• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1 Kondisi Lingkungan Pertanian Lahan Kering

6.1.1 Faktor Internal 1) Kekuatan

a. Tersedia lahan kering yang luas untuk usaha pertanian dan ternak.

Sumber daya alam meliputi luas lahan kering 524 hektar, terdiri lahan ladang 21,95 persen, lahan kebun 9,16 persen, dataran 19,08 persen, hutan warga 6,87 persen dan padang rumput 25,76 persen serta hutan negara 17,18 persen. Berbagai jenis lahan di wilayah ini didukung sumber air (mata air) serta mudah memperoleh air sumur untuk kepentingan pertanian maupun peternakan. Sumber daya alam di yang mendukung kegiatan penggembalaan adalah ketersediaan padang rumput yang luasnya mencapai 135 hektar atau ¼ dari total luas lahan kering desa ini. Secara tupografi, padang rumput dimaksud sangat mendukung ternak karena terdapat sungai Krueng Glee sebagai sumber air dan terdapat mata air di beberapa tempat.

Ketersedian potensi SDA merupakan suatu unsur kekuatan petani dalam peningkatan produktivitas usaha, di samping kuatnya dukunga unsur lain, yakni kecocokan suhu untuk pertanian. Aspek kecocokan lahan dengan area padang rumput yang menyediakan kecukupan pakan ternak dengan menunjukkan potensial kekuatan, ditambah lagi dukungan hutan yang memiliki sumber mata air dan sungai di tengah hutan. Dengan tersedianya lahan padang rumput yang luas, sampai saat ini petani tersebut tidak merasakan perlunya budidaya rumput untuk kebutuhan ternak gembalaannya dalam jumlah sekitar 200 ekor sekalipun. Dengan demikian, SDA paling strategis dan erat kaitannya pada tingkat peningkatan produktivitas ternak, sekaligus merupakan suatu unsur pendukung petani atau prospek lahan kering untuk dilakukan peternakan secara berkelompok maupun penggemukan lembu jantan.

Di sektor pertanian tersedia lahan ladang 115 hektar sekitar 16 persen dari total lahan kering, berpotensi bagi usaha tanaman palawija. Kemudian

66 tersedia lahan kebun, dataran dan hutan lebih dari 154 hektar yang berpotensi juga untuk digarap sebagai perkebunanan. Penggunaan lahan ini tidak tergolong proses ekstensifikasi, karena memang lahan perkebunan yang pernah digunakan sebelum konflik. Seluruh lahan kering ini memiliki tingkat kesuburan yang tinggi artinya cocok dilakukan intensifikasi. Dalam sektor pertanian, mereka memperoleh penghasilan dari kebun kelapa, pinang kopi dan kopi tetapi produksinya agak rendah karena faktor usia tumbuhan. Petani yang telah melakukan peremajaan kebun khususnya kelapa dan kopi dengan bibit hibrida, tetapi belum dapat menikmati hasil dalam tiga tahun pertama.

Dilihat dari aspek geografis, pada ketinggian 11 meter di atas permukaan air laut dengan suhu wilayah antara 25°C sampai 28°C dapat dimakani bahwa lahan kering desa ini merupakan potensi ekonomi terhadap pengembangan pertanian kopi, kelapa dan pisang. Keterbatasan lahan kering mencapai 524 hektar dan mejadi suatu kekuatan yang dapat menyediakan lapangan pekerjaan terhadap 60 kepala keluarga. Secara umum, lahan kering 524 ini strategis karena di samping tingginya kesuburan untuk penanaman palawija, daerah ini terjangkau trasportasi dengan jalan lingkar.

b. Kuatnya hubungan dan kerjasama di kalangan petani lahan kering

Kerjasama petani lahan kering sudah terjalin baik terutama terbukti dalam pembangunan jalan lingkar dari arah Timur desa ke Selatan melintasi lokasi perkebunan petani hingga tembus ke arah Barat desa. Kebersamaan dan kerjasama petani lahan kering ini modal sosial unsur pendukung terhadap pertumbuhan kegiatan lainnya yang merupakan keterpaduan usaha sektor petani penggarap lahan pertanian dengan petani penggembala. Modal di sini adalah suatu kekuatan untuk membuat kelompok tani yang bergerak di dua sektor sekaligus, seperti ditawarkan BRR Aceh-Nias, pada saat dilakukan survei rencana pengembangan peani lahan kering desa ini.

Yang menguatkan keberadan petani inni adanya kerjasama yang yang dirintis bersama pengusaha dalam penyediaan modal ternak dan kesepakatan mengenai pola bagi hasil. Proses kerjasama akan terjalin lebih kuat jika investasi yang disalurkan pemilik modal dapat dikembangkan. Artinya memungkinkan akan timbul kepercayaan (trust) pihak pengusaha untuk melakukan kerjasama dengan petani yang belum memperoleh modal usaha.

Akhir tahun 2007 komunitas petani lahan kering desa ini sedang melakukan negosiasi dengan organisasi donatur pengembangan daerah yaitu

BRR Aceh-Nias dalam batas survei proyek sektor pertanian. Rencana kerjasama berupa pembentukan kelompok tani untuk beternak lembu. Selanjutnya mereka juga dalam penjajakan hubungan dengan beberapa ORNOP yang sedang beroperasi di Aceh Besar. Dasar kerjasama inilah dapat dikatakan mengalami perkembangan interaksi sosial.

c. Tersedia jalan lingkar sebagai infrstruktur pendukung kegiatan pertanian. Setiap dilakukan pengembangan wilayah dan pembangunan daerah tertentu, jalan merupakan infrastruktur terpenting untuk kelancaran trasportasi. Kemudian, dengan tersedianya infrasruktur akan mudah meyakinkan investor untuk meberi modal di sektor pertanian khususnya bag desa ini. Sehubungan dengan prioritas tersebut, pada awal tahun 2007 komunitas petani lahan kering dengan partisipasi penuh seluruh warga masyarakat Gampong Lampisang Dayah telah berhasil melaksanakan pembangunan jalan lingkur melintasi wilayah perkebunan dan peladangan sepanjang 500 meter, dari rencana seluruhnya 1.300 meter.

Jalan ini sangat mendukung dalam kegiatan petani khususnya pada pengangkutan hasil panen, karena dapat dijangkau kendaraan roda empat. Manfaat jalan lingkar ini dapat diprediksikan akan lebih meningkat lagi pada akhir tahun 2008, jika Pemerintah Kabupaten Aceh Besar berhasil merealisasikan peyelesaian 800 meter lagi sehingga tembus ke jalan irigasi pertengahan sawah desa ini.

2) Kelemahan

a. Keterbatasan modal untuk pengembangan usahatani perkebunan.

Ketersediaan modal merupakan landasan utama dalam pengembangan ekonomi, baik modal sendiri masing-masing kepala keluarga mapun investasi swasta. Untuk memperoleh investasi dari pihak lain tentunya membutuhkan suatu kerjasama dan jika pengusaha berkeyakinan terhadap prospek pertanian setempat serta memperhatikan kinerja petani. Berhubung di kalangan petani lahan kering desa ini belum mampu akses kepada pemilik modal di luas desa, maka pekerjaan pertanian selama ini hanya menggunakan modal sendiri yang tergolong kecil, sehingga belum mampu mengembangkan sektor pertanian dalam skala besar seperti peremajaan kebun kopi dan kelapa sebagaimana telah dilakukan 2 petani terhadap 1,4 hektar lahan kebun.

68 Persoalan modal bagi usahatani perkebunan sebenarnya memerlukan investasi pihak lain terutama untuk mengelola lahan secara intensifikasi tentunya butuh biaya guna penerapan teknologi. Untuk memakai air tanah sebagai sumber air memerlukan biaya penggalian dan sistem pengairan sederhana terhadap mata air yang telah ada. Demikian juga dengan kebutuhan modal untuk pengadaan alat pengolah tanah serta peralatan lainnya yang efektif dan sederhana.

Dengan demikian para petani ini belum bisa meningkatkan penghasilan karena kapasitas usaha tidak ditingkatkan dari aspek intensifikasi lahan sebelumnya maupun rencana perluasan penggarapan lahan tetangga, lahan pinjam pakai dan sebagainya yang masih tersedia di wilayah ini.

b. Keterbatasan pengetahuan petani tentang usahatani dan ternak.

SDM petani lahan kering sangat terbatas namun kaitannya bukan disebabkan rendahnya tingkat pendidikan formal mereka, yang rata-rata berlatar belakang pendidikan maksimal SLTP. Pengaruh terbesar terhadap rendahnya kemampuan atau pengetahuan mereka dalam bidang pertanian dan kegiatan sosial lainnya dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial budaya. Misalnya faktor tidak berminat mempelajari dari pengalaman petani sebelumnya, atau pengetahuan lokal yang dimiliki tokoh setempat dan melalui diskusi sesama petani ataupun melalui jasa pendamping teknis yang datang secara berkala ke desa ini.

Kemudian, pemerintah Kabupaten Aceh Besar memang belum memprioritaskan mereka dalam upaya meningkatkan SDM melalui pelatihan bidang pertanian. Secara keseluruhan perlu penigkatan SDM terhadap petani lahan kering, apalagi mengingat pada tahun 2008 direncanakan akan dikucurkan dana BRR dalam bentuk kelompok tani. Oleh sebab itu rendahnya sumberdaya manusia atau suatu kelemahan yang merupakan kelalaian yang bisa diperbaiki jika bisa digunakan peluang yang ada di sekitarnya, tidak mesti harus pendidikan formal amaupun pelatihan teknis dari pemerintahan.

Menjadi modal sosial yang paling berharga adalah SDM yang jenisnya pengetahuan lokal dalam menghadapi segala problema kondisi hutan, penanggulangan hama penyakit, pengusiran binatang buas dan kemampuan meramal (prediksi) terhadap fenomena alam, semua ini dikuasai pawang. Potensi SDM ini tidak efektif dalam pengembangan ekonomi, karena tidak mampu meningkatkan pendapatan usahatani. Namun demikian, secara keseluruhan

pengetahuan mengenai usahatani masih rendah, sesuai dengan data survei menyimpulkan belum menguasai pekerjaan pertanian secara tepat.

c. Belum menggunakan peralatan teknologi pertanian dalam kegiatan usahatani. Dalam keseluruhan kegiatan pertanian tidak ditemukan aplikasi teknologi tepat guna kecuali peran mantri hewan dalam melakukan inseminasi buatan (IB), itupun lebih diprioritaskan terhadap pengembangan penggembalaan. Kurangnya penerapan teknologi pertanian atau penggunaan peralatan teknologi ada kaitannya dengan tingkat pendidikan atau karena rendahnya pemahaman akan besarnya manfaat penggunaan peralatan teknologi pertanian.

Untuk menerapkan teknologi dalam pelaksanan kegiatan petani, perlu meningkatkan SDM terlebih dahulu, atau pelatihan tenaga kerja sebagai mobilisator terhadap aktivitas usahatani. Teknologi di tingkat petani adalah teknologi rendah seperti alat pengolah hasil pertanian kelapa dalam mengolah minyak, pengurai sabut kelapa dan sebagainya dengan mengandalkan kemampuan SDM dan tenaga kerja setempat.

Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar belum pernah memperkenalkan teknologi tepatguna dalam usahatani desa ini. Berdasarkan informasi, Pemerintahan Provinsi NAD melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa sebenarnya memiliki program Pengenalan Teknologi Tepat Guna (TTG) dengan berbagai peralatan teknologi sederhana untuk pertanian, namun belum pernah dilakukan terhadap petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah.

Bahwa perlunya petani mengenali TTG berkaitan dengan ketersediaan bahan baku yang dihasilkan tetapi tidak tepat penggunaannya. Pengolahan minyak kelapa secara tradisional menyebabkan rendahnya kualitas, sehingga tidak diminati konsumen lokal sekalipun. Demikian juga di sektor ternak, padahal tersedia pupuk kompos dari kandang ternak, tetapi tidak bisa diolah akhirnya terbuang. Ketertinggalan dalam hal teknologi ini terindikasi dari data survei bahwa usahatani palawija justru tertinggal dalam pemilihan bibit dan pemeliharaan sehingga rendahnya kualitas hasil panen. Dengan demikian perlu diterapkan teknologi pertanian, pertama sekali terhadap usahatani jenis palawija di lahan ladang.

70

6.1.2 Faktor Eksternal

Dokumen terkait