• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF J A I L A N I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF J A I L A N I"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING

MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF

Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum

Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

J A I L A N I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.

Bogor, 22 Februari 2008 J a i l a n i NRP. I354060055

(3)

JAILANI. Strategy and Programs for the Strengthening Economy of Dry Land Farmers through Participative Approach, a Case Study in Gampong Lampisang Dayah, Seulimeum subdistrict, Aceh Besar Regency, Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under the Guidance of Yusman Syaukat as the chairman and Sarwititi S. Agung as the member.

Out of 120 heads of family in Gampong Lampisang Dayah, 60 of them are dry land farmers with farming and herding activities. Farming system conducted in unirrigated agricultural fields depends very much on the rainy season and still uses the subsistent pattern. The main problem the dry land farmers facing is their inability to improve their welfare due to the limited knowledge on managing dry land. The aim of this study is to estimate the level of farmers’ welfare based on per capita income and to evaluate the success of the activities in utilizing the dry land.

Dry land farmers in Gampong Lampisang Dayah have the potential to develop farming because the dry land covers an area of 524 hectares, the availability of technical assistance, and the high demand for agricultural products. The productive aged people in this village are about 70.12 percent, while the productive heads of family are around 94.12 percent. The weakness is that social relationship pattern among dry land farmers is still limited to horizontal cooperation, and the network with other institutions has not been established.

The activities of dry land farmers are planting the second crop on unirrigated land and raising old plants in the garden, and there are 4 family heads herding buffaloes and cows on 135 hectares of grassy land. The ownership of dry land is averagely 0.6 hectares with an average monthly income of Rp1,083,581, and monthly outcome of Rp Rp691,318. The analysis result of the welfare level of dry land farmers by referring to the figures of per capita income of poverty line in Aceh Besar Regency showed that 47.06 percent of family heads were categorized as poor with the indicator being unable to meet their basic needs.

Efforts to improve the welfare of dry land farmers can be carried out with a number of problem solving strategies through SWOT analysis. By utilizing the strength of farmer community and the opportunity in their environment, it is expected they can minimize their weaknesses and prevent the possible threats. Strategy analysis was successful in designing 20 programs for the empowerment of dry land farmers. The recommendation is that it is necessary for the government of Aceh Besar regency, local businessmen and dry land farmers to involve themselves in the activities of empowerment.

Keywords: Strengthening the Economy of Farmers, Dry Land, Participative Approach

(4)

JAILANI, Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui

Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Komisi Pembimbing adalah Yusman Syaukat sebagai ketua dan Sarwititi S. Agung sebagai anggota.

Dengan bergulirnya Otonomi Daerah (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999) dan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Provonsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka semakin luas kewenangan dalam pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, kembali menata sistem pemerintahan daerah dalam Provinsi NAD sampai pada tingkat paling bawah yakni pedesaan. Untuk menjalankan pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up), pemerintah daerah merujuk pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional, di antaranya penjaringan aspirasi masyarakat melalui jalur musrenbangdes dan musrenbang.

Dari 120 kepala keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah, 60 kepala keluarga di antaranya adalah petani lahan kering dengan kegiatan pengolahan lahan pertanian dan penggembalaan ternak. Usahatani yang dilakukan di ladang sangat tergantung pada musim hujan (rainfed) dan sistem pertanian masih menganut pola subsisten. Karakteristik pertanian subsisten yakni rendahnya pengetahuan tentang pengolahan tanah, belum menerapkan teknologi pertanian, permodalan yang kecil dan tidak memiliki akses pasar yang lebih luas. Akibat dari permasalahan subsisten inilah, sehingga petani lahan kering tdak berkemampuan meningkatkan pendapatan akhirnya rendahnya kesejahteraan hidup keluarga.

Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah, potensi lahan kering dan profil petani lahan kering dengan menganalisis tingkat kesejahteraan petani berdasarkan tingkat pendapatan perkapita. Selanjutnya mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pertanian dan peternakan terhadap pemanfaatan lahan kering. Pada bagian akhir kajian ini untuk upaya pemberdayaan, merumuskan rancangan strategi dan program pengembangan petani lahan kering. Kegunaan dari kajian diharapkan antara lain menjadi suatu masukan bagi pihak berwewenang dalam pengambilan keputusan terhadap penanggulangan kemiskinan petani lahan kering berdasarkan program yang telah dirancang.

Petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah dilihat dari faktor internal mempunyai beberapa kekuatan untuk mengembangkan usahatani, di antarannya memiliki potensi lahan kering relatif luas mencapai 524 hektar. Adanya dukungan pendamping teknis dan tingginya permintaan pasar terhadap hasil pertanian. Hubungan kerja sesama petani lahan kering sudah menunjukkan suatu jejaring sosial tapi belum berkembangan terhadap institusi luar komunitas. Penduduk usia produktif desa ini mencapai 70,12 persen, sedangkan kepala keluarga petani lahan kering usia produktif mencapai 94,12 persen. Kelemahannya yakni pola hubungan sosial petani lahan kering masih terbatas kerjasama horizontal, belum tercipta jaringan kerja terhadap institusi luar sehingga belum memiliki akses kepada sumber modal dan belum mengaplikasikan teknologi tepat guna untuk kegiatan pertanian dan pengolahan hasi pertanian.

(5)

berupa dukungan pendamping teknis meliputi peran PPL Pertanian dan mantri hewan. Tahun 2007 munculnya program Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias membentuk kelompok petani lahan kering dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Akan tetapi menjadi suatu ancaman bagi justru pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah tidak melibatkan petani lahan kering, termasuk dalam penyelenggaraan musrenbangdes maupun musrenbang. Hal ini diperlukan supaya bisa menampung aspirasi masyarakat petani sebagai implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang nenekankan

pola bottom-up planing.

Kegiatan petani lahan kering secara rutin hanya pada tiga sektor yakni usahatani palawija seperti jagung, cabe, tomat, kacabg dan ubi kayu di ladang dan tanaman tua kopi, kelapa, pisang dan pinang di kebun. Komunitas petani lahan kering desa ini hanya 4 kepala keluarga di antaranya melakukan kegiatan penggembalaan ternak kerbau dan lembu di atas 135 hektar lahan dataran rumput. Kepemilikan lahan kering rata 0,6 hektar dengan pendapatan rata-rata Rp1,083,581 perbulan, dan pengeluaran Rp691,318 perbulan. Hasil analisis tingkat kesejahteraan petani lahan kering, merujuk pada angka pendapatan per kapita poverty line Kabupaten Aceh Besar diketahui 47,06 persen kepala keluarga tergolong miskin dengan indikator tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga.

Upaya peningkatan kesejahteraan hidup petani lahan kering dapat dilakukan beberapa strategi pemecahan masalah melalui analisis SWOT dan FGD bersama petani lahan kering, unsur Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan BPM Kabupaten Aceh Besar. Dengan memamfaatkan kekuatan komunitas petani dan peluang sekitar lingkunganya diharapkan mampu meminimalisir kelemahan diri dan mencegah ancaman yang muncul. Berdasarkan analisis SWOT ditemukan 10 strategi yang dianggap efektif untuk dasar penyusunan program. Analisis strategi tersebut berhasil memunculkan 20 program pemberdayaan petani lahan kering. Keduapuluh program dimaksud dapat dijalankan secara bertahap menurut prioritas jangka waktu; yakni jangka pendek untuk tahun 2008, jangka menengah yakni tahun 2008 sampai dengan 2009, sedangkan jangkla panjang bisa dilaksanakan pada rencana strategic 2010 -2015.

Program-program yang dimunculkan dalam karya akhir ini secara garis besar meliputi pembentukan kelembagaan petani lahan kering, pendampingan teknis, sosialisasi teknologi, kemitraan dan pemodalan dan advokasi terhadap pengambil kebijakan. Semua program arahnya untuk keikutsertaan petani lahan kering dalam pembagunan dan sebaliknya keterlibatan pemerintah dalam aktivitas petani, di samping berperannya sektor swasta dan pengusaha lokal dalam memotivasi komunitas ini. Dengan demikian, peran partisipatif bisa tercipta dalam upaya penguatan ekonomi peani lahan kering di Gampong Lampisang Dayah.

Rokomendasi yang penulis sampaikan adalah perlunya peran Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam mengambil kebijakan secara partisipatif. Perlunya keterlibatan sektor swasta/pengusaha lokal secara kemitraan maupun keperdulian sosial. Pihak petani lahan kering sendiri harus berusaha memperbaiki kelemahan dan senantiasa berpartisipasi penuh dalam program pemerintah. Ketiga unsur dimaksud perlu keterlibatan secara kolektif dalam melakukan kegiatan pemberdayaan petani lahan kering mulai tahun 2008 sampai Restra tahun 2010.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

2. Dialarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING

MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF

Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum

Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

J A I L A N I

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(8)

Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan

Partisipatif

Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

N a m a :

J a i l a n i

N R P : I354060055

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec K e t u a

Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan berkat dan rahmat-Nya penulisan tugas akhir kajian pengembangan masyarakat (KPM) sebagai persyaratan menyelesaikan studi pada Progam Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dapat penulis selesaikan tepat waktunya. Judul KPM ini adalah Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kajian ini membahas kondisi petani lahan kering yang belum mencapai tingkat kesejahteraan keluarga kehidupannya, sedangkan potensi SDA masih tersedia. Sehubungan dengan permasalahan dimaksud, maka kajian ini menyajikan program pengembangan masyarakat tani. Tulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pembaca untuk menjadikan program pengembangan masyarakat di tempat lain, disesuaikan dengan rekomendasi yang telah ditetapkan.

Penyusunan tugas akhir ini tidak akan terlaksana jika penulis lakukan sendiri, tetapi justru berkat bantuan semua pihak sehingga telah memudahkan pengumpulan data sampai penulisan. Sehubungan dengan dukungan dan jasa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimaksih dan ponghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Departemen Sosial Republik Indonesia sebagai sponsor beasiswa,

2. Pemda Kabupaten Aceh Utara memberi Tugas Belajar dan bantuan biaya, 3. Ketua Program MPM-IPB dan seluruh staf pengajar MPM,

4. Pihak STKS Bandung dengan segala fasilitas proses belajar-mengajar, 5. Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan penulitas KPM,

6. Pihak keluarga (istri dan anak) yang telah memberi dorongan moril, 7. Warga Gampong Lampisang Dayah dengan partisipasinya,

8. Kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dalam riset.

Penulis sangat menyadari bahwa penyajian kajian ini masih banyak kekurangan. Guna menyempurnakannya, tentu memerlukan munculnya koreksi dan saran konstruktif dari pihak penelaah. Kritikan tersebut penulis harapkan secara lisan maupun tulisan, sehingga KPM akan lebih sempurna dan bermanfaat bagi masyarakat petani lahan kering.

Bogor, 22 Februari 2008 J a i l a n i

(10)

Penulis, dilahirkan di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tanggal 31 Desember 1966. Kedua orang tua merupakan suku Aceh dengan mata pencaharian bertani, orang tua laki-laki bernama Ishak bin Husen, (almarhum 1971) dan ibu bernama Fatimah binti Saat. Penulis sendiri merupakan putra ke enam di antara delapan bersaudara.

Jenjang pendidikan formal, Sekolah Dasar Negeri Tanoh Abee tamat 1979, SMP Negeri Seulimeum tamat 1982 dan SMA Negeri Seulimeum tamat 1985. Melanjutkan Perguruan Tinggi pada Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh 988, mengambil jurusan Penyiaran dan Penerangan selesai 1994. Agustus 2006 diterima pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor, dengan sponsor Depsos RI dan Pemda Aceh Utara. Studi ini dapat penulis selesaikan hanya dalam waktu 18 bulan, tepatnya lulus pada Februari 2008.

Riwayat pekerjaan di Pemerintahan, menjadi CPNSD tahun 1999 ditempatkan pada unit kerja Dinas Sosial Kabupaten Aceh Utara, menjabat Kasubbag Kepegawaian tahun 2001. Agustus 2003 dimutasi menjadi Kasubbag Umum pada Dinas Kesejahteraan Sosial, kemudian Mei 2005 mendapat kepercayaan menjadi Kasubbag Keuangan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Bina Sosial. Sehubungan dengan panggilan IPB, penulis menyatakan mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada awal Agustus 2006 dan memperoleh Tugas Belajar pada tanggal 31 Agustus 2006.

Keluarga, tanggal 21 Mei 2001 menikah dengan Juliana binti Ibrahim (lahir di Lhokseumawe 30 September 1982), sekarang sedang menempuh pendidikan pada jurusan Hukum Pidana Unima Lhokseumawe. Hasil pernikahan tersebut telah diberkahi dua putri, pertama bernama Shifwa Sunnia lahir di Cunda tanggal 18 Mei 2002, sedangkan putri kedua Rieha Karima lahir di Lhokseumawe tanggal 14 September 2005.

Bogor, 22 Februari 2008

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan ... 5 1.4 Kegunaan ... 5 1.5 Batasan Kajian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Penguatan Ekonomi ... 7

2.2 Pendekatan Partisipatif ... 8

2.3 Pemberdayaan Masyarakat ... 10

2.4 Kelembagaan ... 11

III. METODE KAJIAN ... 13

3.1 Kerangka Pemikiran ... 13

3.2 Lokasi dan Waktu Kajian ... 15

3.3 Sumber Data ... 16

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 18

3.4.1 Wawancara ... 18

3.4.2 Survei ... 18

3.4.3 Focused Group Discussion (FGD) ... 18

3.4.4 Studi Dokumentasi ... 19

3.5 Metode Analisis Data ... 19

3.6 Rancangan Penyusunan Program ... 20

IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT DAN PERTANIAN LAHAN KERING ... 22

4.1 Peta Sosial Gampong Lampisang Dayah ... 22

4.1.1 Lokasi ... 22

4.1.2 Kependudukan ... 23

4.1.3 Kondisi Prekonomian ... 25

4.1.4 Struktur Komunitas ... 27

4.1.5 Kelembagaan dan Organisasi ... 29

4.1.6 Sumber Daya Lokal ... 31

4.1.7 Masalah Sosial dan Konflik ... 31

4.2 Pengembangan Lahan Kering ... 33

4.2.1 Deskripsi Kegiatan Petani Lahan Kering ... 33

4.2.2 Evaluasi Kegiatan Petani Lahan Kering ... 36

4.2.3 Pengembangan Ekonomi ... 38

4.2.4 Pengembangan Kelembagaan ... 39

(12)

V. KARAKTERISTIK PETANI, USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN ... 43

5.1 Karakteristik Responden ... 43

5.1.1 Golongan Umur Responden ... 43

5.1.2 Jumlah Anggota Keluarga ... 44

5.2 Kondisi dan Permasalahan Usahatani ... 45

5.2.1 Kepemilikan Lahan Kering dan Pemanfaatan ... 45

5.2.2 Permasalahan Usahatani ... 59

5.3 Tingkat Kesejahteraan Petani Lahan Kering ... 56

5.3.1 Peneriman Petani Lahan Kering ... 56

5.3.2 Total Biaya ... 58

5.3.3 Pendapatan Petani Lahan Kering ... 58

5.3.4 Pengeluaran Keluarga ... 61

5.3 Rangkuman Tingkat Kesejahteraan ... 64

VI. STRATEGIS DAN PROGRAM PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING ... 64

6.1 Kondisi Lingkungan Pertanian Lahan Kering ... 64

6.1.1 Faktor Internal ... 65

6.1.2 Faktor Eksternal ... 70

6.2 Strategi Pengembangan Pertanian Lahan Kering ... 75

6.2.1 Membentuk kelembagaan (kelompok tani) Berbasis Lahan Kering, Bersama Program BRR Aceh-Nias, ... 76

6.2.2 Memamfaatkan Potensi Lahan Kering dalam Menggalang Kerjasama Usahatani Bersama Program BRR ... 76

6.2.3 Memanfaatkan Jasa Pendamping Teknis dalan rangka Intensifikasi Lahan Kering ... 77

6.2.4 Memamfaatkan Perkembangan Pasar dengan Membentuk Koperasi Simpan-pinjam sebagai Sarana Perekonomian Petani Lahan Kering ... 77

6.2.5 Memanfaatkan Jasa Pendamping Teknis sebagai Pemandu Kegiatan Usahatani ... 78

6.2.6 Memamfaatkan Program BRR untuk Memperkenalkan dan Menerapkan Peralatan Teknologi Sederhana ... 79

6.2.7 Memamfaatkan Lahan Terlantar untuk Kegiatan Kelompok Tani dalam rangka Kemitraan dngan Pengusaha Lokal ... 79

6.2.8 Meningkatkan Kerjasama Petani Lahan Kereing dalam Memantau Penyelenggaraan Musrenbangdes ... 80

6.2.9 Meningkatkan SDM Bidang Pertanian untuk Mendapat Kepercayaan Sektor swasta/Pengusaha Lokal ... 81

6.2.10 Memanfaatkan Musrenbangdes sebagai Media Partisipatif dalam Penyampaian Aspirasi Petani Lahan Kering ... 81

6.3 Rancangan Program ... 85

6.3.1 Pembentukan Kelompok Pertanian Lahan Kering ... 88

6.3.2 Pembentukan Lembaga Adat Seuneubok ... 88

6.3.3 Kerjasama BBR dengan Kelompok Pertanian Lahan Kering.. 89

6.3.4 Kerjasama BRR dengan Lembaga Adat Seuneubok ... 89

6.3.5 Pendampingan PPL Pertanian Terhadap Lahan Intensifikasi ... 90

6.3.6 Penyuluhan PPL terhadap Peremajaan Kebun ... 91

6.3.7 Mendirikan Koperasi Simpan-pinjam Berbadan Hukum ... 91

6.3.8 Melibatkan Donatur dalam Koperasi ... 92

6.3.9 Pelibatan Pendamping Teknis dalam kegiatan Kelompok Pertanian Lahan Kering ... 93

(13)

6.3.10 Pelibatan Pendamping Teknis dalam Lembaga

Adat Seuneubok ... 93

6.3.11 Pengenalan Cara dan Penerapan Alat Pengolah Minyak Kelapa ... 93

6.3.12 Pengenalan Cara dan Penerapan Alat Pengolah Sabut Kelapa ... 94

6.3.13 Kemitraan Usahatani dengan Sektor Swasta ... 94

6.3.14 Kerjasama Usahatani dengan Pengusaha Lokal ... 94

6.3.15 Melakukan Advokasi ke BPM Aceh Besar, sebelum Penyelenggaraan Musrenbangdes ... 95

6.3.16 Melakukan Advokasi ke BAPPEDA Aceh Besar Sebelum penyelenggaraan Musrenbangdes ... 95

6.3.17 Pemberian Bimbingan Teknis Bidang Pertanian ... 96

6.3.18 Pemberian Bimbingan Teknis Bidang Peternakan ... 96

6.3.19 Partisipatif Petani Lahan Kering dalam Pelaksanaan Musrenbangdes ... 97

6.3. 20 Partisipatif Petani Lahan Kering dalam Pelaksanaan Musrenbang ... 97

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 104

7.1 Kesimpulan ... 104

7.2 Rekomendasi ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(14)

Halaman

1 Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat ... 16

2 Matrik Kelengkapan Metode Pengumpulan Data ... 17

3 Jenis Lahan Desa dan Luas ... 22

4 Jenis Mata Pencaharian Kepala Keluarga ... 25

5 Ketersediaan Jenis Lahan Kering... 27

6 Jenis Organisasi dan Kepegurusan ... 32

7 Jumlah Responden Menurut Golongan Umur ... 43

8 Klasifikasi Jumlah Anggota Keluarga Responden... 44

9 Klasifikasi Luas Lahan Kering responden... 46

10 Penggunaan Lahan Kering Sesuai Jenis Tanaman... 48

11 Ketersediaan Modal Untuk usahatani Ladang dan Kebun... 50

12 Mamfaat Jalan Terhadap Kegiatan Usahatani Ladang dan Kebun ... 51

13 Penerapan Teknologi dalam Kegiatan Pertanian Ladanng / Kebun... 52

14 Interaksi Pasar Tingkat Desa Bagi Petani Lahan Kering ... 53

15 Pengetahuan Petani Terhadap Pengolahan Lahan ... 54

16 Jaringan Kerja Petani dengan Institusi Luar Desa ... 55

17 Penerimaan Rata- Rata Responden Pertahun ... 57

18 Analisis Pendapatan Rata-Rata Responden Pertahun ... 58

19 Pendapatan Responden Pertahun dan Perbulan ... 60

20 Perbandingan Pendapatan Rata-rata dan Pengeluaran Keluarga Perbulan ... 62

21 Perbandingan Pendapatan Kepala Keluarga dengan Batas Pendapatan Miskin Sesuai Poverty Line Aceh Besar ... 63

22 Matriks Analisis SWOT Pemberdayaan Petani Lahan Kering ... 75

23 Tahapan Pelaksanaan Program ... 86

(15)

Halaman

1 Skema Kerangka Berpikir... 14

2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin... 24

3 Skema Pola Hubungan Kerja Petani Lahan Kering... 41

(16)

Halaman 1 Peta Provinsi NAD dan Kabupaten Aceh Besar

Kecamatan Seulimeum dan Gampong Lampisang Dayah ... 110

2 Kuisioner Terhadap Petani Lahan Kering ... 111

3 Pedoman Wawancara terhadap Aparat Desa ... 113

4 Pedoman Wawancara Terhadap Pengusaha ... 114

5 Pedoman Wawancara Terhadap Mantri Hewan ... 115

6 Pedoman Wawancara Terhadap PPL Pertanian ... 116

7 Kuisioner Analisis SWOT ……….. 117

8 Jawaban Kuisioner Faktor Internal ... 118

9 Jawaban Kuisioner Faktor Eksternal ... 119

10 Pedoman Focus Group Discussion ... 120

11 Pepemilikan Lahan Kering Responden ... 121

12 Pengeluaran Keluarga Responden Sesuai Analisis Kebutuhan Perbulan ... 122

(17)

I. P E N D A H U L U A N

1.1 Latar Belakang

Dengan bergulirnya Otonomi Daerah (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999), dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka semakin luas kewenangan Pemerintah Daerah (kabupaten) dalam pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial, ekonomi dan sektor lainnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh telah menyusun kembali pengaturan struktur Pemerintahan sampai di tingkat paling bawah dalam rangka mempercepat proses pembangunan pedesaan.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menitikberatkan pola perencanaan bottom-up (dari bawah ke atas) yakni dengan melibatkan aspirasi masyarakat setempat melalui wadah musyawarah rencana pembangunan desa (musrenbangdes). Artinya, posisi masyarakat bukan hanya sebagai objek pembangunan melainkan harus berperanserta sebagai pelaku atau subjek pembangunan.

Partisipasi masyarakat desa bersama pemerintah dibutuhkan dalam upaya menentukan arah pembangunan ekonomi, khususnya dalam pembangunan pertanian di pedesaan. Cohen dan Uphoff dalam Prijono (1996), berpendapat bahwa lingkup partisipasi masyarakat desa, yaitu pelibatan unsur masyarakat desa dalam penentuan arah kebijakan pembangunan meliputi tahap penyusunan perencanaan, penentuan kegiatan, pembuatan keputusan, penerapan keputusan, kerjasama serta monitoring dan evaluasi.

Pertanian lahan kering menurut Notohadiprawiro (1989) ialah sektor pertanian yang dikerjakan tanpa suatu sistem penggenangan air di atas lahan garapannya. Yang termasuk lahan usahatani lahan kering adalah padi gogo, palawija, rumput pakan ternak dan perkebunan. Petani yang memanfaatkan air irigasi secara “sadapan” sejauh tidak menggenangi air, disebut lahan kering. Penanaman padi di sawah dan perikanan tambak tidak tergolong kategori pertanian lahan kering.

Prospek ekonomi petani lahan kering agak sulit terwujud jika tidak didukung kepastian hukum agraria terhadap status tanah, penerapan teknologi tepatguna dan

(18)

2

ketersediaan sumberdaya manusia lokal yang memadai. Lahan kering perlu dpelihara sepadan dengan pemeliharaan sumber air, sebagaimana anjuran Departemen

Pertanian RI dalam La An (2006) “ upaya penyimpanan air secara maksimal pada

musim penghujan dan pemanfaatannya secara efesien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air berjalan beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah dilakukan juga tindakan konservasi air”.

Penggarapan lahan kering sebenarnya tidak terbatas pada sektor tanaman palawija saja, melainkan bisa saja dialihkan untuk kegiatan lain yang lebih produktif, seperti peternakan dan perkebunan dengan memadukan kekuatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan lokal, Sistem pertanian lahan kering cenderung bersifat subsisten (untuk kebutuhan sendiri), identik dengan pertanian pangan seperti padi dan jagung. Pertanian subsisten ini menggunakan lahan (tanah) dan tenaga kerja keluarga sebagai faktor produksi, yang dicirikan oleh beberapa karakteristik, antara lain; produktivitas rendah, penerapan peralatan teknologi pertanian sangat sederhana, terbatasnya akses kepada sumber modal, sangat tergantung pada musim hujan dan ketidaktepatan cara pengolahan tanah,

Todaro (1985).

Memperhatikan karakteristik di atas, untuk memobilisasi pertanian subsisten menuju perubahan ke arah pengembangan yang lebih maju dan sejahtera (pertanian komersil), perlu diperhatikan unsur tenaga kerja termasuk tenaga kerja keluarga petani lahan kering. Argumentasi bahwa perlunya diprioritaskan pembenahan tenaga kerja, mengingat keberadaan SDM itulah yang bisa mengendalikan teknologi dan memanfaatkan sumber daya alam secara tepat. Penekanan pada fungsi tenaga kerja (petani lahan kering dan keluarga) dianggap bisa mematahkan (breakdown) kebiasaan-kebiasaan yang tidak tepat, keliru dari pola kerja pertanian subsisten.

Sehubungan dengan permasalahan pertanian subsisten tersebut, maka usahatani masyarakat relatif tertinggal dan berdampak pada rendahnya penghasilan. Akibatnya keluarga petani lahan kering mengalami ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pendidikan dan kesehatan. Keadaan mereka diperparah lagi ketidakcukupan pangan karena tidak melakukan penanaman padi sebagai kebutuhan dasar, sehingga terdapat keluarga mengalami kekurangan pangan. Keluarga tersebut jika dikaitkan dengan pendapatan rendah maka dapat dikatagorikan sebagai keluarga miskin, dengan indikatornya belum mampu memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Menurut Green dalam Widodo (1993) dan Streeten dalam Supriatna (1997), di antara komponen basic needs yang harus terpenuhi adalah kebutuhan minimum keluarga

(19)

untuk konsumsi (personal consumption items) meliputi pangan, sandang, papan dan peningkatan akses pada pelayanan publik (access to public services) meliputi aspek kesehatan dan pendidikan.

Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah berusaha dengan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Pemerintah Pusat melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pernah menetapkan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Desa (Gampong) Lampisang Dayah tahun 1994. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar bersama aparat desa dan pendamping khusus tidak dapat melanjutkan pengembangan program tersebut disebabkan beberapa tahun kemudian Aceh dilanda konflik bersenjata.

Sehubungan dengan diberlakukan Darurat Militer (Darmil) di Aceh tahun 2004, petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah mulai melakukan kegiatan kembali dengan aktivitasnya di sektor pertanian (ladang/kebun) dan empat kepala keluarga di antaranya bergerak di sektor penggembalaan (geumeubew) ternak kerbau dan lembu. Dengan kegiatan tersebut telah memacu aktivitas petani lainnya guna menekuni aktivitas pertanian, terutama dalam pemanfaatan kembali lahan kering yang pernah ditinggalkan. Mengingat kegiatan penggembalaan ada kaitan ke depan (forward

linkages) dan kaitan ke belakang (backward linkages) seperti penggemukan ternak,

sehingga dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi petanian lahan kering.

Penggunaan potensi sumber daya lokal terhadap kedua kegiatan di atas meliputi peremajaan kebun kelapa dan kebun kopi, penanaman tanaman palawija di atas lahan ladang dan penggembalaan ternak di atas dataran rumput. Seharusnya dengan adanya kegiatan-kegiatan pertanian dan penggembalaan bisa mengatasi permasalahan petani dalam rangka peningkatan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja bagi keluarga dan petani lahan kering lainnya. Setelah aktvitas petani lahan kering di desa ini berlangsung tiga tahun, sekarang layak ditinjau kembali tingkat keberhasilannya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup.

1.2 Rumusan Masalah

Pemberdayaan dan pengembangan masyarakat terus-menerus dilaksanakan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Pemerintah senantiasa mengintervensi (ikut campur tangan), dalam pengelolaan SDA, operasional pasar supaya masyarakat terlindungi kehidupannya. Persoalannya adalah keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan masih terbatas

(20)

4

sebagai objek pembangunan, seharusnya dilibatkan sebagai pelaku pembangunan. Hal ini penting karena mayoritas masyarakat hidup di sektor pertanian dengan mengolah lahan kering.

Sebagai negara agraris, mayoritas penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan bermatapencaharian di sektor pertanian, baik menggarap lahan sawah maupun lahan kering. Menurut laporan Puslitbangtanak dan BPS Nasional (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng dan iklim), dari 107 juta hektar lahan pertanian di Indonesia, 76,2 juta hektar (71,21 %) diantaranya merupakan lahan kering potensial, dan 24,5 hektar (28,79 %) berupa lahan sawah.

Pengembangan masyarakat petani lahan kering sangat tepat dilakukan karena keberadaan lahan kering mendukung kegiatan pertanian dan peternakan. Menurut data BPS NAD (2005), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki 1.586.126 hektar lahan kering. Di antara 22 kabupaten/kota dalam Provinsi NAD, Kabupaten Aceh Besar memiliki lahan kering yang cukup luas yakni 164.294 hektar (10,36 %). Seulimeum merupakan kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang memilki lahan kering terluas, yakni 31.438 hektar (19,14 %).

Gampong Lampisang Dayah merupakan desa dalam Kecamatan Seulimeum mempunyai luas 675 hektar termasuk tanah negara 225 hektar. Desa ini memiliki potensi lahan kering relatif besar yaitu 524 hektar (77,62 %). Berdasarkan ketersediaan lahan kering tersebut dan keterlibatan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, sektor swasta (pengusaha), masyarakat Gampong Lampisang Dayah dan komunitas petani lahan kering setempat, dengan mengandalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, maka kreativitas yang efektif dilaksanakan hanya sektor pertanian dan penggembalaan ternak. Pertanyaannya adalah, apakah aktivitas pertanian dan penggembalaan ternak tersebut bisa meningkatkan kesejahteraan hidup petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah ?

Petani lahan kering desa ini selama tiga tahun terakhir bergerak kembali di sektor pertanian dengan swadaya dan di sektor penggembalaan ternak (geumeubew) memperoleh modal dari pengusaha dan beberapa sumber lain. Untuk itu perlu dilakuakan evaluasi terhadap kegiatan dimaksud guna mengetahui faktor dan indikator keberhasilannya. Pertanyaannya ialah, sejauhmana pengelolaan lahan kering untuk aktivitas pertanian dan penggembalaan ternak dapat dilaksanakan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah ?

Upaya Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam meningkatkan kesejahteraan petani lahan kering mengalami banyak hambatan, di antaranya keterbatasan dana

(21)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) dan gangguan keamanan selama terjadi konflik bersenjata. Upaya petani lahan kering mengembangkan usahatani tentunya mengalami berbagai kendala internal dan eksternal. Sehubungan dengan persoalan tersebut, bagaimanakah rancangan strategi dan program pengembangan petani lahan kering yang lebih efektif ?

1.3 Tujuan

1. Mengidentifikasi masalah, potensi dan profil petani lahan kering dan menganalisis tingkat kesejahteraannya berdasarkan tingkat pendapatan dan pengeluaran dari kegiatan pertanian maupun peternakan .

2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi keberhasilan kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan petani dalam pemanfaatan potensi lahan kering di Gampong Lampisang Dayah.

3. Merumuskan rancangan strategi dan program pengembangan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah.

1.4 Kegunaan

Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM) berguna sebagai konsep pengembangan masyarakat petani lahan kering atau bagi pertanian subsisten. Secara khusus kajian ini dapat dijadikan sebagai panduan pembangunan sosial-ekonomi di Kabupaten Aceh Besar.

1. Untuk mengembangkan strategi pemberdayaan masyarakat melalui program penguatan ekonomi berbasis potensi pertanian lahan kering.

2. Kajian pengembangan masyarakat ini dapat dijadikan sebagai asumsi terhadap kajian-kajian pemberdayaan petani lahan kering dengan pendekatan yang berbeda.

3. Menjadi masukan bagi pihak yanng berwewenang dalam pengambilan kebijakan terhadap strategi penanggulangan kemiskinan terhadap petani lahan kering di Kabupaten Aceh Besar.

1.5 Batasan Kajian

Kajian pengembangan masyarakat (KPM) ini fokusnya terhadap kegiatan 60 kepala keluarga petani lahan kering yang tidak punya akses tetap terhadap lahan

(22)

6

sawah irigasi teknis. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis aktivitas komunitas tersebut dalam kegiatan-kegiatan pertanian yang berhubungan dengan usahatani ladang, kebun dan penggembalaan ternak dan kegiatan lain yang terkait dengan pengelolaan hasil tani, karena masyarakat tersebut menganut pola nafkah ganda.

Untuk maksud tersebut perlu diketahui dan dikaji peta sosial masyarakat meliputi ketersediaan lahan dan penguasaannya, kependudukan dan kepadatan, kondisi perekonomian masyarakat, struktur komunitas dan kelembagaan yang pernah terbentuk di desa ini selama tiga tahun terakhir. Di samping itu akan ditinjau juga pelapisan sosial dan konflik yang terjadi dikalangan petani lahan kering. Pada tinjauan pengembangan masyarakat akan diuraikan potret petani lahan kering dalam aktifitasnya pengolahan lahan untuk pertanian dan pemanfaatan lahan untuk pengembalaan. Di sini menguraikan pengembangan ekonomi dari dua sektor tersebut dan menjelaskan sejauhman pertumbuhan dan pengembangan ekonomi yang merupakan dampak dari penggunaan SDA lahan kering.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penguatan Ekonomi

Penguatan ekonomi sektor pertanian terutama terhadap tanaman pangan, dapat dibangun dengan konsep agribisnis. Secara kuantitatif diperhatikan juga sejauhmana pemanfaatan sumber daya lokal atau sumber daya alam melalui kegiatan sektor pertanian dan sejauhmana dapat dikembangkan kegiatan tersebut dengan tujuan peningkatan produksi sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Peran kelembagaan dan sumber daya manusia turut mempengaruhi kinerja bidang pertanian dalam usaha keberhasilan pemanfaatan sumber daya alam.

Menurut Escafe dan Collin Clark dalam Winardi (1995), untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi (economic growth) perlu dilihat aspek pemunculan sumber-sumber produksi baru, apakah dapat dipertahankan usaha atau bisa ditingkatkan lagi produksi dan membuka lapangan kerja sekitarnya. Perekonomian yang belum berkembang maka pertanian merupakan pekerjaan dan sumber pendapatan pokok. Ketika pertanian tersebut tumbuh, maka industri manufaktur dan jasa akan tumbuh.

Untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi dimaksud perlu keterkaitan produksi pertanian (forward linkages dan backward linkages) yaitu mata rantai dari produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, yang disebut agribisnis. Parhepi dan Goal dalam Soekartawi (1993), mengidentifikasi dalam 5 faktor yang menghambat pola dan hubungan mata rantai agribisnis di pedesaan. Pertama pola produksi komoditi pertanian tersebar sehingga sulit pembinaan yang efektif, kedua infrasruktur belum memadai sehingga sulit mencapai efesiensi usahatani, ketiga biaya produksi lebih tinggi karena terisolir daerah, keempat pemusatan agroindustri di kota besar sehingga nilai bahan baku pertanian menjadi mahal akibat biaya-biaya yang dikeluarga, kelima sistem kelembagaan di pedesaan yang lemah, sehingga tidak mendukung kegiatan agribisnis.

Kegiatan agribisnis perlu dimaksimalkan, dengan mempengaruhi pelaku pembangunan pertanian pedesaan. Mosher dalam Soekartawi (1993) menawarkan 4 aspek alternatif. Pertama pemanfaatan sumberdaya dengan tanpa merusak lingkungan (resourse endowment), kedua pemanfaatan teknologi yang senantiasa berubah (technological endowment), ketiga pemanfaatan budaya (cultural endowment) untuk keberhasilan pembangunan pertanian, keempat pemanfaatan

(24)

8

Todaro (1985) mengemukakan, sangat diperlukan secara menyeluruh

melakukan perubahan-perubahan kepada seluruh sendi kehidupan sosial, ekonomi dan struktur kelembagaan pada masyarakat desa. Jika tidak dilakukan pembenahan hal dimaksud, maka pembangunan pertanian sulit berkembang bahkan akan terjadi kesenjangan antar kelompok petani kecil dengan pemilik tanah. Artinya, penguatan ekonomi masyarakat petani terpengaruh pada kondisi sosial dan budaya setempat.

2.2 Pendekatan Partisipatif

Menurut Dagun (1987) dari sekian banyak pengertian pendekatan antara lain disebutkan tentang suatu cara menangani atau memecahkan masalah. Sedangkan partisipatif diartikan keikutsertaan atau berperan-serta dalam suatu kegiatan. Jika kedua kata tersebut didefinisikan berarti; suatu metode fasilitasi penyelesaian masalah secara bersama-sama terhadap apa yang sedang diperhatikan.

Pendekatan partisipatif di sini dimaksudkan pada cara tempuh dalam penyelesaian kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial-ekonomi. Diperlukan gerakan kolektif bersama unsur pemerintah, swasta dan masyarakat serta komunitas petani lahan kering sendiri. Pelibatan masyarakat petani dalam kegiatan pembangunan ekonomi bukan tujuan penguasaan material (modal usaha, dan aset tanah) saja, namun perlu kerjasama secara berperanserta dalam membangun jejaring sosial, penguatan kelembagaan lokal dan lainnya guna berkelanjutan (sustainable) operasional kegiatan petani lahan kering.

Maschab dalam Suparlan (1994) menggarisbawahi, pembangunan desa

khususnya terhadap kegiatan pertanian sebagai suatu kegiatan yang terus-menerus mementingkan peran unsur penggerak (mobilisasi) dari dalam masyarakat itu sendiri. Pemerintah tidak bisa melaksanakan pembangunan tanpa dukungan partisipatif pihak masyarakat, bukan disebabkan keterbatasan dana dan tenaga, tetapi karena pembangunan manusia seutuhnya tidak terbatas pada peningkatan pendapatan dan kemakmuran semata, tetapi harkat dan martabatnya sebagai bangsa merdeka yang sederajad dengan bangsa lain di dunia.

Dari pemikiran di atas, program pengembangan masyarakat desa memerlukan aspek partisipasi berbagai stakeholders khususnya unsur Pemerintah. Dalam arti lain, penguatan ekonomi lebih mengutamakan peranan partisipasi semua unsur, namun demikian partisipasi masyarakat desa sebaiknya tidak terbatas pada pelaksanaan kegiatan, tetapi diperluas pada partisipasi aspiratif dalam perencanaan dengan pola

(25)

Mewujudkan partisipasi penuh, diutamakan kreativitas dan keseriusan masyarakat tani. Pelibatan masyarakat seharusnya secara sempurna dari awal sampai akhir proses suatu kegiatan bahkan perlu dilibatkan masyarakat dalam evaluasi kegiatan. Pada era desentralisasi sekarang menerapkan pola bottom-up dalam upaya memperkuat masyarakat di lapisan terendah (masyarakat tani) sebagai objek pembangunan.

Cohen dan Uphoff dalam Prijono (1976) membatasi lingkup partisipasi

masyarakat desa, yaitu pelibatan unsur masyarakat desa dalam penentuan arah kebijakan pembangunan harus dimulai dari tahap penyusunan perencanaan, penentuan kebijakan kegiatan, pembuatan keputusan, penerapan keputusan, pelaksanaan, kerjasama, penikmatan hasil proyek sampai pada monitoring dan evaluasi program pembangunan. Konsep partisipasi masyarakat adalah konsep

bottom-up, tetapi tidak terbatas pembangunan ekonomi melainkan termasuk

persoalan transpormasi masyarakat luas (global society). Yaitu menyangkut justice (keadilan), inclucivennes (kesetiakawanan) dan sustainability (berkesinambungan). Artinya harus berpeluang sama dalam kebutuhan hidup, berbagi kemampuan sesama dalam pengelolaan SDA serta memperhatikan kepentingan generasinya. Azas demikian hanya mengandalkan masyarakat atau partisipasi aktif dimaksud diistilahkan dengan a people centered development, Maschab dalam Suparlan (1994).

Dengan demikian, endekatan partisipatif dianggap paling efektif dalam operasional otonomi daerah, khususnya terhadap penguatan ekonomi petani lahan kering. Ditinjau dari aspek pembiayaan pembangunanpun termasuk paling efesien, sebab pendekatan ini memprioritaskan rancangan pengembangan pembangunan yang prioritas atau disesuaikan kehendak masyarakat desa seperti petani.

Uphoff dan Todaro dalam Riwu (1997), menegaskan partisipasi dalam

pembangunann dapat dilakukan melalui keikutsertaan masyarakat dalam memberikan kontribusi penuh guna menunjang pelaksanaan pembangunan yang berwujud pada barang-barang, tenaga, material, informasi yang konstruktif terhadap pembangunan. Jika tujuan pembangunan perdesaan diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diawali dari peningkatan kesejahteraan setiap keluarga, maka yang menajdi indikatornya adalah pendapatan, pengeluaran dan produksi petani kecil yang dihubungkan dengan pendapatan layak menurut standar setempat (poverty line). Instrumen dan indikator pencapaiannya adalah teknologi, inovasi, kebijakan pemerintah dan partisipasi swasta. Indikator lain ialah pengolahan, pasar, partisipatif aktif dan peradaban penanganan lingkungan.

(26)

10

2.3 Pemberdayaan Masyarakat

Dikatakan pemberdayaan minimal adanya pihak pemberi dan penerima kekuasaan atau kedua pihak saling berbagi kekuatan (empowerment share). Proses demikian terjadi pelimpahan kekuatan, seperti dikatakan Ife dalam Suharto (2005), “pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung”.

Prijono (1996) menjelaskan, pemberdayaan merupakan proses pematahan (breakdown) kekakuan menjadi transparan dalam relasi antara subjek

(penguasa/pemerintah) dengan objek (masyarakat/petani). Proses ini mementingkan adanya keseriusan subjek dalam membangun kemampuan objek menurut potensi yang dimilikinya. Proses ini melihat pentingnya mengalir daya (flow of power) dari subjek ke objek. Pemberian kuasa, kebebasan dan “pengakuan” dari subjek kepada objek, manifestasinya dengan memberi kesempatan seluas-luasnya usaha meningkatkan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya lokal setempat. Esensi akhir yang di lihat adalah kemampuan individu miskin untuk dapat mewujudkan harapan berdasarkan “pengakuan” yang telah diberikan oleh subjek (Pemerintah). Kemampuan individu dalam kegiatan merupakan bukti bahwa individu tersebut telah memiliki daya.

Pemberdayaan masyarakat seharusnya tidak tersekat-sekat, inipun bisa terealisasi jika semua pihak berpartisipasi penuh. Mengingat pihak objek (masyarakat) identik dengan berbagai kelemahan/keterbatasan, maka aliran pemberdayaan subjek (pemerintah) sering terganggu dan kurang efektif. Sehubungan dengan karakter tersebut diperlukan keberpihakan empowerment kepada golongan powerless (ketidakberdayaan). Empowerment merupakan modal dasar yang tidak boleh dikonsentrasikan pada kasus tertentu saja, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Membangun masyarakat melalui pemberdayaan, prosesnya terintegrasi dan menyeluruh (ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, komunikasi dan lainnya) mengingat pola pengembangan masyarakat sekarang dalam kondisi modernisasi dan globalisasi.

Menempatkan partisipasi masyarakat sebagai subjek pembangunan, Oakley

dan Marsden dalam Adimihardja (2004) menggambarkan pemberdayaan cenderung

pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Proses ini biasanya ditandai dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian masyarakat melalui keorganisasian lokal.

(27)

Aspek pemberdayaan yang menekankan peranserta masyarakat (partisipatif) berarti proses pembangunan berpusat pada rakyat (people development centre) operasionalnya tidak mudah tersekat-sekat. Escap dalam Adimiharja (1999) menyatakan “kajian strategis pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya atau politik menjadi penting sebagai input untuk reformasi pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun secara partisipatif.

Argumentasi diatas terkait dengan gagasan Depsos RI dan Chambers dalam

Kartasasmita (1996) “pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan

potensi ekonomi rakyat, tetapi termasuk harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tata nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang bertumpu pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga termasuk nilai tambah sosial-budaya”.

2.4 Kelembagaan

Mengenai kelembagaan, tinjauannya menyangkut pola norma dan hubungan. Pembahasan pola norma terkait prilaku penataan organisasi (behavior), sedangkan pola hubungan kaitannya dengan jejaring kerja (network) dengan institusi luar komunitas (vertikal) maupun dalam komunitas (horizontal). Tuntutan dimaksud berlaku terhadap kelembagaan di tingkat nasional maupun kelembagaan lokal. Thoha (1998) menegaskan, “setiap membicarakan dinamika kelompok dalam hubungannya dengan prilaku organisasi maka tidaklah lengkap jika belum dibicarakan pola prilaku panitia dalam suatu organisasi. Panitia (kepengurusan) merupakan tipe formal yang amat penting yang dijumpai sekarang ini dalam kehidupan organisasi ...”

Yang terpenting dan diharapkan dalam sebuah organisasi adalah ruh atau keberlanjutan disebut dengan institutional sustainable. Kelembagaan berkelanjutan mampu bergerak secara kontinyu pra realisasi bantuan maupun pasca terhentinya bantuan donatur. Kelembagaan di negara sedang berkembang agak sulit bertahan jika diperhatikan pada operasional proyek-proyek international seperti di Indonesia. Sehubungan dengan pandangan tersebut, di sini menekankan makna pembangunan lembaga yakni harus digerakkan dari lavel bawah atau digerakkan oleh masyarakat sendiri, bukan suatu organisasi yang direkayasa dai atas sebagaimana organisasi (kelompok) yang dibentuk dengan karena adanya bantuan.

(28)

12

Menurut Esman dan Uphoff (1982), “organisasi lokal adalah asosiasi penduduk desa yang bertanggungjawab kepada anggota-anggotanya (assositions of rural people

which are accountable tothei members) dan terlibat dalam berbagai kegiatan

pembangunan sejauhmana organisasi yang tumbuh dari bawah (grassroots

organization), bergantung pada cara mendirikan dan mengembangkannya. Organisasi

harus mampu mencerminkan pengalaman, kemampuan dan keinginan anggota ...”

Israel (1990) mendefinisikan kelembagaan (institution), pengembangan

kelembagaan (institutional development) atau pembangunan kelembagaan (institutional bulding) merupakan proses perbaikan kapasitas organisasi supaya lebih

efektif dalam penggunaan SDM berdasarkan ketersediaan dana. Proses ini harus mampu dijalankan secara internal maupun eksternal berupa bantuan pemerintah dan promosi donatur lainnya. Secara luas pengembangannya diawali dari perencanaan sampai pada evaluasi, termasuk kegiatan pembangunan pertanian.

Penguatan sebuah organisasi dalam bidang pertanian, sebaiknya mengandalkan keberadaan institusi yang pernah bergerak dalam kegiatan serupa, sehingga memiliki pengalaman sesama anggota. Artinya, dalam pengembangan masyarakat lebih baik memperkuat/membenah manajemen institusi yang telah terbentuk daripada membentuk institusi baru. Menyangkut pembentukan organisasi (kelompok) tersebut, yang harus diperhatikan beberapa petunjuk pelaksanaan, karena kelembagaan pembangunan yang berkelanjutan harus dibangun dari kehendak anggota, bukan dipaksa dari atas yakni pihak yang punya kepentingan.

Mengenai pembentukan kelompok/organisasi supaya mampu menjadi kelembagaan dimaksud, Widyastuti dan Santiasih dalam Mubyarto (1994) menganjurkan pada setiap pembentukan kelompok supaya selalu dipertimbangakan empat hal pokok;

1. Kelembagaan akan berhasil jika menggunakan kelompok yang pernah ada di kalangan masyarakat. Retrukturisasi kelembagaannya harus diserahkan sepenuhnya kepada anggota-anggota lama.

2. Jumlah anggota tidak terlalu banyak namun tidaklah mesti ditentukan jumlahnya melainkan menurut kebutuhan kepengurusan dan keterwakilan di tingkat dusun. 3. Perlu penerangan/pendampingan teknis dari pihak pemerintah maupun organisasi

tertentu ke arah kerjasama dengan pihak lain guna mencapai tujuan strategis. 4. Perlu partisipasi unsur masyarakat desa dalam upaya mendorong kegiatan

(29)

III. METODE KAJIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Profil petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah tidak terlepas dengan permasalahan besar seperti masih melekatnya dengan pola pertanian subsisten. Petani tersebut selalu terkait dengan keterbatasan sarana penunjang aktivitas pertanian (infrastruktur) di samping sangat sederhana dalam aplikasi teknologi tepatguna. Akibatnya kegiatan tidak berkembang dengan baik, rendahnya produktifitas sehingga sulit berkembang pasar yang lebih luas. Rendahnya pendapatan, terbatasnya akses kepada sumber modal dan rendahnya SDM, mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan.

Permasalahan sosial adalah kalangan petani lahan kering belum terjalin kerjasama petani secara maksimal maupun hubungan dengan pihak lain luar desa yang dapat menggalang kreativitas petani. Tujuan penggalangan petani ialah guna memotivasi terbentuknya kelembagaan yang tangguh berkompetisi sehingga mendapat kepercayaan institusi luar. Modal sosial tersebut dapat diusahakan melalui jejaring sosial namun belum terjadi dengan sempurna sehingga akses kerjasama masih terbatas, malah belum mendapat kepercayaan (trust) dari sumber modal sekitarnya.

Permasalahan di atas sangat mempengaruhi kelancaran seluruh kegiatan petani lahan kering yang bergerak dalam penanaman kopi dan dan kelapa serta yang bergerak dalam penggembalaan kerbau dan lembu. Dalam kegiatannya usahatani di lahan kering memang tidak terlepas dari unsur kelemahan dan ancaman, di samping memiliki unsur kekuatan dan peluang. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki akan diinventarisir dalam faktor internal, sedangkan peluang dan ancaman akan digolongkan dalam faktor eksternal.

Tujuan akhir kajian adalah merumuskan program pengembangan masyarakat setelah mengetahui indikator-indikator yang dapat mendukung pelaksanaan kegiatan. Guna lebih terfokus alur pemikiran dan analisis data dimaksud, perlu disusun dalam suatu gambaran kerangka berpikir yang sistematis, sehingga memudahkan pengambilan data dari responden, mempercepat proses kajian analisis SWOT

(Strengths, Weaknessess, Oprtunities dan Threats), serta dalam tahapan pelaksanaan

(30)

14

Gambar 1 Kerangka Berpikir

Keterangan :

Mempengaruhi, memerlukan

Permasalahan Petani Lahan Kering 1. Pola pertanian subsisten;

ƒ Ketergantungan pada musim hujan (rainfed).

ƒ Ketidaktepatan cara pengolahan tanah. ƒ Belum diaplikasi teknologi

pertanian tepatguna. ƒ Terbatasnya permodalan. ƒ Tidak tersedia infrastruktur

penunjang kegiatan pertanian yang baik.

ƒ Belum terjadi interaksi pasar yang lebih luas.

2. Pola agribisnis terkendala;

ƒ Pola produksi pertanian ter-pencar/belum mengelompok.

ƒ Sarara/prasarana ekonomi belum memadai.

ƒ Biaya trasportasi tinggi akibat kondisi geografis daerah.

ƒ Pola agroindustri terpusat di kota sehingga mahal bahan baku hasil pertanian.

ƒ Sistem kelembagaan pedesa-an (pasar & keupedesa-angpedesa-an) lemah.

Faktor Internal Petani Lahan Kering ƒ Ketersediaan lahan kering. ƒ jejaring sosial/ Kerjasama

petani lahan kering. ƒ Ketersediaan modal usaha. ƒ Ketersediaan SDM. ƒ Aplikasi terknologi dalam

kegiatan pertanian. ƒ Ketersediaan infrastruktur.

Faktor Eksternal Petani Lahan Kering ƒ Peran kelembagaan lokal. ƒ Peranan musrenbang. ƒ Peranan pasar dan

pemasaran hasil tani. ƒ Peran dinas teknis melalui

pendamping teknis. ƒ Peran swasta/pengusaha. ƒ Peran ORNOP dalam

pemberdayaan petani. USAHATANI LAHAN KERING Strategi Rancangan Program Pembangunan sektor pertanian secara partisipatif dalam rangka penguatan ekonomi petani lahan kering. Hasil Yang Diharapkan Petani lahan kering ƒ Pemanfaatan lahan kering secara efektif dan efesien. ƒ Berjalannya pola kegiatan agribisnis ƒ Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani lahan kering.

(31)

3.2 Lokasi dan Waktu Kajian

Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM) ini dilaksanakan di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi ini merupakan kelanjutan dari Pemetaan Sosial dan evaluasi kegiatan. Menjadi sasaran kajian yakni terhadap masyarakat petani lahan kering yang tidak mempunyai akses tetap terhadap 105 hektar lahan sawah irigasi.

Alasan pemilihan komunitas petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah yakni mempertimbangkan bahwa desa ini memiliki lahan kering relatif terluas dalam Kecamatan Seulimeum. Kemudian, di desa ini pernah dilaksanakan suatu program pengembangan ekonomi masyarakat yang bersumber dari dana Program Inpres Desa Tertinggal tahun 1994. Sasaran program dimaksud diarahkan kepada petani lahan kering, tetapi terkendala disebabkan terjadinya konflik bersenjata di Provinsi NAD, sehingga ketersediaan potensi sumber daya alam tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Lahan kering desa ini meliputi lahan ladang, kebun, dataran dan hutan yang seluruhnya memiliki luas 524 hektar, sebenarnya pernah dimanfaatkan untuk pertanian dan pengembalaan sebelum terjadi konflik yaitu antara tahun 1970 sampai 1998.

1. Kegiatan pertanian

Usahatani berupa tanaman palawija di ladang tetapi ukuran penguasaan dan pengelolaan lahan rata-rata relaif sangat kecil, sehingga tingkat produksi sangat rendah. Kegiatan perkebunan dengan tanaman kopi pernah diusahakan petani di atas tanah negara sebelum tahun 1994 namun gagal karena lahan tersebut berpindah hak kepada pengelola hutan tanaman industri (HTI) PT. Indrapuri (PTI). Kegiatan petani pada saat itu berlangsung secara subsisten dan belum mendapat bantuan modal kerja serta penyuluhan (bimbingan teknis) dari Pemerintah Kabupaten Aceh Besar.

2. Kegiatan Penggembalaan

Pengembalaan pernah berlangsung sebelum tahun 1998, namun tidak berkelanjutan disebabkan Aceh ketika itu terjadi konflik. Pengembalaan ternak kerbau dan lembu memamf lahaaatkan dataran milik negara sekitar 135 hektar. Pemeliharaan ternak lembu yang dilakukan petani di dalam peladangan dan perkebunan, hanyalah sebatas pemerliharaan ternak yang dimanfaatkan tenaganya untuk menggarap tanah.

(32)

16

Mengenai jadwal kajian lapangan terdiri atas tiga tahapan terpisah, yakni secara keseluruhan telah dilakukan Pemetaan Sosial, Evaluasi Kegiatan dan riset akhir berupa kajian pengembangan masyarakat untuk penyusunan program. Adapun jadwalnya, sebagaimana ditujukkan pada Tabel 1.

\

Tabel 1 Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat

NO JENIS KEGIATAN 06 TAHUN 2007 08 BULAN 12 1 4 7 8 9 10 11 12 1 2 1 Pemetaan Sosial 2 Evaluasi Program 3 Persiapan/kolokium 4 Penyusunan proposal 5 Kajian Lapangan 6 Penyusunan Tugas Akhir 7 Seminar dan Ujian

3.3 Sumber Data

Metode pengumpulan data lapangan dalam kajian pengembangan masyarakat ini dilakukan berdasarkan tujuan yang telah dirancang. Konsentrasinya meliputi; penentuan sumber data yakni melalui pemilihan responden dari populasi 60 kepala keluarga, berdasarkan kebutuhan setiap jenis data yang ingin dikumpulkan. Kebutuhan data meliputi data kualitatif dan data kuantitatif. Data primer dari responden dikumpulkan melalui instrumen survei, sedangkan data informasi dari informan ditempuh dengan wawancara. Semua data dimaksud akan dibahas bersama petani lahan kering dan stakeholders dalam FGD dengan menggunakan analisis SWOT. Tabel 2 berikut ini menunjukkan proses pengklasifikasian pengumpulan data.

(33)

Tabel 2 Matrik Kelengkapan Metode Pengumpulan Data

TUJUAN JENIS DATA SUMBER DATA ANALISIS DATA Mengidentifikasi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan petani dengan memanfaatkan potensi lahan kering Gampong Lampisang Dayah. Penggunaan lahan kering untuk kegiatan pertanian dan pengembalaan ternak dan tingkat produktifitas dalam pemanfaatan lahan tersebut. ƒ Responden : petani lahan kering. ƒ Informan : PPL Pertanian dan Mantri hewan dari dinas terkait. Analisis tabulasi kuantitatif Membandingkan tingkat kesejahte-raan petani lahan kering dengan mengukur tingkat pendapatan

keluarga dari sektor pertanian maupun pengembalaan.

Penghasilan petani lahan kering dari sektor pengembalaan dan dari sektor pertanian ƒ Responden : petani lahan kering ƒ Informan : aparat desa atau tokoh masyarakat. Analisis tabulasi data kuantitatif Merumuskan rancangan strategi dan rancangan program pengembangan masyarakat petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah ƒ Potensi lokal SDM, SDA dan akses fasilitas lainnya.

ƒ Partisipasi aktif Pemda Aceh Besar dan Petani ƒ Responden : petani lahan kering. ƒ Stakeholders : Unsur dinas terkait (Bappeda, BPMD Pertanian dan Peternakan). ƒ FGD ƒ Analisis SWOT ƒ Analisis kuantita tif dan kulitatif

(34)

18

3.4 Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data secara objektif perlu dilakukan pengumpulan data dari informan dan responden serta data pendukung lainnya dengan menggunakan 4 metodelogi. Keempat metode tersebut meliputi survei, wawancara, FGD dan studi dokumentasi, sebagaimana dijelaskan berikut ini :

3.4.1 Wawancara

Teknik pengumpulan data informasi dilaksanakan melalui wawancara tatap muka terhadap informan, dengan instrumennya adalah daftar wawancara terstruktur. Informannya meliputi seorang mantri hewan, seorang PPL Pertanian dan seorang aparat desa atau tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh kepala desa serta seorang pengusaha yang punya investasi dalam kegiatan penggembalaan ternak

3.4.2 Survei

Teknik pengumpulan data kuantitatif berupa data primer dalam kajian ini dilaksanakan dengan menggunakan instrumen kuisioner terhadap responden (sampel). Kuisioner dimaksud disusun dalam sebuah daftar kuisioner secara terbuka atau tidak diberikan pilihan jawaban yang mengikat, dengan demikian responden dapat menyampaikan data dan informasi secara lebih luas tentang kegiatannya. Guna memperoleh data survei secara sempurna dan objektif, maka sebelum operasional di lapangan terlebih dahulu dipilih sumber data (responden) secara acak. Dari 60 kepala keluarga petani lahan kering (populasi) Gampong Lampisang Dayah akan diambil sampel 17 kepala keluarga atau di atas 25 persen. Responden yang dipilih secara acak ditetapkan 13 kepala keluarga, sedangkan 4 kepala keluarga di pilih langsung terhadap seluruh penggembala ternak.

3.4.3 Focused Group Discussion (FGD)

Setelah hasil wawancara terkumpul dan analisis SWOT telah dilakukan, maka FGD dapat dilaksanakan karena FGD merupakan tindak lanjut hasil wawancara dan hasil analisis SWOT yang akan dibahas bersama petani dalam suatu pertemuan (diskusi). Pertemuan dan keikutsertaan petani dapat mengidentifikasi permasalahan dan kesulitan yang dialami komunitas petani lahan kering. Dalam kesempatan yang sama, pertemuan dapat merancang suatu rumusan program pengembangan masyarakat. Peneliti berperan ganda yaitu sebagai fasilitator diskusi dan pengamat jalannya diskusi. Peserta FGD adalah 17 KK petani lahan kering, stakeholders yaitu unsur Bappeda Aceh Besar, BPM, mantri hewan dan PPL Pertanian.

(35)

3.4.4 Studi Dokumentasi

Mempelajari arsip-arsip, dokumen-dokumen dan catatan monografi desa yang berkaitan dengan keberadaan lahan kering, kependudukan dan keorganisasian di tingkat desa. Data yang terkumpul melalui studi dokumen tidak mutlak digunakan seluruhnya karena sifatnya skunder atau sebagai data pendukung dalam menganalisis data primer yang terkumpul melalui survei, wawancara, analisis SWOT dan FGD.

3.5 Metode Analisis Data

Data untuk analisis SWOT dikumpulkan melalui penyebaran kuisioner SWOT terhadap 17 kepala keluarga responden petani lahan kering. Dalam operasional pengisian kuisioner dipandu langsung (bekerjasama) dengan staf Bappeda dan PPL Pertanian khusus membantu pemberian nilai (poin) pada setiap urutan jawaban kuisioner. Data yang dikumpulkan akan dianalisis secara kuantitatif sehingga ditemukan tingkatan/jumlah nilai secara pasti setiap poin jawaban responden. Langkah-langkah analisis SWOT harus ditempuh ;

1. Bobot setiap jawaban mempunyai alternatif pemberian nilai antara 1 – 4, semakin penting pengaruh faktor, maka semakin tinggi bobot yang akan diberikan.

2. Setiap nomor pertanyaan yang dijawab responden dijumlahkan rata-rata baris. 3. Semua nomor jawaban akan diakumulasikan secara total dalam nilai baris, lalu

dijumlahkan menjadi jumlah kolom dan dibagi dengan jumlah baris maka disebut jumlah kolom.

4. Nilai rata-rata baris yang lebih besar dari rata-rata kolom adalah kekuatan dan peluang. Sedangkan nilai rata-rata baris yang lebih kecil dari rata-rata kolom adalah kelemahan dan ancaman.

Berdasarkan data terukur tersebut dilakukan kajian bersama komunitas petani dalam FGD dalam dua sesi; pertama, identifikasi masalah petani lahan kering dan

kedua, rancangan program dan penyusunan program pengembangan masyarakat,

untuk menguatkan pemberdayaan petani lahan kering itu sendiri. Dalam proses pertemuan di forum FGD akan muncul tanggapan secara positif dan negatif, namun dapat disepakati sampai setuju untuk dirumuskan dalam matriks analisis SWOT.

Untuk mentransper pemikiran peserta diskusi ke dalam matriks analisis SWOT, menurut beberapa pakar harus diklasifikasikan hasilnya pada empat versi besar.

(36)

20

Rangkuti (2006), Siagian (1995) dan Adisasmita (2006), menjelaskan penyusunan

strategi tersebut, yaitu :

1. Strategi SO, mengandalkan seluruh kekuatan guna memanfaatkan peluang yang

ada.

2. Strategi WO, mengandalkan peluang yang ada guna menekankan kelemahan.

3. Strategi ST, mengandalkan kekuatan yang ada guna mengantisipasi ancaman.

4. Strategi WT, berusaha menekankan kelamahan guna mencegah munculnya ancaman.

3.6 Rancangan Penyusunan Program

Penyusunan program atau sepadan dengan pengajuan sebuah formulasi kebijakan yang wujudnya dapat diaplikasikan bagi komunitas petani lahan kering setempat. Setelah semua hasil riset diketahui dan dianisis, maka rancangan yang dirumuskan adalah mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama, meninjau kinerja petani dari aspek ekonomi, sosial budaya dalam aktivitas kehidupan pertanian subsisten, di samping melihat hubungan yang berpengaruh antara eksistensi internal dan tingkat keterlibatan eksternal dalam komunitas petani. Kedua, melihat potensi yang ada di okasi apakah telah dikembangakan atau diberdayakan. Ketiga, menetapkan lokasi pengembangan masyarakat berdasarkan evaluasi kegiatan yang ada, dengan memperhatikan keberlanjutannya dan tersedia sumber pendukung yang berpotensi.

Semua unsur di atas akan dirancang dengan memanfaatkan partisipasi bersama stakeholders dari intansi teknis Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan pelibatan unsur pihak ketiga meliputi pengusaha sebagai penyedia modal bagi petani lahan kering. Penyusunan rancangan program pengembangan masyarakat dilaksanakan secara terpadu antara fungsi peneliti sebagai fasilitator berlangsungnya pelaksanaan FGD yang menghadirkan responden dan memanfaatkan kembali stakeholders di atas.

Sebagai fokus awal rancangan program akan melihat secara mendalam terhadap kegiatan-kegiatan petani lahan kering yang sedang berlangsung. Setelah dianalisis terhadap dua kegiatan yang memanfaatkan lahan kering, akan dilihat sektor mana yang lebih menonjol aktivitas seluruh petani guna melihat permasalahan usahatani dimaksud. Di samping menemukan jumlah pendapatan responden, akan dikaji juga usahatani yang mana lebih dominan dikerjakan, apakah penggembalaan,

(37)

perkebunan atau ladang akan terpilih untuk dievaluasi pendapatan rata-rata dalam satuan pertahuan terhadap luas penggunaan lahan kering. Satu di antara tiga kegiatan akan diketahui bahwa sektor mana yang lebih menguntungkan pemanfaatan lahan kering dalam upaya meningkatakan kesejahteraan keluarga. Artinya sektor tersebut cocok dikembangkan sebagai suatu program pengembangan petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah.

Rancangan program yang dihasilkan berdasarkan kesepakatan dari FGD dengan melibatkan stakeholders (unsur Bappeda, Badan PMD dan PPL Pertanian), petani lahan kering yang dilakukan secara partisipatif. Bentuk rancangan program pengembangan masyarakat tersebut merupakan wujud dari jawaban pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan 5 W + 1 H. Rumusan dimaksud merupakan jawaban terhadap isi judul rancangan program (what), terhadap kelompok siapa dilakukan program (whom), siapa yang berperan melakukannya (who), dimana rencana lokasi program dilaksanakan (where) dan saat kapan mulai diselenggarakan (when) serta bagaimana teknis pelasanaannya (how).

(38)

22

IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT DAN PERTANIAN LAHAN KERING

Peta Sosial Gampong Lampisang L o k a s i

Gampong Lampisang Dayah letaknya di sebelah Barat Daya Gunung Seulawah, dengan ketinggian rata-rata 11 meter di atas permukaan air laut. Suhu rata-rata antara 25°C sampai dengan 28°C. Di lihat dari arah mata angin, posisi wilayah hukum desa adalah; Sebelah Utara berbatasan dengan Pemukiman Tanoh Abee, sebelah selatan berbatasan dengan hutan (tanah negara). Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lampisang Teungoh, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Capeung Dayah.

Luas desa ini 675 hektar, terdiri dari tanah pemukiman penduduk 13 hektar, lahan sawah irigasi (teknis) dan tadah hujan (rainfed) 135 hektar, lahan ladang 115 hektar, lahan kebun 48 hektar, lahan terlantar 95 hektar, hutan 36 hektar dan lainnya 8 hektar dan sudah termasuk tanah negara 225 hektar yang pernah dikelola Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Iindrapuri (PTI). Ketersediaan lahan kering desa ini mencapai 524 hektar (77,63 %) dari total luas desa. Lahan kering ini terdiri dari empat jenis, meliputi lahan hutan, ladang, kebun dan dataran. Tanah dataran rumput 100 hektar saat ini terlantar sebagaimana 135 hektar dataran rumput pada tanah negara. Secara keseluruhan kondisi lahan terlihat dalam Tabel 3.

Tabel 3 Jenis Lahan Menurut Luas

NO JENIS LAHAN LUAS (HA) PERSEN

1. Pemukiman 13 1,93 2. Sawah 135 20 3. Ladang 115 17,04 4. Kebun 48 7,11 5. Dataran 95 14,07 6. Hutan 36 5,33 7. Lain-Lain 8 1,19 8. Tanah Negara 225 33,33 JUMLAH 675 100

(39)

Desa ini dapat di tempuh melalui jalan lintas Sumatera dengan kendaraan umum dari Banda Aceh (ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) ke arah Timur hanya 38 kilometer dalam waktu 40 menit. Jalan raya lintas Sumatera tersebut letaknya tepat melintasi pertengahan pemukiman penduduk. Dilanjutkan perjalanan ke arah Timur, tepatnya lima kilometer terdapat ibukota Kecamatan Seulimeum. Sedangkan letak ibukota Kabupaten Aceh Besar bisa ditempuh 10 menit dari ibukota Kecamatan Seulimeum ke arah Selatan sejarak 13 kilometer.

Secara administrasi pemerintahan, Gampong Lampisang Dayah dipimpin seorang Keuchik (Kepala Desa), secara terstruktur terbagi atas tiga wilayah dengan sebutan dusun yang dikoordinir oleh kepala dusun. Secara struktur adat, Gampong Lampisang Dayah berada di bawah koordinasi Mukim (Penguasa terhadap beberada desa) Tanoh Abee, tetapi sampai saat ini Peraturan Daerah (Qanun) tersebut belum terealisasi dikarenakan konflik Provinsi NAD sehingga terhambat penerapannya selama puluhan tahun terakhir serta tersendatnya roda pemerintahan. Dalam administrasi pemerintahan, desa ini tetap di bawah susunan struktural Kecamatan Seulimeum.

Kependudukan

Penduduk Gampong Lampisang Dayah 120 kepala keluarga, berjumlah 502 jiwa, terdiri dari 259 laki-laki (51,59 %) dan 243 perempuan (48,41 %). Artinya terdapat 52 laki-laki diantara 48 perempuan dalam setiap 100 penduduk. Penduduk desa ini 100 persen suku Aceh dan 100 persen beragama Islam. Tingkat kepadatan penduduk terhadap luas areal desa 675 hektar, maka rata-rata sekitar 75 jiwa setiap km². Komposisi kependudukan dari jumlah 502 jiwa, bedasarkan kriteria usia jenis kelamin laki-laki dan perempuan terlihat sebagaimana disajikan dalam Gambar 3 berikut ini;

Gambar

Tabel  1  Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat
Tabel  2  Matrik Kelengkapan Metode Pengumpulan Data
Tabel  3  Jenis Lahan Menurut Luas
Gambar  3  Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan indeks Shannon-Wienner kategori kualitas perairan di kawasan mangrove desa Lubuk Kertang yaitu tergolong tercemar sedang.. Kata kunci : Kawasan Mangrove,

Kesiapan masyarakat dalam menghadapi rencana pembangunan waduk kuningan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Keanekaragaman

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh kesimpulan bahwa ubikayu varietas UJ 5/Kasetsart memiliki kandungan pati, rendemen, dan keuntungan

Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisa faktor risiko yang berhubungan dengan kecelakaan kerja pada pekerja maintenance di PT.Charoen Pokphand Indonesia Semarang Tahun

[r]

In these cases, the classical monitoring methods may prevent fetal and/or neonatal death, but they may not prevent the sequelae of chronic hypoxia because the serious damage to

Pengaruh Pendekatan Reciprocal Teaching Dengan Pemberian Brain Gym Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Materi Bangun Datar Segi Empat Kelas VII SMPN 2