• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Data

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR TAHUN ANGGARAN 2013 (Halaman 45-58)

PROGRAM KEGIATAN

4.3. Evaluasi Data

Evaluasi data dilakukan setelah mengkompilasi informasi yaitu memadukan semua informasi hasil pengamatan dari setiap tahapan kegiatan yang dilaksanakan. Informasi yang dihimpun berasal dari studi literatur, kunjungan lapangan, hasil diskusi, hasil wawancara, serta informasi yang diperoleh dari FGD, seminar dan rapat koordinasi.

Informasi yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisa serta dievaluasi untuk menghasilkan pemetaan peluang dan permasalahan serta rekomendasi solusi atau kebijakan terkait upaya percepatan penerapan teknologi pemanfaatan batubara.

IV-3

Kriteria keberhasilan kegiatan yang diperoleh akan tergambar pada dipergunakannya peta peluang dan permasalahan serta rekomendasi solusi dan kebijakan yang dihasilkan sebagai kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara dan dipergunakan sebagai dasar kebijakan yang dihasilkan oleh Ditjen Mineral dan Batubara atau Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

V-1 BAB V

RESUME KEGIATAN LITBANG DI PUSLITBANG tekMIRA

Kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi pemanfaatan batubara di Puslitbang

tekMIRA telah berlangsung cukup lama. Dari keseluruhan penelitian tersebut mengerucut menjadi 5

(lima) jenis teknologi pemanfaatan batubara yang diharapkan kedepannya dapat diaplikasikan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kelima jenis teknologi itu adalah :

5.1 Teknologi Gasifikasi Batubara di Industri dan Pembangkit Listrik

Secara garis besar, teknologi gasifikasi batubara yang dikembangkan di Puslitbang tekMIRA mencakup 2 jenis yaitu :

A. Teknologi Gasifikasi Batubara untuk Industri Ada dua tema yang hingga kini tetap diteliti yaitu : 1. Gasifikasi batubara penghasil syngas untuk industri

Salah satu produk dari gasifikasi batubara adalah syngas. Syngas dapat digunakan sebagai bahan bakar seperti pembangkit listrik dan bahan baku berbagai macam produk seperti industri kimia misalnya pupuk, bahan bakar minyak sintetik, bahan reduktor pada peleburan baja dan SNG. Penelitian untuk menghasilkan syngas dari batubara kalori rendah ini diketuai oleh Ir. Dahlia Diniyati, Msc. Teknologi gasifikasi yang dikembangkan adalah

fluidized bed. Penelitian ini awalnya bekerja sama dengan pihak Jepang (IHI,

Ishikawajima-Harima Heavy Industries Co. Ltd) yang sedang mengembangkan TIGAR (twin IHI Gasifier). Dalam perkembangan selanjutnya tekMIRA berusaha sendiri untuk menciptakan peralatan sendiri. Keberhasilan penelitian ini akan sangat membantu perkembangan industri di Indonesia mengingat berkembangnya industri kimia di suatu negara akan berkorelasi positif terhadap kemajuan industri tersebut. Tahap yang sudah dicapai oleh tekMIRA adalah membangun Process Development Unit (PDU) (Gambar 5.1) dengan menggunakan rancangan sendiri. Rencana kegiatan selanjutnya adalah komisioning PDU tersebut dilanjutkan dengan percobaan menggunakan berbagai parameter untuk pada akhirnya diharapkan pada tahun 2015 dapat menciptakan desain pilot plant dan kemudian pada akhirnya dapat membangun pabrik komersial teknologi gasifikasi fluidized bed di Indonesia.

V-2

Gambar 5.1 PDU syngas di Palimanan, Cirebon

Beberapa kendala yang menjadi hambatan di dalam komersialisasi teknologi gasifikasi menjadi syngas antara lain adalah :

- Teknologi dan kebutuhan investasi yang tinggi. Pengembangan teknologi lokal saat ini baru tahap PDU.

- Pabrik gasifikasi harus terintegrasi dengan pengguna (industri kimia). Industri kimia di Indonesia saat ini kurang berkembang.

- Tidak ada jaminan pasar bagi syngas ataupun SNG. - Perlu infrastruktur gas (terminal dan pipa transportasi).

- Gas alam masih diijinkan sebagai bahan baku industri kimia terutama pabrik pupuk urea. Harganya pun masih disubsidi pemerintah atau tidak sama dengan harga internasional.

2. Gasifikasi mini untuk industri kecil dan menengah

Gasifikasi batubara mini menghasilkan produk berupa gas bakar yang memiliki nilai kalori rendah. Penelitian gasifikasi mini pada skala pilot plant (Gambar 5.2) di Palimanan ini diketuai oleh Ir. Yenny Sofaeti. Teknologi gasifikasi mini dikembangkan untuk industri kecil dan menengah. Salah satu aplikasi yang sudah dilaksanakan adalah aplikasi di pengeringan tembakau dengan kapasitas 4-10 kg batubara/jam. Saat ini teknologi ini hendak dikembangkan menjadi kapasitas yang lebih besar hingga 20 kg batubara per jam serta dapat menghasilkan listrik hingga 1 KW. Untuk tahun depan, rencananya kapasitas akan diperbesar hingga 8 KW dan juga dicari mitra kerjasama untuk mengaplikasikan gasifikasi mini ini.

V-3

Gambar 5.2 Pilot plant gasifikasi mini di Palimanan, Cirebon

Gasifikasi batubara untuk memproduksi gas bakar sebenarnya telah banyak diterapkan di Indonesia antara lain untuk industri keramik di Jawa Tengah, industri sarung tangan, industri mineral dan industri lainnya misal di Medan. Teknologi gasifikasi yang memproduksi gas bakar memiliki banyak penyuplai mesin gasifier. Di Indonesia saat ini umumnya berasal dari negara Cina. Sayangnya hingga kini belum terlalu banyak teknologi ini diterapkan. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain adalah :

- Penyediaan bahan baku. Produk gas harus digunakan di lokasi industri pengguna yang umumnya berada di tengah kota dan jauh dari lokasi tambang batubara. Hal ini diantaranya berdampak pada penyediaan bahan baku (batubara) terutama apabila harus diangkut antar pulau. Padahal kebutuhan batubara untuk industri menengah umumnya relative kecil.

- Kualitas bahan baku. Lokasi tambang yang jauh dapat mengakibatkan ketidakkonsistenan kualitas batubara yang datang. Selain itu gasifikasi yang digunakan untuk memproduksi

V-4

gas bakar memerlukan batubara berukuran bongkah, padahal yang tersedia di pasar umumnya berukuran campuran dari halus hingga bongkah.

- Masalah penanganan dan pemanfaatan limbah. Limbah gasifikasi batubara untuk gas bakar berupa abu dan ter. Abu batubara sudah dapat dimanfaatkan untuk industri bangunan, sementara ter hanya digunakan kembali dalam reaktor gasifikasi. Di luar negeri, ter batubara dimanfaatkan secara komersial untuk bahan pengikat (binder) dan industri kimia. Yang menjadi masalah, limbah batubara di Indonesia termasuk dalam limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun).

- Ijin pemanfaatan limbah. Karena limbah batubara termasuk dalam limbah B3, maka semua kegiatan mulai dari penumpukan/penyimpanan, pembuangan, pengangkutan dan pemanfaatan harus mendapatkan ijin dari kementerian Lingkungan Hidup dan atau Pemerintah Daerah. Hal ini yang menjadi masalah dan memberatkan industri. Hasil kunjungan lapangan ke Medan juga mengkonfirmasi bahwa ijin tersebut dapat memakan waktu hingga tahunan sehingga menyulitkan industri pengguna.

B. Teknologi Gasifikasi Batubara untuk Pembangkit Listrik

Teknologi gasifikasi batubara yang dikembangkan adalah penggunaan gas batubara sebagai substitusi minyak diesel pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang saat ini masih dimiliki oleh PLN. Penelitian ini awalnya dikembangkan oleh Ir. Slamet Suprapto Msc bekerja sama dengan PT PLN (Persero) dan PT Coal Gas Indonesia (Suprapto, dkk., 2009). dan kemudian dilanjutkan oleh Drs. Didi Heryadi dan kini diketuai oleh Fahmi Sulistyohadi, ST. Teknologi gasifier yang digunakan berasal dari Cina dengan kapasitas 400 kg/jam dengan genset berkapasitas sekitar 1 MW. Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan berkali-kali dengan menggunakan batubara bituminous dapat disimpulkan bahwa gasifikasi dual fuel ini dapat diaplikasikan di PLTD existing dan dapat menghemat hingga hampir Rp 1 juta per jam dibandingkan dengan penggunaan solar sepenuhnya.

Gas engine untuk memproduksi batubara untuk menghasilkan listrik secara langsung

sebenarnya sudah umum digunakan dan biayanya lebih hemat dibandingkan dengan dual fuel. Meskipun demikian, PT PLN saat ini masih memiliki ratusan PLTD kapasitas kecil menengah yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia yang mengandalkan minyak solar. Dalam rangka efisiensi dan konservasi energi maka PT PLN berusaha mencari solusi untuk memberdayakan PLTD yang ada dengan penghematan yang optimal.

Pada saat ini tahap penelitian masih berada di pilot plant (Gambar 5.3). Meskipun demikian tim peneliti yakin akan keberhasilan penelitian ini dan saat ini mereka mencoba menjajagi kerja sama penelitian dengan PT PLN terutama mengenai permasalahan di mesin genset atau penghasil listriknya. Selain dari itu, penelitian juga tetap dilanjutkan dengan fokus

V-5

untuk mencoba gasifier menggunakan berbagai jenis batubara lain seperti batubara kalori rendah dan menengah.

Gambar 5.3 Pilot plant PLTD di Palimanan

Kendala yang dihadapi dalam pengaplikasian teknologi gasifikasi batubara untuk dual fuel antara lain adalah :

- Ketersediaan bahan baku.

Pada saat ini teknologi gasifier yang sudah diujicoba baru dapat menggunakan bahan baku batubara bituminous dengan spesifikasi tertentu. Keterbatasan ini dicoba diatasi dengan rencana percobaan menggunakan batubara jenis lain.

- Lokasi PLTD yang cukup terpencil

PLTD yang ada saat ini umumnya tersebar di berbagai tempat yang cukup terpencil di Indonesia dan kebanyakan berada di Indonesia Timur. Semakin jauh jaraknya dengan lokasi tambang batubara maka dapat meningkatkan biaya transportasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan biaya pembangkit listrik.

V-6

PLTD yang dimiliki PT PLN umumnya merupakan PLTD jenis kecil dan menengah sehingga kebutuhan batubara untuk tiap PLTD tidak terlalu besar. Biaya transportasi batubara akan meningkat jika pengiriman batubara dalam jumlah yang sedikit-sedikit.

5.2 Teknologi Coal Water Mixture

Teknologi CWM di tekMIRA dikembangkan pertama kali oleh Prof. Dr. Datin Fatia Umar hingga kini. Di Indonesia saat ini ada dua teknologi CWM yang dikembangkan, yaitu Jepang dan tekMIRA. Pihak Jepang mengembangkan teknologi CWM yang berbahan baku batubara kalori rendah dan saat ini penelitiannya telah mencapai tahap demo plant di Karawang. tekMIRA saat ini mengembangkan teknologi CWM yang berbahan baku batubara bituminous seperti Gambar 5.4. Sebenarnya tekMIRA dapat mempergunakan batubara kalori rendah jika telah memiliki teknologi upgrading batubara yang ekonomis.

Gambar 5.4 Pilot plant CWM di Palimanan, Cirebon

Penelitian CWM saat ini pada penggunaan batubara jenis atau campuran lain seperti campuran batubara dengan tar dan atau phenol serta upaya mencari jenis aditif alternatif untuk mengoptimalkan pembuatan CWM.

Komersialisasi CWM hingga saat ini belum terlaksana meskipun salah satu penyedia teknologinya adalah pihak Jepang. Beberapa kendala dalam upaya komersialisasi CWM antara lain adalah :

- Padat modal

Industri CWM memerlukan investasi yang tinggi. Biaya minimum yang diperlukan untuk mendirikan pabrik CWM versi Jepang adalah sekitar US$ 250 juta.

- CWM merupakan bahan bakar baru

Sebagai bahan bakar baru, perlu adanya sosialisasi untuk memperkenalkannya terhadap industri pengguna.

V-7

Saingan CWM antara lain adalah batubara serbuk dan gas yang harganya tidak terlalu jauh berbeda dengan CWM.

- Lokasi pabrik

Oleh karena industri pengguna berada di pusat kota maka lokasinya akan jauh dengan lokasi tambang. Biaya transportasi CWM atau batubara merupakan salah satu faktor biaya yang penting.

5.3 Teknologi Upgrading Batubara

Puslitbang tekMIRA sejak awal tahun 2000 telah terlibat dalam penelitian tentang teknologi upgrading batubara. Awalnya merupakan kerja sama dengan pihak Jepang (Kobe Steel) yaitu penelitian tentang UBC. Kemudian tekMIRA berusaha menemukan teknologi upgrading yang lebih sederhana dan lebih murah. Penelitian tentang upgrading batubara yang dikembangkan oleh tekMIRA awalnya diteliti oleh Dr. Miftahul Huda dan saat ini dilanjutkan oleh Dedi Yaskuri, ST. Teknologi yang dikembangkan adalah CDB singkatan dari Coal

Drying Briquetting.

Penelitian UBC saat ini sedang menunggu mitra investor yang bersedia menanamkan modal. Sebelumnya pihak Kobe Steel telah membangun pilot plant (Gambar 5.5) berkapasitas 3 ton per hari di Palimanan dan kemudian dilanjutkan dengan demo plant di Satui, Kalimantan Selatan yang berkapasitas 600 ton produk per hari, Pada tahun 2011 demo plant Satui (Gambar 5.6) tersebut diratakan dengan tanah untuk menandai kesiapan Kobe Steel di tahap komersial.

V-8

Gambar 5.6 Demo plant UBC di Satui, Kalimantan Selatan

Teknologi CDB hingga saat ini baru mencapai tahap pilot plant (Gambar 5.7) dan sedang berusaha mengoptimalkan aliran proses serta desain peralatan yang digunakan.

Gambqr 5.7 Pilot plant CDB di Palimanan, Cirebon

Kendala yang dihadapi dalam upaya komersialisasi teknologi upgrading adalah : - Investasi yang cukup besar.

Investasi untuk teknologi UBC diperkirakan akan membutuhkan dana minimal US$ 200 juta untuk pembangunannya.

- Teknologi belum terbukti komersial.

Pengusaha batubara membutuhkan bukti yang nyata mengenai kemampuan teknologi UBC untuk menjadi bisnis yang menguntungkan. Sebelum itu terjadi, tidak ada pengusaha yang tertarik.

5.4 Teknologi Karbon Aktif

Karbon aktif yang ada di pasaran saat ini umumnya berasal dari tempurung kelapa. Peneliti dari tekMIRA, Ika Monika, ST, berusaha membuat karbon aktif dengan bahan baku batubara kalori rendah. Hingga saat ini tim peneliti telah mengembangkan teknologi pembuatan karbon aktif pada tahap pilot plant (Gambar 5.8) yang berkapasitas 1 ton/hari. Melalui uji coba pemanfaatan maka dapat disimpulkan bahwa karbon aktif dari batubara dapat digunakan untuk proses penjernihan air, pengolahan limbah (adsorpsi logam) dan penyerap bau pada fasa cair maupun gas.

V-9

Gambar 5.8 Pilot plant karbon aktif di Palimanan, Cirebon

Secara teknologi maupun keekonomian, tim peneliti karbon aktif merasa cukup yakin dapat dilanjutkan hingga tahap komersial. Di Indonesia, penggunaan karbon aktif tidak mengacu pada besarnya luas permukaan atau ukuran butir, tetapi pada standar kualitas menurut Standar Industri Indonesia (Tabel 5.1). Sebagai pembanding, karbon aktif hasil penelitian juga tercantum.

Tabel 5.1 Kualitas karbon aktif hasil uji coba dan persyaratan kualitas

No Uraian Satuan

Persyaratan Kualitas karbon aktif (SII,1999)/komersial

Kualitas karbon aktif hasil uji coba 1 Bagian yang hilang pada

pemanasan 950°C % 15-25 6 2 Air % 4-15 4-5 3 Abu % 2-10 3-18 4 Bilangan yodium mg/g 400-1200 500-800

5 Karbon aktif murni % 60-80 75

6 Adsorpsi benzene % 25 -

7 Bilangan metilen biru mg/g 60-120 40-80

8 Kerapatan jenis curah g/ml 0,30-0,55 0,53

9 Lolos ukuran mesh 325 % Min 90 99

10 Kekerasan - 80 50

Meskipun karbon aktif hasil penelitian telah memiliki kualitas yang baik, beberapa permasalahan dapat menghambat upaya komersialisasi tersebut. Permasalahan itu antara lain : - Infrastruktur distribusi batubara sangat minim sehingga biaya angkutan darat relatif

V-10

- Masalah lingkungan dari pembuangan sisa zat terbang yang tidak terbakar pada proses karbonisasi.

- Kadar air batubara relative tinggi sehingga rendemen proses menjadi rendah.

- Kurang pahamnya masyarakat untuk menggunakan karbon aktif berbahan baku batubara. Oleh karena menurut masyarakat, batuabra adalah zat yang berbahaya.

5.5 Teknologi Kokas Pengecoran

Pengembangan teknologi kokas merupakan reaksi terhadap ketidakberdayaan masyarakat Indonesia khususnya industri pengecoran besi baja yang tersandera oleh mahalnya kokas impor. Pengembangan teknologi kokas pengecoran dilakukan oleh Ir. Suganal hingga kini. Kerja kerasnya telah menghasilkan hak paten atas teknologi pembuatan kokas tersebut.

Meskipun batubara Indonesia bukan merupakan batubara coking, namun upaya pembuatan kokas dari batuabra non coking adalah suatu keniscayaan. Sebuah perusahaan pengolahan bijih besi di Lampung telah berhasil memanfaatkan kokas dari arang kayu untuk

blast furnace-nya. Jika arang kayu dapat dimanfaatkan menjadi kokas, maka batubara pun

dapat dimanfaatkan. Percobaan pembuatan kokas dengan proses ganda telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara sejak tahun 1990 menggunakan berbagai batubara Indonesia dengan menggunakan berbagai jenis tungku karbonisasi. Bagan alir proses terlihat pada Gambar 5.9. Produk kokas dalam bentuk briket kokas yang diperoleh telah diujicoba sebagai kokas pengecoran. Hasilnya menunjukkan bahwa kokas tersebut dapat digunakan sebagai kokas dasar dan kokas muat.

V-11

Penelitian teknologi kokas telah berlangsung lama dengan hasil yang baik dan telah diujicoba di pilot plant (Gambar 5.10). Meskipun demikian ada beberapa kendala yang dapat menghambat penerapan teknologi tersebut di dalam tahapan komersial, yaitu antara lain : - Konsumen kokas pengecoran umumnya di daerah Jawa sehingga biaya transportasi dari

lokasi tambang ke industri pengguna cukup mahal.

- Masalah lingkungan dapat terjadi diakibatkan dari pembuangan sisa zat terbang yang tidak terbakar pada proses karbonisasi.

- Infrastruktur distribusi batubara yang minim dapat meningkatkan biaya transportasi. - Kadar air batubara relatif tinggi sehingga rendemen proses menjadi rendah.

- Harga bahan pengikat briket kokas berupa aspal relatif mahal dan pasokannya kurang lancar.

VI-1 BAB VI

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR TAHUN ANGGARAN 2013 (Halaman 45-58)