• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi dan Proyeksi Bidang Hukum

Dalam dokumen no 1th ixjanuari 2015 (Halaman 39-41)

D

AHULU kala saat Indonesia belum memasuki era reformasi tak pernah terdengar di telinga rakyat pejabat publik, baik sipil maupun militer, tertangkap dan masuk bui karena melakukan kejahatan korupsi. Fenomena tersebut bukan karena para pejabat publik era itu bersih-bersih, namun mereka adalah sosok-sosok invis- ible yang tak tersentuh jerat hukum.

Era siapa yang kuat dialah yang menang dalam segala hal berlaku pasti di zaman itu. Kisah rakyat biasa menjadi korban tewas atau hilang tak ada kabar beritanya sering terjadi dan menjadi kisah sedih, aneh serta memuakkan hingga detik ini.

Begitu era reformasipun tiba, pendulum kekuasaan yang awalnya hanya terpusat di satu tangan kini terlepas dan menyebar ke lembaga-lembaga negara lainnya. Hukumpun mulai mengeluarkan tajinya. Melalui lembaga khusus Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) taji hukum mulai menyasar ke pusat-pusat kekuasaan, baik dipusat maupun daerah.

Sasaran tembak hukum tak pandang bulu dan tak kenal jabatan. Mulai dari staf PNS, swasta, wakil rakyat, pejabat militer dan Polri, Walikota, Bupati, Gubernur sampai Menteri bahkan seorang hakim yang tersangkut kejahatan korupsi diberangus dan dijebloskan ke tahanan.

Anggota MPR RI Fraksi PKS Al Muzzamil Yusuf dalam satu kesempatan mengatakan, penegakan hukum di Indonesia pasca reformasi harus diakui dan patut diapresiasi. “Coba bandingkan saat masa Orba, mana ada pejabat militer dan polri atau pun menteri terjerat hukum. Penegakan hukum di Indo- nesia berjalan sangat baik,” ujarnya.

Namun, Al Muzzamil mempertanyakan apakahpunishmentkeras terhadap pelaku kejahatan tersebut bisa membuat jera sang pelaku dan menjadi pelajaran agar tidak ditiru oleh yang lain. Pertanyaan ini tentu saja terjawab dengan makin maraknya bahkan makin ‘ganas’ kejahatan korupsi, dan

dilakukan tanpa malu-malu lagi.

Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014 Hajriyanto Y.Thohari bahkan melihat kejahatan korupsi di era reformasi dilakukan bukan hanya dibawah meja, tapi juga di atas meja. Dan, lebih mengkhawatirkan lagi kejahatan korupsi terjadi regenerasi. Pelaku- pelaku kejahatan korupsi kebanyakan datang dari generasi muda dan berpendidikan tinggi. Itu adalah penegakan hukum di tingkat elit. Bagaimana di level masyarakat biasa. Di 2014 kita sering mendengar kasus-kasus hukum yang aneh dan membuat miris, seperti kasus pencurian tiga butir buah kakao, kasus pencurian enam piring makan, dan kasus- kasus salah tangkap. Semua fenomena ini semestinya tidak terjadi lagi di 2015.

Soal penegakan hukum kasus narkoba, di 2014 ada titik terang dengan keluarnya kebijakan keras Presiden RI untuk menjatuhkan hukuman mati buat para pelaku kejahatan pengedar narkoba. Walaupun banyak tantangan soal hukuman mati, khususnya dari penggiat HAM, namun langkah Presiden ini sangat baik dan bisa menekan kuantittas kejahatan narkoba.

Lalu di level internasional. Siapa yang tak

kenal aksi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo, Susi geram dengan berbagai kejahatan pencurian ikan di seluruh wilayah perairan Indonesia tanpa tersentuh hukum lokal maupun internasional.

Susipun bergerak. Dengan restu dan persetujuan Presiden, Susi membuat kebijakan ekstrim, mencari pelaku pencurian, menangkapnya, diadili dan kapalnya diledakkan. Aksi Susi tak main-main, ia langsungtake action. Aksinya ini sempat membuat keder dan gentar negara-negara yang warganya ketahuan mencuri ikan di perairan Indonesia. Penegakan hukum ala Susi ini mampu menegakkan kembali kedaulatan wilayah Indonesia.

Itu soal kedaulatan wilayah perairan, penjagaan dan penegakan hukum di wilayah kedaulatan udara Indonesia pun dilakukan dengan sangat serius dan tegas. Panglima TNI Jenderal Moeldoko atas persetujuan Presiden juga menerapkan kebijakan ekstrim soal pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia. Di 2014, beberapa pesawat dari Australia, Timur Tengah dan Singapura yang

Banyak elemen masyarakat mengatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia dalam kurun

waktu 2014 belum maksimal, belum menyentuh rasa keadilan. Namun, tak sedikit yang

membandingkan dengan penegakan hukum era orde baru.

NASIONAL

nekat menerobos wilayah udara Indonesia tanpa izin disergap jet tempur TNI Angkatan Udara RI dan dipaksa mendarat jika tidak akan langsung dihancurkan.

Kebijakan penegakan hukum yang dilakukan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Susi dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko adalah hal baru yang patut diapresiasi dan dilanjutkan bahkan lebih keras dan intens lagi di 2015.

Satu lagi masalah klasik, yakni konflik dan gesekan antara oknum TNI dan Polri. Walaupun sering terjadi, tapi tidak pernah diselesaikan? Mengapa selalu terjadi konflik antara oknum TNI dan Polri? Pertanyaan ini memang sudah selayaknya dipertanyakan masyarakat luas, terkait sering terjadinya konflik antara oknum prajurit TNI dan Polri. Kekhawatiran masyarakat sangat dimaklumi, sebab mereka yang berkonflik adalah aparatur yang memegang senjata.

Berbagai diskusi pun digelar untuk mengetahui apa penyebab dan akar masalah sehingga selalu terjadi konflik di dua institusi bersenjata ini. Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengungkapkan bahwa akar masalahnya terletak pada di edukasi, di pendidikan awal para taruna. Untuk itu ada wacana kuat agar pendidikan TNI dan Polri disatukan kembali agar bisa dikontrol dan seragam.

Namun, pakar kriminologi UI Erlangga Masdiana mengatakan, akar masalahnya adalah kesejahteraan dan kecemburuan sosial. Sebab, Polri pasca pisah dengan TNI memiliki kewenangan yang luas sehingga berdampak kepada kesejahteraan. Maka, “Ada wacana agar kewenangan keamanan dibagi ke TNI, jangan semua dipegang Polri,” ungkapnya.

Anggota MPR RI Fraksi Hanura Syarifuddin Suding mengatakan bahwa bukan rahasia lagi tingkat kesejahteraan anggota TNI dan Polri ini masih jauh, dan ini membuat prihatin dan menjadi masalah juga. Syarifuddin berharap, TNI dan Polri bekerja secara profesional. Untuk meminimalisir gesekan, tidak ada cara lain harus ada peningkatan kesejahteraan dan harus ada program membangun komunikasi baik antara TNI dan Polri dan harus dilakukan secara intens.

Wacana soal penyatuan kembali TNI dan Polri, menurut Syarifuddin, sangat baik.

Sebab, jika mereka menyatu di satu angkatan maka jalinan kekerabatan, jalinan emosional dan komunikasi akan berjalan sangat baik dan akan berlangsung lama. Kalau ada masalah maka mereka akan saling mengontak dan menyelesaikan dengan baik. “Satu lagi yang penting adalah proses rekrutmen di TNI dan Polri harus transparan, akuntabel. Sebab, bagaimana mereka akan mengayomi dan melakukan edukasi ke masyarakat jika proses rekrutmennya saja tidak transparan dan tidak akuntabel,” katanya.

Proyeksi 2015

Untuk 2015 ada beberapa hal perlu diperhatikan. Seharusnya hukum di Indone- sia berjalan seiring dengan keadilan.

Penegak hukum semestinya mendapat kepercayaan dari masyarakat dalam menjaga dan mengatur hukum dengan adil dan bermanfaat bagi rakyat.

Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum. Pertama, keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.Kedua, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

Ketiga, kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.Keempat, belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,

terutama kebutuhan material. Kelima, kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Para penegak hukum seperti hakim dan jaksa harus lebih memahami tentang viktimologi atau ilmu yang mempelajari tentang korban kejahatan, sehingga hak-hak korban terpenuhi secara optimal, sebab para penegak hukum ini adalah garda terdepan dalam proses penegakan hukum

Tataran teoritis ilmu viktimologi sudah berkembang pesat, namun disayangkan dalam praktiknya, penegak hukum di Indo- nesia belum menerapkan keadilan restoratif atau hukum berbasis korban. Ada dua kendala belum diterapkannya keadilan restoratif ini. Pertama, aparatur penegak hukum belum siap dengan teori dan praktik mengenai viktimologi karena keadilan restoratif sangat erat kaitannya dengan teori viktimologi.

Alasan lainnya, belum adanya revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga lembaga yang saat ini berjuang untuk memenuhi hak-hak korban di Indonesia hanya LPSK.

Komisioner Lembaga Perlindungan Korban di Negara Bagian Selatan Australia (Victim’s Right Government of South Australia), Michael O’Connel mengatakan di Negara Bagian Selatan Australia keadilan restoratif sudah digunakan sejak 1988. Bahkan, jaksa penuntut umum di sana bisa mengajukan restitusi (pemberian ganti rugi) kepada pelaku.

Negara punya kewajiban memberikan kompensasi bagi korban. Di sana, korban juga bisa membuat semacam berita acara untuk mengetahui tingkat penderitaannya. Jadi, ketika di pengadilan, hakim bisa memberi keputusan sesuai kondisi korban. Ini bisa dijadikan contoh.

Aparatur keamanan seperti polisi ke depannya harus meningkatkan profe- sionalitasnya. Hal ini terkait dengan berbagai kasus salah tangkap bahkan sampai masuk pengadilan dan di penjara bertahun-tahun. Profesional aparatur keamanan ini sangat penting, sebab menyangkut kehidupan dan hak asasi rakyat Indonesia sebagai manusia yang memiliki hak. ❏

dry Syarifuddin Suding

EDISI NO.01/TH.IX/JANUARI 2015

FOTO-FOTO: ISTIMEWA

EDISI NO.01/TH.IX/JANUARI 2015

“Segala perairan disekililing dan diantara

Dalam dokumen no 1th ixjanuari 2015 (Halaman 39-41)