• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber: Monografi desa Raya tahun 2011

4.3 Etos Kerja Dalam Masyarakat Buruh Tani Di Desa Raya

Menurut Koenjaraningrat(dalam Sarajar 1995:38 Persepsi tentang etos kerja) yang

memberi pengertian tentang etos adalah sebagai watak khas yang tampak dari luar, artian

watak yang dimaksud adalah hal yang dapat dilihat oleh orang lain dimana masyarakat etnis

Jawa di desa Raya ini yang bekerja sebagai buruh tani dapat dilihat bagaimana cara mereka

bekerja sehingga mampu bertahan hidup di tanah perantauan. Ada sesuatu yang dapat dilihat

dari buruh tani etnis Jawa ini yang membuat mereka maju dan kemajuan itu dapat dilihat oleh

orang lain seperti penduduk asli yang ada di desa raya ini seperti Suku Karo.

Kemajuan-kemajuan ini dialami secara perlahan-lahan karena buruh tani ini ini bersifat buruh harian

lepas dimana setelah bekerja, gajinya langsung dibayar.

Ada tujuan tersendiri yang ingin dicapai oleh buruh tani etnis Jawa yang tinggal di

ingin tinggal menetap di desa ini karena di desa ini lah mereka memperoleh pekerjaan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu mereka juga ingin menetap dan tinggal di desa

Raya ini sehingga ada keinginan untuk memiliki rumah, tanah untuk berladang seperti

masyarakat yang tinggal di desa Raya.

Seperti yang dikatakan ibu Dilla :

“Aku juga pengen koyok uwong-uwong yang eneng ndok sekitar lingkungan, aku juga pengen koyok mereka, punya omah lemah, gawe ladang. Aku sangat termotivasi karo wedok-wedok Suku Karo yang kerja keras gawe membantu perekonomian omah tangga. Wedok Suku Karo sangat kuat gawe kerjo, kenopo aku ora? Kita sama-sama mangan sego kok, jadi kenopo mereka iso aku ora? Karena bojoku iku buruh bangunan sementara aku adalah aron yang kerjo isuk baline sore”

Terjemahan

“saya juga ingin seperti orang-orang yang ada di sekitar lingkungan saya, aku ingin seperti mereka mempunyai rumah,tanah untuk berladang. Saya sangat termotivasi dengan perempuan-perempuan suku Karo yang sangat bekerja keras untuk membantu perekonomian rumah tangga. Wanita Karo sangat kuat untuk bekerja mengapa saya tidak?kita sama-sama memakan nasi kenapa mereka bisa saya tidak?karena suami saya adalah buruh bangunan sementara saya adalah aron yang bekerja pagi pulang sore”.(hasil wawancara 28 oktober 2012)

Ibu Dilla termotivasi oleh masyarakat disekitarnya yang mengalami

kemajuan-kemajuan dimana kemajuan-kemajuan itu terjadi secara perlahan-lahan dan ibu Dilla termotivasi dan

semangat untuk merubah kehidupannya. Selain itu juga ibu Dilla termotivasi dengan

rekan-rekan nya atau tetangga-tetangganya yang tinggal satu lingkungan dengan dia yang

mempunyai pekerjaan yang sama sebagai buruh tani yang sudah mempunyai rumah,

mempunyai tanah, dan ibu Dilla sendiri ingin seperti itu juga.

Hal ini juga dialami oleh ibu Srijumiati yang bekerja sebagai aron. Ibu Srijumiati

mengatakan :

“aku karo bojo ku tinggal ndok kene mesti mengikuti uwong-uwong yang eneng ndok sekitar kene Desa raya. yang ndi ndok kene bojo karo istri dalam siji keluarga iku kerjo, walau ndak penghasilan kami ndak mencukupi. Bojoku kerjo sebagai supir di pabrik limun sementara aku

hanya iso kerjo sebagai aron yang ndok ladang. Mbien aku ngerasa talenta hanya kerjo ndok ladanglah. Aku juga belajar teko wedok-wedok Suku Karo yang gigih sekali gawe kerjo yang ndi bojo nya iku mampu njagok sepanjang hari di kede kopi, sementara istrinya kerjo ndok ladang.”

Terjemahan

“saya dan suami tinggal disini harus mengikuti irama yang ada di sekitar Desa Raya ini. dimana di daerah sekitar tempat kami ini suami dan istri di dalam satu keluarga itu bekerja, kalau tidak bekerja penghasilan kami tidak mencukupi. Suami saya bekerja sebagai supir di pabrik limun sementara saya hanya bisa bekerja sebagai aron yang bekerja di ladang. Awalnya saya merasa tidak mampu tetapi hanya itu lah keahlian saya, sekolah saya tidak ada ya saya merasa talenta saya hanya bekerja di ladang lah. Saya juga banyak belajar dari perempuan-perempuan Suku Karo yang gigih sekali untuk bekerja dimana suaminya itu mampu duduk di kede sepanjang hari di kede kopi sementara istrinya bekerja ke ladang.”(hasil wawancara tanggal 28 oktober 2012)

Inilah yang dilihat oleh ibu Srijumiati dimana ia juga termotivasi oleh keadaan-

keadaan di sekitar tempat tinggalnya. Ibu ini melihat semangat-semangat wanita Karo yang

sangat tinggi sehingga ia juga ingin seperti itu. Karena kalau diharapkan dari penghasilan

suami itu tidak cukup jadi istri harus juga membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Perempuan Suku Karo itu lebih giat bekerja dari pada laki-lakinya, dimana si isrti itu

pagi-pagi sudah berangkat ke ladang dan suami sanggup sepanjang hari untuk duduk-duduk dan

main catur di kede kopi. Istri lah yang bekerja ke ladang bahkan banyak dilihat istri lah yang

bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga sementara suami santai-santai.

Inilah yang dilihat oleh buruh tani etnis Jawa ini dimana istri juga sangat berpengaruh

ambil andil didalam memenuhi kebutuhan rumah tangga buruh tani etnis Jawa yang terkhusus

perempuan ini ingin seperti perempuan Karo yang mampu untuk bekerja tanpa harus selalu

mengandal kan suami untuk mencari nafkah. Cara bekerja mereka pun harus mulai berubah,

dari mereka bekerja sangat lambat dan sangat santai.

Dengan perlahan-lahan buruh tani ini merubah cara bekerja, walaupun sangat sulit untuk

“ Mbien aku kerjo sebagai aron iku sangat susah karena ikilah pengalaman pertamaku kerja ndok ladang. Aku kerjo sangat alon karo santai, jadi setelah aku pindah tempat kerjo karo santai, jadi setelah aku pindah tempat kerjo karo pindah majikan aku pernah kena tegur, tetapi ndak pernah sampai di pecat lagi. Aku mulai alon-alon merubah coro kerja ku yang alon jadi saiiti cepat karo tidak santai. Kalo tak kei nasehat aku ndak mudah sakit hati, karo kerungu nasihat iku karo ngelakoninya. Dadi saiki aku uwes biasaan gawe kerjo cepat bahkan majikan ku dikei kepercayaan kon ngurus ladang”.

Terjemahan

“ awalnya saya bekerja sebagai aron itu sangat lah susah, karena saya inilah pengalaman saya pertama kali bekerja ke ladang. Saya bekerja sangat lah lambat sehingga saya pernah dipecat oleh majikan saya karena saya bekerjanya lambat dan santai. Sehingga setelah saya pindah tempat bekerja dan berpindah majikan saya juga pernah kena tegur tetapi tidak sampai dipecat lagi. Saya mulai perlahan-lahan merubah cara kerja saya yang lambat menjadi sedikit cepat dan tidak santai. Kalau diberi nasehat saya tidak murah sakit hati dan mendengar nasihat tersebut dan menjalankan nya. Sehingga sekarang sudah terbiasa untuk bekerja cepat bahkan majikan saya mempercayai saya mengurus ladang nya”.(hasil wawancara 10 oktober 2012)

Etos kerja yang terjadi di masyarakat buruh tani etnis Jawa ini mengalami Asimilasi

dimana terjadi usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan antaraindividu atau antarkelompok

guna mencapai suatu kesepakatan berdasarkan kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.

Kemudian antara buruh tani etnis Jawa dan yang mempekerjakan buruh tani tersebut saling

berinteraksi secara langsung dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama, sehingga

kebudayaan masing-masing kelompok berubah dan saling meneyesuaikan diri.

Etos kerja masyarakat buruh tani etnis Jawa di Desa Raya ini juga dipengaruhi oleh

unsure agama. Dimana ada nilai-nilai agama yang mempengaruhi sikap dan perilaku bekerja

setiap umat yang menganut agama tersebut. Seperti yang dikatakan oleh bapak Slamat

Sumarno: Ini benar terjadi adanya di buruh tani etnis Jawa dimana ada usaha-usaha yang

dilakukan oleh buruh tani ini untuk merubah cara kerja mereka ke arah yang lebih baik lagi

seperti yang di inginkan oleh majikan tempat nya bekerja dan interaksi secara langsung dapat

merubah cara kerja buruh tani etnis Jawa ini. Saling menghargai budaya masing-masing

“dulunya aron saya bekerja sangat lah lambat, menurut saya wajar karena suku Jawa pada awalnya bekerja itu lambat sekali. Saya tidak memarahi aron saya hanya saja saya menegur dan saya berusaha agar aron saya tidak sakit hati. Selain itu juga saya mengajari aron saya bagaimana caranya bekerja cepat dan rapi. Saya tidak terlalu memaksa mereka untuk sama seperti saya hanya. Dan aron saya bisa menerima teguran dan nasihat saya. Hal yang paling terpenting adalah aron saya mau belajar dan mengikuti car kerja seperti yang saya inginkan.”( wawancara tangaal 14 oktober 2012)

Faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya asimilasi adalah adanya sikap toleransi

dan saling menolong antara buruh tani etnis Jawa dengan majikan tempatnya bekerja yang

merupakan suku Karo. Dimana ada sikap saling menghargai dan saling menghormati. Selain

itu juga ada kesempatan yang sama untuk mencapai kedudukan tertentu atas dasar

kemampuan yang dimiliki. Ini dapat dilihat dari dibukanya kesempatan oleh masyarakat yang

mempekerjakan buruh tani etnis Jawa tersebut kepada aronya untuk lebih berkembang lagi

dan lebih maju terutama di bidang ekonomi, dimana majikan tersebut membuka peluang yang

sangat besar seperti antara majikan dan aron dapat bekerja sama di dalam hal menanam

tanaman secara bersama-sama atau sering disebut tanaman kongsi.

Kesempatan ini diberikan karena keterbatasan tenaga yang dimilki oleh majikan/

petani untuk menanam tanaman yang berjumlah besar dan lebar dan membutuhkan biaya

yang banyak. Sehingga perlu tenaga yang lebih lagi untuk merawat tanaman tersebut. seperti

yang dikemukakan oleh bapak kepala desa Bapak Budiman Ketaren

“karena saya tidak mampu lagi mengerjai ladang saya sehingga saya mau bekerja sama menanam tanaman dengan aron yang bekerja menatap dengan saya. Saya lebih merasa beruntung dan mereka juga tidak saya rugikan. Karena kalau menanam tanaman secara bersama, pasti aron saya merasa itu juga adalah tanaman nya sehingga ada keingginan dari aron saya sendiri bagaimana cara nya agar tanaman tersebut bagus hasilnya dan harga mahal. Jika bagus hasil dan harga mahal tentu aron saya juga kebagian karena hasil dibagi 2”.

Dapat dilihat dibukanya kesempatan oleh majikan kepada aron ini lah yang membuat

buruh tani ini lebih giat didalam bekerja guna mendapatkan hasil yang memuaskan. Dan

merubah kehidupan ke arah lebih baik dan kesempatan itu diberi karena sesuia dengan

kemampuan yang dimiliki oleh buruh tani etnis Jawa tersebut.

Etos kerja juga dipengaruhi oleh unsur agama. Hal ini benar adanya terjadi di buruh

tani etnis Jawa dimana mereka bekerja itu merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap

umat manusia dan ini ada diajarkan di agama mereka.Seperti yang dikatakan ibu Dilla

“ Ndok suku Jawa setenane ora eneng diajarkan kon kerjo keras, neng agamaku diajari kon kerjo keras karo memenuhi kebutuhan hidup tanpa ngaboti wong lio karo diajarkan kon nolong sesama umat.”

Terjemahan

“ di dalam suku Jawa sebenarnya tidak ada di ajarkan untuk bekerja keras tetapi di dalam agama yang saya percayai ada diajarkan untuk bekerja keras dan memenuhi kebutuhan hidup tanpa memberatkan orang lain dan diajarkan untuk membantu sesama umat.(hasil wawancara pada tanggal 28 oktober).”

Bahwa didalam agama juga diajarkan untuk bekerja, dan di masyarakat suku Jawa ini

bekerja karena dipengaruhi oleh perilaku bekerja. Upah yang didapat melalui bekerja sebagai

buruh tani adalah Rp.50.000/harinya dan tidak ditanggung makan siang. Jika memanen jeruk

upah yang mereka dapat Rp. 60.000 ditanggung makan siang dan di beri snack. Karena upah

harian buruh tani yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga mereka tetap

bertahan sebagai buruh tani.

4.4 Etika Jawa yang mempengaruhi cara bekerja buruh Tani Etnis Jawa.