BANDING DAN LITERATUR • Studi arsitektur Karo
• Studi pengertian Tema
• Studi penerapan tema
PENGUMPULAN DATA • Data Teoritis
• Data Fisik
• Data wawancara
STUDI SITE
• Lokasi
• Ukuran site
• Peraturan pemerintah
ANALISA
• Analisa data teoritis: menggunakan metode hermeneutika untuk menghasilkan interpretasi baru
• Analisa data fisik : menggunakan teori arsitektural untuk menemukan potensi dan kelemahan dari site
PENERAPAN KONSEP PADA DESAIN BANGUNAN
Mengacu kepada hasil analisa data teoritis dan hasil analisa data fisik hingga mendapatkan guidelines dalam mendesain, yang kemudian akan dikaji ulang hingga mengeluarkan konsep akhir desain.
TESIS DESAIN F e e d B a c k F e e d B a c k
BAB II
DESKRIPSI TEMA
2.1 Pengertian Tema
Kata Hermeneutika memiliki makna sebagai interpretasi, yang menurut
penafsiran adalah “proses
lebih pembicara yang tak dapat menggunaka
Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika
dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas maknanya, objek
tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat
merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya.
yang sama, baik secara
simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai
interpretasi berurutan)”.
40
Didalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat karya Dr. Kaelan
M.S. dikatakan bahwa Hermeneutika dapat dijadikan sebuah metode dari sebuah
penelitian, yang merupakan metode yang sangat mendasar dalam ilmu-ilmu
humaniora, terutama dalam ilmu filsafat. Data yang dikumpulkan dari sumber data
dalam penelitian kemudian dianalisa, selain untuk diklasifikasi juga dikelompokkan
serta dilakukan display data sehingga kandungan nilai yang ada dapat ditangkap.
Analisis dilakukan oleh peneliti sendiri, dan relevan untuk digunakan dalam
40
penafsiran berbagai gejala, peristiwa, simbol dan nilai yang terkandung dalam unsur
kebudayaan yang muncul pada fenomena kehidupan manusia.41
2.1.1 Hermeneutika, filosofis terhadap arti interpretasi
Hermeneutika sebagai sebuah kata kerja Yunani, harmeneuin (menafsirkan) dan
kata bendanya adalah hermeneia (interpretasi)42
Martin Heidegger, yang melihat filsafat itu sendiri sebagai “interpretasi”, secara
eksplisit menghubungkan filsafat-sebagai-hermeneutika dengan legenda Yunani
tentang Dewa Hermes. Hermes diceritakan merupakan pembawa pesan takdir.
Herme>neuein berarti mengungkap sesuatu yang membawa pesan, sedangkan
herme>neeisin ton theon merupakan kata yang terdapat pada pernyataan-pernyataan
pujangga sebperti Sokrates dalam dialog Ion-nya, yang berarti utusan Tuhan. Maka,
dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari
Hermeneutika dan Hermeneutis mengasumsikan “proses membawa sesuatu untuk
dipahami”.
.
Mediasi dan proses membawa pesan agar dipahami yang dilakukan oleh
Hermes ini terkandung didalam semua tiga bentuk makna dasar dari herme>neuein
dan herme>neia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk
kata kerja sebagai berikut:
1. Mengungkapkan kata (to say).
41
Dr. Kaelan, M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, h.80
42
2. Menjelaskan (to explain).
3. Menterjemahkan (to translate).
Ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi
interpretasi. Dengan demikian interpretasi mengacu kepada tiga persoalan yang
berbeda, yaitu: (1) pengucapan lisan; (2) penjelasan yang masuk akal; (3) transliterasi
dari bahasa lain, yang kesemuanya mengarah pada pemahaman43
Seiring dengan perkembangan waktu, pada masa modern, Hermeneutika juga
mengalami pengembangan definisi, yaitu dalam enam bentuk yang berbeda. Sejak
kemunculannya, Hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya
prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan secara
kronologisnya sebagai berikut:
.
1. Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.
Pemahaman paling awal dari Hermeneutika muncul pada Bibel yang
merujuk kepada justifikasi historis karena penggunaannya yang muncul
pada buku-buku yang menginformasikan kaidah eksegesis kitab suci
(skriptur) di era modern. Peristiwa kemunculan kata tersebut ada di sebuah
judul buku karya J.C. Dannhauer, Hermeneutica sacra sive methodus
exponendarum sacrarum litterarum, yang diterbitkan pada 1654.44
43
Richard E.Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, h.15-16 44
2. Hermeneutika sebagai metodologi filologi secara umum.
Perkembangan rasionalisme, dan bersamaan dengannya, lahirnya filologi
klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh besar terhadap Hermeneutika
Bibel. Disana muncul metode kritik historis dalam teologi;45 baik pada
interpretasi Bibel “gramatis’ maupun “historis”, keduanya menegaskan bahwa
metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat
diaplikasikan pada buku yang lain. Misalnya, dalam buku pedoman
Hermeneutis dari Ernesti tahun 1761, yang menyatakan bahwa: “pengertian
verbal kitab suci harus didetermenasikan dengan cara yang sama ketika kita
mengetahui hal itu pada buku-buku lain.”46 Lessing juga pernah berkata
bahwa: “Kebenaran aksidental historis tak pernah bisa menjadi bukti dari
kebenaran pikiran.”47 Melalui pernyataan-pernyataan tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa, tantangan interpretasi selanjutnya adalah untuk membuat
Bibel relevan dengan pikiran rasional manusia.
3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.
Schleiermacher mempunyai distingsi tentang pemahaman kembali arti kata
Hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Konsepsi
Hermeneutika yang ia lakukan melebihi konsep Hermeneutika sebagai
45
Hans-Joachim Kraus, Geshichte der Historisch-kritishen Erfoschung der Alten Testaments von der Reformation bis zur Gegenwart, chapter 3 h.70-102
46
F.W.Farrar, History of Interpretation, h.402, Johann August Ernesti h.245
47
sejumlah kaidah dan berupaya membuat Hermeneutika sistematis-koheren,
sebuah ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam sebuah
dialog. Hasilnya adalah hermeneutika umum (allgemeine hermeneutik) yang
prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai pondasi bagi semua ragam
interpretasi teks.
4. Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi gesteswessenhshaften.
Wilhelm Dilthey, penulis biografi Scheliermacher dan salah satu pemikir
filsafat besar pada akhir abad ke-19, melihat hermeneutika sebagai inti
disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften, yaitu
semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi dan tulisan
manusia. Untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berkaitan
dengan hukum, karya sastra maupun kitab suci, membutuhkan tindakan
pemahaman historis.
5. Hermeneutika sebagai Fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial.
Hermeneutika dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu dan kaidah
interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenchaften, tetapi lebih
kepada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri.
Analisis Heidegger, seorang filosofis Jerman mengindikasikan bahwa
manusia. Dengan demikian, Hermeneutika Dasein Heidegger melengkapi,
khususnya sejauh ia mempresentasikan ontologi pemahaman, ia meneliti
bahwa Hermeneutika bukan hanya isi dari suatu buku atau teks, melainkan
sebuah metode yang memberikan pembuktian keberadaan manusia.
Hermeneutika dibawa selangkah lebih jauh, ke dalam kata linguistik, dengan
pernyataan kontroversial Gadamer, bahwa “Ada (Being)yang dapat dipahami,
adalah bahasa.” Hermeneutika adalah pertemuan dengan “Ada” melalui
bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik realitas manusia
dan Hermeneutika larut kedalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis
dari relasi bahasa dengan “Ada”, pemahaman, sejarah, eksistensi dan realitas.
6. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi, baik recollective maupun
iconoclastic.
Paul Ricoeur, dalam De’lintretation (1965), mendefinisikan hermeneutika
yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif
dan sentral dalam Hermeneutika. Berdasarkan dari pernyataannya, “yang kita
maksudkan dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang
menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, adalah sebuah interpretasi teks
partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang
sebagai sebuah teks.”48
48
Ricouer, De l’interpretation h.18
merupakan bentuk yang nyata akan hermeneutika yang dimaksud oleh
Ricoeur. Unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya terdapat disana:
a. Mimpi adalah teks, yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik.
b. Psikoanalisa, merupakan alat menginterpretasi untuk menterjemahkan
penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna tersembunyi.
Maka, yang dimaksud oleh Ricoeur bahwa objek interpretasi tidak sebatas
dalam teks di buku, tetapi dapat berupa teks dalam pengertian yang luas, bisa
berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos dan simbol yang terdapat
dalam masyarakat dan kebudayaan. Hermeneutika yang dimaksud oleh
Ricoeur adalah interpretasi yang digunakan manusia untuk meraih makna di
balik mitos dan simbol. 49 Studi Ricoeur membedakan antara simbol univocal
dan equivocal. Simbol univocal adalah tanda dengan satu makna yang
ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol. Sementara simbol
equivocal adalah tanda yang memiliki multi-makna (multiple meaning) yang
dapat membentuk kesatuan semantik antara makna yang nampak dan
memiliki signifikasi mendalam terhadap kandungan yang ada dibalik makna
tersebut.
2.1.2 Metode Hermeneutika dalam proses desain
Kaidah dan metode dari Hermeneutika tidak dapat terlepas dari teori
hermeneutic circle, yang pertama kali dikemukakan oleh Martin Heidegger dan
49
Hans-Georg Gadamer, yang menjelaskan bahwa ”hermeneutical circle has to do with
the circular relation of the whole and its parts in any event of interpretation. We
cannot understand the meaning of a part of a language event until we grasp the
meaning of the whole; we cannot understand the meaning of the whole until we grasp
the meaning of the part; understanding is circular”50
Dari teori diatas dapat dilihat bahwa kita tidak akan dapat mengerti maksud dari
kata-kata yang membuat suatu kalimat, hingga kita meletakkannya dalam konteks
kalimat tersebut secara keseluruhan; dan kita tidak dapat mengerti arti dari
keseluruhan kalimat hingga kita mengerti arti dari kata-kata yang terdiri didalamnya.
Pernyataan ini dikaitkan dalam berarsitektur oleh Profesor University of Sydney,
Adrian Snodgrass dan Richard Coyne dalam salah satu jurnal penelitian mereka, ”the
meaning of a concept depends on the context (or the horizon) within which it occurs,
but this context is made up of the concepts to which it gives meaning”51
Perbedaan antara pengaplikasian dari hermeneutic cycle dan metode proyeksi
dalam arsitektur telah diperdebatkan oleh arsitek-arsitek Adrian Snodgrass dan
Richard Coyne, bahwa “when designing, designers are continually being questioned.
They can facilitate that process by laying themselves open to the questions, leaving
themselves vulnerable, at risk, by taking the questions as a probing of their
50
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson, London, Basil Blackwell, 1962; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, London, Sheed and Ward, 1975
51
prejudgments; or they can proceed in a on-sided manner, asking questions of the
situation, but protecting their pre-established biases by not allowing themselves to be
questioned in return.”(Snodgrass, Coyne, 2006:47)52. Hal ini berarti jika metode
proyeksi memiliki tujuan pada hasil produk, maka hermeneutic cyle memiliki tujuan
pada prosesnya seperti tergambar pada Gambar 2.1.
\\
Schön mengatakan bahwa desain adalah ”reflection-in-action”, yang mana
merupakan percakapan reflektif dengan sebuah situasi. ”The principle is that you
work simultaneously from the unit and from the total and then go in cycles- back and
forth, back and forth...”53
52
Snodgrass, A., Coyne, R. (2006). Interpretation in Architecture: Design as a Way of Thinking, Routledge, London.
53
Donald A. Schön, The Reflective Practitioner—How Professionals Think in Action, New York, Basic Books, 1983.
Gambar 2.1 Perbedaan Tujuan dari Metode Proyeksi dan Hermeneutic Cycle
Sumber: Jurnal The Interpretation as a Method of Design or the Designer as the
Kita memulai dengan sebuah disiplin, yang mana di dalam hermeneutika,
adalah proyeksi dari masa pra-pemahaman. Disiplin proyeksi ini, menurut Schon,
adalah sebuah ”apabila”, yang diadopsikan untuk menemukan konsekuensi dan akan
selalu bisa berubah nantinya. Seorang desainer akan memulai mendesain dengan
membentuk sebuah situasi dalam imajinasinya. Situasi ini nantinya akan ”berbicara
kembali” dan desainer akan merespon feedback dari situasi tersebut dengan
”reflection-in-action” baik dari segi problem konstruksi, strategi aksi ataupun model
sebagai fenomena. Proses ini akan berkembang dalam sebuah lingkaran, ”back and
forth, back and forth”. Pada proses ini pula, seorang desainer bergerak secara sirkular
bagaikan membentuk jaring yang terdiri dari konsekuensi, implikasi, apresiasi dan
[image:48.612.173.467.415.649.2]langkah kedepan. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.
2.2 Elaborasi Tema
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau
makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek.
Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti.
Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara
sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan
yang benar.
Hukum Betti tentang interpretasi ”Sensus non est inferendus sed efferendus”
makna bukan diambil dari kesimpulan tetapi harus diturunkan. Penafsir tidak boleh
bersifat pasif tetapi merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual
penafsir. Pengalaman masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan
sejarah yang dimiliki.
2.2.1 Relevansi Hermeneutika dan arsitektur
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Moh.Ali Topan, seorang peneliti dari
Universitas Trisakti, dalam judul jurnalnya, Memahami Metode Hermeneutika dalam
Studi Arsitektur, Relevansi Hermeneutika dan Arsitektur terdiri dari 6 poin, sebagai
berikut:
1. Mengakui adanya pengaruh faktor-faktor non-fisik, selain faktor-faktor fisik
2. Memberi peluang pemahaman terhadap karya-karya arsitektur kota,
khususnya terhadap karya-karya tradisional, dengan demikian memperkaya
pemahaman atas makna arsitektur atau kota dalam hubungan dengan
masyarakat penghuninya.
3. Menciptakan dan mendorong terbentuknya arsitektur dan kota yang
bermakna yang terkait dengan warisan budaya masyarakat.
4. Memberi peluang arsitektur/kota tidak bermakna tunggal, sehingga
keunikan lokal tetap dapat tergali.
5. Meningkatkan kesadaran atau sensitifitas akan perbedaan-perbedaan dalam
karya arsitektur dan kota.
6. Mengakui keberadaan arsitektur atau kota tradisional dengan unsur-unsur
metaforis, simbolik maupun unsur mistiknya.
Arsitektur bukan hanya tentang proporsi, komposisi, teknis konstruksi tetapi
juga tentang menemukan diri. Budaya membantu manusia menemukan dan memiliki
integritas. Dalam dunia saat ini, manusia dituntut berjalan makin cepat, bertindak
cepat, berpikir cepat. Tidak ada cukup ruang dan waktu bagi perenungan. Mungkin
juga bagi budaya. Perlahan-lahan tapi pasti, kita sedang menyaksikan evolusi
pemusnahan budaya yang beragam. Keseragaman (arsitektur) terjadi dari Aceh
sampai Papua. Arsitektur tradisional hanya masa lalu yang layak dilestarikan saja
2.3 Studi Banding
Studi banding terdiri dari arsitek dunia Barat dan dunia Timur untuk
membandingkan bagaimana cara pikir dari dua arsitek dengan aliran yang berbeda.
2.3.1 Interpretasi arsitek Barat
Metode dalam mendesain telah diperdebatkan sejak tahun 1950-an, dan teori
akan metode desain terus berkembang hingga saat itu. Carlo Scarpa menemukan
pertanyaan-pertanyaan dari pernyataan Frank Lloyd Wright yang mengatakan bahwa
“architecture may be poetry”. Frank mengemukakan bahwa arsitektur adalah ibarat
sebuah puisi. Bagi Scarpa, arsitektur hanya sesekali menjadi puisi. Kehidupan sosial
tidak selamanya meminta dan membutuhkan puisi. Tidak perlu berpikiran untuk
membuat arsitektur yang puitis. Puisi lahir dari sebuah objek dan muncul dari objek
itu sendiri. Pertanyaannya adalah, kapan ia harus dibuat dengan puisi dan kapan
tidak? (Scarpa cit in Dal Co-Mazzariol 1987:283).54
Berpikir lebih lanjut, Carlo Scarpa mengevaluasi semua variabel projeknya
sebelum mengoperasikannya, namun tidak dimulai dari ruang, melainkan dari sebuah
detail, yaitu bagian dari keseluruhan desain. Dalam kasus dari salah satu proyeknya,
Castelvecchio Museum di Verona, Scarpa melakukan berbagai percobaan terhadap
pintu masuk dari sebuah museum, dan memutuskan untuk menggunakan satu pintu
masuk dan keluar. Bertindak sebagai seorang interpretor, Carlo Scarpa memahami
museum tersebut sebagai sebuah organisme, proses proyeksi untuk membuatnya
54
menjadi projek berdasarkan ketidakleluasaan yang memberikan karakter dari proses
“Scarpian” sebagai sebuah interpretasi. Dalam pekerjaan Scarpa tersebut,
bagian-bagian kecil dari sebuah desain diidentifikasikan sebagai dialog terhadap projek
tersebut yang menghasilkan ruang, makna, fungsi, arsitektur dan pemakai.
Scarpa melakukan sebuah modus operandi, yaitu menginterpretasikan
penyesuaian diatas dan mengintegrasikan mereka kedalam sebuah bentuk tanggung
jawab dan pengalaman yang dapat dilihat dalam bentuk komposisi bersatunya masa
lampau dan masa sekarang. Tidak selalu tertarik dengan proyek yang puitis, namun
sebuah proyek yang sempurna untuk digunakan oleh semua. Interior dari museum
Castevecchio dapat dilihat pada Gambar 2.3, sedangkan lokasi pintu masuk dari
[image:52.612.261.384.416.603.2]bangunan ini dapat dilihat pada denah Gambar 2.4.
Gambar 2.3 Interior museum Castelvecchio, Vienna, Italia Sumber: Dal Co, F., Mazzariol, G. (1987). Carlo Scarpa,
2.3.2 Interpretasi arsitek Timur
Arsitek Jepang memiliki filosofi kesederhanaan yang juga tidak terlepas dari
ajaran kepercayaan yang mereka anut. Untuk mencapai kesederhanaan dalam desain,
kreativitas dan imaginasi untuk menghubungkannya dengan konsep arsitektur
dilakukan dengan cara proyeksi dari elemen desain seperti kolom, balok dan taman.
Arsitek Charles Jenks dalam bukunya Modern mouvment en Architecture
(1973) mengatakan bahwa paradoks modernitas arsitektur Jepang memberikan
sebuah bentuk-bentuk yang baru, ekspresi dari masa kini yang mengedepankan
elemen dari desain dan teknologi serta perhatian terhadap detail dan terintegrasi
dengan alam.
Setelah perang dunia kedua, Jepang bereksperimen dengan transformasi,
termasuk dalam bidang arsitektur untuk menerima budaya tradisional Jepang (Shinto)
dan budaya baru Buddha, yang mana memiliki konsep baru dan modern dan memiliki Gambar 2.4 Denah Museum Castelvecchio dengan satu
Pintu Keluar dan Masuk
kesamaan basis, yaitu kesederhanaan. Sebagai bukti dari modernitas yang terjadi di
Jepang adalah tidak dipakainya kayu sebagai material pokok, namun menggunakan
baja dan beton.
Hasil interpretasi kesederhanaan dari arsitektur modern Jepang terhadap
arsitektur tradisionalnya diterjemahkan dalam tiga bentuk utama, yaitu:
1. Konsep transparan untuk menguatkan konsep kesederhanaan dengan
material modern.
2. Kejujuran struktur, dimana struktur diekspos dan ditonjolkan sebagai
elemen.
3. Integrasi dengan alam, dimana bangunan tidak berusaha didesain untuk
lebih menonjol dibandingkan alam sekitarnya dan memiliki koneksi.
Salah satu contoh arsitek Jepang yang melakukan proses modernitas arsitektur
Jepang dengan metode interpretasi adalah Kenzo Tange. Melalui partisipasinya dalam
kompetisi-kompetisi arsitektur, Tange melakukan upaya interpretasi dari arsitektur
monumental Jepang dan hubungannya dengan tradisi, kreasi seni, lingkungan dan
skala. Prinsip Tange dalam kemonumental-an menunjukkan pengaplikasian filosofi
modern. Tange merupakan satu dari arsitek-arsitek pertama yang mengacu kepada
teori hermeneutik Heidegger (1936), dengan esai filosofis yang berjudul “Eulogy to
Michelangelo: introduction to a study of Le Corbusier” (1939), dimana dia bertujuan
bangunan The Greater East Asian Co-Prosperity Sphere Memorial, dikenal dengan
Hiroshima Peace Memorial Park yang ia menangkan dalam kompetisi Daitoa
Competition, 1942.55
Skema arsitektural Tange untuk Daitoa Memorial mengacu pada arsitektur asli
Jepang, dan lebih tepatnya mengacu pada satu bangunan, Kuil Ise, yang hancur dan
dibangun kembali setiap 20 tahun, dan merupakan simbol dari keindahan abadi dari
Jepang. Dalam catatan keterangan dari kompetisi tersebut, Tange mengkritik
monumentalitas barat yang memiliki karakter kuantitatif dengan bentuk-bentuk
abstrak yang kehilangan kontak dengan alam.Dalam arsitektur Jepang, penyembahan
terhadap alam telah menjadikan sebuah tempat menjadi monumental, dan
menjadikannya ruang dengan pengalaman. Hal inilah yang ia terapkan dalam
perancangan Daitoa Memorial yang mengambil koneksi bangunannya dengan alam:
ia terbuka dengan lanskap disekelilingnya dan terhubung dengan perancangan kota
dan jaringan teritorial. Fasade baru dari bangunan ini dapat dilihat pada Gambar 2.5.
55
Benoît Jacquet, A reinterpretation of the Origins of Japanese Architecture in Tange Kenzô’s Monumental Architecture (1942-1956)Benoît Jacquet
Gambar 2.5 Hiroshima Peace Memorial Park
Sumber: Benoît Jacquet, A reinterpretation of the Origins of
Proses desain dari bangunan ini terintegrasi dalam sebuah tempat dimana
manusia bersatu dengan keseluruhan dimensi lingkungannya, sesuai dengan teori dari
Heidegger dalam bukunya Quadriparti, 1945, dan arsitektur bukanlah sebuah objek
yang terisolir, melainkan sesuatu yang terkoneksi dengan kota dan perencanaan
BAB III
PENERAPAN TEMA KEDALAM KASUS PROYEK
3.1 Deskripsi Proyek
3.1.1 Lokasi proyek
Lokasi yang dipilih adalah tanah kosong yang berada di Komplek Perumahan
Taman Setia Budi Indah dengan batas-batas site sebagai berikut:
Utara : Rumah warga
Selatan : Jalan Chrysan Raya/Lapangan Golf
Timur : Rumah warga
Barat : Jalan
Pencapaian tapak dapat dilakukan dari Jalan Setia Budi, masuk kedalam
perumahan Tasbi dan jalan Chrysan Raya, berkisar 567 meter dari gerbang
perumahan dan 2.7 km dari Universitas Sumatera Utara seperti yang tergambar dalam
Gambar 3.1 dan 3.2, serta gambar lokasi pada peta terhitung CAD pada Gambar 3.3.
SITE
JL.SETIA BUDI Gambar 3.1 Lokasi dan Pencapaiannya
Gambar 3.2 Lokasi dan Area Sekitarnya Sumber: Googlemap
[image:58.612.182.460.376.597.2]3.1.2 Luas
Luas site adalah berkisar 1080,8 meter kuadrat, ukuran panjang 37,4 x 29,8
meter, dengan kondisi masih kosong dan cenderung berkontur datar seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar 3.4.
Tanah merupakan milik
perumahan dan dapat dibeli oleh warga
dengan kondisi tanah belum terjual. 3.1.3 Status kepemilikan
3.2 Studi Banding Kasus Proyek Sejenis
Studi banding tematik yang diambil adalah karya-karya dari arsitek Indonesia
bernama Yu Sing. Beliau terkenal karena karya-karyanya yang menggali potensi
arsitektur nusantara, dan menginterpretasikannya kedalam bentuk kemasan masa kini.
Berikut merupakan contoh karya-karya dari Yu Sing yang dapat dijadikan studi
banding bagi penulis untuk membuat perancangan kasus proyek untuk
mengeksplorasi arsitektur nusantara dan menggali potensinya. Gambar 3.4 Kondisi Site Berupa Lahan Kosong
3.2.1 Interpretasi rumah Nias56
Tema ini dipilih untuk diaplikasikan pada salah satu proyek rumah yang
dikerjakannya, karena kebetulan pemilik rumah adalah orang bersuku Nias.
Hal-hal yang ia lakukan untuk dapat merancang rumah ini adalah
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya segala sesuatu yang berkenaan
dengan arsitektur Nias, meneliti fungsi ruang dan menghubungkannya dengan adat
istiadat masyarakatnya, mengumpulkan filosofi arsitektur beserta pola dan ukiran
yang ada, baru kemudian menggabungkan keduanya dan membuat konsep
interpretasi untuk membuat bentukan baru rumah tinggal dengan esensi rumah Nias.
Berikut merupakan poin-poin yang dihasilkan berdasarkan proses interpretasi
yang ia lakukan:
1. Semi panggung.
Konsep rumah panggung tetap dipertahankan, walaupun menjadi semi
panggung. Hal ini berkaitan dengan jawaban dari iklim setempat, namun
juga tetap memperhitungkan kebutuhan ruang, sehingga desain rumah yang
dihasilkan adalah berkonsep semi panggung dengan ruang-ruang pblik
berada pada lantai satu dan bersifat tidak masif. Dilihat dari depan, rumah
masih berkesan seakan menggunakan sistem panggung, seperti terlihat pada
Gambar 3.5 dan 3.6.
2. Atap disederhanakan.
Bentukan atap disederhanakan untuk menghasilkan bentukan yang lebih
masa kini. Desain atap yang baru dibuat dengan mengambil bentuk asli atap
rumah adat Nias, lalu menghilangkan beberapa bentukan dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti pada Gambar 3.7 sehingga
menghasilkan bentukan seperti pada Gambar 3.8.
S
Ga Walaupun Hanya Dibagian-bagian Tertentu
Sumber: www.rumah-yusing.blogspot.com
[image:61.612.222.453.105.371.2]3. Kembar, tidak tunggal.
Pola rumah adat Nias tersusun secara berderet dan tidak terpisah. Maka
bentukan massa dari rumah tinggal yang baru ini pun dibuat dengan
demikian, dapat dilihat pada Gambar 3.9 dan 3.10.
[image:62.612.237.420.562.662.2]
Gambar 3.8 Gambar Atap Hasil Transformasi Sumber: www.rumah-yusing.blogspot.com
4. Area pesta
Menyatukan taman gsb, kolam, teras, ruang keluarga bawah panggung
seperti terlihat pada Gambar 3.11, dan terihat suasana area serba guna pada
[image:63.612.257.386.441.638.2]Gambar 3.12.
Gambar 3.11 Taman, GSB, Kolam dan Teras Serta Ruang Keluarga yang Besar, Menjadi Area Berkumpul dan Pesta
Sumber: Sumber: www.rumah-yusing.blogspot.com
Gambar 3.12 Area Serba Guna yang Terdapat Dibawah Lantai Panggung untuk Tempat Berkumpul dan Berpesta
5. Jalusi Bambu pada fasad
Berusaha untuk mengikuti repetisi bidang vertikal yang juga terdapat pada
rumah adat Nias yang berderet seperti pada Gambar 3.13 dan 3.14.
Denah dan site plan dari rumah ini dapat dilihat pada Gambar 3.15, 3.16. dan
3.17. Dari Gambar site plan, terlihat bahwa bangunan terdiri dari dua massa
yang digabungkan, dan terdiri dari dua lantai.
Gambar 3.13 Jalusi Bambu pada Fasad Sebagai Bentuk Repetisi Vertikal
Sumber: Sumber: www.rumah-yusing.blogspot.com
Gambar 3.14 Suasana Interior pada Area Connecting
[image:65.612.225.421.369.591.2]
Gambar 3.15 Site Plan Rumah Hasil Reinterpretasi
Rumah Adat Nias
Sumber: Sumber: www.rumah-yusing.blogspot.com
Gambar 3.16 Denah Lantai 1 Sumber:
2.3.2 Interpretasi Rumah Panjang57
Proyek ini merupakan karya pertama dari Yusing dan tim di tanah Kalimantan
yang merupakan hasil interpretasi dari rumah adat Panjang. Sang pemilik rumah
bukan bersuku Dayak dan bangga akan rumahnya yang terinspirasi oleh rumah
Panjang.
Struktur rumah dari kayu ulin bekas, sebagian besar material kayunya pun kayu
bekas yang digunakan kembali. proses membangunnya menjadi panjang, sambil
menunggu kayu bekas di pasaran pengepul kayu, walaupun akhirnya sebagian kecil
(rangka pergola halaman parkir) memakai kayu baru. Fasade dari rumah dapat dilihat
pada Gambar 3.18.
57
[image:66.612.216.400.106.403.2]
Gambar 3.17 Denah Lantai 2 Sumber:
Sisi kiri merupakan bangunan kantor yang fasadnya mentransformasi motif
dayak akar betaut, yang maknanya persatuan dan kesatuan umat manusia. Belajar dari
arsitektur tradisional memang seringkali menitipkan makna-makna kehidupan yang
lebih luas melalui berbagai hal, salah satunya