• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARA FILSUF EKONOM MUSLIM PIONEER

Dalam dokumen filsafat ekonomi islam silahka di download (Halaman 70-92)

Islam telah berkembang menjadi peradaban yang cukup cosmopolitan. Islam mendorong umatnya untuk menguasai harta dan tidak menjauhinya, . Misalnya ada ayat yang menegaskan, ―Harta dan anak adalah perhiasan dunia‖ (QS 18:46) telah ditafsirkan secara positif bahwa kekayaan merupakan unsur yang cukup penting. Contohnya adalah Ibn Habbariyyah (w. 509/1115) dalam kitab Falak al-Ma‟ani:

―Kekayaan menaikkan derajat pemiliknya, bahkan walau dia berasal dari keturunan yang rendah dan kurang terpelajar. Kekayaan mengubahnya menjadi cerdik walaupun ia pengecut. Kekayaan melancarkan lidahnya walaupun ketika dia dalam keadaan bingung. KEkayaan dapat mencurahkannya pada karakteristik yang baik. (Dengan kekayaan) hubungan dapat terbina, reputasi baik terlindungi, kejantanan semakin tampan, kepemimpinan naik, dunia menerima karunia, tujuan tercapai, dan keinginan terpenuhi. Kekayaan dapat menciptakan hubungan dengan orang lain setelah yang lainnya terputus, memberikan satu kemenangan ketika yang satunya dihinakan. Kekayaan juga dapat memperbudak orang yang bebas tunduk pada hal yang menguntungkan dirinya. Kalau bukan karena kekayaan, kemuliaan orang-orang mulia tidak akan tampak demikian pula keserakahan. Orang dermawan juga tidak akan mendapat ucapan terima kasih, orang pelit tidak akan dijelek-jelekkan. Kaum wanita tidak akan mendapat perlindungan dan karunia pun tidak akan diperoleh‖46

Penghormatan atas kekayaan ini kerap disandingkan dengan agama. Misalnya dalam kriteria istri yang baik ditentukan secara hierarchies dari agama, kekayaan, kesopanan, karakter yang baik, dan kedermawanan. Bahkan dikemukakan ―barang siapa memiliki kelima kualitas tersebut maka ia suci, takwa, dekat dengan Tuhan, dan jauh dari setan‖47

. Kekayaan adalah kualitas kedua di bawah agama, kekayaan tidak dijauhi melainkan diikat dengan nilai agama. Doktrin ini mendorong umat Islam menciptakan pekerjaan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, maka peradaban Islam menghasilkan kronik wacana pengelolaan ekonomi yang lebih kaya daripadai peradaban Yunani. Di dalam peradaban Islam tidak hanya membicarakan soal ―pengurusan rumah tangga‖ (oikonomia) namun juga membicarakan banyak masalah seperti pekerjaan, pentingnya peran Negara dalam menjaga stabilitas pasar, dan tema-

46

Ibn Habbariyyah (w. 509/1115) dalam kitab Falak al-Ma a i, bandingkan dengan Ibn Abd Rabbihi, Al-A d al-Farid, jil. 8, h 144-151

47

tema lain yang kemudian baru berkembang pada beberapa abad kemudian pada literatur Ekonomi Konvensional.

Gambaran mengenai kosmopolitannya peradaban Islam dapat ditemukan pada tulisan Nashirudin al-Thusi pada abad ketujuh berikut:

―Syarat pertama keadilan adalah bahwa penguasa hendaknya menjaga kategori-kategori (ashnaf) seseorang dalam hubungannya dengan yang lain (mutakafi); karena keadilan sebagai temperamen yang seimbang dihasilkan dari hubungan empat unsure, masyarakat yang seimbang pun dibentuk oleh hubungan empat kategori.

Kategori pertama terdiri dari orang yang berpena. Contohnya adalah imluwan (arbab al-ulum wa al-ma‟arif), ahli hkum, hakim, sekretaris, akuntan, ahli geometri, astronom, doktrin, dan penyair. Di pundak merekalah stabilitas dunia, baik sekarang maupun yang akan datang bergantung. Bila dikiaskan pada unsure alamiah, mereka dapat diibaratkan sebagai air.

Kategori kedua adalah orang yang berpedang. Mereka adalah tentara, prajurit, sukarelawan, serdadu, penjaga perbatasan, orang yang kuat dan berani, penjaga istana, dan pelindung Negara. Pengabdian mereka mempengaruhi ketenteraman dunia. Bila dikiaskan pada unsure alamiah, mereka dapat disamakan dengan api.

Kategori ketiga adalah orang-orang yang mengadakan transaksi, pedagang yang mengangkut barang-barang dari satu wilayah ke wilayah lain, pengrajin dan sejenisnya, serta pengumpul pajak. Tanpa kerja sama mereka, kehidupan manusia tidak dapat berjalan. Bila dikiaskan pada unsure alamiah, mereka bagaikan udara.

Kategori keempat terdiri dari para petani. Mereka adalah penabur benih, tukang kebun, pencangkul, dan penanam yang mengurus makanan bagi masyarakat. Tanpa bantuan mereka, manusia tidak dapat bertahan hidup. Bila dikiaskan pada unsure alamiah mereka bagaikan tanah.48

Pada kutipan di atas terlihat jelas pembagian pekerjaan dalam peradaban Islam yang sangat spesifik dengan nilai yang dianggap sama pentingnya. Misalnya pada kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa pertanian adalah tanah yang sama pentingnya dengan unsur perdagangan (udara), sesuatu yang dipertentangkan antara kaum merkantilisme dan fisiokratisme. Kemudian ditegaskan juga adanya profesi berdasarkan keterampilan badan (unsur api) yang dianggap penting, sesuatu yang kemudian menghasilkan jenis pekerjaan berdasarkan keterampilan. Yang paling menarik adalah telah dikemukakannya jenis pekerjaan yang berdasarkan ilmu pengetahuan atau knoweldeg worker (unsure air) yang keberadaannya dalam ilmu ekonomi barat baru pada abad ke-21 oleh Peter Drcuker.

48

Pada bagian ini akan ditunjukkan gambaran umum mengenai perhatian para filsuf Muslim terhadap masalah property, pekerjaan sebagai cara memperoleh property, dan pengelolaan property oleh Negara.

Ekonomi dan Hakikat Dasar Manusia

Filsuf Muslim pertama yang mencoba mengemukakan banyak uraian mengenai pengeturan Negara demi kesejahteraan bersama adalah al-Farabi (w.339/950). Al-Farabi menulis banyak mengenai organisasi sosial dalam kitab mabadi‟ ara‟ ahl al-Madinah al-Fadhilah, Fusul Muntazaah, Kitab Tahsil al- Sa‟adah, dan Kitab al-Siyasah al-MAdaniyyah.

Al-Farabi menegaskan bahwa ―alamiah: bagi manusia unyuk hidup berdampingan dengan orang lain. Di satu sisi, dia juga berpendapat bahwa manusia terpaksa hidup bermasyarakat karena jika hidup sendiri manusia tidak akan dapat menyediakan kebutuhannya yang kompleks. Dia juga tidak memiliki waktu dan kemampuan yang dibutuhkan untuk menyediakan makanan, pakaian, dan rumahnya sendiri. Untuk memenuhi ketiga kebutuhan primer tersebut dibutuhkan berbagai proses yang panjang. Oleh karena itu, manusia wakib menjalin kerjasama dengan sasamanya.‖ 49

Kebutuhan akan pekerjaan dan property, pada pemikiran ini, diletakkan sebagai hak mendasar dan diperoleh melalui kerjasama antar berbagai pihak.

Al-Farabi kemudian berpendapat bahwa tujuan utama manusia sebagai makhluk hidup adalah mendapatkan kebahagiaan (sa‟adah). Dia menerangkan bahwa ada dua tingkat kebahagiaan, taitu kebahagiaan dunia ((al-sa‟adah ad-dunya) dan kebahagiaan akhirat (al-sa‟adah al-akhirat). Tujuan inilah yang menjadi konteks pembahasan al-Farabi tentang masyarakat karena dia berpendapat bahwa kedua tingkat kebahagiaan tersebut hanya dapat dicapai dengan hidup bermasyarakat. Menurutnya, masyarakat (ijtima‟at) itu berbeda-beda bentuk ataupun jenisnya, juga kesempurnaan dan kelengkapan (kamilah) ataupun ketidaklengkapannya. Unit masyarakat terkecil yang memiliki kesempurnaan adalah kota50. Supaya individu dapat meraih kebahagiaan, Al-Farabi berpendapat bahwa lebih baik (walaupun tidak mutlak) hidup dalam kota terbaik (al-madinah al-fadilah). Di kota tersebut, penduduknya bekerja sama untuk mencapai kebahagiaan akhirat, di bawah bimbingan orang-orang terpelajar dan unggul. Dengan demikian, tujuan bersama ini menentukan posisi setiap orang dalam struktur sosial.

Secara umum basis teoritis al-Farabi dalam membicarakan organisasi sosial adalah kajian metafisis. Teori dasarnya adalah bahwa tatanan alam raya ini sama dengan tatanan yang ada pada masyarakat. Dalam tatanan masyarakat, manusia diposisikan oleh fitrah individualnya dan oleh keahlian yang dipelajarinya (malakat) yang setara dengan posisi Prima Causa sebagai asal dari seluruh semesta serta

49 Al-Farabi, Ara al-Madinah al-Fadhilah, ed. Walzer, h. 228-229 50

mengatur dunia. Sebagaimana alam semesta diatur secara hierarchies oleh Prima Causa, maka masyarakat pun membutuhkan pengaturan yang sejenis, mengangkat orang-orang berdasarkan posisi mereka dalam masyarakat51.

Perlunya pemerintah memiliki aturan yang kukuh dalam pengaturan mastarakat juga dikemukakan oleh Ibn Sina (370-428/980-1037). Ibn Sina bukan hanya seorang teoretisi, melainkan juga telah bergelut di bidang administrasi dan beberapa kali bertugas sebagai menteri 52. Ibn Sina berpendapat bahwa saling berbagi barang kebutuhan di antara manusia hanya dapat dilaksanakan melalui transaksi sosial (muamalah). Untuk itu dibutuhkan hukum (sunnah) dan keadilan (‗adl). KEduanya harus ditanamkan oleh ahlik hukum dan hakim53. Pemikiran ini dianut oleh Ibn Bajjah (w.533/1138). Dia berpendapat bahwa tanggung jawab pemerintah untuk memberikan tugas kepada masyarakat kota dan untuk memastikan bahwa setiap orang mengerjakan tugas yang paling dapat dia kerjakan [54]. Sementara Nashirudin al-Thusi berpendapat bahwa perbedaan di kalangan manusia memungkinkan terjadinya kerjasama di antara mereka. Walaupun demikian, kerja sama ini mungkin tidak dapat diwujudkan tanpa adanya administrasi yang kukuh (tadbir) karena jika manusia dibiarkan mengikuti kehendak alamiahnya, mereka akan saling merusak. Kehadiran pemerintah itu penting untuk memastikan bahwa setiap orang menduduki posisi yang sesuai dengan dirinya, menerima hal yang seharusnya dia terima, dan orang lain tidak mengambil hak-haknya 54.

Mari kita kembali pada pemikiran al-Farabi yang menganalogikan pemerintahan dengan sistem kerja tubuh. Pada tubuh ada jantung yang menjadi penentu keberadaan dan keberfungsian organ lainnya. Semua organ tubuh bertindak sesuai dengan arahan dari jantung, bekerja sama untuk mencapai dan memelihara kesempurnaan manusia sesuai dengan status masing-masing. Masyarakat pun demikian, diperlukan satu pusat yang dapat memastikan terjadinya kerjasama di antara bagian-bagiannya.

―Sama seperti anggota badan yang beragam, dikarenakan sifat dan kekuatannya, sebagian lebih unggul dibandingkan dengan yang lain, satu anggota yang menjadi pemimpin, yaitu jantung. Setelah itu, di bawahnya anggota yang derajatnya dekat dengan pemimpin. Setiap anggota tubuh itu dianugerahi oleh alam kekuatan untuk melaksanakan fungsinya sesuai dengan tujuan anggota tubuh yang memimpin. Anggota tubuh lain yang juga dianugerahi kekuatan untuk melaksanakan fungsi pemimpin mereka, yang terpisah dari pemimpinnya tanpa perantara. Oleh karena itu, mereka berada pada tataran kedua. Anggota badan lain menjalankan fungsi sesuai dengan

51

Ibid. h;. 230-231

52

Lihat Al-“a id, I “i a al-Mufakkir al-siyasi wa al-ijti ai , dala al-Umma, wal Jamaa, wa al salta, h. 203

53 H. 207-208 54

perintah yang berada pada tataran kedua dan seterusnya sampai pada tataran orang-orang yang mengabdi dan tidak memerintah sama sekali,

Demikian halnya dengan kota. Bagian-bagian mempunyai sifat yang berbeda- beda. Sebagian lebih unggul dibandingkan dengan yang lain dalam posisinya. SAlah seorang dari mereka menjadi pemimpinnya (rais). Yang lain berada pada tingkatan terdekat dengan pemimpinnya. Setiap tingkatan memiliki karakteristik pembagian tugas sesuai dengan perintah penguasanya. Mereka adalah anggota kelas pertama. Di bawahnya lagi, terdapat orang-orang yang menjalankan tugas sesuai dengan kehendak orang-orang yang berada pada tataran kedua. Jadi, bagian-bagian kota itu bertingkat-rtingkat terus ke bawah sampai pada golongan orang-orang yang mengerjakan tugas menurut perintah orang lain, yaitu mereka yang melayani dan tidak dilayani. Mereka berada pada peringkat terendah dan terhina‖55

Bagi al-Farabi, dan para filsuf Muslim lainnya, penentu utama peringkat dalam hierarki tersebut adalah ilmu pengetahuan. Tingkatan ilmu pengetahuan seseorang itu tak terpisahkan dari pekerjaannya. Dalam tulisan-tulisan al-farabi, istilah rais dan malik (kadangkala ditulis juga kata imam), berkonotasi pada kepemimpinan politik, yang digunakan untuk orang yang berintelektual tinggi. Sedangkan istilah mar‘us dan khadam merujuk kepada orang-orang biasa56. Al-Farabi memang membedakan antara orang –orang elit (khashashah) dan umum (‗ammah). Orang elit terdiri dari mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki pemahaman yang lebih tinggi yang membuat mereka dapat mencapai kebahagiaan akhir; sebaliknya ada orang-orang awam yang hanya dapat mencapai kebahagiaan lebih rendah. Golongan elit mengetahui kebenaran suatu hal dengan melalui bukti rasional dan pemahaman mereka sendiri, sedangkan warga masyarakat umum hanya dapat mengerti melalui analogi dan perbandingan dengan tingkat keakuratan yang berbeda-beda.57

Filsuf lain juga membicarakan hal serupa, misalnya Nashirudin Thusi dan Ikhwan al-Shafa. Thusi menempatkan manusia pada perinkat di antara hewan dan malaikat. Pada posisi tengah itu, peringkat tertinggi diduduki oleh orang –orang yang melalui wahyu dan inspirasi memiliki pengetahuan tentang realitas dan hukum ketuhanan, yakni para nabi dan orang suci. Di bawah kelompok ini adalah mereka yang melalui aplikasi, refleksi, dan meditasi intelektualnya mencari ilmu pengetahuan, cabang-cabang ilmu pengetahuan, dan meraih kebaikan. Kategori selanjutnya, ketiga, adalah manusia yang menggunakan akal dan intuisinya untuk mengerjakan pertukangan dan profesi mulia, serta memproduksi alat-alat. 58. IKhwanus Shafa juga membagi hierarki orang-orang berdasarkan mereka yang

55

Al-Farabi, Ara al-Madinah al-Fadhilah, h. 230-233

56

Al-Farabi, Tahsil As-sa adah, h. 29

57 Al-Farabi, Ara al-Madinah al-Fadhilah, h. 260-261 58

dianugerahi pencerahan spiritual dan ilmu pengetahuan esoteric, dan yang hanya terbatas pada penerimaan sesuatu yang tampak59.

Pemikiran al-Farabi lain yang terkait dengan ilmu ekonomi adalah model pembagian sosial yang terdiri dari tiga unsure: pemerintahan, militer, dan keuangan.60 Al-FArabi kemudian hanya memfokuskan diri pada pembicaraan soal pemerintahan. Al-Farabi jkemudian menguraikan model pembagian administrasi berdasarkan lima kategori fungsional. Pertama, adalah orang-orang yang terbaik (afadhil), yaitu para filsof (hukama), orang yang menguasai ilmu pengetahuan praktis (muta‘aqqilun), dan orang-orang yang dimintai pendapat untuk urusan-urusan besar. Kelompok kedua adalah orang –orang yang menguasai bahasa dan penegak agama, para khatib, dan ahli retorika (bulagha) dan penyair, musis, serta sekretaris. Kategori ketiga, ―orang- orang yang menilai‖ (muqaddiran), yaitu akuntan, geometer, dokter, dan astrolog. Keempat, orang-orang perkasa, yakni tentara dan pengawal. Kelima, yang mengurusi masalah keuangan (maliyyun)dan yang memperoleh harta di kota, yaitu para petani, penggembala, dan para pedagang.61

Ibn Sina membicarakan pembagian administrasi kenegaraan dalam tiga hierarki: penguasa dan administrator (murdabbirun), ahli pertukangan (shunna‟), dan para pengawah (hafazhah). Ibn Sina menganggap bahwa tujuan pertama legislator adalah untuk menyusun kota ke tiga bagian tersebut, yang harus mereka urus sendiri secara internal sebagai hierarki. Menurutnya legislator perlu memilih pemimpin pada setiap ―jenis‖, untuk memerintah pemimpin yang lebih rendah otoritasnya. Ibn Sina menegaskan bahwa dalam sebuah pemerintahan, tidak boleh ada orang yang tidak memiliki tugas dan posisi yang jelas. Setiap orang harus memberikan manfaat bagi organisasi (Negara). Kemalasan harus dilarang dan tidak boleh seorang pun memenuhi kebutuhannya berkat usaha orang lain. Kekayaan dalam Negara hendaknya diambil dari berbagai sumber dan digunakan dengan berbagai cara. Salah satu pengeluaran yang paling pokok adalah pembayaran untuk para pengawal Negara yang dilarang untuk membuka usaha sendiri.

Pekerjaan dan Kemanusiaan

Al-Farabi berpendapat bahwa setiap manusia secara alamiah ditentukan untuk memegang pekerjaan tertentu. Konsekuensinya, setiap orang memiliki kelebihan (yatafadhaluna) yang berbeda. Tingkatan seseorang bergantung pada kecerdasannya (isti‘dad) dalam pekerjaannya atau cabang ilmu pengetahuannya, pendidikan (ta‘addub)( dan prestasinya (istinbath). Mereka yang dianugerahi kemampuan untuk mengajar memiliki status yang lebih tinggi daripada yang diajar [86]. Setiap orang harus menekuni pekerjaannya itu, karena itu menurut al-Farabi penyimpangan dari

59

Rasail Ikhwanush shafa, jil 3, h. 511

60 Al-Farabi, Tahsil al-“a adah, h. 22 61

pekerjaan harus diberi hukuman, ―pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain tanpa dalih merupakan penyebab utama kerusakan dan meburuknya tatanan sosial‖. 62

Thusi membicarakan manfaat seseorang hanya menekuni satu jenis profesi pekerjaan saja63. Keadilan dapat ditegakkan, bagi Thusi, bila setiap orang mengerjakan satu pekerjaan saja. Alasannya, manusia memiliki kelebihan masing- masing yang dapat menyebabkan sebagian manusia tidak sesuai untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Selain itu, selama seseorang itu hanya dapat menguasai sebuah pekerjaan setelah belajar dan berusaha cukup lama, jika dia membagi perhatian pada berbagai pekerjaan, maka kualitas pekerjaannya akan menurun. Apabila setiap orang melakukan pekerjaan yang paling sesuai dengan bidangnya, kerja sama akan tercapai, manfaat akan bertambah, dan kerugian akan berkurang.64

Model sosial Negara Islam dapat dirujukkan juga pada Sha‘sha ibn Shushan (w.60/680). Konon Sha‘sha ditanya oleh Muwaiyah mengenai derajat manusia, kemudian dia menjawab, ―manusia diciptakan ke dalam berbagai keadan (akhyafan). Sebagian untuk beribadah, untuk berniaga, sebagian untuk berdakwah dan sebagian lagi untuk berperang. Sedang yang lainnya hanyalah mengeruhkan air, menyebabkan harga naik, dan membuat jalan menjadi sempit‖ 65

. Kemudian Khalid Ibn Shafwan (w.135/752) mengajukan strata masyarakat: ilmuwan, ulama, dan budayawan; selebihnya akan ―menyebabkan harga naik, membatasi pasar, dan mengeruhkan air‖ 66

.

Ibn Al-Faqih pada Kitab al-Buldan (289H) mengajukan versi strata sosial dengan uraian kurang lebih sama.

―Al-Fadhl ibn Yahya (al-Barmaki, w.193/808) berkata, ―manusia terdiri dari empat strata: pemerintah, yang keutamannya berasal dari haknya untuk memerintah (istishaq), wazir yang statusnya bergantung pada kecerdikan dan keputusannya; orang kaya yang diangkat oleh kekayaannya; dan orang kelas menangah yang dihubungkan dengan mereka oleh pendidikannya (ta‘addub). Sedang selebihnya hanyalah buih yang akan menghilang, sampah yang mengambang, serta pria dan wanita yang hina. Yang menjadi perhatian mereka ini hanyalah makan dan tidur‖67

Suatu ketika Muawiyah bertanya kepada Al-Ahnaf, ―terangkan tentang masyarakat kepadaku!‖. Al-Ahnaf menjawab, ―Masayrakat terdiri atas para kepala, yang terangkat karena keberuntungannya; para hulubalang raja yang diagungkan karena kemampuannya dalam administrasi (tadbir); orang kaya yang kedudukannya bergantung pada kekayaannya, dan budayawan yang kedudukannya bergantung pada 62 Al-Farabi, Talkhis, h. 39-40 63 Thusi, Akhlaq, h. 197 64 Ibid, h. 288 65

Abu Ali Al-Qadi, Kitab al-Amali, (kairo, 1344), jil. H. 257

66“ha sha, al

-I d al-farid, jil. 6, h. 155

67 B Lewis, Islam from the Prophet Muhammad to the Capture of Constantinople,(new York, Oxford,

pendidikannya. Sedang selebihnya adalah bagaiman binatang, jika lapar mereka minta, jika sudah kenyang, mereka tidur‖ i

Secara umum, peradaban Islam memberikan informasi mengenai klasifikasi pekerjaan dalam kaitannya dengan fungsi sosial yang terdiri dari pemerintahan (siyasah imarah), pertukangan, perniagaan, dan pertanian. Al-Mawardi menekankan pentingnya perniagaan dan pertukangan, namun dia juga membicarakan manfaat pertanian dan peternakan. Dia menerangkan bahwa pertanian merupakan dasar dari ketiga pekerjaan lainnya 68. Di sini dia mengikuti pemikiran al-Syaibani yang didukung dengan mayoritas ilmuwan pada masanya bahwa pertanian lebih mulia daripada perniagaan mengingat lebih pentingnya fungsi sosial dari pertanian 69. Al- Mawardi sendiri membagi pekerjaan sebagai berikut: yang melibatkan pemikiran (Shina‘at al-fikr), yang melibatkan tindakan (shina‘at al-amal), dan yang melibatkan keduanya (Shina‟at musytarikah bayn al-fikr wal al-„amal). Ketiga macam pekerjaan tersebut jelas tidak memiliki nilai yang setara, keahlian berpikir berada pada puncak penghargaan.Yang menarik adalah al-Mawardi menegaskan bahwa perniagaan merupakan bagian dari dua aktivitas dasar, yakni pertanian dan produksi.

Para filsuf kerap mengiaskan susunan badan manusia untuk menggambarkan tingkatan setiap macam pekerjaan. Pertanian, pertenunan, dan pembuatan bangunan diibaratkan sebagai jantung, hati, dan otak (‗akar-akar‘ tubuh). Selanjutnya, pekerjaan yang lebih rendah dikiaskan kepada organ tubuh yang lebih rendah seperti perut, vena, dan urat nadi. Kelompok pekerjaan ketiga dikiaskan kepada tangan dan alis yang hanya berfungsi sebagai pelengkap dan penghias badan. 70

Ihwal pekerjaan utama, pelengkap dan penghias ini dapat ditemukan pada uraian Ikhwan al-Shafa. Ikhwan al-Shafa menegaskan bahwa pada setiap pekerjaan yang inti terdapat beberapa pekerjaan yang bersifat tambahan. PEkerjaan tambahan ini lebih rendah tingkatannya daripada pekerjaan inti tersebut. Pada sistem ini dapat diuraikan seperti bahwa pertanian membutuhkan irigasi, penggalian saluran, perkayuan, pandai besi dan lain-lain. Di bawah pekerjaan yang bersifat tambahan tersebut terdapat tugas yang lebih rendah lagi yang bersifat menyelesaikan dan menyempurnakan. Contohnya adalah masak memasak, menjahit, memutihkan, dan menyulam. Ikhwan al-Shafa menambahkan tingkatan keempat dari pekerjaan yang bertujuan menghiasn, seperti merenda, membuat parfym.71

Uraian menarik mengenai pembagian pekerjaan dapat ditemukan pada Ja‘far ibn Ali Al-Dimsyaqi, seorang penulis dari abad kelima dalam kitab al-Isharah al- Mahasin al-Tijarah.72 Pada kitab ini dia membedakan antara pekerjaan yang bersifat teoritis dan yang praktis. Pekerjaan teoritis dicontohkannya meliputi ahli hkum, ahli tata bahasa, ahli geometrid an sejenisnya. Sedangkan yang bersifat praktis adalah

68

Al-Mawardi, Adab addunya wa ad din, h. 224-226

69

Al-Syaibani, Kitab al-Kasb, h. 64-65

70

Al-Dzariaa, h. 271 atau Ihya, jil.1 h. 14

71 Ikhwan al-Shafa, Rasail, jil. 1, h. 280-282 72

pertukangan (mihan), pertenunan, pertanian, serta pengolahan wol dan kapas. [27] Seseorang bisa mencari penghidupan dengan berdagang, melakukan suatu pekerjaan, atau kombinasi dari keduanya.

Al-Dimasyqi menambahkan bahwa orang-orang yang pekerjaannya termasuk dalam kategori perdagangan adalah pedagang keliling (rakkadh), penjual (khazzan), dan pengekspor (mujahhiz) 73. Pekerjaan yang bersifat praktis dapat dilihat dari segi kebutuhannya. Ada yang bersifat penting dan alami seperti perumahan, pakaian, dan makanan. Ada yang bersifat sewaktu-waktu dan jarang (wadh‘iyyah), misalnya kebutuhakn akan alat pertahanan dari musuh dan obat-obatan. Pemenuhan salah satu kebutuhan tersebut melibatkan berbagai pekerjaan, baik dari segi produksi maupun penyebarannya, contohnya gandum harus ditaburkan, disiram, dan dirawat; lalu setelah panen juga membutuhkan pekerjaan lain. Dengan cara seperti ini, berbagai pekerjaan berkaitan satu sama lain. Contohnya, pekerja bangunan membutuhkan tukang kayu, tukang kayu membutuhkan pandai besi, pandai besi membutuhkan tukang tambang; lalu kesemuanya (tukang kayu, pandai besi, dan tukang tambang) semuanya bergantung pada pesanan pekerja bangunan.

Pembagian jenis pekerjaan tidak hanya dikaitkan dengan hasil, namun juga dengan nilai. Nashirudin al-Thusi membagi pekerjaan kepada tiga kategori: mulia, rendah dan pertengahan 74. Kategori tertinggi adalah pekerjaan orang mulia dan jantan (Shinaat ahrar wa arbab muruwwat). Pekerjaan ini terbagi tiga jenis, yakni (1) pekerjaan yang tergantung pada kecerdasan (pendapat logis, nasihat yang tepat, dan administrasi yang bagus); (2) pekerjaan yang bergantung pada pengembangan dan belajar, yakni pekerjaan ilmuwan dan budayawan, seperti menulis, retorika, astrologi, dan obat-obatan; (3) pekerjaan yang membutuhkan keberanian dan kekuatan, seperti pekerjaan kekesatriaan.

Thusi, pada tempat lain, membagi pekerjaan rendah menjadi tiga bagian. Pertama, pekerjaan orang jahat, yakni aktivitas yang mengganggu kesejahteraan

Dalam dokumen filsafat ekonomi islam silahka di download (Halaman 70-92)