• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1 Kondisi Lingkungan Pertanian Lahan Kering

6.1.2 Faktor Eksternal 1) Peluang

a. Meningkatnya harga/permintaan pasar terhadap komoditi pertanian.

Transaksi pemasaran komoditi pertanian dengan pengumpul terjadi di tingkat desa bukan di pasar ibukota Kabupaten Aceh Besar maupun di pasar ibukota Provinsi NAD (Banda Aceh). Berlangsungnya interaksi pasar terhadap hasil pertanian cabe, tomat dan lainnya di tingkat desa karena harga beli relatif sama dengan harga beli di tingkat kabupaten dan Banda Aceh. Dengan demikian petani tidak merlu mengeluarkan biaya transportasi pengangkutan hasil pertanian ke pasar Seulimeum maupun ke Banda Aceh, dalam jumlah kecil maupun jumlah besar.

Alasan yang memperkuat bukti bahwa efektifnya interaksi pasar diambil dari data survei berkesimpulan 100 persen petani memanfaatkan kesempatan pemasaran komoditi pertanian di tingkat pengumpul desa. Barang-barang hasil tani yang dijual untuk pengumpul di desa meliputi palawija; jagung, cabe, tomat, kacang-kacangan dan ubi kayu, sedangkan hasil tanaman tua; pisang, kelapa dan pinang. Untuk kopi dipasarkan langsung ke pasar Seulimeum dan kelapa dalam jumlah melebihi 300 biji diolah secara tradisional menjadi minyak makan, yang dipasarkan untuk konsumen tingkat desa.

Adapun perbandingan harga berbagai komoditi di tingkat desa dengan harga di Banda Aceh perbedaannya sangat sedikit jika petani memasarkan langsung, sebagaimana telah disajikan dalam Lampiran 13. Para pengumpul dapat melakukan kegiatan karena membawa dalam jumlah banyak di samping punya akses ke penjual enceran dan warung yang mampu membeli di atas harga pasar Banda Aceh.

Hasil pertanian holtikultura di wilayah Kabupaten Aceh Besar tergolong rendah atau belum mencukupi sesuai permintaan konsumen, dengan bukti bahwa untuk kebutuhan pasar Seulimeum dan Banda Aceh harus dipasok dari Takengon dan Brastagi (Sumatera Utara). Dapat dipahami bahwa petani lahan kering desa ini tidak perlu bersaing dengan petani dari tempat lain sebab seluruh hasil pertanian mereka selama ini tertampung di tingkat pengumpul. Pengumpul sanggup memebili komoditas pertanian dengan harga tinggi disebabkan meningkatnya permintaan pasar. Harga beli semua jenis hasil pertaian hampir sama pada dua pasar (di desa dan propinsi).

b. Berfungsinya peran Pendamping Teknis (PPL Pertanian).

Petani lahan kering yang menekuni kegiatannya di sektor pertanian tanaman pangan sebenarnya sudah ditempatkan seorang pendamping khusus yakni PPL Pertanian, namun selama konflik tidak bisa menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Kemudian, sejak tahun 2005, PPL pertanian mulai aktif menjalankan fungsi tugasnya dalam Kecamatan Seulimeum termasuk Gampong Lampisang Dayah. Petani lahan kering selama ini kurang memanfaatkan jasanya, karena kebanyakan petani terbiasa mengerjakan lahan secara subsisten, dari pengolahan tanah, pemilihan bibit, pembasmian hama dan penanganan panen. Namun demikian terhadap petani yang melakukan peremajan kebun dengan tumbuhan kelapa dan kopi justru mulai beralih kepada bibit unggul dengan proses penanaman dan pemeliharaan sesuai petunjuk PPL Pertanian.

Dengan demikian secara keseluruhan fungsi pendamping khusus sudah berjalan efektif selama tiga tahun terakhir, namun sangat tergantung pada petani dalam memanfaatkan peluang penyuluhan teknis tersebut. Kesulitan pendamping teknis dalam operasionalnya adalah belum bisa mengumpulkan petani secara berkelompok, karena belum ada suatu kelembagaan petani di Gampong Lampisang Dayah.

c. Adanya program BRR Aceh-Nias untuk pengembangan kelompok tani.

Program BRR Ace-Nias pada awal survei direncanakan untuk pengembangan usaha peternakan lembu Lampung dalam bentuk 2 kelompok secara terpadu dengan petani Gampong Rabo. Kelompok yang akan dibentuk pada tahun 2008, merupakan kelompok tani yaitu kegiatan terpadu antara ternak dengan pertanian, artinya menjadi suatu kesempatan berarti bagi petani lahan kering karena mempunyai manfaat ganda.

Sebagaimana dijelaskan dalam survei, bahwa untuk realisasi bantuan BRR harus melalui prosedur, di antaranya dilakukan pelatihan (training) terhadap anggota kelompok. Semua kegiatan ini tidak memberatkan petani, melainkan suatu peluang memperoleh modal bersama. Dengan adanya program BRR tersebut akan lebih optimis lagi bermunculan investor lokal terhadap kegiatan serupa. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar tentunya akan memberi pendampingan dan menylesaikan jalan lingkar yang tersisa lanjutan pembangunannya sepanjang 800 meter.

72

2) Ancaman

a. Belum terealisasi bantuan permodalan usahatani dari Pengusaha lokal. Selama tiga tahun terakhir aktifnya petani lahan kering khususnya para usahatani perkebunan dan ladang belum ada pengusaha atau sektor swasta yang merencanakan melakukan hubungan kerjasama dalam pemodalan komunitas ini. Pengusaha belum tumbuh kepercayaan (trust) terhadap tanaman kopi, kelapa dan pisang, melainkan keyakinannya menguasai dataran rumput dan hutan seluas 225 hektar (tanah negara) untuk pengembangan sawit.

Dengan alasan demikian, maka pengusaha tidak melepaskan modalnya kepada petani lahan kering, artinya pemilki modal ini sulit dilakukan kerjasama sehingga belum bisa dikembangkan perkebunan rakyat. Oleh sebab itu, petani mulai mengkhawatirkan terhadap modal yang pernah dijanjikan pengusaha, masyarakat desa/luar desa, karena mungkin saja bisa berubah atau mereka mengalihkan kepada kelompok sasaran di desa lain, seperti di Gampong Rabo yang sedang dibina ORNOP.

Argumen ini sangat mendasar, karena terdapat beberapa organisasi lokal tingkat Kecamatan Seulimeum yang sedang dilakukan pembinaan/ pelatihan oleh pihak donatur asing yaitu USAID (United States of Agency international

Development). Program yang diperkenalkan USAID sangat efektif yakni Training OPERACY (pengembangan masyarakat) dengan sasaran proyek adalah

pengembangan kawasan terpadu sektor pertanian dan peternakan, sebagaimana telah sukses dilakukan di Kawasan Terpadu Sawang, kabupaten Aceh Utara. Yang mengancam petani desa ini bukan persoalan pembinaan, tetapi dikhawatirka bahwa investasi swasta akan terselisasi ke petani lain.

b. Pemda Kabupaten Aceh Besar tidak melakukan pengawasan terhadap Pennyelenggaraan Musrenbangdes.

Pasca bencana Tsunami, yakni sejak tahun 2005 sampai 2006 konsentrasi pembangunan Aceh Besar lebih diprioritaskan pada penanganan korban tsunami. Kemudian dan pasca perdamaian RI-GAM, yakni sejak tahun 2007 penanganan reintegrasi GAM. Dengan demikian pada tahun 2006-2007 petani lahan kering desa ini belum pernah mendapat bantuan modal maupun bantuan lain disebabkan keterbatasan anggaran (APBK), pembangunan dimaksimalkan untuk penyelesaian dua persoalan di atas, artinya ketika itu pola

Menurut mekanisme Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, sebenarnya Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mulai melakukan penjaringan aspirasi masyarakat termasuk gampong Lampisang dayah melalui wadah musrenbangdes. Prosedurnya pada bulan September 2007 seluruh hasil musrenbangdes dimaksud telah dibawa Camat seulimeum dan tertampung dalam penyelenggaraan musrenbang kabupaten untuk disusun dalam APBK Tahun 2008. Kewajiban ini tidak diketahui oleh seorangpun di kalangan petani lahan kering, artinya perencanaan pembangnan tersebut belum dilakukan secara pola

bottom-up.

Jika ditinjau dari aspek pemberdayaan, ketidakterlibatan objek pembangunan dalam proses perencanaan secara utuh dari penyusunan perencanaan sampai tahan evaluasi akan menghambat pengembangan masyarakat sebab plafon pembangunan kurang menyentuh kelompok sasaran. Pola bottom-up planing masih asing bagi petani Gampong Lampisang Dayah, sehingga realitanya mereka belum mampu mengembangkan usaha pertanian secara maksimal , padahal sumber daya alam mendukung.

Ketika penulis melakukan pengamatan, mereka belum menemui suatu solusi bagaimana agar setiap penyelenggaraan musrenbangdes dan musrenbang bisa melibatkan petani, sehingga pembangunan sektor pertanian tidak lagi menerapkan top-down planing. Peran pemerintah daerah dalam koridor desentralisasi diharapkan tercipta sistem penguatan ekonomi petani melalui pendekatan partisipatif, yaitu keberfungisan subjek pembangunan (Pemerintah) dan objek pembangunan (masyarakat) secara bersama-sama menyusun rancangan pembangunan, dengan tujuan agar realisasi kegiatan tepat sasaran.

Berdasarkan berbagai aspek yang dimunculkan dari faktor internal dan eksternal yang telah dianalisis di atas berarti sudah didapati kekuatan serta peluang di lingkungan operasioanl petani dan sudah terungkap juga kelemahan serta ancaman terhadap petani lahan kering. Guna mengetahui eksistensi faktor internal dan eksternal beserta unsur masing-masing faktor dimaksud. Tabel 22 berikut ini akan disusun dalam sebuah rancangan strategi yang diaplikasikan pada matriks analisis SWOT :

74

Tabel 22 Matriks Analisis SWOT Pemberdayaan Petani Lahan Kering

Dokumen terkait