• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi dan Prospek Keberlanjutan Program LKM 1. Evaluasi Program LKM

PIHAK YANG TERKAIT DENGAN KONFLIK DI GAMPONG KEUDE SEUNUDDON

5.4. Evaluasi dan Prospek Keberlanjutan Program LKM 1. Evaluasi Program LKM

a. Pandangan Terhadap Kinerja Umum BRR Aceh-Nias

Evaluasi terhadap gagasan, ide, arah, kebijakan dan kebijakan program pemberdayaan dan pengembangan koperasi melalui LKM untuk memberdayakan kehidupan ekonomi komunitas korban tsunami, dilakukan oleh pengkaji mulai praktek lapangan I,II dan III. Seluruh ide, gagasan, arah dan kebijakan tentang program, merupakan sebuah konsep yang komprehensif dalam menata kembali perekonomian rakyat Aceh pada pasca bencana gempa dan tsunami mulai tahun 2005 sampai dengan selesainya masa bakti BRR NAD-Nias pada tahun 2009. Akhir masa tugas BRR tahun 2009, semua tugas, fungsi, seluruh asset yang tetap dan bergerak diserahkan kepada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu aset penting dengan dana triliyunan rupiah adalah program pemberdayaan koperasi/LKM untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat khususnya korban tsunami. Program yang dikucurkan sejak tahun 2005 oleh BRR Aceh-Nias telah membawa pro dan kontra dalam dinamika masyarakat NAD.

Pilihan terhadap lembaga berbadan-hukum Koperasi sebagai alat mediasi pengelolaan fasilitas dana BRR yang harus disalurkan ke komunitas korban, pada satu sisi merupakan langkah yang paling aman ditilik dari aspek legalitas-formal sebuah lembaga yang akan menerima dana pemerintah. Namun pada sisi yang lain ternyata mengundang banyak tanggapan khususnya dari pihak institusi atau individu yang memiliki pandangan terhadap koperasi/LKM sebagai sebuah lembaga yang bercitra kurang positif. Evaluasi terhadap keterlibatan (partisipasi) komunitas korban menunjukkan bahwa komunitas korban karena kondisi dan situasi musibah, keterlibatan mereka terabaikan. Hal ini diungkapkan oleh Staf Pembiayaan LKM DS:

”..kami dari pengurus koperasi dan LKM hanya menyalurkan dana bantuan BRR kepada masyarakat yang berhak, dalam penentuan masyarakat yang berhak kami hanya berkoordinasi dengan aparat Gampong itupun hanya sebatas masukan umum. Wewenang besar dalam memilih ada pada koperasi/LKM. Kami tidak tahu bagaimana harus melibatkan masyarakat,

semua masyarakat yang tahu ada dana bantuan mendatangi kami, kami kewalahan, dengan waktu yang sedikit”.

Penerapan prinsip partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam konteks pemberdayaan ekonomi mikro komunitas korban stunami di Aceh masih sangat kurang. Hal ini juga diungkapkan oleh Ketua AMF center Banda Aceh sekaligus sebagai ketua Dekopinda Aceh Utara Drh. BHS.

“..kita ketahui program ini lahir dari BRR Aceh-Nias, sehingga dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi program pemberdayaan koperasi dan LKM untuk memberdayakan dan pengembangan komunitas korban tsunami keterlibatan korban tsunami relatif tidak ada. Partisipasi masyarakat hanya ketika dana masuk ke rekening LKM/koperasi artinya masyarakat mendatangi LKM untuk mendapat modal usaha. Itupun bagi masyarakat yang mendapat informasi dari mulut ke mulut. Bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi? Sosialisasipun tidak dilakukan, program terkesan terburu-buru hanya ingin menghabiskan dana secara instan, tanpa pemahaman yang jelas dalam masyarakat. Akibatnya kemanfaatan dan keberlanjutan program masih menjadi pentanyaan besar sampai saat ini”.

Prospek keberlanjutan program pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami melalui koperasi/LKM yang mendapat suntikan dana dari BRR Aceh-Nias belum jelas. Besarnya dana yang dikucurkan oleh BRR Aceh-Nias melalui Deputi Ekonomi untuk pemberdayaan ekonomi mikro di Aceh, belum menjadi jaminan program tersebut akan bertahan dan berlanjut dalam komunitas korban tsunami. Hasil observasi dan wawancara serta diskusi fokus

group yang dilakukan pengkaji, menunjukkan indikasi tersebut. Keberlanjutan

program tersebut masih menjadi pertanyaan. Artinya mesti dilakukan penelitian, pengkajian dan evaluasi ulang secara menyeluruh berkaitan dengan program penguatan ekonomi mikro tersebut. Walaupun demikian nada optimis muncul dari Deputi Ekonomi BRR Aceh Nias. Optimisme ini muncul, menurut pengkaji lebih kepada keberhasilan bidang ekonomi dalam upaya menghabiskan anggaran, tanpa dilandasi evaluasi mendalam tentang keberhasilan dan keberlanjutan program tersebut. Dalam sebuah wawancara, Deputi Ekonomi Sayed Faisal, kamis 4 Oktober 2007 dengan Koran Waspada mengatakan, bahwa dalam dua tahun terakhir, BRR giat melakukan program pemberdayaan ekonomi. Ada dua misi utama yang diemban oleh Kedeputian Ekonomi dan Usaha BRR Aceh-Nias yakni pada tahun-tahun awal fokus tugas untuk memperbaiki sektor usaha yang rusak, dimana bencana gempa dan tsunami menyebabkan sektor produktif merugi sekitar US$ 1,2 miliar. Kemudian, mulai

tahun ini tugas kedeputian adalah melakukan penguatan pondasi ekonomi yang berkelanjutan.

Perbaikan ekonomi masyarakat ini ditunjang dengan pengembangan sentra-sentra porduksi seperti sentra kerajinan batik Aceh, sentra pengolahan ikan, pengembangan kawasan peternakan, terminal agribisnis, penguatan IOO (Investor outreach office) untuk menarik investor dalam dan luar negeri. Telah diresmikannya Klinik Kemasan dan Merk untuk UKM yang berfungsi meningkatkan daya tarik agar tembus ke pasar pada berbagai kemasan dan merk, serta telah diresmikannya EDC (export development centre) yang menjadi pusat pengembangan ekspor baik untuk tingkat nasional maupun internasional. Selain itu juga telah melakukan kegiatan pelatihan, seperti life skill, perikanan, pertanian, peternakan untuk meningkatkan kualitas pelaku sektor riil ekonomi kecil. (Jumlah peserta pelatihan, melalui satuan kerja BRR Life Skill untuk tahun 2006 telah dilatih sebanyak 3.691 orang.

Sayed Faisal menyebutkan, satuan kerja BRR Tenaga Kerja telah dilatih sebanyak 7.244 orang, masing-masing tahun 2005 sebanyak 3.947 orang dan tahun 2006 sebanyak 3.297 orang. Total jumlah peserta pelatihan sebanyak 10.935 orang). Guna mendukung program pemberdayaan ekonomi, BRR mendirikan lembaga keuangan mikro, dengan tujuan semua program dalam berkesinambungan setelah tugas BRR berakhir 2009. Angka realiasi keuangan Tahun Anggaran 2007 per 1 Oktober 2007 untuk Bidang Ekonomi dan Usaha baik di provinsi dan regional secara keseluruhan sudah mencapai rerata 30,79 persen. Kemudian angka realiasi kegiatannya sudah mencapai 36,44 persen. Serapan keuangan akan meningkat tajam pada bulan-bulan berikutnya, karena kegiatan di bidang ekonomi dan usaha pada umumnya bersifat swakelola (80 persen) dan kontraktual (20 persen). Selektivitas terhadap calon beneficiaries, penyesuaian kondisi iklim untuk bidang pertanian, dan penentuan lokasi kegiatan yang memerlukan koordinasi dengan pemerintah daerah merupakan tahapan yang harus ditempuh, yang notabene memerlukan waktu.

Dalam sebuah seminar nasional di Jakarta Gedung Bidakara yang diselenggarakan oleh Bappenas dan BRR Aceh-Nias pada 30 Juli 2007, Kebetulan Pengkaji berkesempatan hadir sebagai peserta. Dalam wawancara kecil dengan Sayed Faisal juga mengungkapkan; bahwa ada 5 (lima) hal yang menjadi penyangga pondasi ekonomi Aceh, yakni pertama fokus pada ekonomi kerakyatan, kedua peningkatan investasi, ketiga perdagangan internasional,

keempat nilai tambah produk, dan kelima penguatan pengusaha dan institusi bisnis lokal. Ekonomi kerakyatan yang pada intinya memacu sektor produktif agar berkembang telah dilaksanakan melalui pemberian modal yang mudah dan tanpa agunan. Jika pada tahap awal perhatian utama pada kecepatan dana turun dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berusaha, maka saat ini fokus kita pada penguatan lembaga keuangan termasuk SDM-nya. Kemudian investasi terus diupayakan untuk dapat berkembang di Aceh, karena tanpa investasi, kegiatan ekonomi berkelanjutan susah dicapai. Di samping ini pembentukan EDC (Export Development Center) atau pusat pengembangan ekspor juga diarahkan sebagai lembaga penunjang pemasaran produk-produk Aceh ke luar (dalam dan luar negeri).

Satu hal lagi, suatu produk akan tembus ke pasar apabila memiliki daya tarik, sehingga tahun 2007 ini juga diresmikan Klinik Kemasan dan Merk untuk UKM. BRR memprogramkan ‘exit strategy’ melalui lembaga Aceh Micro Finance, yang berperan dalam melakukan supervisi pembinaan kepada LKM-LKM. Dengan demikian pengelolaan dana di LKM-LKM tersebut akan tetap dapat di supervisi/dibina oleh AMF. BRR dan Pemerintah Aceh saling bahu membahu dalam mengimplementasikan program pemberdayaan ekonomi di Aceh. Melalui pembentukan "joint secretariat" atau Sekretariat bersama antara Pemda dan BRR yang ditunjang dengan telah dibentuknya Regionaliasi (Regional I – VI) merupakan langkah yang ditempuh BRR dalam proses pengalihan aset baik program dan operasional kepada pemerintah daerah. Di samping itu kegiatan akan lebih banyak kepada peningkatan kapasitas lembaga Pemda untuk mengelola aset dan melanjutkan program yang telah dijalankan oleh BRR.

Seorang kawan pengkaji, ID seorang mahasiswa di Lhokseumawe, mengirim email pada pengkaji berkaitan dengan program LKM ini, pada 04 Oktober 2007, menurutnya;

”kita tidak perlu terlalu berprasangka negatif apa lagi secara berlebihan, coba lihat saja yang telah dikerjakan BRR mulai rehabilitasi mental masyarakat korban konflik, rekontruksi kawasan dan infrukstur daerah tsunami, pemberian modal usaha kepada masyarakat korban tsunami & dan korban konflik, kemudian BRR mengirim ratusan mahasiswa S1 dan s2 mendapat kesempatan belajar ke luar negeri, ratusan Lembaga keuangan mikro didirikan, ratusan pemuda tuna karya mendapat pelatihan dan kursus ketrampilan tepat guna. belum puasnya layanan masyarakat terhadap layanan LKM tentunya harus dipahami ada bebagai permasalahan, tidak semua orang yang datang ke LKM akan mendapat pinjaman, hanya bagi mareka yang betul-betul mau menjalankan berusaha dan berkarakter jujur yang akan mendapat prioritas, karena hal

ini berkaitan dengan jumlah pinjaman macet yang terjadi di LKM saat ini karena LKM rata-rata tidak membebankan agunan pinjaman bagi peminjam. sebagai contoh sekitar 40% dana modal usaha BRR melalui LKM saat ini macet”.

Ada juga yang berpendapat, IS, ML dan MT mengenai pernyataan Deputi ekonomi BRR Aceh-Nias berkaitan wawancaranya dengan koran waspada tanggal 4 oktober 2007, yang terkirim ke email pengkaji. Menurutnya IS;

”merupakan sebuah pembenaran terhadap apa yg sudah dilakukan oleh BRR mengenai kinerja nya selama ini dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh- Nias. Jangankan berbicara tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat korban tsunami, tapi rekonstruksi perumahan saja belum selesai dan masih banyak para korban yang belum mendapat bantuan perumahan yang menjadi hak-hak dasar korban yang menjadi kewajiban BRR untuk melakukan pemenuhannya. Mengenai tentang pembentukan sektretat bersama antara BRR dan Pemda yang orientasinya untuk penguatan kapasitas pemda semata. Begitu juga dengan pemberdayaan ekonomi yang sudah dijalankan, begitu banyak masalah yang tersisa di daerah program baik yang bersumber dari BRR maupun yang dilakukan langsung oleh para donor”.

Namun demikian, juga perlu disampaikan bagaimana pendapat pengamat tentang keberadaan BRR dengan berbagai programnya. Salah seorang tokoh Aceh yang konsisten mengamati perkembangan masyarakat Aceh adalah Teuku Kemal Fasya dalam sebuah artikelnya di kompas 12 Mei 2007, yang berjudul;

Bersama BRR, Aceh Tetap Menderita, juga memberi masukan yang sangat

berarti kepada BRR dengan program pemberdayaan ekonomi mikronya. Menurutnya, tanggal 30 April lalu Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias memperingati tahun kedua keberadaannya. Namun, suasana di Aceh tidak gempita di mata korban tsunami. Tiada hiasan umbul-umbul yang menyemangati keberadaan super body yang dibentuk berdasar Perpu No 2/2005 itu, kecuali sederet permasalahan yang masih menumpuk.

Kado terburuk bagi puluhan ribu pengungsi yang masih tinggal di barak-barak kumuh dengan kondisi ekonomi dan kesejahteraan memprihatinkan. Problem lain adalah komitmen sosial para pekerja BRR yang lemah. Kebanyakan pengelola Badan Pelaksana bukan orang Aceh atau tidak berasal dari komunitas aktivis yang dikenal berhasil melakukan pekerjaan sosial dengan cepat dan tepat. Sebagian besar adalah "profesional kantoran" yang tidak menguasai lapangan dan lemah pengalaman partisipatif dalam mengatasi bencana alam dan sosial. Dibandingkan dengan lembaga sejenis di negara lain, peran BRR sama sekali tidak memiliki fokus. Pada kasus gempa di Kobe, Pemerintah Jepang

hanya fokus kepada program perumahan dan infrastruktur. Demikian pula pada penanganan bencana tsunami di Andaman dan Nikobar, Pemerintah India mendelegasikan wewenang kepada lembaga independen yang bertugas mengurangi derita bencana (disaster reduction) yang "hanya" bertujuan pokok pada pemulihan ekonomi, perbaikan infrastruktur air, pemberdayaan perempuan, dan peningkatan kapasitas masyarakat desa”.

Menurutnya, Prinsip ingin melakukan semua telah membuat banyak proyek rehabilitasi menjadi "setengah matang" di perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Terlalu banyak perencanaan, sedikit tindakan, tetapi terlalu besar risiko anggaran yang dikeluarkan. Struktur BRR yang terus menggelembung untuk gaji, biaya operasional, dan pengadaan alat yang menghabiskan lebih dari dua pertiga dari total anggaran menjadi masalah prinsipiil. Hingga Maret 2007 keberadaan pegawai BRR telah mencapai 1.297 orang. Anggaran untuk menggaji mereka adalah Rp 14,03 miliar per bulan atau Rp 168,4 miliar per tahun. Dan jumlah ini terus menunjukkan grafik meningkat per semester. Anggaran transportasi staf sebesar Rp 2,7 miliar per bulan, membuka peluang distortif untuk kepentingan jalan-jalan gratis atau weekend ke luar kota dan atau ke luar negeri.

Pemikiran konkret yang harus diambil untuk mengakhiri infeksi inkompetensi dan kelambanan kinerja BRR adalah secepat mungkin melepas mandat dan menyerahkan wewenang rehabilitasi dan rekonstruksi kepada pemerintahan yang terpilih melalui pilkada 11 Desember lalu. Wacana awal pembentukan BRR adalah menjadi lembaga yang terpercaya dalam koordinasi dan konsolidasi anggaran dari pemerintah dan dunia internasional (6,1 miliar dollar AS dari komitmen 7,5 miliar dollar AS pada awal tsunami) sekaligus menengahi problem korupsi yang terjadi di Aceh karena kepemimpinan daerah yang lemah.

Berbagai nada optimis sekaligus pesimis dalam proses keberlanjutan program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat melalui koperasi/LKM bermunculan dalam masyarakat baik di Aceh sendiri maupun luar Aceh. Namun yang pasti keberhasilan program tersebut mesti dikembalikan kepada komunitas korban sendiri. Keterlibatan sejak awal perencanaan sampai proses evaluasi; komunitas korban semestinya diikutkan. Harapan kini satu transisi telah selesai dengan hadirnya figur Irwandi Yusuf sehingga tak ada peluang untuk menunda mengembalikan tanggung jawab di tangan masyarakat Aceh sendiri. Menurut

pengkaji, proses phasing out/pengalihan yang dipercepat akan mengakhiri penyakit birokratisme dan gaji yang supermewah yang dirasakan pegawai BRR saat ini.

Sebagai perbandingan, gaji Kepala BRR sebesar Rp 60,6 juta dan pegawai terendah sebesar Rp 10 juta per bulan tidak sebanding dengan kinerja yang telah ditunjukkan. Sebagian besar aktivis Aceh yang cukup kreatif dan passionate tidak bisa berbuat apa-apa dan menjadi ”ayam sayur” ketika masuk ke lembaga ini. Mereka tak berani melawan problem sistemik yang ada di lembaga itu. Tujuan pun beralih dari cita-cita transformasi sosial ke arah mendapatkan jaminan hidup di atas rata-rata.

Phasing out dan penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah akan

mengakhiri dualisme program yang selama ini terjadi sekaligus mengintensifkan peran kedinasan yang ada, termasuk "menaturalisasi" kesenjangan pendapatan dan telah menimbulkan kecemburuan sosial. Kalaupun BRR harus tetap dipertahankan, wewenangnya hanya pada perencanaan dan pengawasan dan bukan implementasi. Jika berbagai masukan lagi-lagi diabaikan, sepertinya Aceh menunggu sejarah kembali melipat nasib korban yang seharusnya diangkat tinggi-tinggi dalam penanganan bencana. Penting mengingat kata-kata Graham Hancock dalam Lords of Poverty: The Power, Prestige, and Corruption of the

International Aid Business (2004), "Organisasi bantuan sosial hanya melakukan

kompetisi untuk memperbesar ukuran tubuhnya sendiri dengan membuat catatan kecil yang berharga bagi korban dan sebenarnya mereka sendirilah yang paling diuntungkan dari program tersebut.

Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengatur komitmen dari komuniti untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan yaitu: konteks saat ini untuk meningkatkan partisipasi dari komunitas, overview tentang hubungan antara kegiatan komunitas dengan lingkungan, meningkatkan issue-issue utama dan pertanyaan untuk mengumpulkan khususnya proverty, komunity, membangunan kapasitas dan kelanjutannya. Pada dasarnya, komunitas sendiri saja tanpa dukungan dari pemerintahan local tidak akan bisa bertahan lama. Setiap profesi dan petugas public harus menghormati mereka yang tergantung pada pelayanan yang diberikan oleh profesi atau petugas public tersebut, dan harus memberi mereka jalan untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka. Membangun hubungan yang kreatif antara pendekatan komunitas lokal dengan institusi public yang mendukungnya, sangatlah penting.

Partisipasi dari komunitas dalam pembangunan berkelanjutan bisa terwujud yang menurut Chanan berdasarkan hasil penelitiannya adalah jika kepuasan atas hubungan personal tinggi, dengan otoritas yang rendah, pengaruh dari individu-individu tertentu moderat, dan pengaruh dari group local tinggi. Kalau kondisi masyarakat sangat tidak percaya kepada pemerintah dan layanan-layanan public, maka partisipasi dari penduduk dalam komunitas yang mendorong pembangunan berkelanjutan sangat rendah. Pembangunan Kapasitas sebaiknya tidak terlihat sebagai pelopor dan pembangunan berkelanjutan tapi proses pengembangan melalui program kegiatan yang didukung oleh prinsip-prinsip yang pasti.

Setelah mengevaluasi program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM “Seunuddon Finance” dari aspek pengembangan ekonomi lokal, pengembangan modal sosial dan gerakan sosial, serta kebijakan dan perencanaan sosial, maka disimpulkan beberapa hasil evaluasi secara umum terhadap program pengembangan masyarakat melalui LKM sebagai berikut.

1. Sumber Daya Manusia pengelola LKM masih kurang, rata-rata hanya tamatan SMU.

2. Pola koordinasi antara BRR, Pemda/Dinas terkait, AMFC dan Koperasi-LKM belum berjalan sebagaimana mestinya.

3. Belum terciptanya dukungan yang memadai dari pelaku-pelaku pembangunan lokal seperti pemda, pengusaha, kelompok peduli, NGOs (Perguruan Tinggi, tokoh masyarakat, ulama) sehingga kerjasama belum terwujud dalam penanggulangan keluarga miskin melalui kelompok usaha bersama.

4. Belum terciptanya jalinan kerjasama dengan kelembagaan ekonomi yang disebabkan kurangnya informasi dan pengetahuan bagaimana cara mengakses sumber dan pihak mana yang dapat diakses, maka dalam hal ini pendamping sosial perlu melakukan perannya secara optimal yaitu sebagai pemberi informasi, perencana, fasilitator, partisipator, mobilisator, edukator dan advokator.

5. Bantuan modal usaha pergulirannya kurang lancar bahkan terjadi kemacetan dan tidak berkembang karena pada umumnya masyarakat menganggap bahwa setiap bantuan dari pemerintah dan BRR sebagai hibah yang tidak perlu dikembalikan.

Dalam pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi mikro melalui LKM pemanfaatan modal sosial sebenarnya sudah ada. Kelompok usaha bersama yang dibentuk, di dalamnya terdiri dari keluarga miskin sebagai anggota masyarakat yang saling berinteraksi dan berelasi, bila dilihat dari modal sosial hal ini menunjukkan bahwa kohesifitas dan kepercayaan sudah ada diantara mereka. Norma-norma dan nilai-nilai yang menentukan interaksi antara anggota kelompok dibentuk oleh LKM dengan persyaratan bantuan modal usaha secara bergulir diberikan kepada keluarga dan individu serta kelompok. Wujud kongkrit dari modal sosial dalam kelompok usaha bersama, seperti kelompok tambak, berupa komitmen bersama dalam berorganisasi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin. Semangat gotong royong, senasib sepenanggungan dan komitmen untuk berjuang bersama diantara mereka menimbulkan solidaritas dan keterikatan yang kuat diantara kelompok. Semangat ini merupakan bentuk modal sosial yang mampu menciptakan kohesi antar keluarga yang membemtuk kelompok bersama yaitu kelompok tambak, dagang, nelayan dan lain-lain.

b. Evaluasi Program LKM

Secara umum dapat dievaluasi sesuai dengan temuan lapangan, yaitu: a. Dari segi sebaran lokasi keberadaan koperasi/LKM; keberadaan LKM

Seunuddon Finance masih mudah dijangkau dengan roda dua atapun roda empat. Transportasi sudah tersedia, jalan sudah diaspal walaupun sudah mengalami rusak berat, jarak dengan kecamatan hanya 1 kilometer, dengan jalan negara 10 kilometer, dengan Ibu kota Kabupaten 60 kilometer.

b. Dari sisi Sumber Daya Manusia untuk pengurus dan pengelola yang berbadan hukum koperasi secara umum ditemukan berdasarkan biodata yang ditemukan bahwa LKM Seunuddon Finance, yang terdiri dari manager, staf administrasi, staf keuangan dan lapangan semua tamatan SMU. Sehingga mereka memenuhi persyaratan minimal sebagai pengelola LKM.

c. Adapun evaluasi tentang kemandirian LKM ditemukan bahwa setiap LKM belum dapat mengelola dana fasilitas BRR (rata-rata per LKM 900 juta) yang pada kenyataannya dengan dana sebesar itu seharusnya LKM yang mendapat Bantuan/suntikan dana dari BRR, sudah dapat mandiri. Hal ini dikarenakan, LKM Seunuddon Finance mengalami konflik dengan

masyarakat maupun dalam tubuh lembaga LKM atau koperasi itu sendiri. Sehingga semua dana yang sudah dikucurkan sulit dikembalikan.

d. Ide dan gagasan tentang pemberdayaan koperasi melalui LKM pada saat pasca gempa dan tsunami secara langsung tanpa dilandasi penguatan kelembagaan Koperasi/LKM dapat dikatakan kurang tepat. Mestinya BRR Aceh-Nias, pemerintah dan lembaga donor lain melakukan penguatan capacity building terhadap lembaga dan pengurus koperasi/LKM, setelah itu selesai, baru kemudian dana dikucurkan.

e. Dari segi masyarakat, pada saat manusia tertimpa bencana sehingga kehilangan hampir semua yang dimilikinya, maka secara umum mereka belum siap untuk melakukan pekerjaan/usaha seperti ketika belum terjadi bencana. Kebanyakan para korban gempa ketika program diluncurkan pertama sekali, prioritas utama mereka adalah memenuhi kebutuhan makan dan rumah (barak). Kalaupun ada pihak diluar mereka yang mempersiapkan fasilitas dana untuk usaha, prosedur/tata cara yang paling tepat adalah yang sederhana. Karena pada dasarnya kondisi dan lingkungan disekitar tempat tinggal masyarakat lokasi bencana tidak dapat berfungsi atau belum saatnya berfungsi secara normal. Sehingga yang terjadi adalah semua dana bantuan modal usaha dari LKM dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif sehari-hari, bukan untuk modal usaha.

f. Di tilik dari kondisi infrastruktur seperti media transportasi, sarana komunikasi, dan sarana listrik, semuanya masih belum berfungsi normal pada saat program diluncurkan. Faktor tersebut sangat berpengaruh pada