I.3. Tujuan Kajian
2.1. LKM/Koperasi dalam konteks Pemberdayaan Masyarakat
2.1.1. Pengertian Tentang LKM/Koperasi
LKM/Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat maju, adil dan makmur. Dalam melaksanakan usahanya LKM/Koperasi tidak semata-mata berorientasi bisnis tertapi bagaimana membangun suatu perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Segala usahanya ditujukan untuk kesejahteraan anggota. Sumarti (2005) dalam Sumarti dan Syaukat (2006) menjelaskan bahwa koperasi merupakan salah satu contoh organisasi ekonomi lokal yang digolongkan kepada sektor keswadayaan masyarakat yang tumbuh dan digiatkan oleh warga masyarakat secara sukarela untuk kepentingan bersama.
Berdasarkan pasal 33 UUD 1945, kedudukan koperasi sebagai model badan usaha dianggap paling sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia, pelaksanaannya diatur dan dikembangkan dalam berbagai peraturan. Pasal 3 UU No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian menjelaskan bahwa fungsi koperasi adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut serta membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai suatu lembaga LKM/Koperasi mempunyai peran dan fungsi berikut: Pertama, membangun dan mengembang potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya. Kedua, berperan serta secara aktif dalam mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakatnya. Ketiga, memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya. Keempat, berusaha untuk mewujutkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama atas azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. (Sumarti, 2005).
Untuk membentuk suatu koperasi bersama LKM, ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Hal tersebut dijelaskan dalam undang-undang nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian yang menyebutkan bahwa syarat
pembentukan koperasi adalah; dibentuk oleh sekurang-kurangnya dua puluh orang, dilakukan dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar dan memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah.
Landasan hukum koperasi ada pada undang-undang dasar 1945 dalam pasal 33 ayat 1 beserta penjelasannya yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan koperasi adalah suatu bangunan usaha yang sesuai dengan susuanan perekonomian indonesia. Cita-cita koperasi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 bahwa arah pemerintah dalam hal pembangunan ekonomi adalah terwujudnya demokrasi ekonomi dimana masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan pembangunan tersebut. Atas dasar inilah koperasi diharapkan akan dapat tumbuh. Salah satu masalah yang menjadi perhatian LKM/Koperasi adalah akses terhadap sumber modal dari luar serta masih lemahnya kemampuan untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada, termasuk untuk memanfaatkan modal untuk tujuan suatu usaha yang benar-benar mampu bersaing dan memberikan keuntungan ekonomis yang memadai.
Ismail dan Jauhari (1995) dalam Sumodiningrat (2007), menjelaskan bahwa permasalahan modal pada koperasi pada intinya disebabkan oleh tiga faktor utama berikut. Pertama, akses modal koperasi/LKM terhadap modal luar relatif sangat kecil. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh masih rendahnya return on
investment dari usaha-usaha yang dikerjakan oleh koperasi dan atau karena
biaya administrasi yang terlalu besar dan atau efisiensi manajemen yang masih rendah sehingga tidak proporsional dengan jumlah kredit yang dikelola. Kedua, umumnya LKM/Koperasi juga tidak mampu menghimpun modal sendiri melalui penyisihan secara berarti melalui akumulasi keuntungan usahanya, karena usaha yang dikelola masih dalam tingkatan yang sederahana dengan skala usaha yang relatif kecil pula. Ketiga, meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai jenis skim kredit khusus yang menurut ukuran dunia usaha pada umumnya sebenarnya dapat dijadikan sebagai keunggulan komparatif bagi koperasi dan tidak dimiliki oleh usaha yang lain. Namun dalam kenyataannya kesempatan inipun masih sulit dimanfaatkan oleh koperasi secara maksimal. Hal ini terbukti dengan masih rendahnya realisasi kredit dari skim-skim khusus kredit ini. Disini terlihat bahwa profesionalisme manajemen koperasi dengan berbagai interaksinya dengan maslah-masalah lain belum mampu secara optimal
menangkap peluang yang ada. Khusus untuk koperasi upaya untuk pemupukan modal yang bersumber dari para anggota dengan mengacu pada prinsip dasarnya juga masih belum dapat diharapkan secara berarti untuk menggerakkan usaha-usaha koperasi.
Untuk membentuk suatu koperasi yang sehat, Departeman Koperasi Usaha Kecil dan Menengah sesuai dengan Badan Litbang Koperasi dan Pengusaha Kecil (1998) menjelaskan bahwa ada beberapa persyaratan yang harus ada dan dilaksanakan dalam kegiatan tersebut, yaitu: permodalan, sumber daya manusia dan penguasaan teknologi, manajemen, jenis usaha dan keragaannya, serta jaringan usaha. Pada lembaga ekonomi termasuk koperasi dikenal adanya dua jenis modal yaitu modal dalam/modal sendiri dan modal luar/modal pinjaman dari pihak lain. Modal sendiri adalah modal yang dihimpun dari dalam koperasi atau anggotanya dalam bentuk simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, simpanan lainnya serta hibah dan cadangan. Lembaga ekonomi yang memerlukan suatu kegiatan usaha sangat memerlukan kehadiran sumber daya manusia yang handal, artinya adalah bahwa seperti lembaga koperasi memerlukan sumber daya yang mengetahui tata cara kehidupan berkoperasi, tata cara berbisnis yang baik, dan cara mengembangkan beberapa usaha dan kegiatan produksi.
Kebijaksanaan manajemen usaha koperasi dapat dilakukan langsung oleh pengurus dan dapat juga diserahkan kepada manajer LKM. Sebenarnya prinsip penerapan sistem telah ditujukan agar pengembangan usaha koperasi berupa LKM dapat berjalan lebih agresif, efisien dan efektif. Sedangkan pengurus, dalam hal ini cukup hanya menetapkan kebijaksanaan umum yang perlu dijalankan oleh manajer LKM. Pengurus diharapkan agar dapat lebih mengkonsentrasikan diri pada aspek pengembangan dan pembinaan anggota. Oleh sebab itu dalam hal pengembangan koperasi maka aspek manajemen usaha menjadi penting, karena kunci sukses dari lembaga usaha LKM sangat tergantung kepada kehandalan manajemen. Di samping penataan manajemen perlu diperhatikan aspek pelayanan kepada anggota mengingat kedudukan anggota didalam koperasi, disamping sebagai pemilik juga sekaligus sebagai pengguna. Mengenai keragaan usaha koperasi dinyatakan sebagai berjalan atau tidaknya sebuah koperasi serta menyangkut keuntungan atau kerugian yang dialami oleh koperasi bersama LKM.
Lebih lanjut Ismail dan Jauhari (1995) dalam Sumodiningrat (2007) mengungkapkan bahwa upaya untuk mengembangkan jaringan usaha koperasi perlu dikaitkan dengan upaya untuk memperbesar peluang usaha, meningkatkan kemampuan dalam menangkap peluang serta terciptanya kerjasama usaha yang berorientasi jangka panjang. Untuk itu beberapa hal perlu diperhatikan diantaranya adalah diperlukan peran pihak lain, termasuk peran para tokoh-tokoh yang berkepentingan dengan pengembangan koperasi perlu untuk dimanfaatkan dalam membangun jaringan usaha koperasi dalam bentuk LKM. Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro memuat tiga elemen kunci (Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia, 2004) yaitu: a) Menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan yang relevan dengan kebutuhan riil masyarakat yang dilayani. b) Melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. c) Menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel, agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan. Alasan di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan bagi masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang ‘merakyat’.
Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan baru menyangkut pertumbuhan Usaha Mikro, melalui Inpres No. 6 Tahun 2007, tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan juga merupakan paket penggerak Investasi. Inpres ini pada intinya diharapkan mampu mendorong sektor riil, yang pada gilirannya akan berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja dan penurunan angka kemiskinan (versi pemerintah). Inpres ini harus benar-benar dapat digunakan sebagai salah satu dasar bagi pertumbuhan usaha mikro. Tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana implementasinya bagi pelaku usaha mikro itu sendiri. Kesuksesan berbagai kebijakan pendukung usaha mikro baik di tingkat pusat maupun daerah untuk optimalisasi dapat bersinergi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Untuk dapat menyentuh skala prioritas yang efektif bagi pertumbuhan ekonomi terutama di sektor usaha mikro, tentu diperlukan suatu pola yang sistemastis dengan mengedepankan pemberdayaan pelaku usaha mikro dengan melakukan suatu Action (diawali suatu actionplant). Hal ini tentunya tidak dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha mikro dengan segala permasalahan serta tantangan intern dan ekstern.
Usaha mikro tergolong jenis usaha marginal, yang antara lain ditunjukkan oleh penggunaan teknologi yang relatif sederhana, tingkat modal dan kadang
akses terhadap kredit yang rendah, serta cenderung berorientasi pada pasar lokal. Studi-studi yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa usaha mikro mempunyai peranan yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja melalui penciptaan lapangan pekerjaan, penyediaan barang dan jasa dengan harga murah, serta mengatasi masalah kemiskinan. Disamping itu, usaha mikro juga merupakan salah satu komponen utama pengembangan ekonomi lokal dan mampu memberdayakan kaum perempuan dalam meningkatkan bargaining position perempuan dan keluarga.
Defenisi Usaha mikro menurut Asia Development Bank, adalah usaha-usaha non-pertanian yang mempekerjakan kurang dari 10 orang termasuk pemilik usaha dan anggota keluarga. Sedangkan USAID mendefinisikan usaha mikro adalah kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10 orang pegawai termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Kadangkala hanya melibatkan satu orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja. Kepemilikan aset dan pendapatannya terbatas. Bank Dunia mendefinisikan usaha mikro adalah merupakan usaha gabungan (partnership) atau usaha keluarga dengan tenaga kerja kurang dari 10 orang, termasuk di dalamnya usaha yang hanya dikerjakan oleh satu orang yang sekaligus bertindak sebagai pemilik (self-employed). Usaha mikro sering merupakan usaha tingkat survival (usaha untuk mempertahankan hidup–survival level activities), yang kebutuhan keuangannya dipenuhi oleh tabungan dan pinjaman berskala kecil. Dengan melihat beberapa defenisi tentang usaha mikro, maka hal yang perlu di garis bawahi adalah bagaimana kekuatan usaha mikro bisa di jadikan sebagai alternatif dalam mengurangi pengangguran, karena pengurangan pengangguran secara otomatis akan memberikan dampak positif untuk bisa mengurangi kemiskinan di Nanggroe Aceh Darussalam. Tetapi alternatif tersebut tidak bisa jalan begitu saja tanpa mendapatkan dukungan secara maksimal oleh pemerintah dan swasta dengan memberikan akses keadilan bagi usaha tersebut.
Peranan pemberdayaan oleh LKM/Koperasi seharusnya bisa terealisasi apabila pemerintah dan swasta bisa menciptakan suatu program yang sifatnya memberikan akses modal kepada usaha mikro, sebab kendala yang banyak dihadapi oleh usaha ini adalah masalah permodalan. Fenomena permodalan ini apabila di kaji lebih empiris di lapangan menunjukkan bahwa masih adanya ketidakadilan dalam penyalurannya. Misalnya usaha mikro sering dipersulit untuk bisa mendapatkan modal, seperti prosedur yang berbelit-belit, harus ada
jaminan, serta banyak lembaga keuangan tidak menyediakan permodalan bagi usaha mikro. Fenomena tersebut bisa di lihat secara kasat mata, artinya pemerintah dan swasta belum berpihak kepada pembangunan yang berbasiskan kerakyatan. Usaha mikro sering mengalihkan pinjaman permodalan kepada lembaga-lembaga keuangan informal, sehingga yang terjadi adalah penghisapan atau eksploitasi oleh lembaga informal dalam hal ini rentenir. Eksploitasi tersebut terjadi dengan bunga yang tinggi, tetapi eksploitasi tersebut bisa dinikmati atau diterima oleh usaha mikro. Ini merupakan fenomena yang harus segera dijawab oleh pemerintah dengan membuat kebijakan yang benar-benar di implementasikan.
Batasan definisi keuangan mikro dapat diringkas sebagai berikut. Keuangan mikro adalah suatu alternatif yang amat dibutuhkan bagi usaha mikro, karena mereka tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal: Bank, BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Dalam keuangan mikro, para pihak yang terkait adalah, a) Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang menyediakan dana yang berkesinambungan dan makin besar dananya. b) Lembaga Pendampingan Usaha Mikro (LPUM), yang secara berkelanjutan mendampingi kelompok usaha mikro maupun satu persatu anggota kelompok. c) Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), yang membentuk kelompoknya sesuai dengan kebutuhan mereka dan terdiri dari anggota-anggota yang mereka kenal satu sama lain termasuk usaha-usahanya yang beraneka rupa. Berkelompok itu penting karena; motivasi dan spirit berusaha dapat terpelihara dengan baik, dan mereka dapat belajar satu sama lain, pada kelompok yang solid, dapat diterapkan sistem “tanggung renteng”. Sistem ini sebagai pengganti kolateral (dikenal sebagai
collateral substitute), sehingga resiko tidak membayar kembali pinjaman, menjadi
kecil. Kebiasaan menabung dapat dibina dengan baik serta dikembangkan. Apabila jumlah tabungan sudah memadai, anggota dapat meminjam dari kelompoknya. Dengan berkelompok maka biaya transaksi bagi LKM dan LPUM menjadi ringan. Pelayanan secara individual kepada usaha mikro akan memerlukan transactin cost yang tinggi sekali. Dengan sistem seperti tersebut di atas, maka para pihak, yaitu: LKM, LPUM, dan KSM beserta anggotanya, dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable) dan mandiri (ADB dan Bank Dunia, 2004)
Dengan demikian keuangan mikro dapat berperan untuk mengentaskan kemiskinan, tidak untuk semua kemiskinan, tetapi hanya sebatas pada
orang-orang miskin yang punya usaha (enomically active poor). Upaya penguatan Usaha Mikro juga telah banyak dilaksanakan di Indonesia, apakah efektif atau tepat sasaran? Ini belum ada data yang kongkrit. Upaya ini diketahui telah banyak dilakukan, baik oleh lembaga pemerintah, lembaga non-pemerintah, lembaga swasta, lembaga perbankan, lembaga donor, maupun individu.
Hambatan-hambatan yang dialami Usaha mikro adalah keterbatasan sumberdaya finansial. Karena sifatnya yang mikro dengan modal kecil, tidak berbadan hukum dan manajemen yang sebagian masih tradisional sehingga sektor ini tidak tersentuh oleh pelayanan lembaga keuangan formal (Bank) yang selalu menerapkan prinsip perbankan dalam memberikan kreditnya. Upaya pemerintah untuk membantu Usaha mikro misalnya dengan menghubungkan dengan pengusaha besar untuk bermitra belum cukup efektif untuk mengatasi masalah mengingat jumlahnya yang banyak dan tersebar di seluruh Indonesia.
Untuk mengatasi hambatan ini, pendekatan yang perlu dilakukan adalah penyediaan jasa keuangan mikro (micro finance). Selama ini Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan lembaga yang mampu memenuhi kebutuhan modal usaha mikro karena mampu menyesuaikan dengan karakteristik usaha mikro yang cenderung dianggap tidak bankable oleh sektor perbankan komersial. LKM mampu memberikan pelayanan kredit dalam skala besar tanpa jaminan, tanpa aturan yang ketat, dan dengan cara itu pula mampu untuk menutup seluruh biaya yang mereka keluarkan. Selain itu LKM dapat juga menjadi perpanjangan tangan dari lembaga keuangan formal, sebelum dana untuk pelayanan keuangan mikro itu tersalur kepada kelompok swadaya masyarakat (atau usaha mikro tersebut).
Berbagai fenomena di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan bagi masyarakat karena memang mempunyai karakteristik yang cocok dengan rakyat kecil. Pelayanan LKM sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan prosedur yang sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar apabila untuk masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka pemulihan ekonomi karena LKM mendukung
sustainability dan pengembangan usaha mikro yang telah terbukti mampu
menjadi pilar dasar perekonomian Indonesia. Dalam rangka perkuatan perekonomian nasional, penyediaan jasa keuangan mikro diharapkan mampu mencakup dua sisi yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, yaitu mampu untuk melayani kebutuhan nasabahnya dan pada sisi lain mampu untuk mengembangkan dirinya sebagai lembaga keuangan mikro yang bonafid.
Kemampuan untuk melayani nasabah menuntut juga kemampuan nasabah untuk dapat me-manage keuangan agar dapat dioptimalkan demi pengembangan skala usahanya.
Selama ini keengganan dari pihak bank komersial dalam menyalurkan kreditnya kepada usaha kecil karena adanya anggapan bahwa kelompok atau individu yang mempunyai predikat sebagai masyarakat tak berdaya ini sangatlah tidak bankable di mata perbankan. Pihak perbankan kebanyakan akan merasa sia-sia dalam memberi pelayanan kepada mereka. Hal itu karena pihak perbankan memandang pelayanan terhadap masyarakat ini akan mendatangkan biaya transaksi tinggi dan penuh dengan resiko. Tingginya biaya disebabkan skala kredit yang mereka butuhkan terlalu kecil untuk bank komersial, kemudian tidak mampu memberikan agunan, ditambah lagi dengan pendapatan yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah. Kenyataan, menunjukkan bahwa jarak lembaga keuangan dengan mereka sedemikian jauh. Pihak perbankan cenderung untuk melayani golongan ekonomi atas, karena golongan ini dipandang lebih prospektif, lebih dekat, dan lebih mudah.
Oleh karena itu keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu untuk mencakup dua profile, antara institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial yang memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam penyaluran dana keuangannya. Meski berperan sebagai institusi sosial, tetapi LKM dapat menjadi institusi komersial melalui cara minimasi biaya transaksi, dan peran dari kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam mengkoordinir anggotanya. Karena kedekatan dengan pihak nasabah dan fleksibilitas aturan, maka biaya-biaya dapat berkurang. Kemudian peran dari KSM, organisasi yang terdiri dari orang-orang sesuai strata ekonominya diharapkan mampu menekan anggotanya dalam mengamankan kreditnya, atau mensubstitusi collateral. Mekanisme penyaluran itu membutuhkan keberadaan seorang pendamping. Pendamping merupakan faktor kunci agar receiving mechanism berjalan. Pendamping memberi bantuan dan fasilitas non keuangan untuk sektor mikro seperti memfasilitasi adanya penyusunan rencana usaha, pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok, serta pemupukan modal. Agar proses pendampingan berkelanjutan, maka diperlukan biaya pendampingan. Biaya itu dapat diambilkan dari beberapa alternatif, misalnya dari pengembalian kredit yang berasal dari kegiatan LKM itu sendiri. Pengembangan usaha mikro dalam konteks penanggulangan
ketidakberdayaan tidak bisa lepas dari peran LKM. LKM merupakan pihak yang selama ini mampu memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan usaha mikro yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.
Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk sinergi dalam mengembangkan usaha mikro yang diarahkan untuk menanggulangi korban tsunami di Aceh. Pemerintah Daerah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Prinsip yang mesti dipelihara dalam menjalankan binaan terhadap usaha mikro melalui LKM antara lain: a) Akuntabilitas, dilaksanakan dengan memberikan akses kepada semua pihak untuk melakukan audit, bertanya dan atau menggugat pertanggung-jawaban para pengambil keputusan, baik di tingkat proyek, daerah, prinsip maupun pelaksana. b) Transparansi, melalui pemberian akses kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mengetahui seluruh informasi yang berkaitan dengan konsep, kebijakan serta pengambilan keputusan, perkembangan kegiatan dan keuangan, serta informasi lainnya dari para pelaku program. Masyarakat dapat bebas mengajukan usulan kegiatan mengacu pada prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Pengelolaan Dana Program/BLM adalah sebagai dana bergulir. Pengelolaan dana program/BLM diserahkan dan menjadi tugas dan tanggung jawab LKM sebagai unit usaha di bawah BKM, dengan kegiatan dan mekanisme berikut. a) Penatabukuan, agar tertib admibistrasi, khususnya dalam menangani keuangan, maka konsultan pelaksana memberikan pelatihan tentang penata-bukuan secara sederhana, khususnya kepada LKM sebagai unit pengelola keuangan BKM, termasuk kepada KSM, b) Audit, bentuk audit dalam program ini adalah di samping model partisipatif oleh para pelaku di semua lini, juga oleh pihak-pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam proses pendampingan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mencegah upaya dan atau penyalahgunaan dana, tindak korupsi, penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok tertentu, c) Sanksi pembatalan/pencabutan dana,
yaitu suatu bentuk sanksi dengan pembatalan atau tidak dialokasikannya dana program (BLM atau komponen program lainnya) pada tahap atau tahun berikutnya. d) Penerapan sanksi oleh masyarakat, sanksi yang diterapkan masyarakat dapat bersifat formal, dalam arti merupakan keputusan atau hasil musyawarah warga, atau bersifat non formal dalam bentuk sanksi yang dilakukan oleh warga orang per orang, seperti cemoohan atau tidak dihargai lagi, dikucilkan dan sebagainya. Strategi dasar LKM adalah: a) Memanfaatkan interaksi sosial. b) Sosialisasi program. c) Usulan kegiatan mengacu pada kebutuhan masyarakat. d) Menggerakkan potensi keswadayaan masyarakat. e) Mendorong komunitas dalam perencanaan, pelaksanaan. dan pengawasan. f) Peningkatan peran insititusi kemasyarakatan dengan dampingan. g) Pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan masyarakat. Sedangkan Strategi Umum Operasional LKM adalah: sosialisasi, seleksi dan rekrutment, pelatihan, penugasan pendamping, strategi pengalokasian dana, pendekatan ekonomi (bagian dari Tri Daya) menjadi lembaga pendorong terciptanya kemandirian ekonomi masyarakat Aceh sesuai dengan kearifan lokal, memulihkan kondisi ekonomi akibat gempa dan tsunami, pencapaian standard hidup yang lebih layak bagi masyarakat NAD, melakukan pembangunan ekonomi rakyat dengan melibatkan sel-sel ekonomi dengan rencana makro sebagai guidelines untuk program-program mikro, dengan pendekatan kemanusiaan, peningkatan kualitas SDM dalam rangka capacity
building, dan distribusi yang berkeadilan, kejujuran, kesetaraan gender,
kemitraan, kesederhanaan, halal, tayyib, dan mubarakah, demokrasi, partisipasi, transparansi, serta akuntabilitas.
Asas dan prinsip LKM ádalah meningkatkan penghidupan masyarakat NAD lebih baik, adanya jaminan kehidupan ekonomi yang normal dengan tingkat pendapatan yang semakin meningkat dan lapangan kerja yang produktif serta