• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT DAN PERTANIAN LAHAN KERINGDAN PERTANIAN LAHAN KERING

2) Jejaring Sosial

Secara horizontal, hubungan sesama komunitas petani lahan kering dalam desa ini berjalan normal, terutama diantara warga tani saling ketergantungan menjalankan aktivitas seperti pelaksanaan gotongroyong, silaturrahmi dan saling meminjamkan peralatan pertanian dan sebagainya. Keterkaitan antara petani dengan pemuka masyarakat dari pelapisan sosial di atas perlu diperhatikan dengan teliti disini.

Berdasarkan pandangan tersebut dapat di analisis jaringan sosial yang terbangun dikalangan penggembala tidak hanya dalam komunitasnya dan dengan masyarakat desa saja melainkan secara vertikal telah terjalin relasi sampai ke luar kabupaten, bahkan ke ibukota Propinsi NAD. Hal ini mencerminkan keberadaan struktur sosial mengalami kemajuan, dengan argumen yakni mampu mengembangkan kehidupan ekonominya melalui jaringan sosial, tetapi tidak terjadi pada kebanyakan keluarga petani lahan kering. Jejaring ini lebih kuat pada kalangan pemuda, tokoh masyarakat dan personal yang mempunyai relasi kuat di luar Kabupaten Aceh Besar dan ibukota propinsi bahkan.

4.1.5 Kelembagaan dan Organisasi

Adapun berbagai organisasi sosial yang berperan di Gampong Lampisang Dayah saat ini antara lain karang taruna, olahraga, pemuda, dana sosial kematian, dalail qairat dan Kejrun Blang (Urusan Sawah). Kejrun Blang mengurus persoalan pertanian di sawah, tetapi tidak menangani urusan, peladangan dan perkebunan karena dua hal ini secara adat ditangani oleh Peutua Seunebok (pimpinan kegiatan perkebunan dan peladangan), akan tetapi di Gampong Lampisang Dayah tidak terbentuk/belum mengenal kelembagaan dimaksud. Lembaga formal perangkat desa telah terisi penuh dan berjalan lancar kembali sejak tahun 2006, setelah lima tahun tidak terisi struktur tersebut. Dalam hal pembangunan sektor pendidikan ditemui sebuah yayasan yang mengurus pendidikan anak, yakni Taman Kanak-Kanak.

Sehubungan dengan belum terbentuknya kelembagaan adat Seuneubok maka pekerjaan pertanian, perkebunan dan penggembalaan ternak di atas lahan kering maka saat ini belum terorganisir kerukunan kegiatan. Sektor penggembalaan dilihat dari kerjasama, norma yang berjalan telah menunjukkan gejala atau indikasi akan terbentuknya suatu kelembagaan. Dengan demikian kelembagaan petani lahan kering belum bisa terbentuk, namun potensi untuk menggerakkan mereka sangat

30

memungkinkan jika dilihat dari kekuatan peta kelembagaan desa selama ini. Berikut organisasi yang aktif formal dan informal dengan jumlah personal yang terlibat, yaitu :

Tabel 6 Jenis Organisasi dan Kepengurusan

NO. NAMA ORGANISASI BIDANG/ JENIS KEGIATAN KENGURUSAN/ ANGGOTA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Bungong Ban Keumang Tunas Muda

-

Kejrun Blang Nurul Fajri (yayasan) Kesatuan Pemuda Dala’il Qairat

Sosial/karang taruna Olahraga/bola kaki Sosial/dana kematian Pertanian urusan sawah Pendidikan/TK Pemuda/- Agama/- 72 orang 45 orang 76 orang 31 orang 11 orang 73 orang 67 orang

Diadaptasi dari Monografi Desa Tahun 2007

Setiap dikatakan suatu kelembagaan jika di dalam operasionalnya memiliki pola hubungan dan pola norma, maka organisasi kemasyarakatan dengan berbagai bidang atau jenis di atas pasti tersirat unsur pola dimaksud. Hal semacam ini terjadi pada anggota organisasi sosial seperti; karang taruna, kesatuan pemuda, dalail qairat dan olahraga, padahal orang yang di luar secara automatis diakui juga sebagai anggota saat kegiatan berlangsung. Kemudian kontrol sosial terhadap pengurus ; karang taruna, olahraga, yayasan dan dala’il qairat sangat peka setiap ada asumsi penyelewengan wewenang dan keuangan yang dikelolanya.

Dengan eksistensinya berbagai kelembagaan di desa ini, telah terjadi juga berbagai perubahan ke arah kemajuan maupun ketidakpercayaan masyarakat. Kemajuannya terbukti dengan kuatnya persatuan unsur pemuda, lancarnya penyaluran air tersier irigasi, hubungan antar desa dalam bidang keagamaan seperti

dala’il qairat. Sedangkan rasa pesimis dan ketidakpercayaan masyarakat yakni

dalam pengumpulan dana sosial kematian, terbukti dari pernah mundurnya anggota dari 91 kepala keluarga menjadi 76 kepala keluarga. Sejauh analisis penulis, permasalahannya adalah pada kekurangpahaman anggota dengan pola mekanisme penggunaan dana, artinya perlu suatu pertanggungjawaban keuangan yang lebih transparan .

Sumberdaya Lokal

Pembahasan sumberdaya lokal ini akan dijelaskan dalam dua dimensi terpisah, yaitu hubungan penduduk dengan keberadaan lahan agraris dan hubungan penduduk dengan sumber daya lokal lainnya termasuk sumber daya manusia dalam pengetahuan dan kearifan lokal. Pemisahan ini dilakukan karena ditemui dua dimensi sumber daya lokal yang amat berpotensi di Gampong Lampisang Dayah. Pertama ketersediaan SDA dengan luasnya lahan kering yang dapat menjamin kesinambungan usahatani, kedua pengalaman peternak secara tradisional (penggembalaan) yang mampu menyesuaikan diri dengan eksistensi SDA dimaksud.

Sumber daya lokal yang berbentuk fisik jelas terlihat dari keberadaan lahan kering yang potensi bagi pengembangan petani, lain halnya dengan sumber daya manusia yang memilki pengetahuan dari pengalaman secara turun temurun yang disebut dengan pawang. Potensi pawang ini menjadi modal sosial dalam pengembangan perkebunan dan penggembalaan, karena mampu menafsirkan fenomena alam terhadap pekerjaan pertanian dan ternak. Hubungan penduduk dengan ketersediaan lahan, dilihat dari jumlah penduduk menunjukkan 60 kepala keluarga bermatapencaharian sektor pertanian lahan kering memiliki lahan kering seluas 524 hektar. Interpretasinya bahwa sebenarnya perkeluarga bisa menggarap sampai 8 hektar lahan kering, merupakan suatu sumberdaya alam yang paling luas.

Hubungan peduduk dengan SDA khususnya menyangkut pengetahuan lokal petani merupakan modal dalam pembangunan sektor pertanian. Pengetahuan lokal yang dimaksud di sini adalah kemampuan melakukan pekerjaan penggembalaan secara tradisional dengan penguasaan lahan yang luas tetapi mampu menghadapi masalah hutan, binatang buas, teknis penanganan kesehatan ternak, semuanya berlangsung secara alamiah yang dijalankan sesuai petunjuk keahlian pawang. Potensi agraris dengan tupografi lembah, hutan, dataran serta kemampuan pawang menguasai kondisi alam merupakan sumberdaya lokal yang dimiliki desa ini sampai sekarang. Diprediksikan bahwa peran pawang selama ini secara pribadi, suatu saat akan meningkat/dipercaya petani menjadi Peutua Seuneubok, jika lembaga itu terbentuk kembali sesuai dengan adat.

Masalah Sosial dan Konflik

Permasalahan sosial yang menonjol dalam masyarakat petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah yang pernah terjadi adalah ekses pembangunan irigasi teknis yang ternyata hanya dapat mengaliri 30 hektar sawah. Dampak yang

32

ditimbulkan adalah tidak dapat memberi kontribusi bagi kesejahteraan petani desa ini. Akibatnya, 60 KK petani tidak konsentarsi lagi pada lahan sawah yang tidak terjangkau irigasi dan beralih pekerjaannya pada penggarapan lahan kering dengan kegiatan pertanian dan peternakan.

Pada tahun 1994 mereka ini justru melakukan perluasan lahan kering dengan membuka kebun di atas tanah negara. Pola peladangan liar (nomaden) yang menggunakan lahan untuk beberapa kali musim tanam oleh petani lahan kering ini tidak berlangsung lama karena masuknya proyek HTI. Aksi petani dengan membuka lahan hutan (menebang kayu) dimaksud dianggap bertentangan dengan norma adat desa, artinya menunjukkan bukti bahwa tindakan ini dilakukan secara kekerasan sebagai aksi protes terhadap pemerintahan pasca pembangunan irigasi teknis.

Kesenjangan sosial tersebut telah berlangsung selama 13 tahun namun tidak menimbulkan konflik terbuka, karena petani menyadari bahwa pembangunan irigasi bukan kehendak masyarakat setempat, tetapi kebijakan Pemerintah Provinsi NAD. Konflik dan frustasi ini tidak mencuat karena menurut survei, tindakan petani membiarkan sawah terlantar seluas 105 hektar merupakan bagian dari simbol protes kekecewaannya terhadap kebijakan. Komplik sosial ini tidak muncul kepermukaan sehingga tidak terjadi tindakan anarkis terhadap sarana irigasi yang telah selesai dibangun akhir tahun 1994.

Pengelolaan bahan galian–C di sungai Krung Inong pada tahun 1994 pernah mengalami konflik antara warga dengan perusahaan penggali dan penglah galian-C yang tidak memperhatikan kebutuhan warga. Ekses penggalian tersebut yakni berakibatkan kekeringan air sumur warga sehingga pernah terjadi konflik antara warga dengan perusahaan yakni meminta dengan paksa perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan warga khususnya terhadap petani kebun dan ladang. Penyelesaian konflik yang dimediasi Wakil Gubernur Provinsi NAD tahun 1998, perusahaan tersebut telah menyetujui permintaan warga, di antaranya terlaksana perbaikan jalan desa sepanjang 125 meter tahun 1999, menampung tenaga kerja dari desa ini tahun 2001, membantu pembuatan jalan lingkar pada tahun 2006.

Program yang dijanjikan ke depan adalah perbaikan infrastruktur sumber air dari mata air. Ketika penulis melakukan pengamatan di desa ini, bahwa kedua jalan tersebut telah terbangun, tetapi perusahaan belum memenuhi janji mengenai pembangunan infrastruktur penampungan air dari sumber mata air. Dengan demikian, permasalahan konflik telah dianggap selesai, namun mengenai pengembangan masyarakat belum sepenuhnya terealisasi.

Pengembangan Lahan Kering

4.2.1 Deskripsi Kegiatan Petani Lahan Kering

Dari 120 kepala keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah, 98 kepala keluarga menekuni pekerjaan sebagai petani, di antara petani dimaksud terdapat 60 kepala keluarga (61,22 %) bersumber penghidupan pertanian pengelolaan lahan kering peladangan, perkebunan dan dataran (padang rumput). Petani lahan kering ini muncul karena ekses pembangunan irigasi teknis sekaligus tidak memiliki akses terhadap lahan sawah irigasi seluas 30 hektar. Petani lahan kering tersebut sebenarnya ada yang memiliki lahan sawah, tetapi merupakan lahan sawah tadah hujan (rainfed), yaitu di anatar lahan sawah seluas 105 hektar. Lahan sawah rainfed tersebut tidak mereka manfaatkan setelah beberapa musim tanam mengalami kegagalan panen disebabkan rendahnya curah hujan. Ekses kekecewaan inilah sejak tiga tahun terakhir lahan sawah rainfed ditelantarkannya dan komunitas petani ini beralih pekerjaannya pada penggarapan lahan kering yang dimilikinya.

Lahan kering seluas 524 hektar terdiri dari ladang, kebun, hutan dan dataran. Lahan ladang dan kebun dengan luas 163 hektar terletak di sebelah Utara dan Selatan, sedangkan hutan (tanah negara) seluas 90 hektar terletak di bagian Selatan. Di lahan hutan tersebut terdapat dataran 135 hektar menjadi lahan pengembalaan ternak. Dataran seluas 225 hektar tersebut tidak pernah dimanfaatkan sebagai sumber lahan pertanian, akan tetapi di waktu sebelum tahun 1998 dan setelah tahun 2004, dataran 135 hektar dipergunakan petani untuk lahan penggembalaan ternak kerbau dan lembu.

Petani lahan kering yang memiliki kemampuan dalam pekerjaan penggembalaan sangat terbatas karena aktivitas ini memerlukan pengetahuan lokal

(local knowledge) tersendiri dalam beternak. Pengetahuan yang dibutuhkan adalah

termasuk teknis penggembalaan dan penguasaan hutan dan pergunungan. Oleh sebab itulah maka kebanyakan petani lahan kering tidak bergerak di sektor penggembalaan namun hanya menempuh pekerjaan penggarapan lahan pertanian. Pertanian yang mereka tekuni sesuai dengan kondisi tanah yakni meliputi penanaman pohon kopi, kelapa, pinang dan pisang di kebun, untuk lahan peladangan ditanami tanaman jagung, ubi, cabe, tomat dan kacang.

Prestasi dan kerjasama petani lahan kering yang telah terealisasi adalah prakarsanya dalam pembuatan jalan lingkar dengan lebar tiga meter sepanjang 500 meter dari rencana seluruhnya 1.300 meter. Posisi bangunan sarana jalan yang dibangun secara swadaya petani lahan kering dan partisipasi aktif seluruh lapisan

34

masyarakat desa bisa menjangkau lokasi peternakan, perkebunan/ ladang sebelah selatan. Target pembanguan infrastruktur jalan ini sampai dapat menghubungkan antara desa sebelah Timur dengan jalan irigasi, sehingga mempermudah aktivitas pertanian masyarakat desa secara keseluruhan.

Dokumen terkait