• Tidak ada hasil yang ditemukan

EPISTEMOLOGI EKONOMI MAZHAB AUSTRIA

Dalam dokumen filsafat ekonomi islam silahka di download (Halaman 160-173)

Mazhab Austria tidak hanya berhenti pada saat gelombang kritik dari Ilmu Ekonomi baru berkembang, misalnya dengan munculnya pemikiran Alfred Marshall dan kritik Keynesian. Ia terus berkembang sampai kini dan menghasilkan teori epistemology khas yang disebut praksiologi. Salah satu tokoh mutakhirnya adalah Hans-Hermann Hoppe. Hoppe di masa mudanya adalah pemuda berhaluan kiri. Namun, setelah membaca kritik Bohm-Bawerk terhadap pemikiran Marx, ia segera menyadari bahaya dari ilusi besar yang selama itu merundungnya. Untuk beberapa waktu kemudian, ia menjadi penganut pandangan Popperian dan menjadi seorang demokrat sosialis; hingga akhirnya ia memutuskan untuk mendalami ilmu ekonomi dan sosiologi sekalian.

Dalam periode ini Hoppe tiba pada sebuah kesimpulan penting: bahwa ada ilmu pengetahuan yang teorema-teoremanya tidak terbantahkan, termasuk juga di bidang ilmu sosial. Penelusan ini membawanya kepada kesimpulan bahwa hukum- hukum ekonomi pun ternyata bersifat a priori, yang dapat ditelusuri melalui silogisme deduksi. Namun, baru setelah ia tanpa sengaja terpapar pada pemikiran Ludwig von Mises-lah ia benar-benar menyadari posisinya dan warna keilmuwanannya.

Kesadaran ini menjadi satu faktor penentu keputusannya untuk hijrah dari Jerman (negara asalnya) ke AS untuk mendalami pemikiran Mises melalui murid Mises dan ekonom terpenting pemikir Austria saat itu, yaitu Murray Newton Rothbard. Bagi Hoppe, Prof. Rothbard adalah mentornya secara langsung, yang lalu juga menjadi kolega dan sahabat. Hubungan profesional dan persahabatan mereka berlanjut hingga sang mentor meninggal dunia di bulan Januari 1995.

Begitu kira-kira evolusi ―pembaptisan‖ akal dan kehendak sang Profesor. Prof. Hoppe adalah seorang senior fellow di Ludwig von Mises Institute. Ia penulis buku-buku seperti: Handln und Erkennen (1976), Kritik deer Kausalwissenschaftlichen Sozialforschung (1983), Eigentum, Anarchie, und Staat (1987), A Theory of Socialism and Capitalism (1989), The Economics and Ethics of Private Property (1993), dan sejumlah artikel di jurnal Review of Austrian Economics; penyunting The Quarterly Journal of Austrian Economics dan The Journal of Libertarian Studies hingga 2004; editor penerbitan edisi khusus dari Human Action; pengarang pengantar edisi baru buku Rothbard, Ethics of Liberty (1998).

Titik Berangkat Epistemologi Mazhab Austria

151Disa ika da i p aksiologi dala www.

Pada Bohm-Bawerk menolak kritik Marx atas kapitalisme, ia hanya menggunakan logika sederhana tentang efek dari bayaran langsung versus bayarang tertunda dan mengenai efek resiko.Hal yang sama dilakukan oleh Menger mengenai Law of Inputation. Logika yang dikemukakan adalah logika biasa yang dialami oleh semua orang dan karenanya mudah diterima.Cara berargumen Bohm-Bawerk dan Menger ini kemudian menginspirasi Ludwig von Mises untuk merekonstruksi kekhasan tindakan ekonomi.

Ekonomi menurut Ludwig von Mises terkait dengan tindakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai empiris ataupun idealis. Tindakan ekonomi adalah tindakan yang khas praksis, untuk itu epistemology yang digunakannya adalah praksiologi

Bagaimana tindakan dalam ekonomi?

Ekonomi adalah ilmu pengetahuan tentang tindakan manusia. Pernyataan- pernyataan dan proposisi-proposisinya tidak berasal dari pengalaman, karena itu tindakan manusia-ekonomi tidak dapat disamakan dengan fenomena alam. Untuk bisa memahami ini mari kita cermati pemikiran John E. Cairnes yang mengatakan bahwa ada perbedaan antara fenomena alam dan peristiwa tindakan ekonomi. Cairnes menyatakan jika ―manusia tidak memiliki pengetahuan langsung tentang prinsip- prinsip ultimat dalam ilmu fisika‖ . . . Seseorang harus terlebih dahulu melakukan pengamatan atas fenomena alam berulangkali barulah ia memahami prinsip-prinsip ultimat dalam ilmu fisika, jadi pengetahuan tentang alam ditemukan kemudian melalui observasi. Sementara tindakan ekonomi seperti menginginkan keuntungan selisih dari suatu barang bukanlah hasil dari pengamatan melainkan tindakan murni manusiawi, yang juga berarti sebab ultimatnya sudah menyatu dengan kemanusiaan manusia. Untuk itu Cairnes menyebutnya dalam pernyataan ―ekonom memulai dengan sebuah pengetahuan tentang sebab-sebab ultimatnya.‖ Karena itu,

―Perkara tebak-menebak [dalam ilmu ekonomi] jelas tidak memiliki tempatnya, oleh sebab kita telah memiliki dalam kesadaran kita dan dalam testimoni semua indera kita. . . bukti langsung dan mudah terhadap apa yang ingin kita ketahui. Oleh karena itu, di dalam P olitical Economy, hipotesis tidak pernah dipakai sebagai bantuan terhadap penemuan atas sebab-musabab dan kaidah-kaidah ultimat.‖152

Seperti halnya logika dan matematika, semua pernyataan dan proposi ilmu ekonomi bersifat apriori, yang tidak tunduk terhadap verifikasi dan falsifikasi atas dasar pengalaman dan fakta (sebagaimana pengetahuan aposteriori). Keberadaan tindakan ekonomi bersifat mendahului, baik secara logis maupun temporal..153 Untuk meneguhkan status ekonomi sebagai ilmu pengetahuan murni, atau disiplin yang lebih memiliki banyak kesamaan dengan logika terapan ketimbang, misalnya, dengan ilmu pengetahuan alam yang empiris, Mises kemudian mengusulkan istilah

152

John E. Cairnes, The Character and Logical Method of Political Economy (New York: Augustus Kelley, 1965), hal. 83,87,89-90,95-96.

153

―praksiologi‖ (logika tindakan) untuk menyebut cabang-cabang ilmu pengetahuan semacam ekonomi154.

Penilaian bahwa ekonomi merupakan ilmu pengetahuan yang apriori, atau yang proposisi-proposisinya dapat dijustifikasikan melalui logika yang ketat, inilah yang membedakan para ekonom dalam tradisi Austria, atau tepatnya para Misesian, dari kelompok ekonom berhaluan lain saat ini. Kebanyakan ekonom memandang ekonomi sebagai sains empiris sebagaimana fisika. Mereka mengembangkan berbagai hipotesis untuk diuji terus-menerus secara empiris. Dan mereka menganggap pandangan dogmatik dan non-ilmiah Mises (yang meyakini bahwa teorema-teorema ekonomi-seperti kaidah faedah marjinal, atau kaidah imbal (the law of returns), atau teori preferensi-waktu tentang bunga dan teori siklus bisnis) dapat dibuktikan secara pasti sedemikian rupa --sehingga terlihat secara gambling-- akan menjadi kontradiktif.

Mises menyatakan bahwa tindakan ekonomi bukanlah jenis fenomena aposteriori (yang berasal dari pengalaman) melainkan hal yang apriori (berada dalam kesadaran). Dua istilah ini, aposteriori dan apriori, terkait dengan teori epistemology Imanual Kant serta menolak logika epistemology materialism. Untuk itu, Mises dan Hoppe menguraikan secara jelas kaitan antara praksiologi dengan Kant dan Empirisisme.

Kritik Praksiologi atas Epistemologi Imanuel Kant155

Kant di sepanjang kritiknya terhadap empirisme klasik, terutama terhadap pandangan David Hume. Kant mengembangkan gagasan bahwa semua proposisi dapat diklasifikasikan ke dalam dua kemungkinan: di satu sisi, (1) jika tidak analitik, sebuah proposisi dikatakan bersifat sintetik; dan di sisi lain (2) jika tidak apriori, maka ia disebut sebagai aposteriori.

Arti singkat masing-masing adalah sebagai berikut. Sebuah proposisi disebut analitik ketika cara pemahamannya berupa logika formal (means of formal logic) sudah memadai untuk menentukan apakah ia benar atau salah; jika tidak memadai, maka proposisi tersebut dikatakan sintentik. Dan proposisi disebut aposteriori ketika observasi diperlukan untuk menentukan kebenarannya atau setidaknya untuk mengonfirmasikan hal tersebut. Jika observasi tidak diperlukan, maka proposisi tersebut apriori.

154

Buku-buku Mises tentang metodologi dapat dilihat terutama dalam Epistemological Problems of Economics (New York: New York University Press, 1981); Theory and History (Washington, D.C.: Ludwig von Mises Institute, 1985); The Ultimate Foundation of Economic Science (Kansas City, Kans.: Sheed Andrews and McMeel, 1978); Human Action, Bagian I.

155

Bagian ini disarikan dari Prof. Hans-Hermann Hoppe, Economic Science and the Austrian Method (terj. NAd), dalam Jurnal Kebebasan Akal dan Kehendak, Volume II Edisi no. 60 Tanggal 15 Desember 2008

Ciri khas filsafat Kantian adalah klaim yang mengakui adanya proposisi sejati yang bersifat apriori sintetik (penggabungan dari fenomena terbukti dengan sendirinya) Proposisi apriori sintetik adalah yang nilai kebenarannya dapat diterima secara definit, meskipun untuk mengakuinya cara berupa logika formal tidak cukup (meski, tentu saja, perlu) dan observasi tidak diperlukan. Menurut Kant, matematika dan geometri menyediakan contoh-contoh proposisi apriori sintetik sejati. Namun, ia juga berpendapat bahwa proposisi seperti prinsip umum kausalitas-misalnya, pernyataan bahwa ada penyebab yang beroperasi tanpa tergantung pada waktu, dan setiap peristiwa yang terjadi adalah bagian yang melekat dari jaringan sebab-sebab semacam itu-merupakan proposisi apriori sintetik sejati.

Untuk memahami pemikiran Kant akan dikemukakan contoh dari relasi sinresis, analitis, dengan aposteriori dan apriori. Misalnya,

(1) kalimat ―Segitiga memiliki tiga sudut‖ disebut analitis apriori karena predikat kalimat ini (―memiliki tiga sudut‖) diperoleh dengan menganalisis subyek yang bukan dari pengalaman (―segitiga”).

(2) Kalimat ―rumah itu memiliki 3 pintu‖ disebut analitis aposteriori karena predikat kalimat ini (memiliki tiga pintu) diperoleh dengan menganalisis subyek kalimat (rumah) yang diperoleh berdasar hasil pengalaman. (3) Kalimat ―Es itu dingin‖ adalah keputusan sintesis aposteriori. Keputusan

ini terdiri dari predikat (―dingin‖) yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori) dan menambah hal baru pada subyeknya (―es‖) sehingga disebut sintesis.

(4) Kalimat “Segala sesuatu itu ada sebabnya” disebut sintesis apriori. Dalam kalimat ini, predikat (―ada sebabnya‖) menambahkan hal baru pada subyek (―segala kejadian‖) sehingga disebut sintesis, tapi subyeknya tidak didapat dari pengalaman dan tidak merupakan analisis atas subyek. Kita tidak memeriksa seluruh kejadian baru kemudian memeriksa sahihnya kalimat ini. TEmuan Kant ada pada jenis ke-4 ini, dengan alasan ―bahwa dalam akal budi kita terdapat unsure-unsur apriori yang disebut ―kategori-kategori‖ yang bersintesis dengan data inderawi sebagai unsur aposteriori. Unsur apriori dalam benak ini membuat kita memandang suatu peristiwa dalam kategori kausalitas156.

Di sini ada beberapa alasan Kant untuk menjustifikasikan pandangan ini.157 Pertama, bagaimanakah kebenaran dari proposisi semacam itu diturunkan, jika logika formal tidak cukup dan observasi tidak diperlukan? Jawaban Kant adalah bahwa

156 F Budhi hardiman, Kritik Ideologi Pertautan PEngetahuan dan Kepentingan, Kanisius, Yogjakarta,

1990, hal. 112

157

Interpretasi dan justifikasi yang cemerlang dari epistemologi aprioristik Kant dapat ditemukan dalam F. Kambartel, Erfahrung und Struktur. Bausteine zu einer Kritik des Empirismus und Formalismus (Frankfurt/M.: 1968, terutama bab 3; lihat juga Hans-Hermann Hoppe, Handeln und Erkennen (Bern: 1976).

kebenaran proposisi jenis ini berasal dari aksioma material yang sudah jelas dengan sendirinya.

Lalu, apa yang membuat aksioma ini jelas dengan sendirinya? Jawab Kant, Aksioma tersebut jelas dengan sendirinya karena seseorang tidak dapat menyangkal [kebenarannya] tanpa mengkontradiksikan dirinya sendiri; artinya, dalam upaya seseorang untuk menyangkalnya, orang tersebut sebenarnya, secara implisit, mengakui kebenarannya.

Bagaimana kita dapat menemukan aksioma seperti itu? Jawab Kant, kita harus merefleksikannya sendiri, dengan cara memahami diri sendiri sebagai subyek yang mengetahui. Dan kenyataan ini (bahwa kebenaran proposisi sintetik yang apriori pada ultimatnya berasal dari pengalaman batin yang dihasilkan melalui refleksi) juga menjelaskan mengapa proposisi semacam itu memungkinkan untuk menyandang status sebagai proposisi yang harus dipahami sebagai sesuatu yang sudah semestinya benar. Pengalaman observasional hanya dapat memperlihatkan sesuatu sebagaimana hal tersebut terjadi; tidak ada apapun di dalamnya yang mengindikasikan mengapa sesuatu harus seperti itu. Akan tetapi, berkontras dengan hal ini, tulis Kant, akal kita dapat memahami sesuatu sebagai hal yang sudah seharusnya demikian ( ―yang tercipta dengan sendirinya sesuai dengan rancangannya sendiri.‖)158

Dari sini Mises mengembangkan teori Kant.. Memang benar, sebagaimana dikatakan Kant, bahwa proposisi-proposisi sintetik apriori tertanam dalam sejumlah aksioma yang terbukti dengan sendirinya dan bahwa aksioma-aksioma ini harus dipahami melalui refleksi di dalam diri kita sendiri ketimbang dalam pengertian yang ―dapat diobservasi‖. Namun, Mises masih harus bergerak selangkah lebih jauh. Kita harus mengenali bahwa kebenaran-kebenaran yang diperlukan semacam itu tidak semata merupakan kategori pikiran kita, melainkan bahwa pikiran kita adalah pikiran dari ―manusia-manusia yang bertindak‖. Kategori-kategori mental itu harus dipahami sebagai sesuatu yang secara ultimat tertanam dalam kategori-kategori tindakan (categories of action). Begitu hal ini disadari, segala pertimbangan yang idealistik pun akan lenyap. Karena melalui tindakanlah pikiran dan realitas bersentuhan, tanpa tindakan hal apriori tidak bisa dapat menyatu dengan jenis kebenaran sintesis.

Kant sebenarnya telah memberi semacam petunjuk untuk solusi yang dikemukakan Misesini. Menurutnya, matematika, misalnya, harus berdasar pada pengetahuan kita terhadap makna pengulangan (repetisi), atau makna operasi-operasi yang berulang. Ia juga menyadari, kendati dalam pernyataan yang agak kabur, bahwa ―prinsip kausalitas sudah terimplikasikan dalam pemahaman kita tentang apa artinya tindakan dan apa artinya melakukan tindakan‖.159

. Mises mengembangkan tilikan ini

158

Immanuel Kant, Kritik der reinen Vernunft, in Kant, Werke, vol. 2, W. Weischedel, ed. (Wiesbaden: 1956), p. 23.

159

Untuk interpretasi Kantian terhadap matematika lihat H. Dingler, Philosophie der Logik und Mathematik (Munich: 1931); Paul Lorenzen, Einführungin die operative Logik und Mathematik (Frankfurt/M.: 1970); Ludwig Wittgenstein, Remarks on the Foundations of Mathematics (Cambridge, Mass.: M.I.T. Press, 1978); juga Kambartel, Erfahrung und Struktur, hal. 118-22; untuk interpretasi

dengan menegaskan bahwa kausalitas adalah kategori tindakan. Bertindak berarti melakukan interferensi pada suatu titik waktu untuk memproduksi hasilnya kelak, dan dengan demikian setiap pelaku tindakan harus sudah mengasumsikan keberadaan kausalitas yang beroperasi secara konstan. Kausalitas, sebagaimana dikatakan Mises, merupakan prasyarat tindakan.

Lalu apa hubungannya dengan tindakan ekonomi?

Mises menyatakan bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan yang didasarkan pada pemahaman tentang (a) apa artinya tindakan; dan (b) apa artinya melakukan tindakan. Tindakan ekonomi berasal dari pemahaman kita terhadap apa yang dinamakan Mises ―aksioma tindakan.‖. Aksioma tindakan itu adalah nilai, tujuan, cara, pilihan, preferensi, biaya, keuntungan dan kerugian. Jadi aksioma tindakan menegaskan bahwa tindakan ekonomi adalah sebuah tindakan yang memiliki tujuan, memerlukan cara, dan mengecualikan tindakan-tindakan lain, menimbulkan biaya, dan memaparkan sang pelaku kepada kemungkinan bahwa ia akan berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan yang dikehendakinya dan dengan demikian membawanya pada sebuah keuntungan ataupun kerugian.

Dari aksioma ini dapat diturunkan pernyataan-pernyataan sebagai berikut: (1) setiap tindakan dilakukan untuk mengejar suatu tujuan; dan bahwa

apapun tujuannya itu pastilah dianggap bernilai (buktinya hal tersebut dikejar oleh pelakunya) yang relatif lebih tinggi daripada tujuan tindakan lain yang dapat dipikirkannya di awal tindakannya.

(2) untuk mencapai tujuan yang dinilai paling tinggi sebuah tindakan harus menginterferensi atau memutuskan tidak menginterferensi (yang, tentunya, juga merupakan sebuah interferensi) di awal suatu titik waktu agar hasilnya dapat diperoleh kelak; interferensi-interferensi semacam itu senantiasa mengimplikasikan adanya pendayagunaan suatu cara (means) yang jumlahnya terbatas.

(3) cara-cara yang ditempuh ini harus memiliki nilai [tertentu] (nilai yang diturunkan dari nilai tujuan yang ditujunya) bagi pelakunya karena sang pelaku pasti menganggap bahwa pendayagunaan cara-cara tersebut sebagai keharusan sebelum tujuan dapat secara efektif dicapai; dan bahwa tindakan-tindakan hanya dapat dilakukan sesuai urutan-urutannya serta selalu mengharuskan pelaku untuk memilih-misalnya: menetapkan satu tindakan yang pada suatu titik tertentu menjanjikan nilai tertinggi bagi sang pelaku dan di saat yang sama mengecualikan tujuan-tujuan lain yang nilainya lebih rendah.

(4) akibat dari keharusan memilih dan mengambil preferensi satu tujuan di atas tujuan lain setiap tindakan mengimplikasikan timbulnya biaya. yang sangat hati-hati dan saksama dari Kantianisme dari sudut pandang ilmu fisika modern, lihat P. Mittelstaedt, Philosophische Probleme der modernen Physik (Nannheim: 1967).

Biaya yang dimaksud bisa berarti biaya kesempatan yang mungkin dia hasilkan jika ia memilih alternatif lain yang ditinggalkannya

(5) di titik awal setiap ―tujuan tindakan― harus dianggap bernilai lebih bagi sang pelaku daripada biayanya dan bahwa tindakan tersebut akan menguntungkannya. Akan tetapi, setiap tindakan juga senantiasa terancam oleh kemungkinan kehilangan (pelepasan peluang) jika pelaku tindakan tersebut mendapati, di kemudian hari, bahwa hasil akhir yang dicapainya bernilai lebih rendah daripada nilai alternatif yang tidak dipilihnya.

Proposisi tindakan ekonomi yang disusun berdasar aksioma tindakan ini, bahwa ―perbuatan yang bertujuan berdasar nilai tertentu untuk memilih cara mencapai tujuan awal sehingga dapat memenuhi kepuasan dan kebahagiaan‖, secara persis memenuhi segala syarat sebagai proposisi sejati yang sintetik apriori. Upaya untuk menolak aksioma-waktu dengan sendirinya akan merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan, memerlukan cara, dan mengecualikan tindakan- tindakan lain, menimbulkan biaya, dan memaparkan sang pelaku kepada kemungkinan bahwa ia akan berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan yang dikehendakinya dan dengan demikian membawanya pada sebuah keuntungan ataupun kerugian. Aksioma ini juga tidak diturunkan dari observasi (yang dapat diamati hanyalah pergerakan tubuh tetapi bukan tindakannya sendiri) melainkan berasal dari pemahaman reflektif.

Meskipun demikian, sebelum seseorang dapat menafsirkan pengamatan- pengamatan dalam kategori-kategori tersebut, ia harus sudah memiliki pengetahuan tentang artinya bertindak. Tidak seorangpun akan pernah memahami hal ini, jika ia bukan seorang pelaku tindakan.

Dan pemilikan pengetahuan yang seperti itu dengan demikian tidak akan pernah dapat disangkal, serta kesahihan konsep-konsep ini tidak akan pernah bisa difalsifikasi oleh pengalaman tak terduga (contingent) apapun, sebab upaya penyangkalan atau falsifikasi apapun akan harus memprasuposisikan keberadaan mereka. Sesungguhnya, situasi di mana kategori-kategori dari tindakan ini terhenti memiliki keberadaannya yang riil dengan sendirinya tidak akan pernah dapat diobservasi, sebab melakukan observasi juga merupakan sebuah tindakan.

Kritik atas Empirisisme160

Empirisme mengambil alam serta ilmu-ilmu alam sebagai modelnya. Menurutnya, bahkan proposisi ilmu sosial pun berstatus logis yang sama dengan proposisi ilmu alam. Semua proposisinya menyatakan hubungan hipotetis semata antarsatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Pada esensinya dia mengambil

160Bagia i i disa ika da i “ukasah “ ahda Te ta g E pi is e, P aksiologi da

Kepastia Pe getahua , Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak Vol. II, Edisi 35, Tanggal 23 Juni 2008

bentuk pernyataan-pernyataan jika-maka. Namun, semua proposisi sementara ini membutuhkan pengujian terus menerus terhadap pengalaman.

Klaim empirisme, kebenaran tidak dapat dipastikan sekali untuk selamanya. Tidak ada kebenaran yang benar-benar dapat dipastikan. Kebenaran adalah Godot yang tidak pernah datang. Dia senantiasa ditunda sebagai hipotetis tentatif yang dapat gugur kapan saja melalui proses falsifikasi.

Ciri utamanya adalah bahwa pengetahuan tentang realitas, atau pengetahuan empiris, harus dapat diverifikasi atau setidaknya dipatahkan oleh pengalaman observasional. Kita tidak dapat mengetahui terlebih dahulu sebelum pengalaman- sebelum betul-betul melakukan semacam pengalaman observasional secara khusus. Sebaliknya, jika ada pengetahuan tidak bisa diverifikasi atau difalsifikasi oleh pengalaman observasional, maka hal itu bukan pengetahuan yang riil. Dia pengetahuan tentang kata-kata semata, tentang penggunaan istilah-istilah, tentang penandaan dan pengaturan transformasional atas tanda-tanda tersebut. Dengan kata lain, dia cuma pengetahuan analitis, yang tidak setara dengan pengetahuan empiris.

Asumsi lain empirisme memformulasikan perpanjangan dan pengaplikasian asumsi sebelumnya terhadap persoalan kausalitas, penjelasan sebab-akibat, dan prediksi. Dalam empirisme, penjelasan kausal atau prediksinya terhadap fenomena riil dilakukan dengan jalan memformulasikannya ke dalam bentuk pernyataan sejenis ―jika A, maka B‖ atau, manakala variabel-variabelnya memungkinkan pengukuran kuantitatif, dia akan mengambil bentuk semacam: ‖jika A mengalami kenaikan (penurunan), maka terjadi kenaikan (penurunan) pada B.‖

Sebuah konfirmasi hanya akan membuktikan bahwa hipotesis yang dipakai sejauh ini belum terbukti salah. Masih terbuka peluang bagi pengalaman untuk menampiknya pada suatu saat. Sesungguhnya, ketika pengalaman membatalkan hipotesis empiris, hal tersebut hanya akan membuktikan kesalahan hipotesis tersebut. Ini tetap tidak membuktikan hubungan sejati antarperistiwa yang sedang dihipotetiskan.

Singkatnya, kita tidak dapat mengetahui secara pasti apakah satu hal merupakan penyebab terjadinya hal lain. Jika kita ingin menjelaskan suatu fenomena, hipotesis kita tentang penyebab-penyebab yang memungkinkan tidak terkendala dalam cara apapun oleh pertimbangan-pertimbangan apriori. Segala hal dapat memiliki pengaruh terhadap hal apa pun. Kita harus menemukan melalui pengalaman apakah hal tersebut memang benar demikian adanya ataukah sebaliknya. Akan tetapi, sekali lagi, pengalaman tidak akan pernah memberi kita jawaban yang pasti.

Dalam kondisi seperti ini, dapat dipahami kalau sikap ilmiah yang tersulut oleh empirisme adalah skeptisme. Empirisme menjunjung moto: ―Tidak ada yang bisa dipastikan;‖ atau “Impossible is nothing;” atau , “Anything goes” atau ―Apapun bisa jadi penjelasan.‖

Jadi, klaim sentral empirisme adalah sebagai berikut: pengetahuan empiris harus dapat dikukuhkan atau dibantah melalui pengalaman; sedangkan pengetahuan analitis, yang tidak dapat disahihkan atau difalsifikasi, dengan demikian tidak berisi

pengetahuan empiris apapun. Jika ini benar, maka cukup fair untuk ditanyakan: Kalau begitu apa status pernyataan fundamental ini mengenai empirisme? Jelas, dia harus bersifat analitis atau empiris. Demikianlah empirisme sesuai pandangan Hoppe.

Memahami Praksiologi161

Praksiologi bermulai dari aksioma tindakan. Tindakan, sebagaimana yang diperlihatkan oleh semua manusia, menurut Mises, adalah suatu perbuatan yang bertujuan (purposeful behavior) (Human Action, h. 11). Setiap manusia yang bertindak mempersepsikan seperangkat tujuan tertentu sebagai sesuatu yang secara subyektif memiliki nilai, dan kemudian memilih cara (means) yang dianggapnya akan membawanya kepada pencapaian tujuan tersebut. Pada akhirnya tindakan diarahkan atau ditujukan pada pemenuhan kepuasan atau kebahagiaan, bagi sang individu pelakunya. Jadi tindakan adalah perbuatan yang bertujuan berdasar nilai tertentu

untuk memilih cara mencapai tujuan awal sehingga dapat memenuhi kepuasan dan kebahagiaan.

Tindakan adalah cara seorang pelaku memanifestasikan operasi skala nilai individunya. Bahkan ketika sang pelaku tindakan merasakan suatu indifference atas seperangkat pilihan baik ends atau means, hal tersebut juga merupakan tindakan. Tindakan tidak hanya berarti bertindak; dia juga termasuk tidak melakukan apa yang mungkin dapat dilakukan (HA, hal. 14).

Ketika orang tidak memilih, orang tersebut sengaja memilih konsekusensi suatu non-interferensi terhadap faktor realitas ketimbang konsekuensi interferensi. Dengan demikian, ketika manusia memiliki kehendak bebas, ia akan bertindak. Dan

Dalam dokumen filsafat ekonomi islam silahka di download (Halaman 160-173)