Untuk menguji validitas diskriminan bisa diukur dengan membandingkan nilai akar kuadrat dari Avarage Variance Extracted (AVE). Validitas diskriminan dapat tercapai apabila nilai AVE lebih besar dari 0,5 ( Ghozali at al, 2015). Suatu model juga dikatakan mampu memiliki validitas diskriminan yang baik apabila akar kuadrat AVE untuk setiap konstruk memiliki nilai yang lebih daripada korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya (Hair et al, 2014). Selain itu untuk memenuhi kevalidan indikator pengukur variabel, maka nilai muatan (faktor loading) harus memenuhi validitas konvergen, maka nilai muatan yang dibutuhkan adalah minimal sebesar 0,3 (Hair et al, 2011), dapatdilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Tes Validitas dan Reliabilitas No Variabel
Tabel 18, menunjukkan bahwa instrumen penelitian berupa kuisioner untuk seluruh variabel dikatakan valid. Hal ini dikarenakan secara keseluruhan nilai akar kuadrat AVE setiap konstruk memiliki nilai lebih besar dari korelasi antar konstruk yaitu 0,5. Nilai akar kuadrat AVE terendah dimiliki oleh variabel faktor sosial (X1) dengan nilai 0,502 dan tertinggi
200
dimiliki oleh variabel pengembangan usahatani ubi jalar (Y) dengan nilai akar kuadrat AVE sebesar 0,748. Keseluruhan variabel menunjukkan angka reliabilitas yang baik, meskipun ada variabel yang memiliki nilai cronbach alpha di bawah nilai 0,7 namun nilai composite reliability yang dimiliki oleh keseluruhan variabel dalam penelitian ini menghasilkan nilai di atas 0,7 sesuai dengan yang disyaratkan oleh (Hair et al, 2010).
Variabel yang memiliki nilai composite reliability terbesar adalah faktor akses informasi (X4) dengan nilai sebesar 0,928 dan nilai terkecil dimiliki oleh variabel faktor sosial (X1) dengan nilai sebesar 0,800. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua indikator dari masing-masing variabel adalah valid dan juga reliabel sebagai pengukur variabel penelitian. Uji reabiliatas digunakan untuk mengetahui apakah instrument memiliki indeks kepercayaan yang baik jika diujikan berulang. Suatu instrument pengukuran dikatakan reliable jika pengukurannya konsisten dan akurat.
b. Muatan Faktor (Factor Loading)
Nilai muatan faktor (faktor loading) pada indikator-indikator yang digunakan menunjukkan kuat atau lemahnya indikator sebagai pengukur variabel. Indikator dengan nilai muatan faktor yang besar menunjukkan bahwa indikator tersebut memiliki kemampuan yang kuat dalam mengukur variabel. Tanda (positip atau negatif) menunjukkan arah, seperti pada koefisien jalur (regresi). Nilai muatan minimal yang harus dipenuhi untuk indikator dapat dikatakan mampu menjadi pengukur variabel dengan interpretasi valid adalah minimal 0,3 (Hair et al,2010) untuk jumlah sampel 350.
Berikut adalah hasil analisis tentang nilai muatan faktor dan juga arah yang dihasilkan untuk mendiskripsikan
201
kemampuan indikator dalam mengukur variabelnya seperti pada Tabel 19.
Tabel 19. Muatan Faktor (factor loading) Indikator Setiap Variabel Muatan Faktor (loading factor) Indikator dari Variabel Sosial (X1)
Variabel Indikator Item Factor
loading P Value Ketera Muatan Faktor (loading factor) Indikator dari Variabel Ekonomi (X2)
Variabel Indikator Item Factor
loading P Value Ketera Muatan Faktor (loading factor) Indikator dari Variabel Faktor Lingkungan (X3)
Variabel Indikator Item Factor
Muatan Faktor (loading factor) Indikator dari Variabel Akses Informasi (X4) Variabel Indikator Item Factor Tokoh Masyarakat X4.2 0,882 <0,001 Valid Penyuluh Pertanian X4.3 0,764 <0,001 Valid Muatan Faktor (loading factor) Indikator dari Variabel Kebijakan Pemerintah (X5)
Variabel Indikator Item Factor Muatan Faktor (loading factor) Indikator dari Variabel Pengembangan Usahatani Ubi Jalar (Y)
Variabel Indikator Item Factor
loading P Value Ketera
Sumber: Hasil Pengolahan Data Menggunakan WarpPLS 5.0
202
Menurut (Ghozali et al,2015) nilai validitas konvergen adalah nilai loading faktor pada variabel laten dengan indikator-indikatornya. Pada Tabel 20, bahwa semua nilai faktor loading (>0,7) dan nilai p (<0,001) signifikan dengan taraf nyata 0,05 sehingga memenuhi kriteria kelayakan pengukuran validitas. Kesimpulannya, hasil pengujian convergent validity outer model reflektif adalah valid. Makna dan implikasinya adalah indikator yang digunakan telah tepat mewakili variabel latennya. Dengan demikian penggunaan indikator tersebut telah tepat sebagai dasar fakta untuk analisis.
Secara devinitif loading factor adalah tingkat kekuatan korelasi antara indikator dengan variabel/konstruk latennya.
Lebih tinggi nilai loading factor menunjukkan lebih tingginya kontribusi suatu indikator dibandingkan lainnya dalam menjelaskan konstruk latennya. Sebaliknya pada indikator dengan loading factor rendah memiliki konstribusi yang lemah dalam menjelaskan variabel latennya.
Tabel 19, menunjukkan faktor sosial dengan indikator usia, pendidikan dan pengalaman berusahatani berpengaruh positip terhadap pengembangan usahatani ubi jalar. Indikator yang tinggi sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) variabel faktor sosial yaitu pendidikan mempunyai factor loading tertinggi yaitu 0,792. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan formal maupun pendidikan non formal memiliki kemampuan yang kuat dalam mengukur variabel faktor sosial.
Pendidikan petani di daerah penelitian yaitu tamat / tidak tamat SD sebesar 71,26 persen, tamat / tidak tamat SMP sebesar 15,23 persen, tamat tidak / tamat SMA sebesar 12,07 persen dan D3 sampai sarjana sebesar 1,44 persen. Sedangkan pendidikan non formal petani di daerah penelitian berupa ikut pelatihan, kunjungan lapangan dan pertemuan teknis 1-2 kali
203
sebanyak sebesar 57,18% dan 3-4 kali sebanyak sebesar 42,82%. Hasil studi secara empiris menunjukkan bahwa pendidikan formal dan non formal di daerah penelitian mempunyai nilai positip dengan factor loading tertinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan petani di Kabupaten Lamongan bervariatif, karena petani mempunyai keyakinan lebih baik langsung bekerja daripada melanjutkan sekolah. Masyarakat di Lamongan terkenal dengan masyarakat yang religius sehingga banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren dan madrasah baik di Lamongan sendiri maupun di Luar Lamongan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Soekartawi, 1993), (R.D. Sari et al, 2015), (A. Yusuf et al, 2015), menyatakan pendidikan dapat mempengaruhi individu petani dalam mengelola usahataninya. Sejalan pendapat (Slamet, 2003), mendefinisikan bahwa pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Untuk menguji bahwa suatu kegiatan itu pendidikan atau bukan adalah dengan melihat kegiatan menghasilkan perubahan perilaku pada diri orang-orang yang dimaksud oleh kegiatan pendidikan biasanya berupa: (1) perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui, (2) perubahan dalam ketrampilan atau kebiasaan dalam melakukan sesuatu dan (3) perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan.
Indikator usia menunjukkan variabel yang juga kuat sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) faktor sosial dengan factor loading sebesar 0,709. Usia petani di Kabupaten Lamongan diatas 50 tahun sebesar 76,72%, antara 41-50 tahun sebesar 17,24%, antara 31-40 tahun sebesar 6,04%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia petani di Kabupaten Lamongan bervariatif. Hal ini menunjukkan bahwa usia adalah
204
indikator yang tepat digunakan untuk mengukur variabel faktor sosial. Usia dapat menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat perbedaan keragaman perilakunya berdasarkan usia yang dimiliki, antara petani muda dan petani yang lebih tua dalam mengelola usahataninya. Usia petani di Lamongan rat-rata 56 tahun karena para pemudanya enggan untuk bekerja di bidang pertanian, lebih menyukai bekerja sebagai ASN, guru, tukang, buruh pabrik, buruh bangunan, pedagang dan swasta lainnya. Hasil studi secara empiris mendukung penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Padmodiharjo, 1994), menyatakan bahwa usia pada umumnya memang berkaitan dengan tingkat kematangan fisik maupun mental yang dimiliki oleh individu. Juga hasil penelitian dari (Mardikanto, 1993)
Indikator pengalaman bertani dengan muatan faktor sebesar 0,704. Pengalaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berapa lama petani melakukan kegiatan usahatani.
Pengalaman berusahatani di daerah penelitian ini menunjukkan bahwa berusahatani diatas 30 tahun sebesar 39,08%, antara 21-30 tahun sebesar 29,31%, antara 11-20 tahun sebesar 26,72%
dan antara 5-10 sebesar 4,9 %. Pengalaman petani berusahatani ubi jalar didapat dari proses belajar turun temurun dari orang tua atau saudara yang dianggap lebih berpengalaman karena petani cenderungbelajar langsung meniru dari petani yang sudah berhasil terlebih dahulu. Semakin lama berusahatani ubi jalar semakin berpengalaman dalam berusaha tani. Sejalan denga hasi penelitian (Padmowiharjo, 1994), pengalaman adalah suatu kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Temuan studi ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Mardikanto, 1993), (R.D. Sari et al, 2015), (A. Yusuf et al,
205
2015), menyatakan bahwa pengalaman individu petani akan menentukan mengenai bagaimana cara pengelolaan usahatani.
Juga hasil penelitian (Suparta, 1991), menyatakan bahwa pengalaman merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh seseorang dan karakteristik ini akan berpengaruh pada respons terhadap perubahan. Pengalaman berusahatani adalah indikator yang tepat digunakan untuk mengukur variabel faktor sosial, namun di Kabupaten Lamongan,
Tabel 19, menunjukkan bahwa indikator yang paling kuat (dominan) sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) variabel faktor ekonomi adalah indikator pendapatan, yang diperoleh dari usahatani maupun pendapatan dari luar usahatani dengan muatan faktor sebesar 0,912. Pendapatan dari usahatani di daerah penelitian ini menunjukkan diatas 3 juta sebesar 43,39 %, antara 2,6-3 juta sebesar 42,53%, antara 2,1-2,5 juta sebesar 14,08%. Sedangkan pendapatan dari luar usahatani diatas 3 juta sebesar 74,43% dan antara 2,6-3 juta sebesar 25,57%. Fakta empiris menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Lamongan adalah petani yang memiliki etos kerja yang kuat, pekerja keras dalam mencapai sesuatu yang diinginkan, sehingga petani berupaya mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pendapatan luar usahatani (pendapatan sampingan) diperoleh dari petani sebagai petambak, buruh bangunan, buruh tani, pedagang dan beternak.
Besar kecilnya pendapatan petani akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Hasil studi ini secara empiris mendukung hasil penelitian (Salim, 1994) bahwa tingginya pendapatan akan menyebabkan terpenuhinya akan berbagai kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan,
206
Indikator luas lahan juga menunjukkan indikator yang kuat (dominan) sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) variabel faktor ekonomi dengan muatan faktor sebesar 0,906.
Luas lahan ubi jalar di daerah penelitian ini menunjukkan bahwa luas lahan antara 0,01-0,10 Ha sebesar 13,51%, antara 0,11- 0,20 Ha sebesar 39,94%, antara 0,21-0,30 Ha sebesar 43,39% dan antara 0,31-0,40 Ha sebesar 1,72 % dan antara 0,41-0,50 Ha sebesar 1,44%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indikator luas lahan sangat tepat untuk mengukur kondisi ekonomi petani dengan tingkat ketepatan yang hampir sama nilai factor loadingnya dengan indikator pendapatan dan lebih tinggi dari indikator peluang usaha. Luas lahan yang dimiliki petani di daerah penelitian tergolong rendah rata-rata 0,21 hektar karena merupakan lahan pemberian orang tuanya atau waris, dan rata-rata petani tidak bisa membeli lahan sendiri untuk menambah luasan usahataninya. Bahkan petani memanfaatkan pematang sawah atau pekarangannya untuk ditanami ubi jalar. Menurut (Mubyarto, 1989). menyatakan bahwa lahan pertanian adalah salah datu faktor produksi, yang memiliki peran besar terhadap usaha yang digeluti petani karena hasil produksi sangat dipengaruhi oleh luas dan sempitnya lahan.
Indikator peluang usaha menunjukkan indikator yang paling rendah dibanding dengan indikator pendapatan dan luas lahan dengan muatan faktor sebesar 0,531. Peluang usaha berupa pekerjaan di luar usahatani di daerah penelitian, menunjukkan bahwa 3 jenis pekerjaan (petambak, pedagang dan buruh tani) sebesar 22,13 %, dan 2 jenis pekerjaan ( peternak , tukang/ buruh tani) sebesar 77,87%. Peluang usaha yaitu kemampuan petani untk melakukan pekerjaan atau usaha yang dilakukan diluar usahatani. Peluang usaha ini juga akan
207
menambah pendapatan petani. Sedangkan kompetensi bisnis seseorang dalam memanfaatkan peluang usaha.
Tabel 19, menunjukkan bahwa indikator sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) variabel faktor lingkungan adalah indikator irigasi, teknologi dan modal. Indikator irigasi dengan muatan faktor sebesar 0,728, indikator teknologi dengan muatan faktor sebesar 0,726 dan indikator modal dengan muatan faktor sebesar 0,741. Indikator irigasi dan indikator teknologi nilai muatan faktornya hampir sama besarnya, sedangkan indikator modal mempunyai nilai muatan faktor yang tertinggi karena petani di Lamongan dalam berusaha tani mempunyai modal sendiri dan tidak berani meminjam modal ke bank lebih baik pinjam modal ke tetangga atau kerabat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indikator modal sangat tepat untuk mengukur kondisi lingkungan petani dengan tingkat ketepatan yang hampir sama nilai factor loadingnya dengan indikator irigasi dan indikator teknologi. Petani dalam berusahatani menggunakan modal sendiri sebesar 76,72% dan modal dari pinjam kerabat/keluarga sebesar 23,28%, hal ini menunjukkan bahwa petani ubi jalar didaerah penelitan tidak berani meminjam uang kepada bank untuk modal usahataninya.
Indikator irigasi menunjukkan variabel yang juga kuat sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) faktor lingkungan dengan factor loading sebesar 0,728 karena system pengairan atau irigasi di Lamongan yaitu setengah teknis dan pengairan tadah hujan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistim irigasi setengah teknis sebesar 47,40 % dan irigasi tadah hujan sebesar 52,60 %, hal ini menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar di tempat penelitian yaitu di lahan tegal dengan sistim irigasi tadah hujan. Irigasi teknis adalah jaringan irigasi dimana airnya diatur dan dapat diukur. Untuk dapat mengatur
208
air yang masuk atau keluar, jaringan irigasi ini dilengkapi dengan pintu. Untuk mengukur besarnya aliran air, jaringan irigasi ini dilengkapi dengan bangunan ukur yang bisa berupa papan berskala, bangunan ukur khusus.
Sedangkan pertanian tadah hujan merupakan suatu system pertanian yang memanfaatkan air hujan sebagai penyuplai utama pasokan air untuk lahan pertanian. Metode pertanian tadah hujan merupakan suatu metode pertanian dimana tekniknya adalah sawah/tegal yang menampung atau hanya memiliki sumber pengairan yang berasal dari air hujan saja.
Oleh karena itu system pengairannya tergantung pada turunnya hujan. Sawah/tegal tadah hujan biasanya mulai digarap oleh para pemiliknya ketika mulai musim hujan dan akan berakhir ketika musim hujan berakhir, hal ini dikarenakan system pengairan pada jenis ini mengandalkan air hujan yang turun sebagai sumber mata air untuk mengairi lahan pertanian mereka.
Indikator teknologi menunjukkan variabel yang juga kuat sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) faktor lingkungan dengan factor loading sebesar 0,726 karena petani di Lamongan telah menggunakan sarana produksi berupa bibit, pupuk, pestisida seoptimal mungkin untuk mendapatkan hasil produksi semaksimal. Indikator teknologi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penggunaan bibit, penggunaan pupuk, intensitas pemupukan dan macam pestisida yang digunakan..
Bibit ubi jalar yang diusahakan yaitu bibit ubi jalar putih (varietas sukuh) sebesar 65,52 karena produksi yang dihasilkan langsung di beli oleh pedagang besar yang sudah bermitra dengan pabrik pembuat pasta dengan harga jual Rp 2000 per/kg pada musim tanam 2019. Ada 4 macam jenis pupuk yang digunakan di tempat penelitian yaitu pupuk urea, pupuk
209
ponska, pupuk SP-36 dan pupuk ZA. Untuk penggunaan pestisida menggunakan 3 jenis yaitu marvin, pupuk daun (Gandasil D) dan pembesar umbi (PGPR). Teknologi merupakan perubahan fungsi produksi yang ada dalam teknis produksi. Selain itu tehnologi adalah faktor pendorong dari fungsi produksi, karena semakin modern tehnologi yang digunakan maka hasil yang dicapai akan semakin banyak dengan waktu yang efektif dan efisien ( Irawan et al, 1983).
Tabel 19, menunjukkan bahwa indikator sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) variabel faktor akses informasi adalah indikator petani lain, tokoh masyarakat dan penyuluh pertanian. Indikator petani lain dengan muatan faktor sebesar 0,870, indikator tokoh masyarakat dengan muatan faktor sebesar 0,882 dan indikator penyuluh pertanian dengan muatan faktor sebesar 0,764. Dari ketiga indikator tersebut nilai muatan faktornya hampir sama besarnya yaitu indikator tokoh masyarakat dan indikator petani lain, sedangkan yang paling rendah nilai muatan faktornya yaitu indikator penyuluh pertanian. Akses informasi adalah upaya petani mencari informasi berkaitan dengan usahatani ubi jalar yang dilakukan petani. Dalam mencari informasi tersebut petani bertanya kepada petani lain, tokoh masyarakat dan penyuluh pertanian yang dianggap memiliki pengalaman yang lebih baik dibidang usahatani ubi jalar. Indikator tokoh masyarakat sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) variabel faktor akses informasi mempunyai factor loading tertinggi yaitu 0,882, hal ini menunjukkan bahwa petani ubi jalar melakukan interaksi dengan tokoh masyarakat (ketua kelompok tani, perangkat desa dan petani sukses), kemudahan dalam berinteraksi, sangat mudah dilakukan dan sangat bermanfaat sekali untuk pengembangan usahatani ubi jalar. Petani merasa nyaman
210
karena dapat bertemu dan berdiskusi dengan petani, tokoh masyarakt, penyuluh pertanian dan masyarakat lainnya yang mereka kenal untuk membicarakan permasalahan usahatani ubi jalar. Petani bisa ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang dilakukan masyarakat dapat memperoleh berbagai informasi baru dan bertukar pengalaman sesama petani maupun dengan pengurus kelompok tani dan masyarakat lainnya. Menurut (Malta, 2008) menyatakan bahwa partisipasi petani dalam kelompok tani sebagai pusat kegiatan petani akan memudahkan petani untuk mendapatkan informasi. Petani ubi jalar dalam berinteraksi dengan tokoh masyarakat bisa sampai 4-5 kali dalam satu kali musim tanam. Interaksi bisa dilakukan melalui pertemuan formal maupun non formal. Akses informasi dapat diartikan sebagai ketersedian atau pemberitahuan. Dalam konteks usahatani, akses informasi adalah usaha petani untuk menacari informasi yang ada kaitannya dengan usahataninya dan akses informasi memberikan pengaruh positif terhadap kemandirian petani (Farid.2008). Menurut (Soekamto, 1996), tokoh masyarakat adalah pemimpin informal adalah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal, namun karena ia memiliki kualitas unggul maka dapat mencapai kedudukan sebagai oang yang mampu mempengaruhi kondisi dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat. Pemimpin informal tidak menduduki suatu tempat tertentu dalam struktur kemasyarakatan. Menurut (M. Gimting, 1999) mereka tidak mempunyai nama jabatan serta tidak dibebani tugas dan tanggung jawab yang jelas. Kalaupun mereka dibebani tugas hanya karena ia memiliki kualifikasi tertentu seperti dibidang agama, adat dan sebagainya. Pemimipin informal adalah pemimpin yang muncul karena pengakuan masyarakat terhadap kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan.
211
Indikator petani lain menunjukkan variabel yang juga kuat sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) faktor akses informasi dengan nilai factor loading sebesar 0,870. Indikator petani lain yang dimaksud dalam penelitian ini adalah intensitas interaksi dengan petani lain, kemudahan dalam berinteraksi dan manfaat yang diterima, sangat bermanfaat untuk pengembangan usahatani ubi jalar. Petani ubi jalar sangat mudah berinteraksi dengan petani lain, baik secar formal maupun non formal. Kebiasaan petani berinteraksi dengan petani lain biasa dilakukan pada saat istirahat di tempat usahataninya dengan saling mencari informasi untuk kelangsungan usahataninya. Hal ini sejalan dengan pendapat (Tjiropranoto,2003), (Mulyandari et al, 2005) menyatakan bahwa petani akan mencari informasi kepada pihak lain karena kedekatan, keakraban, dan kesamaan cara pandang mereka terhadap sesuatu masalah, pengalaman dalam usahatani terkait situasi mutakhir yang terjadi di lingkungan mereka. Sejalan dengan (Soemarwoto, 1989), informasi juga diartikan sebagai suatu yang memberikan pengetahuan. Informasi dapat berbentuk benda fisik, warna, suhu, kelakuan dan lain-lain.
Menurut (Mulyandari et al, 2005), petani dalam mengelola usahataninya agar hasilnya baik dan produksinya meningkat, petani memerlukan pengetahuan dan informasi mengenai hasil penelitian, pengalaman petani lain, situasi mutakhir yang terjadi di pasar input dan produk dan kebijakan pemerintah.
Petani dalam mencari informasi tentang teknologi dan informasi-informasi lainya untuk kemajuan usahataninya biasa dilakukan melalui petani-petani lain, penyuluh pertanian, pedagang, agen sarana produksi dan tokoh-tokoh masyarakat yang sering datang ke desanya dan yang telah banyak memberikan bantuan dalam pelaksanan usahataninya. Sejalan
212
dengan pendapat (Tjitropranoto, 2005), mengatakan bahwa sumber informasi yang paling dekat dengan petani adalah petani-petani lain yang berhasil menerapkan teknologi atau memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber informasi. Petani yang berhasil tersebut dapat menjadi sumber informasi bagi petani lain karena kedekatan, keakraban dan kesamaan cara pandang mereka terhadap suatu masalah.
Indikator penyuluh pertanian menunjukkan variabel yang juga kuat sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) faktor akses informasi dengan nilai factor loading yang kecil dibandingkan dengan nilai factor loading indikator tokoh masyarakat dan nilai factor loading indikator petani lain, dengan nilai factor loading sebesar 0,764. Indikator penyuluh pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah intensitas interaksi dengan penyuluh pertanian, kemudahan berinteraksi, sangat mudah dilakukan dan sangat bermanfaat untuk pengembangan usahatani ubi jalar. Petani ubi jalar dalam berinteraksi dengan penyuluh pertanian bisa 4-5 kali dalam satu kali musim tanam. Semua petani ubi jalar tegabung dalam kelompok tani untuk memudahkan mencari informasi berkaitan dengan usahataninya. Penyuluh tidak langsung memberikan informasi yang berkaitan dengan usahatani ubi jalar, melainkan apabila ada pertanyaan dari petani ubi jalar yang memerlukan informasi, karena usahatani ubi jalar tidak masuk dalam program pemerintah daerah Kabupaten Lamongan yang dikenal dengan PAJALE yaitu usahatani padi, jagung dan kedelai.
Penyuluhan pada dasarnya merupakan proses pembelajaran masyarakat yang bertujuan untuk mencapai perubahan perilaku individu (Sumardjono, 1999).
Tabel 19, menunjukkan bahwa indikator sebagai pengukur atau pembentuk (formatif) variabel faktor kebijakan pemerintah
213
adalah indikator harga, indikator penyediaan sarana produksi dan indikator pemasaran. Indikator harga dengan muatan faktor sebesar 0,715, indikator penyediaan sarana produksi dengan muatan faktor sebesar 0,790 dan indikator pemasaran dengan muatan faktor sebesar 0,748. Dari ketiga indikator tersebut nilai muatan faktor yang besar adalah indikator penyediaan sarana produksi, indikator pemasaran dan paling rendah yaitu indikator harga. Indikator harga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah harga ubi jalar pada musim tanam 2019, penentuan harga dan kesesuaian harga. Harga yang berlaku pada musim tanam 2019 di tempat penelitian antar Rp1600,--Rp 2000,- sebesar 52,59 %, antara Rp1600,--Rp 2100,--Rp1600,--Rp2500,- sebesar 47,41 %. Semua petani tidak dilibatkan dalam penentuan harga oleh pemerintah, petani menentukan harga jual sendiri apabila dirasa sudah tinggi atau tidak merugikan petani. Pada saat musim panen ubi jalar, pemerintah tidak menetapkan harga dasar seperti pada usahatani padi. Hal ini petani ubi jalar merasa tidak dilindungi pemerintah sehingga petani ubi jalar merasa keberatan untuk mengembangkan usahatani ubi jalar dengan menambah areal luas tanam. Petani merasa tidak ada kesesuaian harga yang diterima pada saat musim panen, tapi petani tetap menerima harga yang ditawarkan oleh tengkulak karena posisi petani mempunyai posisi tawar yang rendah.
Sejalan dengan pendapat (Rusli, 2010) bahwa kebijakan pemerintah berupa subsidi harga dan subsidi input produksi memberikan dampak positip terhadap produksi padi dan pendapatan petani. Harga merupakan salah satu indikator kinerja pasar, termasuk pada komoditas pertanian.
Sejalan dengan pendapat (Rusli, 2010) bahwa kebijakan pemerintah berupa subsidi harga dan subsidi input produksi memberikan dampak positip terhadap produksi padi dan pendapatan petani. Harga merupakan salah satu indikator kinerja pasar, termasuk pada komoditas pertanian.