• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI TEMA

2.3 Studi Banding

Studi banding terdiri dari arsitek dunia Barat dan dunia Timur untuk membandingkan bagaimana cara pikir dari dua arsitek dengan aliran yang berbeda.

2.3.1 Interpretasi arsitek Barat

Metode dalam mendesain telah diperdebatkan sejak tahun 1950-an, dan teori akan metode desain terus berkembang hingga saat itu. Carlo Scarpa menemukan pertanyaan-pertanyaan dari pernyataan Frank Lloyd Wright yang mengatakan bahwa “architecture may be poetry”. Frank mengemukakan bahwa arsitektur adalah ibarat sebuah puisi. Bagi Scarpa, arsitektur hanya sesekali menjadi puisi. Kehidupan sosial tidak selamanya meminta dan membutuhkan puisi. Tidak perlu berpikiran untuk membuat arsitektur yang puitis. Puisi lahir dari sebuah objek dan muncul dari objek itu sendiri. Pertanyaannya adalah, kapan ia harus dibuat dengan puisi dan kapan

tidak? (Scarpa cit in Dal Co-Mazzariol 1987:283).54

Berpikir lebih lanjut, Carlo Scarpa mengevaluasi semua variabel projeknya sebelum mengoperasikannya, namun tidak dimulai dari ruang, melainkan dari sebuah detail, yaitu bagian dari keseluruhan desain. Dalam kasus dari salah satu proyeknya, Castelvecchio Museum di Verona, Scarpa melakukan berbagai percobaan terhadap pintu masuk dari sebuah museum, dan memutuskan untuk menggunakan satu pintu masuk dan keluar. Bertindak sebagai seorang interpretor, Carlo Scarpa memahami museum tersebut sebagai sebuah organisme, proses proyeksi untuk membuatnya

54

menjadi projek berdasarkan ketidakleluasaan yang memberikan karakter dari proses “Scarpian” sebagai sebuah interpretasi. Dalam pekerjaan Scarpa tersebut, bagian-bagian kecil dari sebuah desain diidentifikasikan sebagai dialog terhadap projek tersebut yang menghasilkan ruang, makna, fungsi, arsitektur dan pemakai.

Scarpa melakukan sebuah modus operandi, yaitu menginterpretasikan penyesuaian diatas dan mengintegrasikan mereka kedalam sebuah bentuk tanggung jawab dan pengalaman yang dapat dilihat dalam bentuk komposisi bersatunya masa lampau dan masa sekarang. Tidak selalu tertarik dengan proyek yang puitis, namun sebuah proyek yang sempurna untuk digunakan oleh semua. Interior dari museum Castevecchio dapat dilihat pada Gambar 2.3, sedangkan lokasi pintu masuk dari bangunan ini dapat dilihat pada denah Gambar 2.4.

Gambar 2.3 Interior museum Castelvecchio, Vienna, Italia Sumber: Dal Co, F., Mazzariol, G. (1987). Carlo Scarpa,

2.3.2 Interpretasi arsitek Timur

Arsitek Jepang memiliki filosofi kesederhanaan yang juga tidak terlepas dari ajaran kepercayaan yang mereka anut. Untuk mencapai kesederhanaan dalam desain, kreativitas dan imaginasi untuk menghubungkannya dengan konsep arsitektur dilakukan dengan cara proyeksi dari elemen desain seperti kolom, balok dan taman.

Arsitek Charles Jenks dalam bukunya Modern mouvment en Architecture

(1973) mengatakan bahwa paradoks modernitas arsitektur Jepang memberikan sebuah bentuk-bentuk yang baru, ekspresi dari masa kini yang mengedepankan elemen dari desain dan teknologi serta perhatian terhadap detail dan terintegrasi dengan alam.

Setelah perang dunia kedua, Jepang bereksperimen dengan transformasi, termasuk dalam bidang arsitektur untuk menerima budaya tradisional Jepang (Shinto) dan budaya baru Buddha, yang mana memiliki konsep baru dan modern dan memiliki

Gambar 2.4 Denah Museum Castelvecchio dengan satu Pintu Keluar dan Masuk

Sumber: Dal Co, F., Mazzariol, G. (1987). Carlo Scarpa, 1906-1978, Edizione Electa, Milan

kesamaan basis, yaitu kesederhanaan. Sebagai bukti dari modernitas yang terjadi di Jepang adalah tidak dipakainya kayu sebagai material pokok, namun menggunakan baja dan beton.

Hasil interpretasi kesederhanaan dari arsitektur modern Jepang terhadap arsitektur tradisionalnya diterjemahkan dalam tiga bentuk utama, yaitu:

1. Konsep transparan untuk menguatkan konsep kesederhanaan dengan

material modern.

2. Kejujuran struktur, dimana struktur diekspos dan ditonjolkan sebagai

elemen.

3. Integrasi dengan alam, dimana bangunan tidak berusaha didesain untuk

lebih menonjol dibandingkan alam sekitarnya dan memiliki koneksi.

Salah satu contoh arsitek Jepang yang melakukan proses modernitas arsitektur Jepang dengan metode interpretasi adalah Kenzo Tange. Melalui partisipasinya dalam kompetisi-kompetisi arsitektur, Tange melakukan upaya interpretasi dari arsitektur monumental Jepang dan hubungannya dengan tradisi, kreasi seni, lingkungan dan skala. Prinsip Tange dalam kemonumental-an menunjukkan pengaplikasian filosofi modern. Tange merupakan satu dari arsitek-arsitek pertama yang mengacu kepada

teori hermeneutik Heidegger (1936), dengan esai filosofis yang berjudul “Eulogy to

Michelangelo: introduction to a study of Le Corbusier” (1939), dimana dia bertujuan memahami kemurnian dari kreasi arsitektural Le Corbusier. Realisasinya adalah

bangunan The Greater East Asian Co-Prosperity Sphere Memorial, dikenal dengan

Hiroshima Peace Memorial Park yang ia menangkan dalam kompetisi Daitoa

Competition, 1942.55

Skema arsitektural Tange untuk Daitoa Memorial mengacu pada arsitektur asli

Jepang, dan lebih tepatnya mengacu pada satu bangunan, Kuil Ise, yang hancur dan dibangun kembali setiap 20 tahun, dan merupakan simbol dari keindahan abadi dari Jepang. Dalam catatan keterangan dari kompetisi tersebut, Tange mengkritik monumentalitas barat yang memiliki karakter kuantitatif dengan bentuk-bentuk abstrak yang kehilangan kontak dengan alam.Dalam arsitektur Jepang, penyembahan terhadap alam telah menjadikan sebuah tempat menjadi monumental, dan menjadikannya ruang dengan pengalaman. Hal inilah yang ia terapkan dalam

perancangan Daitoa Memorial yang mengambil koneksi bangunannya dengan alam:

ia terbuka dengan lanskap disekelilingnya dan terhubung dengan perancangan kota dan jaringan teritorial. Fasade baru dari bangunan ini dapat dilihat pada Gambar 2.5.

55

Benoît Jacquet, A reinterpretation of the Origins of Japanese Architecture in Tange Kenzô’s Monumental Architecture (1942-1956)Benoît Jacquet

Gambar 2.5 Hiroshima Peace Memorial Park

Sumber: Benoît Jacquet, A reinterpretation of the Origins of

Proses desain dari bangunan ini terintegrasi dalam sebuah tempat dimana manusia bersatu dengan keseluruhan dimensi lingkungannya, sesuai dengan teori dari

Heidegger dalam bukunya Quadriparti, 1945, dan arsitektur bukanlah sebuah objek

yang terisolir, melainkan sesuatu yang terkoneksi dengan kota dan perencanaan teritorial. (Gledion, Leger, Sert, 1943).

BAB III