• Tidak ada hasil yang ditemukan

I.3. Tujuan Kajian

2.3. Pemberdayaan Komunitas Korban Tsunami

Pada dasarnya sasaran pembangunan masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat mengandung arti mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya. Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu pembangunan berencana merupakan suatu bentuk perubahan sosial yang khas dan direncanakan. Ada tiga perspektif perubahan sosial, yaitu: perspektif materialistik, adalah suatu perspektif yang menjelaskan bahwa teknologi baru dan “model ekonomi produksi” menyebabkan dalam interaksi sosial, organisasi sosial, nilai-nilai budaya, kepercayaan dan norma-norma dalam suatu komunitas.

Melalui Lembaga Keuangan Mikro komunitas miskin memberdayakan dirinya dalam berhadap-hadapan dengan organisasi-organisasi Negara. Dengan

konsep pemberdayaan, partisipasi akar rumput menjadi tema sentral hampir disetiap wacana paradigma pemberdayaan ekonomi.

Menurut Suramto (1992) dalam Nasdian dan Darmawan (2006) masyarakat berdaya memiliki ciri-ciri: 1) mampu memahami diri dan potensinya, 2) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan kedepan) dan mengarahkan dirinya sendiri, 3) memiliki kekuatan berunding, bekerjasama saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai, 4) bertanggungjawab atas tindakannya sendiri. Diera globalisasi sekarang ini, ciri-ciri masyarakat berdaya dapat dilihat dengan dimilikinya etos kerja yang tinggi, kreatif, peka dan tanggap, inovatif, religius, fleksibel dan jatidiri dengan suakendali.

Menurut Suharto (2001), bahwa pemberdayaan muncul sebagai solusi atas fakta ketimpangan struktur kekuasaan (strukutral power inequality) yang berlangsung selama ini, dimana masyarakat bawah haus akan kebutuhan untuk mendapatkan kekuasaan dalam mengatur diri mereka sendiri, artinya pemberdayaan dapat dipahami sebagai mekanisme dari retristribution of

hegemoni. Dimasa awal kedatangannya konsep pemberdayaan dimaknai

sebagai: The Principle of dismandismantling of the dominion (pembongkaran kekuasaan yang mengkungkung kehidupan rakyat). Kedua, Class struggle (perjuangan kelas) atau takking over the control ethich of liberation (etika pembebasan) drawn from the vision or ideology of Marxism. Pemahaman konsep pemberdayaan melunak dan mengalami perubahan sangat dramatis dimana konsep tersebut lebih dimaknai sebagai proses penguatan kapasitas komunitas lokal. Artinya, pemberdayaan lebih dipahami sebagai encouraging self

expression and self determination. Pada masa sekarang pemberdayaan

dipahami jauh lebih moderat.

Baum (1999) dalam Nasdian dan Darmawan (2006), mengemukakan bahwa memberdayakan suatu kaum atau komunitas tertentu mengandung makna berikut. Pertama, authority, pemberdayaan membawa konotasi

authorityzation atau pemberian kewenangan lebih luas kepada suatu

komunitas tertentu. Kedua, capacity, kekuasaan atau power bermakna pula sebagai energi. Artinya, empowerment bermakna sebagai pemberian energi (to energyze) diri pihak yang kuat kepada kaum atau komuitas yang lemah. Pemberdayaan mengandung aspek atau bermakna memperbesar peluang dalam melakukan pilihan-pilihan ekonomi dan politik, meningkatkan derajat kebebasan seseorang atau suatu komunitas tertentu dalam mengembangkan kehidupannya,

meningkatkan kapasitas dalam penguasaan sumber daya ekonomi, memiliki posisi dan kewenangan lebih besar dalam menentukan sesuatu.

Pemberdayaan dan pengembangan komunitas serta masyarakat biasanya dilakukan dengan pembangunan atau perubahan. Menurut Hadad (1980) dalam Nasdian dan Darmawan (2006), istilah “pembangunan” pada dasarnya tidaklah berbeda dengan istilah “perubahan”. Kedua istilah tersebut masing-masing memilki sisi positif dan negatif, tergantung kepada apa dan siapa yang akan diubah, dan juga bagaimana perubahan itu dilakukan. Selama lebih dari tiga dekade, teori-teori pembangunan telah dibahas dan dikaji oleh berbagai praktisi dan teorisi pembangunan. Untuk mewujudkan agenda perubahan tersebut, maka pembangunan, kebijakan pembangunan dan pengembangan kelembagaan perlu diarahkan oleh suatu paradigma baru yang berakar kepada ide-ide, nilai-nilai, teknik-tehnik sosial, dan tehnologi lokal, ekologi manusia yang mengutamakan pembangunan harkat, martabat dan hakikat manusia dan lingkungannya. Logika yang dominan dan perlu dikembangkan dari paradigma baru tersebut adalah logika ekologi manusia yang seimbang dengan sumberdaya utama berupa sumberdaya informasi dan prakarsa kreatif dengan memberi peran kepada rakyat bukan sebagai subyek, tetapi lebih sebagai aktor. yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Namun demikian perubahan paradigma ini tidak serta merta membawa perubahan yang signifikan pada kondisi kehidupan social ekonomi masyarakat serta upaya-upaya menjaga kelestarian lingkungan atas sumberdaya alam yang tersedia, karena pemahaman aparat pemerintah dan masyarakat relatif masih kurang. Selain itu, pemahaman tentang karakteristik komunitas setempat juga masih kurang. Mengenal komunitas lokal secara mendalam penting dilakukan untuk mencapai pembangunan atau perubahan ke arah yang lebih baik.

Ada beberapa konsep yang tepat digunakan, antara lain: Pertama teori atau konsep yang disampaikan oleh Hacker (1999) dalam Nasdian dan Darmawan (2006) mengenai pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Ada tujuh elemen penting dalam konsepsi Hacker. Berikut ini adalah ketujuh element penting dari Hacker. Pertama, para anggota komunitas korban tsunami mengerti dan paham persoalan ekonomi riil di komunitasnya. Komunitas korban tsunami lokal perlu dibimbing untuk sadar bahwa hak-hak kepemilikan atas sumber daya (tanah) dan hak-hak ekonomi merupakan kunci penting

menuju pembebasan dari belenggu kemiskinan. Termasuk akses komunitas kepada sumber-sumber informasi yang menguntungkan dan tidak bias, perlu diperluas. Kedua, pola kepemilikan sumber daya ekonomi dan alat-alat produksi. Para anggota komunitas lokal harus menyadari benar apa yang menjadi hak-hak mereka. Mereka perlu memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa dan bagaimana pola kepemilikan sumber daya ekonomi lokal dan penguasaan alat-alat produksi komunitas itu sendiri. Ketiga, persoalan nafkah dan kapasitas untuk mendapatkan penghasilan yang mencukupi. Artinya ada pendapatan dan kontrol atas sumber dana. Anggota komunitas korban tsunami perlu diberdayakan agar mampu menciptakan sumber-sumber nafkah serta meningkatkannya demi kesejahteraan bersama. Keempat, ketergantungan para anggota komunitas korban pada sumber daya ekonomi luar, resiko yang besar dan belitan utang yang menyakitkan harus bisa dikurangi dengan cara memberdayakan usaha-usaha ekonomi lokal atau mikro dan atau tradisional. Kerentanan ekonomi dan ketergantungan ekonomi pada sumber-sumber kapital di luar sistem komunitasnya harus di kurangi. Kelima, pembentukan organisasi atau kelembagaan ekonomi lokal. Dalam hal ini potensi capital social melalui jejaring sosial perlu dimobiliasi. Selain itu jaringan sosial dengan kelembangaan ekstra lokal perlu dibina dan dipelihara agar tetap eksis. Kelima, sistem jaring pengaman sosial. Jaring pengaman social asli bentukan komunitas lokal perlu dipelihara dan dilestarikan. Keenam, pembangunan yang partisipatif dengan pendekatan pemberdayaan dan pengembangan basis komunitas lokal-kelas bawah. Hal ini dapat dijawab ketika peran dan fungsi LKM, koperasi, usaha kecil dan usaha mikro mendapat tempat yang layak dalam sistem suatu komunitas itu sendiri.

Pemahaman ini sejalan dengan konsepsi dari Soemarjan (1964) dalam Nasdian dan Darmawan (2006) bahwa konsep pembangunan berencana dalam perspektif perubahan sosial tidak terlepas dari peran koperasi, usaha mikro dan usaha kecil. Adalah gejala perubahan dalam kelembagaan masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya perubahan nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola peri kelakuan diantara kelompok-kelompok didalam suatu masyarakat. Struktur sosial mencakup kelompok atau organisasi sosial seperti keluarga, marga, klien, partai, perusahaan dan lain-lain. Sedangkan pola kebudayaan mencakup cara berpikir, nilai, norma, pengetahuan, kesenian, sarana benda-benda dan lain sebagainya.

Tiga tahun pasca tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, konsep dan pendekatan dalam pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban dan masyarakat belum berjalan seperti diharapkan. Bahkah secara umum dapat dikatakan konsep, perspektif ataupun pendekatan yang digunakan masih pola lama, yang menitik beratkan pada pendekatan top down. Untuk itu pemberdayaan atau pembangunan perlu diarahkan oleh suatu paradigma baru yang berakar kepada ide-ide, nilai-nilai, teknik-tehnik sosial, dan tehnologi lokal,

alternative. Logika yang dominant dan perlu dikembangkan dari paradigma baru

tersebut adalah logika ekologi manusia yang seimbang dengan sumberdaya utama berupa sumberdaya informasi dan prakarsa kreatif dengan memberi peran kepada rakyat bukan sebagai objek, tetapi lebih sebagai aktor.

Model pembangunan yang berpusat pada rakyat memiliki paradigma penghidupan berkelanjutan (sustanaible livelihood). Artinya, memahami penghidupan komunitas korban dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan mengembangkan potensi/aset yang dimiliki. Dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan. Potensi yang dimaksud adalah baik yang bersifat material maupun social.

Konsep dasar pengembangan sustainable livelihood ádalah komunitas dipandang sebagai pusat semua kegiatan pembangunan (people-centered), yaitu menempatkan masyarakat sebagai pusat kepentingan, pendekatan menyeluruh sesuai kebutuhan masyarakat, tidak sekedar hasil akhir, tetapi juga proses dan perubahan yang terjadi, penting untuk diperhatikan. Pendekatan ini lebih melihat bagaimana kekuatan dapat dibangun daripada menganalisis kebutuhan (building

on strengths). Adanya keterkaitan makro dan mikro dalam proses perubahan

dan pengembangan (macro-micro link). Pendekatan ini berupaya untuk menjembatani jurang teori dan praktek maupun kebijakan makro dan kegiatan mikro. Pendekatan ini memperhatikan kelangsungan dan keberlanjutan suatu proses dan hasil. Proses dan hasil yang diharapkan adalah melakukan transformasi dari kondisi yang rentan menuju peningkatan yang berkelanjutan.

Paradigma pembangunan ini menyadari pentingnya kapasitas komunitas meningkatkan kemandirian melalui kekuatan internal mereka agar sanggup melakukan kontrol atas sumber daya material dan non-material yang penting melalui redistribusi modal dan kepemilikan Korten (1992) dalam Adimiharja dan Hikmat (2001). Pembangunan yang berpusat pada rakyat memungkinkan keserasian hubungan vertikal dan horisontal yang memberikan peluang terhadap

semua orang bagi terciptanya pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat sesuai dengan konteks lingkungan budaya lokal. Dengan demikian, pembangunan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan derajat keberdayaan komunitas sampai pada keberdayaan yang optimal.

Selain itu, visi berpusat pada rakyat bertumpu pada beberapa nilai eksplisit adalah dalam penggunaan sumberdaya harus ada kesempatan kepada semua orang untuk mendapatkan mata pencaharian pokok, generasi sekarang tidak berhak mengkonsumsi sumberdaya secara berlebihan yang dapat membuat generasi mendatang tidak dapat mempertahankan standar hidup manusiawi yang layak, tiap individu berhak menjadi anggota yang produktif dan berguna bagi keluarga, kelompok dan masyarakat. Kedaulatan ada ditangan rakyat, kekuasaan Negara diberikan oleh rakyat dan karena itu bisa ditarik kembali oleh rakyat.

Perekonomian lokal mesti di diversififikasikan dan bersifat swasembada dalam memenuhi kebutuhan pokok. Rakyat mempunyai hak suara dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi hidup mereka dan pengambilan keputusan harus dilakukan sedekat mungkin dengan tingkat individu, keluarga dan masyarakat. Keputusan-keputusan local harus mencerminkan suatu perspektif global dan pengakuan atas hak dan kewajiban warga global. Preferensi-preferensi kebijakan dalam pembangunan berpusat pada rakyat adalah mengusahakan diversifikasi ekonomi pada semua peringkat ekonomi, dimulai dari rumah tangga dipedesaan, untuk mengurangi ketregantungan dan kerawanan terhadap goncangan pasar sebagai akibat spesialisasi yang berlebihan. Dalam mengalokasikan sumberdaya lokal ditujukan untuk memberikan prioritas kepada produksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk lokal. Tujuannya untuk menciptakan ekonomi lokal, yang terdiri dari unit-unit ekonomi lokal yang swasembada dan saling terkait. Memperkokoh pemilikan local yang beralasan luas dan pengawasan atas sumberdaya-sumberdaya dengan menganut kebijakan yang memberikan kewenangan substansial kepada masyarakat lokal atas semua sumberdaya utama mereka dan kebijakan memberi produsen perorangan kekuasaan atau kepemilikan atas sarana produksi mereka. Mendukung pengembangan organisasi rakyat yang ragam, mandiri, sadar politik dan sukarela yang akan memperkuat partisipasi penduduk secara lansung dalam proses

pengambilan keputusan lokal maupun nasional dan menyediakan lahan latihan yang penting dalam kewarganegaraan yang demokratis.

Visi paradigma berpusat pada rakyat memilih kesejahteraan manusia dan berkelanjutannya lingkungan hidup diatas penambahan dalam masukan ekonomi; pasaran domestic diatas pasaran luar negeri, pembiayaan dan pemilikan local diatas pinjaman dan investasi asing, dan kemadirian dalam bidang ekonomi di atas ketergantungan pada system perdagangan internasional. Visi ini menyambut partisipasi dalam masyarakat global, tetapi dalam posisi dengan kekuatan mandiri. Bukan dengan ketergantungan pada pihak luar. Salah satu prinsip pembangunan yang dianggap penting dan bisa menjembatani proses pemberdayaan komunitas adalah grass-root development yang memiliki akar ideologi popular development atau pembangunan dimulai dari rakyat.

Popular development pada dasarnya adalah pembangunan yang menggunakan prinsip-prinsip learning process. Dalam upaya pembangunan komunitas korban yang berlandaskan atau berpusat pada manusianya, kita sepakat bahwa visi pembangunan berpusat pada rakyat menjadi salah satu alternatif dalam pemberdayaan komunitas di Aceh dalam millennium

development. Memang sudah demikian banyak paradigma dan pendekatan

pembangunan digunakan, masih ada saja kekurangan. Pendekatan pembangunan berpusat rakyat saat ini menjadi harapan dalam proses pembangunan Aceh pasca tsunami. Mungkin saja suatu saat pendekatan inipun terdapat banyak kelemahan.

Suharto (2005) membangun masyarakat memberdayakan rakyat. Menyatakan, bahwa kegiatan pembedayaan ekonomi masyarakat sering kali dengan pendekatan yang digunakan terkesima/mengangungkan konteks lokal. Sedangkan pembangunan sosial, kebijakan sosial, relasi kekuasaan, ketidakadilan gender, ekslusifisme, pembelaan hak-hak publik dan kesetetaraan sosial kurang mendapat perhatian. Seakan-akan komunitas lokal merupakan entitas sosial yang vacuum dan terpisah dari dinamika dan pengaruh sistem sosial yang mengitarinya. Penyempitan makna pemberdayaan masyarakat semacam ini, antara lain, bisa di lihat dari dominannya program-program pemberdayaan ekonomi yang bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro seperti “warungisasi”, “kambingisasi”, “sapingisasi” dan lain-lain.

Lebih jauh menurutnya, tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme tersebut. Hanya saja, tanpa perspektif holistik yang memadukan

kegiatan-kegiatan lokal dengan analisis kelembangaan dan kebijakan sosial secara terintegrasi, pendekatan ini bukan saja kurang efektif melainkan tidak akan

sustainable. Ibarat analogi “ikan dan pancing” meskipun komunitas korban atau target group diberi ikan dan pancing sekaligus, mereka tidak akan berdaya jika

seandainya kolam dan sungai yang ada diseputar mereka telah dikuasai oleh elit atau kelompok kuat.

Maka wajar proses pemberdayaan ekonomi mikro memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan isu-isu lokal dan global. Perlu dipahami bahwa

social development secara luas mencakup ekonomi, pendidikan, kesehatan,

perumahan. Social welfare development bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan economic capital yaitu matapencaharian yang memungkinkan mereka mampu memperolah dan mengelola aset-aset finansial dan material untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai dengan standar kemanusiaan. Human capital merupakan berkembangnya kemanpuan atau kapabilitas intelektual, emosional dan spiritual. Social capital adalah tumbuh dan berkembangnya kepercayaan (trust) di antara berbagai elemen masyarakat. Sedangkan security capital adalah modal perlindungan. Peningkatan kapital in mesti secara terintegrasi dan berkesinambungan.

Salah satu prinsip pembangunan yang dianggap penting dan bisa menjembatani proses pemberdayaan komunitas adalah grass-root development yang memiliki akar ideologi popular development (pembangunan dimulai dari rakyat). Popular development pada dasarnya adalah pembangunan yang menggunakan prinsip-prinsip learning process. Paradigma baru yang menyerahkan kekuasaan cukup signifikan kepada rakyat memerlukan upaya desentralisasi (devolusi) kekuasaan yang cukup kuat dari pusat ke kawasan pinggiran, artinya popular development memberikan ruang gerak lebih leluasa kepada pihak pinggiran (komunitas lokal) untuk mendefinisikan kebutuhan, merencanakan program,dan mengendalikan pelaksanaan program community

development. Kata kunci dalam hal ini adalah pemberdayaan dan partisipasi

dalam pembangunan.

Dengan paradigma penghidupan lokal berkelanjutan (sustainaible rural

livelihood), dipahami bahwa penghidupan masyarakat local dari kondisi yang

rentan menjadi berkelanjutan dengan mengembangkan potensi/aset yang dimiliki dan dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan. Potensi yang dimaksud adalah baik yang bersifat material maupun social. Konsep dasar

pengembangan penghidupan berkelanjtan ádalah: Pertama, masyarakat dipandang sebagai pusat semua kegiatan pembangunan (people-centered), yaitu menempatkan masyarakat sebagai pusat kepentingan. Kedua, pendekatan menyeluruh sesuai kebutuhan masyarakat. Ketiga, tidak sekedar hasil akhir, proses dan perubahan yang terjadi, penting untuk diperhatikan. Keempat, pendekatan ini lebih melihat bagaimana kekuatan dapat dibangun daripada menganalisis kebutuhan (building on strengthts). Kelima, adanya keterkaitan makro dan mikro dalam proses perubahan dan pengembangan (macro-micro

link). Pendekatan ini berupaya untuk menjembatani jurang teori dan praktek

maupun kebijakan makro dan kegiatan mikro. Keenam, pendekatan ini memperhatikan kelangsungan dan keberlanjutan suatu proses dan hasil. Proses dan hasil yang diharapkan adalah melakukan transformasi dari kondisi yang rentan menuju peningkatan yang berkelanjutan (sustainable).

Korten (2001) menunjuk kesalahan konsep yang di pakai selama ini, mengutip Kennetl E. Building ia membedakan dua macam ekonomi; ekonomi koboi dan ekonomi ruang angkasa. Ekonomi Koboi, berlandaskan bahwa sumberdaya alam tersedia secara tidak terbatas. Ekonomi ruang angkasa, bahwa sumnberdaya alam serba terbatas. Maka masalah yang paling menentukan bagi pembangunan pada dasawarsa sekarang ini bukanlah pertumbuhan. Masalahnya adalah transformasi. Transformasi ini harus menyelesaikan tiga persoalan mendasar yaitu keadilan, kesinambungan sumberdaya alam, dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Dengan disentuhnya ke tiga persoalan mendasar ini, maka pembangunan akan merupakan pembangunan berorientasi rakyat. Pembangunan bukan lagi proyek pemerintah yang dipersembahkan kepada rakyat di bawah, atau proyek para pemerintah asing yang memberi pinjaman uang kepada Negara miskin. Pembanguanan merupakan gerakan masyarakat, seluruh masyarakat. Hanya dengan konsep ini pembangunan akan memperhatikan masalah lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan terhadap konsumen, diskriminasi terhadap kaum perempuan, dan masalah perdamaian.

Dari kerangka konseptual sustainable livelihood di atas, implementasi progam pemberdayaan ekonomi lokal komunitas korban semakin mempertajam pada upaya keberlanjutan yaitu dengan konsentrasi pada pelembagaan sistem perencanaan pembangunan. Beberapa strategi yang dilakukan antara lain:

penyelenggaraan pemberdayaan dan pengembangan; kedua, sistem dan lembaga yang telah dibangun oleh komuniats korban bersama LKM tetap dipertahankan dan dikembangan sesuai dengan kondisi dan orientasi pengembangan potensi lokal; ketiga, terdapat dukungan dari Pemda, BRR agar tercipta iklim demokratisasi dan partisipasi, dalam bentuk regulasi di daerah;

keempat, dapat mendorong dan mengembangkan terwujudnya otonomi

gampong serta mendorong terwujudnya kerjasama antar gampong secara nyata dan melembaga; kelima, menggali sumber-sumber pendanaan pemberdayaan secara lebih luas, khususnya dari BRR, Pemda dan lembaga donor lainnya.