• Tidak ada hasil yang ditemukan

I.3. Tujuan Kajian

2.5. Hubungan Partisipasi dengan Pemberdayaan

Paradigma baru pembangunan dewasa ini lebih memberikan ruang yang memadai bagi masyarakat untuk berpatisipasi dalam proses pembangunan. Menurut Holsteiner (1980) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006), partisipasi masyarakat diperlukan karena partisipasi berarti: 1) mensukseskan program secara lebih terjamin dan lebih cepat. 2) mendekatkan pengertian pihak perencana atau pengelola dengan kebutuhan golongan sasaran. 3) Media untuk memupuk ketrampilan masyarakat, kekeluargan, dan keercayaan diri. 4) Mencapai partisipasi positif sebagai ciri khas masyarakat modern.

Menurut Sumardjo (2001) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006) kunci yang akan sangat mempengaruhi apakah seseorang akan berpartisipasi dalam suatu program pemberdayaan dan pembangunan adalah: Pertama, adanya kesadaran akan manfaat program bagi kehidupannya, makin besar manfaat yang akan diperoleh makin besar pula derajat partisipasinya dan makin panjang (berkelanjutan) manfaat tersebut dinikmati makin berkelanjutan pula partisipasinya. Manfaat bisa berarti terpenuhinya kebutuhan dan bisa pula berarti terbebasnya dari ancaman tertentu. Kedua, komunikasi yang efektif di antara pelaku yang diharapkan berperan serta dalam program. Adanya kesukarelaan antara para pekaku dalam berperan serta artinya bukan karena paksaan maupun tekanan dari pihak lain dengan cara dan bentuk apapun. Makin besar obyek partisipasi tersebut menimbulkan motivasi intrinsik-feltneeds makin besar pula derajat keikutsertaan seseorang. Hal diatas mesti dilandasi oleh paradigma dalam pemberdayaan partisipatoris dengan pendekatan pembangunan dimulai dengan komunitas yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka

indigenus knowledge. Menilai dan mengembangkan pengetahuan, sikap,

keterampilan dan sarana mereka agar dapat mengembangkan diri. Pretty dan Guijt, (1992) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006). Menurut Jamieson (1989) dalam Sumardjo dan Saharudin (2006) ada dua perspektif pemberdayaan dan pembangunan partisipatoris yang perlu dipahami; pertama, pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan program yang akan mewarnai hidup mereka. Kedua, mempertimbangkan secara penuh persepsi, pola sikap, pola pikir, pengetahuan, dan nilai nilai setempat, membuat umpan balik yang tepat.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat setidaknya akan berfokus pada cara bagaimana memobilisasi sumber-sumber lokal, menggunakan keragaman kelompok sosial dalam pengambilan keputusan dan sebagainya. Dalam prosesnya masyarakat lokal harus menjadi elemen utama dalam program pengembangan masyarakat. Disini sesungguhnya partisipasi mengambil peran sebagai suatu proses pemberdayaan yang dapat membantu untuk menampilkan dan menjelaskan suara-suara dari masyarakat yang selama ini tidak didengar. Prasetijo (2003).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang dinamis dan aktif berpartisipasi di dalam membangun diri mereka. Tidak menggantungkan hidupnya kepada belas kasihan orang lain. Mereka mampu berkompetisi dalam konteks kerja sama dengan pihak lain. Mereka diharapkan memiliki pola pikir jauh kedepan, memiliki wawasan berpikir yang luas, cepat mengadopsi inovasi, toleransi tinggi, dan menghindari konflik sosial. Hal ini dapat terwujud bila tingkat pendidikan yang mereka miliki cukup memadai.

2.6. Kelembagaan

2.6.1. Kelembagaan Masyarakat

Kelembagaan sosial disebut juga pranata sosial. Menurut Koentjaraninggrat (1984), pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktifitas-aktifitas yang memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena lembaga kemasyarakatan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, maka lembaga kemasyarakatan dapat digolongkan berdasarkan jenis kebutuhan tersebut. Koentjaraninggrat (1984), mengkatagorikannya kedalam delapan

golongan yaitu kelembagaan kekerabatan, kelembagaan ekonomi, kelembagaan pendidikan, kelembagaan ilmiah, kelembagaan estetika dan rekreasi, kelembagaan keagamaan, kelembagaan politik dan kelembagaan somatik. Proses pelembagaan dimulai dari warga komunitas saling mengenal, mengakui, menghargai, mentaati dan menerima norma-norma dalam kehidupan sehari-hari. Pemberdayaan masyarakat selain meliputi penguatan individu anggota masyarakat itu sendiri, juga meliputi penguatan pranata. Pranata atau kelembagaan yang dimaksud baik berupa kelembagaan yang bersifat “badan” atau organisasi maupun berupa pranata sosial. Kelembagaan disini merupakan bentuk nyata dari pemanfaatan modal sosial serta kemandirian yang dimiliki oleh masyarakat. Salah satu hal yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan adalah tersedianya wadah sebagai sarana untuk berpartisipasi. Kemauan untuk berpartisipasi seperti menyumbangkan pikiran, tenaga dan dana tidak dapat direalisasikan jika tidak tersedia wadahnya.

Kelembagaan merupakan wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi, masyarakat akan berpartisipasi manakala organisasi tersebut sudah dikenal dan dapat memberikan manfaat langsung pada masyarakat yang bersangkutan, serta pemimpin yang dikenali dan diterima oleh kelompok sosial. Nurdin, (1998) dalam Kolopaking dan Nasdian (2006). Istilah kelembagaan (institution) dan pengembangan kelembagaan atau pembinaan kelembagaan mempunyai arti yang berbeda untuk orang yang berbeda pula. Misalnya pengembangan kelembagaan didefinisikan sebagai proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dengan keuangan yang tersedia. Israel, (1992) dalam Kolopaking dan Nasdian (2006). Kelembagaan adalah himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Soekanto, (1999) dalam Kolopaking dan Nasdian (2006) kelembagaan yang tumbuh di masyarakat diumpamakan ibarat organ-organyang ada dalam tubuh manusia, yang masing-masing menjalankan fungsinya, dan satu sama lain saling berkaitan. Dalam hal ini, kelembagaan yang dimaksud adalah baik dalam bentuk konkret lembaga yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat, maupun yang bersifat pranata sosial, yaitu dalam wujud pola tingkah laku msayarakat dalam pemenuhan kebutuhannya. Pada kelembagan lokal terdapat jaringan sosial, dimana merupakan pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang minimal tiga orang yang masing-masing mempunyai identitas sendiri-sendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial yang ada, dan melalui

hubungan tersebut dapat dikelompokkan sebagai satu kesatuan yang berbeda dengan yang lain. Jaringan sosial mencakup tiga komponen :

1. Simpul-simpul (nodes), dimana sekelompok orang, obyek atau peristiwa yang berperan sebagai simpul.

2. Ikatan (keterhubungan), yang menghubungkan satu simpul dengan simpul yang lain.

3. Arus, yaitu sesuatu yang mengalir dari simpul satu ke simpul lainnya. Komponen di atas haruslah berpringsip pada (a) memiliki pola tertentu, (b) sekumpulan simpul-simpul yang ada bisa digolongkan dalam satu kesatuan yang berbeda dengan golongan lainnya, (c) ikatan bersifat relatif permanen , dan (d) ada aturan main (hak dan kewajiban). Kelembagaan lokal dapat didayagunakan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui jaringan-jaringan sosial yang dibentuk didalamnya, namun bukan berarti pendayagunaan terbatas pada pendayagunaan kelembagaan yang sudah ada saja karena lembaga bisa muncul bila masyarakat membutuhkannya. Dalam hal ini lembaga merupakan alat bagi masyarakat untuk mengatasi masalah dan mewujudkan tujuan bersama. Lokal yang dimaksud disini adalah lembaga yang muncul asli dari bawah dan bisa pula lembaga yang sudah melembaga (internalized) dalam masyarakat. Pendayagunaan bisa berarti menciptakan atau memelihara jaringan yang sudah ada.

2.6.2. Penguatan Kelembagaan Masyarakat

Penguatan kelembagaan adalah proses menciptakan pola baru kegiatan dan prilaku yang bertahan dari waktu ke waktu karena didukung oleh norma standar dan nilai-nilai dari dalam. Brinkrhoff, seperti dikutip Israel, (1992) dalam Kolopaking dan Nasdian (2006). Selain menciptakan pola baru kegiatan, dalam konteks pengembangan kelembagaan dapat pula dilakukan penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan dilakukan dengan cara capacity building (penguatan kapasitas), dimana istilah ini makna dan caranya berbeda-beda antara orang dan organisasi. Penguatan kelembagaan dikatakan juga sebagai:

“...strengthening people’s capacity to determine their own value and priorities, and to organize themselves to act on these, which is the baic for development”. Merupakan kapasitas orang-orang untuk menentukan nilai-nilai dan prioritas mereka sendiri dan untuk mengatur diri mereka sendiri dan bertindak dalam kegiatan yang merupakan dasar dari pengembangan. (Deborah Eade dan Suzane, dalam Tim O’Shaughnessy with Leane Black and Helen, (1999).

Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan capasity

building adalah untuk menggambarkan serangkaian tindakan mulai dari

mengembangkan kapasitas manusia secara langsung, restrukturisasi organisasi, dan pemasaran tenaga kerja. Tiga elemen penguatan kapasitas adalah:

a. Pembangunan manusia, terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan, makanan, ketrampilan tekhnis.

b. Restrukturisasi pemerintah dan swasta untuk menciptakan pekerja yang terampil dan berfungsi secara efektif.

c. Kepemimpinan politik yang memahami bahwa institusi merupakan satu kesatuan yang rentan dan mudah hancur, oleh karena itu memerlukan pendampingan yang berkelanjutan. (Bank Dunia dan UNDP, 1999).

Didalam penguatan kapasitas kelembagaan, kerjasama antar pihak menjadi sangat penting, dalam ini kerjasama pemerintah, swasta dan LSM serta masyarakat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasdian (2006) dalam Kolopaking dan Nasdian (2006) yang menunjukkan bahwa pengembangan usaha-usaha produktif skala kecil dan menengah seringkali mengabaikan kemampuan kelembagaan, karena hampir semua kelembagaan yang mendukung faktor ini lemah dalam: 1) merancang rencana kegiatan yang luwes, 2) managemen dan administrasi secara profesional, 3) mengoprasionalkan dan melaksanakan tugas kelembagaan secara efektif dan 4) melanjutkan pendanaan secara efisien dan mandiri. Dengan dasar demokratisasi ekonomi dan kebijakan otonomi, maka strategi itu perlu menghidupkan kembali konsep partisipatori masyarakat dan komunitas dalam pengembangan kelembagaan.

2.6.3. Hubungan kelembagaan dengan Modal Sosial

Penguatan kelembagaan agar dapat berkembang serta mampu menggerakkan sumberdaya masyarakat berbasis komunitas, dalam artian kelembagaan direncanakan dan dilaksanakan oleh komunitas secara partisipatif untuk kepentingan komunitas. Oleh karena itu di dalam proses penguatan kelembagaan memanfaatkan faktor modal sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam pengembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas dan untuk setiap komunitas ada modal sosial, yaitu: 1) kepemimpinan komunitas, 2) dana kominitas, 3) sumberdaya material, 4) pengetahuan

komunitas, 5) teknologi komunitas, 6) proses-proses pengambilan keputusan oleh komunitas dan 7) organisasi komunitas. (Nasdian, 2006).

Konsep dana tidak saja mencakup uang sebagai alat tukar yang umum dipakai sebagai alat tukar sekarang, tetapi juga meliputi hubungan yang mereka jalin. Rachman dalam Nasdian (2006). Secara umum modal sosial didefinisikan sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik yang melihat dalam suatu sistem jaringan sosial. Woolcock seperti dikutip Nasdian (2006). Hal tersebut sejalan dengan Fukayama (2002) seperti dikutip Nasdian (2006) yang menyatakan bahwa modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar, demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, negara, dan dalam seluruh kelompok lain yang ada diantaranya. Komunitas-komunitas yang berdasarkan nilai-nilai etis bersama ini tidak memerlukan kontrak ekstentif dengan segenap pasal-pasal hukum yang mengatur hubungan-hubungan mereka, karena konsensus moral sebelumnya cukup memberikan kepada anggota kelompok itu basis untuk terwujudnya sikap saling percaya.

Modal sosial memiliki empat dimensi: 1) integritas yaitu ikatan yang kuat antara anggota keluarga, dan keluarga dengan tetangga sekitarnya, 2) pertalian yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal, 3) Integritas organisasional yaitu keefektifan dan kemanpuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. 4) Sinergi, yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas. Fokus perhatian dalam sinergi ini adalah apakah pemerintah memberi ruang yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya. Dimensi pertama dan kedua, berada pada tingkat horizontal sedangkan dimensi ketiga dan keempat, ditambah dengan pasar (market) berada pada tingkat vertikal. Nasdian dan Kolopaking (2006).

Lebih lanjut dikatakan bahwa penguatan kelembagaan berbasis komunitas dilakukan dengan memperhatikan faktor modal sosial yang ada di masyarakat. Modal sosial secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika para anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain akan

berprilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai, kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi lebih efisien. Fukayama, (2002) dalam Nasdian (2006).

Dalam pelaksanaan kegiatan penguatan kelembagaan LKM Seunuddon Finance, prinsip-prinsip LKM harus sesuai dengan prinsip pengembangan masyarakat yang menjadi acuan, landasan dan penerapan dalam seluruh proses kegiatan. Prinsip-prinsip tersebut mesti dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan serta dilestarikan oleh semua pelaku dan stakeholders yang berkaitan dengan kegiatan LKM/koperasi. Prinsip-prinsip yang diperlukan LKM/koperasi adalah sebagai berikut:

a. Demokrasi, dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan demokratis. Anggota atau masyarakat didorong agar mampu membangun dan memperkuat kelembagaan LKM dengan refresentasi yang akseptabel, insklusif, transparan, demokrasi dan akuntabel.

b. Partisipasi, dalam setiap langkah kegiatan LKM harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa kebersamaan melalui proses belajar dan berkerja bersama. Partisipasi dibangun dengan menekan proses pengambilan keputusan oleh warga mulai dari tataran ide atau gagasan, perencanaan, pengorganisasian, pemupukan sumberdaya, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemeliharaan. Partisipasi juga berarti upaya melibatkan segenap komponen masyarakat khususnya kelompok masyarakat yang rentan yang selama ini tidak memiliki peluang atau akses dalam program Pemberdayaan ekonomi melalui LKM.

c. Transparansi dan akuntabilitas, dalam proses managemen proyek maupun managemen kelembagaan masyarakat harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga masyarakat belajar dan “melembagakan” sikap bertanggungjawab serta tanggunggugat terhadap pilihan keputusan dan kegiatan yang dilaksanakannya. Didalam pengembangan masyarakat terdapat prinsip transparansi yaitu keterbukaan terhadap pelaksanaan program dengan tujuan seluruh warga masyarakat dapat mengetahui keseluruhan tentang program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sampai dengan pelaksanaan kegiatannya, sehingga masyarakat dapat berperan aktif

dalam mengontrol kegiatan-kegiatan di Gampong baik program yang datang dari pemerintah maupun yang tumbuh atas prakarsa masyarakat. d. Desentralisasi, dalam rangka otonomi daerah, proses pengembalian

keputusan yang langsung menyangkut kehidupan dan penghidupan masyarakat agar dilakukan sedekat mungkin dengan pemanfaatan atau diserahkan pada masyarakat sendiri, sehingga keputusan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat banyak.

Dengan kuatnya kelembagaan, maka dapat mendukung terhadap pemberdayan dan pengembangan komunitas. Penguatan kapasitas kelembagaan selain meliputi penguatan individu, juga meliputi penguatan kelembagaan itu sendiri. Pranata atau kelembagaan yang maksud, baik berupa kelembagaan yang bersifat “badan” atau organisasi maupun berupa pranata sosial. Kelembagaan di sini merupakan bentuk nyata dari pemanfaatan modal sosial serta kemandirian yang dimiliki oleh masyarakat.