• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Semarang

Dalam dokumen no 1th ixjanuari 2015 (Halaman 64-67)

S

OSIALISASI

W

ACANA hangat soal perubahan UUD NRI Tahun 1945 santer terdengar beberapa waktu lalu. Adalah ber-bagai elemen bangsa yang giat melakukan sosialisasi perubahan UUD. Salah satunya adalah lembaga lembaga negara, DPD RI. Lembaga ini sangat konsisten melakukan upaya sosialisasi perubahan UUD dengan salah satu agenda utamanya penguatan wewenang DPD RI.

Berbagai media seperti talkshow, seminar, workshop, diskusi digunakan oleh DPD RI dalam upayanya melakukan sosialisasi perubahan UUD. Lembaga negara ini juga menyambangi berbagai perguruan tinggi di Indonesia, guna menghimpun masukan dari kalangan akademi. Seperti pada 22 Desember lalu misalnya, Kelompok DPD MRI menggelar seminar nasional bekerjasama dengan Univer- sitas Semarang.

Seminar yang berlangsung di Hotel Horison, Semarang, Jawa Tengah, itu mengangkat tema: ‘Urgensi Perubahan UUD 1945’. Ketua Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono, Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad, akademisi UGM Zainal Arifin Muchtar, dan akademisi Universitas Semarang Lita Tyesta tampil sebagai pemakalah. Seminar ini diikuti sekitar 300 peserta dari mahasiswa, akademisi, dosen, penggiat LSM, birokrat dan masyarakat umum.

Ketua Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono yang mendapat giliran awal memaparkan bahwa di Indonesia, setelah satu dasawarsa reformasi, masih perlu adanya penataan sistem ketatanegaraan. Mengutip pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie yang menyebutkan bahwa sampai saat ini masih diperlukan konsolidasi demokrasi, konsolidasi sistem politik dan ketatanegaraan, konsolidasi sistem hukum dan kelembagaan negara.

Tanpa penataan kembali sistem kelembagaan dalam bernegara maka kebijakan yang baik dan indah tidak bisa dilaksanakan secara efektif dan fungsional. Kewenangan untuk menata kembali sistem ketatanegaraan itu dimiliki oleh MPR RI. Dan, MPR RI adalah lembaga negara diberi kewenangan untuk mengubah UUD. Keputusan MPR No IV/MPR/2014 secara eksplisit menyatakan, MPR sebagai lembaga negara memiliki kewenangan tertinggi dalam mengubah, menetapkan, menafsirkan UUD, dan memberikan arah kebijakan kepada lembaga negara lainnya.

Dengan posisinya seperti sekarang ini, kewenangan MPR untuk mengubah UUD sudah sangat jelas. Hanya yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, apakah perlu ada perubahan lagi terhadap UUD 1945 yang sudah mengalami perubahan empat kali? Kalau memang

EDISI NO.01/TH.IX/JANUARI 2015

dianggap perlu adanya perubahan, apa saja yang perlu diubah atau disempurnakan? Lalu, bagaimana caranya dan kapan perubahan dilaksanakan?

Selain sebagai sesuatu yang normal, keinginan untuk kembali mengubah UUD adalah sangat konstitusional dan demokratis, kendati harus melewati proses panjang dan tidak sederhana. Keinginan untuk mengubah UUD diakomodor dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengenai usul perubahan pasal-pasal UUD.

Sebagai produk hukum, UUD sekaligus juga merupakan produk politik yang merupakan resultan dari berbagai kepentingan politik di masyarakat, yang berkembang sesuai dengan kebutuhan yang ada. Karena itu, sebagai konstitusi yang hidup ( the living constitution ) membuat perubahan UUD bukanlah sesuatu yang

tabu. Tetapi, justru menjadi kebutuhan dalam menghadapi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Walaupun UUD 1945 sudah diamandemen sebanyak empat kali, tetap saja memunculkan banyak bagian dari sistem ketatanegaraan yang harus disesuaikan kembali. Pakar Hukum Tata Negara Prof. Saldi Isra memberi contoh Pasal 7C UUD 1945 pasca amandemen. Pasal itu menyebutkan, Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Apakah ini berarti Presiden boleh membubarkan MPR atau DPD, karena tidak dinyatakan dalam UUD.

Dalam Keputusan MPR Nomor IV/MPR/2014 sudah disusun road map amandemen ke lima, dengan rekomendasi agar MPR periode 2009- 2014 melaksanakan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD dengan tetap berdasarkan pada nilai- nilai Pancasila sebagai sumber dari segala

sumber hukum negara. Dan, kesepakatan dasar untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan bentuk NKRI, mempertegas sistem pemerintahan presidensiil, serta melakukan perubahan dengan cara addendum.

Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad memaparkan bahwa wacana perubahan UUD semakin menguat di tengah-tengah masyarakat, yang kemudian ditangkap dan diafirmasi oleh lembaga-lembaga negara, khususnya DPD dan MPR. Isu pokok yang muncul dalam wacana tersebut adalah upaya penyempurnaan dan penataan kembali sistem ketatanegaraan Indonesia.

UUD merupakan aturan dasar dan pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang memuat filosofi pembentukan negara, prinsip-prinsip yang dikembangkan suatu negara, serta mengatur kelembagaan dan sistem ketatanegaraan.

SOSIALISASI

UUD bersifat futuristic dalam meletakkan dasar dan memberi arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicita- citakan di masa depan.

Apa yang digariskan oleh UUD tersebut kemudian diuji, apakah dapat berjalan efektif atau tidak dalam gerak dinamis kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dalam perkembangan/ pelaksanaannya UUD dinilai tidak berjalan efektif sebagaimana diharapkan maka lahirlah tuntutan perubahan. Hal ini menegaskan bahwa UUD tidak hadir dalam ruang hampa.

UUD diharapkan dapat merespon kebutuhan kekinian dan kedisinian (now and present) sehingga konstitusi bersifat dinamis dan tidak tabu untuk mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan tuntutan perubahan dan perbaikan sistem yang kemudian diharapkan menjadi mile- stone bagi arah kehidupan berbangsa dan bernegara berikutnya.

Tuntutan perubahan terhadap UUD tidak lepas dari kematangan dan kemapanan suatu negara yang terentang dalam dimensi waktu terbentuknya suatu negara bangsa. Semakain lama suatu negara bangsa berdiri akan semakin mapan, sehingga semakin berkurang tuntutan perubahan terhadap UUD. Contohnya, negara Amerika Serikat. Negara yang berdiri sejak 1776 ini sudah puluhan kali melakukan perubahan terhadap

konstitusi. Namun, semakin ke era sekarang, perubahan konstitusi AS semakin berkurang seiring dengan kemapanan dan stabilitas sistem ketatanegaraan yang mereka bangun.

Berbicara soal amandemen UUD, akademisi UGM Zainal Arifin Muchtar mengungkapkan bahwa banyak sekali mitos yang terbangun di seputar UUD. Mitos tersebut antara lain, sakralisasi UUD yang menegaskan bahwa UUD tidak bisa diubah. UUD harus dikembalikan ke aslinya. UUD seperti kitab suci yang tidak ada keraguan didalamnya dan pantang diubah-ubah.

Memperlakukan UUD seperti itu, menurut Zainal, adalah sangat konyol. Bukankah Bung Karno sendiri mengatakan dalam pidatonya didepan BPUPKI pada 18 Agustus 1945 malam bahwa UUD yang selesai dibuat tersebut adalah UUD kilat. Nanti jika keadaan dan kondisi negara jauh lebih baik, maka akan dibuat UUD baru yang jauh lebih baik. “Intinya perubahan UUD adalah sesuatu yang tidak tabu dan merupakan suatu keniscayaan. UUD bersifat dinamis mengikuti arah per- kembangan bangsa,” ujarnya. ❏

Dry

EDISI NO.01/TH.IX/JANUARI 2015

Dalam dokumen no 1th ixjanuari 2015 (Halaman 64-67)