• Tidak ada hasil yang ditemukan

AL-GHAZALI: EKONOM DENGAN LOGIKA MAQASID

Dalam dokumen filsafat ekonomi islam silahka di download (Halaman 92-101)

“Manusia senang mengumpulkan kekayaan dan kepemilikan yang beragam. Bila ia sudah memiliki dua lembah emas, maka ia juga akan menginginkan lembah emas yang ketiga.‖112 Inilah tesis dasar al-Ghazali mengenai sifat dasar manusia dalam bidang ekonomi. Hakikat dasar manusia adalah menginginkan dan memiliki kekayaan. Kenapa demikian? Al-Ghazali menulis, ―karena manusia memiliki aspirasi yang tinggi. Ia selalu berpikir bahwa kekayaan yang sekarang telah mencukupi, mungkin tidak akan bertahan, atau mungkin akan hancur, sehingga ia akan membutuhkan kekayaan dalam jumlah yang lebih banyak lagi. Manusia akan mengatasi ketakutannya tersebut dengan mengumpulkan kekayaan lebih banyak lagi. Tetapi ketakutan ini tidak akan berakhir, bahkan bila ia memiliki semua harta di dunia ini‖113

Manusia adalah makhluk yang cemas akan kepastian hidupnya di masa depan. Harta yang telah diperoleh, diyakininya tidak akan mencukupi kebutuhannya di masa depan. Ada pengakuan mengenai kecenderungan manusia dalam mementingkan diri sendiri sekaligus juga pengakuan mengenai ―kelangkaan‖ harta atau ketidakmampuan harta memenuhi kebutuhan manusia --paling tidak seiring jalannya waktu.

Al-Ghazali memang mengakui bahwa setiap manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan dasariah yang meliputi pangan, sandang, papan (dzaruriyyat), lebih dari itu manusia juga membutuhkan kenyamanan (kebutuhan tingkat kedua, hajat), dan menginginkan kemewahan (atau tahsiniyyat). Kebutuhan dasariyah, bagi al-Ghazali, tidak hanya diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia agar manusiawi namun juga dibutuhkan agar manusia dapat menjalankan aktivitas agama.

Beragama memang tidak sekadar menjalankan perintah Tuhan, beragama bagi Al-Ghazali adalah aktivitas melakukan pemeliharaan atas lima hal mendasar dalam kehidupan manusiawi. Lima hal tersebut adalah agama (ad-dien), jiwa/nafsu (al- nafs), keluarga (al-nasl), harta (al-mal), dan akal (al-„aql). Kelima aspek ini dibutuhkan manusia untuk menjaga fithrah kemanusiaannya. Modal hidup manusia sebagai pribadi adalah jiwa dan akalnya, melalui jiwa dan akalnya manusia dapat bertahan dan menjalani kehidupan primordialnya. Kemudian untuk dapat melanjutkan kehidupan dibutuhkan keluarga dan kepemilikan harta. Demi untuk memiliki harta dan keluarga ini antar manusia bisa terjadi konflik, untuk itulah dibutuhkan agama (aturan yang mengatasi kepentingan manusia individual). ―Negara dan agama adalah

112 Al-Ghazali, Mizan al-Amal, hal. 280 113

tiang-tiang yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah masyarakat yang teratur‖, tulis al- Ghazali dalam Ihya Ulumuddin.114

Lima aspek tersebut menjdi menentukan kemanusiaan seseorang, karena itu kelima-limanya harus dipelihara secara seimbang. Kunci pemeliharaan atas kelima aspek ini, bagi Al-Ghazali, tergantung pada pemenuhan kebutuhan dasariah (dzaruriyyat) yang meliputi pangan, sandang, papan (dzaruriyyat). Untuk itu aktivitas ekonomi dalam hal memenuhi kebutuhan dzaruriyyat bersifat wajib.

Aktivitas ekonomi menurut al-Ghazali, merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang115 Sebagai tugas keagamaan, maka tujuan aktivitas ekonomi adalah untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat. Al-Ghazali kemudian mengidentifikasi tiga alasan yang mewajibkan seseorang harus melakukan aktivitas ekonomi, yakni pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya pribadi; kedua, untuk mensejahterakan keluarga; dan ketiga, untuk membantu orang lain yang membutuhkannya. Jika tidak terpenuhi ketiga tujuan ini, bagi al-Ghazali, maka aktivitas seseorang dipersalahkan agama. 116

Pada bagian ini, Al-Ghazali menunjukkan konsistensinya terhadap teori maqasid. Pada maqasid ditegaskan bahwa manusia bukanlah individu yang terlepas dengan yang lainnya, manusia adalah individu yang memiliki keluarga. Diri manusia (akal dan jiwanya) bukan satu-satunya yang harus dipelihara, manusia juga harus memelihara dan menjaga keluarga dan/atau keturunannya. Pada saat menjaga keluarga, ada individu lain yang menjadi tanggungannya, yakni istri (orang lain yang menjadi bagian dari individu berdasarkan hukum); kemudian pada saat ia menjaga keturunannya maka ia mempertimbangkan orang lain yang akan menjadi pasangan bagi anaknya dalam meneruskan keturunannya. Posisi diri dengan keluarga (al-nasl) ini menyebabkan manusia menjadi sosok individu, sekaligus sosial. Kesemua kebutuhan untuk menjaga seluruh aspek kehidupan membutuhkan kerjasama:

―….pandai besi membuat peralatan cangkul bagi petani, dan tukang kayu memproduksi peralatan yang dibutuhkan oleh pandai besi. Hal yang sama berlaku bagi mereka yang terlibat dalam produksi peralatan dan perkakas yang dibutuhkan untuk memproduksi bahan makanan‖117

Ini kemudian diperlengkapi lagi dengan kemestian menjaga aturan/agama (hifz al- din) yang menyebabkan manusia menjadi sekaligus makhluk religi.

Pada banyak aspek al-Ghazali lebih banyak mengaitkan teori ekonominya dengan manusia sebagai makhluk beragama. Misalnya ia menegasskan bahwa kerja merupakan bagian dari ibadah seseorang118, kemudian produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai fardlu kifayah. Manusia beragama (sebagai diri yang terlibat dengan makhluk lain) tidak bisa hidup dengan sekedarnya saja, ia memiliki tanggung

114

Ihya, Juz 4, hal. 192

115

Al-Ghazali, Mizan al-Amal, hal. 377

116

Hal. 249

117 Ihya, Juz 4. Hal. 128 118

jawab memakmurkan kehidupan di dunia yang membutuhkan aktivitas yang lebih dari pemenuhan kebutuhan penyambung hidup:

―Jika orang-orang tetap tinggal pada tingkatan subsisten (sad al-ramaq) dan menjadi sangat lemah, angka kematian akan meningkat, semua pekerjaan dan kerajinan akan berhenti, dan masyarakat akan binasa. Selanjutnya, agama akan hancur, karena kehidupan dunia adalah persiapan bagi kehidupan akhirat‖119

Pentingnya memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan orang lain membuat Al-Ghazali mengecam orang-orang yang pasrah dan memilih hidup miskin, atau mereka yang belum juga berusaha sudah menyatakan bahwa kesusahan yang menimpa dirinya adalah kehendak Allah.120 Hal lain, Al-Ghazali pun mengecam orang-orang yang boros dan kikir. Pemboros akan mengakibatkan perbbuatan jahat, sedangkan mereka yang kikir akan mengakibatkan penimbunan uang yang akhirnya menimbulkan pengangguran. Manusia harus berusaha, karena memiliki pendapatan dan kekayaan adalah hak asali manusia. Untuk itulah ia menginginkan pembagian kekayaan tidak bisa dipaksakan melainkan berdasar motivasi kewajiban moral agama terhadap sesama. Negara dengan kekuasaannya sebisa mungkin tidak terlibat dalam pembagian kekayaan.

Evolusi Pasar

Al-Ghazali meyakini bahwa pasar tumbuh dari ―hukum alam‖, dari ekspresi manusiawi untuk memuaskan kebutuhan ekonomi pribadinya. Ia menulis pikirannya mengenai evolusi pasar sebagai berikut:

―Petani membutuhkan pandai besi dan tukang kayu, sebaliknya pandai besi dan tukang kayu membutuhkan petani. Secara alami, masing-masing akan ingin memenuhi kebutuhan pribadinya dengan memberikan sebagian miliknya untuk dipertukarkan. Dapat saja terjadi, ketika tukang kayu membuyuhkan makanan dengan menukarkan miliknya kepada petani, namun petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Atau, jika petani saat petani membutuhkan alat-alat ternyata tukang kayu tidak membutuhkan makanan. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu secara lamiah orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak, dan tempat hasil pertanian pada pihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing, lalu terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi [tadi] yang tidak dapat langsung melakukan barter akan terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar ternyata tak ditemukan juga orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual kepada pedagang dengan harga yang relatif murah –barang tersebut kemudian disimpan

119 Hal. 108 120

pedagang sebagai persediaan. Pedagang di kemudian hari menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan tertentu. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang‖ (Ihya Ulumuddin, III: 227).

Pasar lahir dari kebutuhan alamiah manusia untuk mengatasi keterbatasan barang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Pasar ada karena aktivitas ekonomi antar manusia, bukan karena intervensi Negara. karena itu pasar yang digerakkan oleh orang perorang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan pasar. Negara dibutuhkan agar mekanisme paar berlaku secara adil.―Bila orang hidup dalam suatu masyarakat dan keinginannya terhadap berbagai hal timbul, akan ada perjuangan untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut. Ada persaingan tapi keseimbangan dapat dijaga melalui penggunaan kekuasaan dan pemeliharaan keadilan‖.121

Evolusi pasar didorong oleh kecenderungan manusia dalam memenuhi kebutuhan dasariahnya (perjuangan untuk memenuhi keinginan-keinginan), untuk pemenuhan kebutuhan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Jadi, pasar merupakan perluasan dari upaya alamiah manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupan diri (dan tanggunganya. Logika yang sama dapat ditemukan pada gambaran berikut:

―Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di berbagai kota dan Negara. Orang- orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat dan makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota yang mungkin tidak memiliki semua alat-alat yang dibutuhkan kota itu dan ke desa-desa yang mungkin tak memiliki semua makanan yang dibutuhkan. Keadaan inilah yang menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan. Keuntungan ini pada akhirnya dimakan oleh orang lain juga.‖

Pada bagian ini kita menemukan baris-baris menarik yang menunjukkan kecermatan analisa al-Ghazali mengenai motif tindakan manusia dalam aktivitas ekonomi jasa. Al-Ghazali menulis ―Motifnya tentu saja mencari keuntungan [bagi dirinya sendiri]. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan. Keuntungan ini pada akhirnya dimakan oleh orang lain juga.‖Jika pada aktivitas ekonomi perdagangan, al-Ghazali menuliskan bahwa motifnya adalah ―perjuangan untuk memenuhi keinginan‖ diri sendiri, pada ekonomi jasa (seperti transportasi) keuntungan didapat justru pada saat individu memenuhi kebutuhan orang lain.

Ada aspek lain yang dibicarakan al-Ghazali pada kutipan ini: Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan. Keuntungan ini pada akhirnya dimakan oleh orang lain juga. Ada efek domino dari keuntungan yang didapatkan individu: keuntungan satu individu akan menjadi keuntungan individu yang lain. Orang lain tidak mendapat keuntungan karena

121

terpenuhinya kebutuhan melalui transaksi di pasar, melainkan karena tersebarnya keuntungan itu melalui penyediaan barang melalui jasa transportasi.

Al-Ghazali menganggap bahwa keuntungan atau laba diperoleh sebagai imbalan atas resiko dan ketidakpastian yang dialami pedagang. Untuk mendapatkan barang para pedagang membahayakan kehidupannya menempuh perjalanan panjang dengan sejumlah resiko, kemudian pada saat berdagang pun ia kemungkinan akan mengalami resiko pada saat berdagang.122 Al-Ghazali mengecam penentuan harga yang berlebihan demi mendapatkan laba secara cepat, ia justru menekankan untuk melakukan pengurangan marjin keuntungan dengan mengurangi harga jual.123 Berkaitan dengan penentuan harga yang dapat member keuntungan, Al-Ghazali menekankan prosesntasi pengambilan keuntungan di antara 5 sampai 10 % dari harga barang.124 Prinsip yang diberlakukan al-Ghazali adalah pedagang tidak diperkenankan melakukan pengambilan laba secara berlebihan, bahkan ia menyarankan kebajikan (ihsan) bagi pedagang dengan (1) menetapkan motivasi pengambilan laba dari penjualan kebutuhan harus seminimal mungkin125; (2) jika pembeli menawar dengan harga yang lebih tinggi dari yang berlaku, penjual harus menolaknya; dan (3) pedagang berjualan dengan jujur, tidak melakukan dalam hal informasi kualitas barang atau harga126. Di samping itu, al-Ghazali menekankan. Seraya al-Ghazali mengingatkan agar pedagang lebih memilih laba dari ―pasar hakiki‖, yakni negeri akhirat.127

Logika maqasid lagi-lagi digunakan al-Ghazali dalam menyusun pemikirannya. Al-Ghazali mengakui dan mendorong individu untuk mendapatkan keuntungan demi pemenuhan kebutuhan diri, keluarga, dan orang lain yang membutuhkan; pada sisi lain ia juga menekankan perlunya mempertimbangkan aspek sosial (tidak mengambil laba maksimal atas barang dagangan kebutuhan dasar). Sebagai imbalannya ia mengajukan motif religious dengan menawarkan ada keuntungan yang lebih hakiki di akhirat sebagai pengganti dari minimalisasi pengambilan laba.

122

Ihya, Juz 4, hal. 118

123

Juz 2, hal. 80

124

Kimya as-“a adah, hal. 358

125

Ihya Juz 2, hal. 73

126 Ihaya, Juz 2, hal. 78 127

Evolusi Uang

Uang dibutuhkan dalam transaksi di pasar, karena barter akan merepotkan dan dapat menciptakan ketidakadilan. Perlunya uang dalam transaksi pasar ini digambarkan secara evolutif oleh -Ghazali sebagai berikut:

―Penciptaan dirham dan dinar (koin emas dan perak) adalah salah satu karunia Allah. Semua transaksi ekonomi didasarkan pada dua jenis uang ini. Dinar dan dirham adalahlogal yang tidak memberikan manfaat langsung. Namun orang membutuhkannya untuk mempertukarkannya dengan bermacam-macam barang lainnya, seperti makanan, pakaian, dan lain-lain. Kadangkala seseorang membutuhkan barang yang tidak dibutuhkannya. Contohnya,seseorang memiliki kunyit, tetapi ia membutuhkan unta untuk transportasi. Orang lain, yang meemiliki unta sedang tidak membutuhkan unta itu dan ia menginginkan kunyi. Bagaimana juga harus ada ukuran untuk mempertukarkan kedua objek tersebut, karena pemilik unta tidak dapat menyerahkan untanya dalam bentuk utuh untuk dipertukarkan dengan sejumlah kecil kunyit. Tidak ada kesamaan di antara keduanya yang memungkinkan kita menentukan jumlah yang sama menyangkut berat dan bentuknya. Barang-barang ini tidak memiliki kesetaraan untuk diperbandingkan secara langsung sehingga kita tidak dapat mengetahui seberapa banyak kunyit yang harus disediakan supaya setara dengan nilai unta. Transaksi barter seperti ini sangat sulit.‖

Logika penolakan barter dibangun al-Ghazali dengan cukup logis dan cerdas. Lalu setelah itu, al-Ghazali membangun argument mengenai perlunya uang:

Barang-barang seperti ini memerlukan media yang dapat menentukan nilai tukarnya secara adil. Bila tempat dan kelasnya dapat diketahui dengan pasti, menjadi mungkin untuk menentukan mana barang yang memiliki nilai yang sama dan mana yang tidak. Jadi ditentukanlah bahwa misalnya seekor unta sama dengan 100 dinar dan kunyit dalam jumlah tertentu sama dengan 100 dinar. Karena masing-masing barang tersebut sama dengan sejumlah dinar tertentu, kedua jumlah tersebut sama satu sama lain.

Sampai titik ini, sebenarnya, uraian mengenai perlunya uang untuk transaksi jual beli sudah selesai. Namun al-Ghazali meneruskan argumennya mengenai sifat uang:

―Namun, dinar dan dirham itu tidak dibutuhkan semata-mata karena logamnya. Dinar dan dirham diciptakan untuk dipertukarkan dan untuk membuat aturan pertukaran yang adil dan untuk membeli barang-barang yang memiliki kegunaan. Sesuatu (seperti uang) dapat dengan pasti dikaitkan dengan sesuatu yang lain jika sesuatu itu tidak memiliki bentuk atau fitur khususnya sendiri --contohnya cermin tidak memiliki warna tapi dapat memantulkan semua warna‖.128

Uang tidak memiliki kegunaan, tidak seperti makanan atau alat-alat pertukangan, tidak ada seorang pun yang membutuhkan uang sebagai uang. Uang berguna karena

128

manfaatnya sebagai alat tukar dan ―untuk membuat aturan pertukaran yang adil dan untuk membeli barang-barang yang memiliki kegunaan‖. Karena itu orang menginginkan uang bukan karena uang itu sendiri, mlainkan karena ia dapat digunakan untuk pertukaran. Prinsip ini digunakan al-Ghazali pada saat membicarakan soal riba:

Jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan dinar dan dirham lagi, ia menjadikan dinar dan dirham sebagai tujuannya. Uang tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Melakukan hal ini merupakan pelanggaran Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan barang-barang lainnya. Dinar dan dirham tidak dimaksudkan bagi mereka sendiri. Dalam hubungannya dengan barang lainnya, dinar dan dirham adalah seperti proposisi dalam kalimat – digunakan untuk memberikan arti yang tepat atas kata-kata. Atau seperti cermin yang memantulkan warna, tetapi ia sendiri tidak memiliki warna. Bila orang diperbolehkan untuk menjual (atau mempertukarkan) uang dengan uang (untuk mendapatkan laba), transaksi seperti ini akan menjadi tujuannya, sehingga uang akan tertahan dan tertimbun. Menahan penguasa atau tukang pos adalah pelanggaran, karena dengan demikian mereka dicegah dari menjalankan fungsinya, demikian pula halnya dengan menahan uang‖129

Riba dilarang bukan karena alasan ―larangan agama‖, melainkan juga karena bertentangan dengan fungsi asali (maqasid) dari uang, sekaligus juga akan menimbulkan kemungkinan eksploitasi ekonomi dan ketidakadilan dalam transaksi. Praktek riba secara tidak langsung akan menyebabkan terkumpulnya uang pada pihak tertentu yang mengakibatkan jumlah uang yang beredar di tengah masyarakat lebih sedikit dibandingkan barang. Jadi riba dalam aspek tertentu memiliki kejahatan yang sama dengan ―penimbunan‖:

―Jika seseorang menimbun dirham dan dinar, ia berdosa. Dinar dan dirham tidak memiliki guna langsung pada dirinya. Dinar dan dirham diciptakan supaya beredar dari tangan ke tangan, untuk mengatur dan memfasilitasi pertukaran….[sebagai] symbol untuk mengetahui nilai dan kelas barang. Siapapun yang mengubahnya menjadi peralatan-peralatan emas dan perak berarti ia tidak bersyukur kepada penciptanya dan lebih buruk daripada penimbunan uang, karena orang yang seperti itu adalah seperti orang yang memaksa penguasa untuk melakukan fungsi-fungsi yang tidak cocok –seperti menenun kain, mengumpulkan pajak, dan lain-lain. Menimbun koin masih lebih baik dibandingkan mengubahnya, karena ada logam dan material lainnya seperti tembaga, perunggu, besi, tanah liat yang dapat digunakan untuk membuat peralatan. Namun tanah liat tidak dapat digunakan untuk mengganti fungsi yang dijalankan oleh dirham dan dinar‖.130

129 Al-Ghazali, Ihya, Juz 4. hal. 192 130

Sekali lagi logika yang digunakan Al-Ghazali adalah logika fungsi atau tujuan penciptaan. Logikanya dapat dirumuskan menjadi, ―Jika sesuatu diciptakan untuk tujuan x, kemudian disalahfungsikan untuk tujuan selain x; maka ia berbuat kejahatan‖. Al-Ghazali memberi contoh disfungsi ini dengan ungkapan ―Menahan penguasa atau tukang pos adalah pelanggaran, karena dengan demikian mereka dicegah dari menjalankan fungsinya‖ atau ―seperti orang yang memaksa penguasa untuk melakukan fungsi-fungsi yang tidak cocok –seperti menenun kain, mengumpulkan pajak, dan lain‖.

Selain itu, al-Ghazali meyakini bahwa fungsi ―sesuatu‖ itu merupakan fungsi penting di antara struktur fungsi-fungsi lain dalam masyarakat. Misalnya bila dalam suatu masyarakat diasumsikan memiliki lima fungsi, maka satu fungsi yang hilang akan membuat system dalam masyarakat itu tidak seimbang yang berakibat menimbulkan kekacauan. Logika ini dapat ditemukan pada pelarangan riba, yang berakibat eksploitasi ekonomi dan ketakstabilan dalam transaksi. Logika yang sama dapat ditemukan pada larangan pemalsuan uang:

―memasukkan uang palsu dalam peredaran merupakan suatu kezaliman yang besar. Semua yang memegangnya dirugikan… peredaran datu dirham palsu lebih buruk daripada mencuri seribu dirham, karena tindakan mencuri merupakan sebuah dosa, yang langsung langsung berakhir setelah perbuatan dosa itu diperbuat; namun pemalsuan uang merupakan sesuatu yang berdampak pada banyak orang yang menggunakannya dalam transaksi selama jangka waktu yang lama‖.131

Riba, pemalsuan uang, penimbunan uang dilarang –sekali lagi—bukan karena aturan agama, melainkan karena logika kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan.

Teori Produksi

Bekerja adalah kewajiban bagi semua manusia beragama. Bekerja difungsikan agar memproduksi barang-barang yang memenuhi kebutuhan pribadi dan social. Untuk itu al-Ghazali membagi produksi dalam tiga tingkatan, industri dasar, aktivitas penyokong, dan aktivitas komplementer. Industry dasar adalah industry yang menjaga kelangsungan hidup manusia, yakni agrikultur (produsen makanan), tekstil (produsen sandang), konstruksi (produsen papan), dan aktivitas Negara. Aktivitas penyokong adalah aktivitas yang bersifat tambahan bagi industry dasar; sedang aktivitas komplementer merupakan yang berkaitan dengan industry dasar seperti penggilingan padi. Pemenuhan ketiganya merupakan kewajiban social sekaligus juga ―tugas ilahiah‖:―Jika orang mengabaikan ketiganya, manusia tidak akan bertahan hidup –dan merupakan keberkahan dari Allah bahwa orang memiliki keahlian untuk pekerjaan yang berbeda-beda‖.132

Gagasan lain yang menarik dari al-Ghazali adalah tahapan produksi dan kaitannya satu sama lain. Al-Ghazali membuat ilustrasi keterkaitan itu dalam rantai saling memberi nilai tambah, ―Petani memproduksi gandum, tukang giling

131 Ihya, juz 2, hal. 73 132

mengubahnya menjadi tepung, lalu tukang roti membuat roti dari tepung itu‖. Produksi mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan kerjasama.

―Hendaklah anda ketahui bahwa tumbuhan dan hewan tidak dapat langsung dimakan dan dicerna. Semuanya membutuhkan transformasi, pembersihan, pencampuran, dan pemasakan sebelum dapat dikonsumsi. Roti misalnya dimulai dengan petani yang menyiapkan dan mengolah lahan, kemudian diperlukan sapid an peralatan untuk membajak tanah. Kemudian tanah tersebut diari, dibersihkan dari rumput liar lalu hasilnya dipanen, dan bulir-bulir gandumnya dibersihkan dan dipisahkan. Kemudian gandum ini digiling menjadi tepung sebalum dipanggang. Bayangkan saja –berapa banyak pekerjaan terlibat; dan kita hanya menyebutkan beberapa saja di sini Dan bayangkan jumlah orang yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang beragam ini, jumlah bermacam-macam perkakas, yang terbuat dari besi, kayu, batu, dan lain-lain. Bila diselidiki, kita akan menemukan bahwa mungkin satu kerat roti dapat menjadi roti yang dapat dimakan dengan bantuan mungkin lebih dari seribu pekerja‖133

Pada ilustrasi ini al-Ghazali menunjukkan aktivitas ekonomi sebagai system yang saling terkait satu sama lain, sama seperti logika yang digunakannya pada saat menganalisa kerugian praktek riba. ―bahkan jarum yang kecil itu menjadi berguna hanya setelah melewati tangan-tangan pembuat jarum sebanyak 25 kali setiap kali melalui proses yang berbeda‖134

. Bila dalam produksi terjadi rantai yang saling terkait, maka dapat dipahami bahwa riba dan penimbunan uang akan mengakibatkan resesi ekonomi tertentu.

Peran Negara

Negara memiliki peran penting dalam aktivitas ekonomi, sama pentingnya dengan peran agama. Al-Ghazali menulis, ―Agama adalah fondasi, dan penguasa mewakili Negara adalah penyebar dan pelindung; bila salah satu dari tiang ini lemah

Dalam dokumen filsafat ekonomi islam silahka di download (Halaman 92-101)