• Tidak ada hasil yang ditemukan

21 UPGRADED BROWN COAL (UBC)

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR TAHUN ANGGARAN 2013 (Halaman 35-40)

Proses UBC merupakan salah satu cara penghilangan kadar air dalam batubara melalui proses penguapan (evaporasi). Dibandingkan dengan teknologi upgrading lainnya, seperti HWD atau SD yang dilakukan pada temperatur di atas 275C dan tekanan yang cukup tinggi >5,5 MPa (Baker, et al., 1986), proses UBC sangat sederhana karena temperatur dan tekanan yang digunakan lebih rendah. Teknologi ini dikembangkan oleh Kobe Steel Ltd. Jepang sebagai pengembangan dari pengolahan/persiapan batubara peringkat rendah untuk proses pencairan batubara dengan teknologi brown coal liquefaction (Deguchi, 2002).

Teknologi UBC dirancang khusus untuk menghasilkan produk batubara yang menyerupai batubara peringkat tinggi dengan nilai kalor sekitar 6.000 – 6.900 kkal/kg (adb) dari batubara peringkat rendah yang mumpunyai nilai kalor berkisar 3.500 – 5.000 kkal/kg (adb), melalui teknik pengurangan kandungan air total (dari 25 – 50% menjadi <10%). Proses UBC dilakukan dengan memanaskan batubara (< 3mm) yang telah dicampur dengan minyak tanah dan residu pada suhu ± 150ºC dan tekanan 0,35 MPa (± 3,5 atm). Pada saat proses pemanasan berlangsung, air dalam pori-pori batubara keluar. Karena temperatur dan tekanan yang diterapkan cukup rendah, maka pengeluaran tar dari batubara belum sempurna, karenanya perlu ditambahkan zat aditif, yaitu residu sebagai penutup permukaan batubara. Minyak residu yang merupakan senyawa organik beberapa sifat kimianya mempunyai kesamaan dengan batubara. Dengan kesamaan sifat kimia tersebut, minyak residu akan teradsopsi secara selektif di dalam pori-pori batubara kemudian mengering dan bersatu dengan batubara. Lapisan minyak ini menempel cukup kuat sehingga batubara dapat disimpan di tempat terbuka untuk jangka waktu yang cukup lama Sedangkan minyak tanah diperlukan sebagai media dalam proses. Minyak yang telah dipakai dipisahkan dari air (yang berasal dari batubara) berdasarkan perbedaan berat jenis dan dapat digunakan kembali untuk proses berikutnya. Produk UBC dapat berupa serbuk atau briket atau slurry tergantung kepada lokasi pengguna akhir. Diagram alir proses UBC dapat dilihat pada Gambar 2.6.

II-22

Gambar 2.6. Diagram alir proses UBC

2.4.4. Teknologi Kokas Pengecoran

Kokas merupakan material padatan hasil proses dekomposisi batubara dengan pemanasan bebas udara yang menghasilkan keluaran berupa padatan, cairan, dan produk gas (disebut proses karbonisasi). Padatan yang dihasilkan dari proses karbonisasi umumnya disebut char atau semikokas untuk produk karbonisasi temperatur rendah, dan disebut dengan kokas untuk produk karbonisasi temperatur tinggi.

Salah satu kegunaan kokas adalah sebagai bahan bakar dalam industri pengecoran dan industri pembuatan besi atau baja. Secara umum kegunaan kokas adalah:

 sebagai sumber kalori, kokas bereaksi dengan oksigen dari tiupan udara menghasilkan panas untuk melelehkan besi dan slag;

sebagai chemicals, kokas berreaksi dengan oksigen dan CO2 membentuk gas pereduksi untuk proses reduksi bahan baku besi;

 sebagai sumber karbon pada pembuatan karbit,

 sebagai reduktor oksida-oksida logam lainnya seperti mangan, silika, dan fosfor;

sebagai unggun yang kuat, poros dan media permeabel agar sirkulasi dan distribusi gas pereduksi optimal.

Sejalan dengan perkembangan industri logam di Indonesia, baik berupa industri pengecoran maupun industri pembuatan logam besi dan baja, beberapa industri berusaha memanfaatkan hasil litbang pembuatan kokas. Selama ini industri tersebut menggunakan kokas dari Cina (Gambar 2.7)Meskipun batubara mengkokas (coking coal) tidak ditemukan di Indonesia, namun para industriawan berusaha memanfaatkan kokas dari batubara non coking. Beberapa tahun yang lalu, telah dicoba pemanfaatan kokas dari arang kayu untuk pengolahan bijih besi menggunakan tungku blast furnace mini di Lampung dan terbukti berhasil baik. Dengan demikian kokas batubara non coking yang mempunyai sifat fisik lebih baik dari arang kayu kemungkinan besar dapat dimanfaatkan.

Coal – Oil Separation 1300C, 100 kPa Oil Recovery/Drying 1800C, 100 kPa Slurry Dewatering 150-1600C 200-350 kPa Waste Water Recovered Oil Slurry Mixing Coal Preparation Fine UBC Briqueting

II-23

Realisasi proses pembuatan kokas dari batubara non coking dapat dilakukan dengan mencampur kokas yang diperoleh dari hasil karbonisasi batubara dengan material senyawa karbon yang bersifat

coking substance dalam suatu bejana pencampur, umumnya digunakan double roll mixer. Material baru

yang diperoleh dicetak berbentuk briket dan dikarbonisasi kembali agar coking substance senyawa karbon membentuk kokas dan mengikat kokas dari batubara non coking sehingga diperoleh gumpalan kokas yang kuat. Proses tersebut dapat diterapkan untuk batubara Indonesia terutama untuk menghasilkan kokas pengecoran.

Gambar 2.7 Kokas pengecoran dari Cina 2.4.5. Teknologi Karbon Aktif dari Batubara

Karbon aktif adalah komoditi industri yang sangat bermanfaat untuk digunakan pada berbagai proses industri, seperti untuk pengolahan limbah cair dan gas, penyerap warna, penghilang bau, katalis maupun sebagai penarik kembali zat yang diinginkan. Bahan untuk membuat karbon aktif adalah material yang mengandung senyawa karbon tinggi, seperti tempurung kelapa, kayu, sawit, tulang, ampas tebu, serbuk gergaji, ampas kertas, sekam, bonggol jagung, dan batubara.

Proses pembuatan karbon aktif cukup sederhana, yaitu dengan melakukan proses karbonisasi dan aktivasi. Pada proses karbonisasi terjadi reaksi penguraian ikatan hidrokarbon membentuk gas-gas dan zat terbang, sehingga terbentuk struktur kristalit karbon dengan permukaan dan struktur pori yang menghasilkan sifat dengan daya adorpsi rendah. Proses yang kedua, adalah aktivasi terhadap bahan hasil karbonisasi yang bertujuan untuk memperluas dan memperbesar permukaan dan pori-pori karbon aktif (Cheremisinoff, 1978). Proses aktivasi dapat dilakukan dengan cara aktivasi kimia dan fisika. Aktivasi kimia dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti senyawa alkali hidroksida, garam alkali maupun asam seperti H2SO4 dan H3PO4, dengan cara perendaman oleh bahan kimia, selanjutnya dipanaskan (karbonisasi dan aktivasi secara bersama) pada suhu antara 700-800°C. Aktivasi cara kimia jarang dilakukan, karena selain mahal dan penanganannya lebih sulit, juga beresiko terhadap pencemaran lingkungan. Aktifasi fisika dengan uap air lebih umum digunakan karena selain penanganannya mudah juga relatif murah. Reaksi yang terjadi pada proses aktivasi fisika dengan uap air adalah pembakaran

II-24

bahan karbon menjadi gas CO dan H2 yang dapat digunakan sebagai bahan bakar pada proses aktivasi (Allport, 1977).

Di Indonesia, produksi karbon aktif umumnya terbuat dari tempurung kelapa. Karbon aktif yang terbuat dari batubara umumnya diperoleh melalui impor. Secara komersial, pembuatan karbon aktif dari batubara sudah ada, namun masih dilakukan dalam skala kecil (home industry) yang sifatnya tidak kontinyu (musiman). Hasil penelitian Puslitbang tekMIRA, telah dikembangkan pembuatan karbon aktif dari batubara peringkat rendah pada skala pilot yang berkapasitas 1 ton/hari. Berdasarkan hasil uji coba pemanfaatan, karbon aktif dari batubara telah dapat dijual dan digunakan untuk proses penjernihan air, pengolahan limbah (adsorpsi logam) dan penyerap bau pada fasa cair maupun gas (Monika, dkk., 2009).

PROSES PEMBUATAN KARBON AKTIF DARI BATUBARA

Karbon aktif adalah bahan yang memiliki luas permukaan dan pori-pori yang sangat besar, sehingga efektif digunakan untuk menyerap berbagai partikel yang sangat halus, yang berukuran 0,01-0,0000001 mm (Ralph, 2003). Sifat tersebut diperoleh melalui proses aktivasi terhadap bahan yang sebelumnya mengalami proses karbonisasi (pengarangan). Kedua proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan alat rotary kiln, dengan cara pemanasan langsung (direct heating), yaitu semikokas (arang batubara) dipanaskan langsung pada suhu 900°C, dengan cara api disemprotkan ke dalam kiln bersama-sama dengan aliran uap air. Keuntungan sistem pemanasan langsung adalah penggunaan bahan bakar lebih efisien. Sedangkan kekurangannya adalah kemungkinan terjadinya kontaminasi abu sisa pembakaran terhadap semikokas dan unsur-unsur yang terkandung dalam bahan bakar. Pada pemanasan tidak langsung (indirect heating), semikokas tidak langsung kontak dengan api. Keuntungan dengan pemanasan tidak langsung adalah emisi gas dapat dikontrol dan kontaminasi relatif lebih kecil dibandingkan dengan pemanasan langsung. Namun pemanasan tidak langsung membutuhkan bahan bakar relatif lebih besar (Activated Carbon, 2008). Bagan alir proses pembuatan karbon aktif dari batubara dapat dilihat pada Gambar 2.8.

II-25

Screw conveyor Truck

Shake feeder Conveyor Crusher Elevator Screen Conveyor Boiler Clarifier Stack Burner Roll mill Screen Screen Burner Rotary kiln (Karbonisasi) Bin Bin Rotary kiln (Aktivasi) Cooler RAW (Batubara) Bucket elevator Feed tank Packing product

Gambar 2.8 Bagan alir proses pembuatan karbon aktif batubara

Dalam hal penggunaan karbon aktif, bentuk atau ukuran karbon aktif sangat menentukan jenis pemanfaatannya. Karbon aktif jenis bubuk (powder) digunakan untuk fasa cair dan gas seperti penggunaan kembali pelarut, katalis dan penyerapan gas atau partikel pada polusi udara. Karbon aktif jenis ini memiliki persentasi mikro pori yang lebih besar sehingga mampu menyerap molekul-molekul yang berukuran sangat kecil. Karbon aktif bentuk butir (granule), digunakan untuk pengolahan limbah cair dan gas seperti penyerap bau, rasa atau warna yang tidak diinginkan. Karbon aktif jenis ini memiliki persentasi makro pori atau medium pori yang lebih besar sehingga mampu menyerap molekul-molekul yang berukuran lebih besar. Karbon aktif bentuk pelet, digunakan pada fasa gas yang bertekanan dan berkekuatan tinggi secara mekanik (Anonymous, 1999).

Sejalan dengan perkembangan industri karbon aktif di Indonesia, industri pengguna karbon aktif juga semakin beragam. Industri besar dengan proses teknologi tinggi umumnya menggunakan karbon aktif dengan kualitas tinggi. Kualitas karbon aktif umumnya dilihat dari daya serapnya, yaitu dengan pengukuran terhadap nilai bilangan yodium, yaitu kemampuan penyerapan 1 gram karbon aktif dalam menyerap per miligram zat anorganik. Kisaran bilangan yodium karbon aktif adalah 400-1200 mg/gr. Semakin tinggi nilai bilangan yodium, kualitas karbon aktif semakin baik. Saat ini, karbon aktif dengan bilangan yodium < 700 mg/gr dijual dan digunakan untuk proses penjernihan air pada skala rumah tangga, pengolahan limbah (adsorpsi logam-logam, COD, BOD) dan penghilang bau pada fasa cair maupun gas.

III-1

BAB III

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR TAHUN ANGGARAN 2013 (Halaman 35-40)