KONSEP ASGHAR ALI ENGINEER TENTANG PERDAMAIAN DALAM ISLAM
A. FAKTOR EMPIRIK DAN IDEOLOGI DALAM KEKERASAN
Islam dewasa ini, menurut Asghar Ali Engineer menjadi agama yang paling banyak diperdebatkan. Banyak orang berfikir, Islam mencetak fanatisme dan kekerasan dan sebagian orang yang lain menegaskan bahwa Islam adalah agama damai dan memiliki daya pikat spiritual yang dalam. Banyak orang beranggapan bahwa Islam adalah agama pendorong teror, dan sementara pada pihak lain tidak kurang banyaknya orang meyakini Islam sebagai agama yang memberikan ketenangan batin dan kearifan.1 Perbedaan sudut pandang dalam memahami ajaran Islam tersebut menurut Asghar, berakibat pada perbedaan setiap orang melihat Islam dari sudut yang diinginkannya. Pemahaman itu berimplikasi pada munculnya sejumlah pendekatan terhadap Islam yang berbeda-beda dan setiap manusia berusaha melihat refleksi pendekatan dirinya dalam Islam.
Islam identik dengan kekerasan, tidak saja dalam benak non-muslim semata, tetapi arumsi tersebut juga ada dalam benak seorang muslim. Kata
‘Asghar Ali Engineer, Liberalisasi Teologi Islam : Dalam M em bangun Teologi D am ai Dalam Islam, terj. Rizqon Khamami, Alena B intang Jendela Aksara,Yogyakarta, cet. Ke-1, M ei 2004, him. 2
Jihad, menurut Asghar banyak digunakan oleh anak muda yang dilanda frustasi karena tidak mampu menemukan jalan lain dalam menghadapai realita yang ada di sekitarnya, dan kata tersebut juga oleh mereka yang berjuang untuk kemerdekaan nasional dan otonomi wilayah. Hal tersebut bisa berakibat membuat kesan seakan-akan kekerasan tersebut dianggap sebagai perang suci
{holy war) yang dibenarkan oleh Islam.2
Mengartikulasikan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan dan penggunaan agama untuk menjustifikasi sebuah tindakan akan menjadi senjata yang sangat ampuh. Agama dan teks-teks sucinya mampu menjadi pendorong untuk melakukan tindakan sosial, dan karena masyarakat kuat dalam memegang tradisi agama, maka nilai-nilai yang berlaku selalu dicarikan pembenar dari dimensi agama. Agama bagi para penikmat kekerasan adalah agama yang dimaknai sebatas identitas, bukan sebagai agama substansi.
Kekerasan menggunakan dalih untuk menegakkan ajaran agama, memang sudah menjadi tragedi kemanusiaan yang sudah sejak lama menghiasi perjalanan umat manusia. Ajaran agam a apapun dilihat dari sisi normatif, tidak akan mendorong dan menganjurkan pengikutnya untuk melakukan kekerasan. Tapi secara historis-faktual seringkah dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan oleh sebagaian anggota masyarakat yang mengatasnamakan agama.
Menurut Asghar Ali Engineer, dalam melihat suatu kekerasan penting untuk mencari faktor-faktor yang berpengaruh dalam kekerasan, sehingga dapat dibedakan mana yang bersifat empirik dan mana bersifat yang ideologi. Antara agama dan kekerasan, keduanya tidak selamanya bertemu. Kekerasan merupakan “empirik” karena banyak faktor yang terlibat didalamnya, sedangkan kedamaian adalah “ideologi”, karena agama sebagai peganggan manusia agar manusia hidup bahagia tidak akan mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan kekerasan. Dalam al-Q ur’an sendiri, memperbolehkan jalan kekerasan hanya dalam situasi yang tak terelakkan, namun juga memerintahkan damai sebagai norma yag harus dipatuhi. Agama apapun, sesungguhnya datang untuk menegakkan keadilan dan kedamaian di bumi. Kekerasan menurut Asghar, tidak pernah menjadi bagaian agama manapun, tidak terkecuali agama
o Islam.
Peperangan di kalangan umat Islam mulai muncul ketika Nabi Muhammad meninggal, banyak dari suku-suku bangkit menentang kekuasaan penduduk kota. Ini disebut riddah (kemurtadan) dan menjadi pemberontakan
yang umum terjadi di sepanjang Arabia. Suku Badui3 4 tidak pernah mau tunduk pada setiap keuasaan. Kondisi ekonomi mereka tidak memungkinkan mereka
3 Ibid., him. 183
4 Suku Badui berwatak keras. Keuletan dan ketabahan adalah keistim ewaan mereka, sedangkan kurang disiplin dan menghormati kekuasaan adalah kekurangan mereka. Kekurangan tersebut, berakibat timbullah berbagai masalah besar bagi lahirnya negara Islam. Lihat dalam Asghar Ali Engineer, Asal-U sul dan perkem bangan Islam: Analisis pertum buhan sosio-ekonomi, terj. Imam Baihaqi, Pustaka Pelajar, Yoyakarta, cet-Ke-1, N ovem ber 1999, him. 20
tunduk kepada setiap bentuk negara. Sementara, di dalam Madinah sendiri, perebutan kekuasaan terjadi antara berbagai kelompok setelah mendengar Nabi wafat dan suku-suku satu persatu mulai meniggalakan Islam.5 Abu bakar kemudian mengambil langkah yang tegas untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Peristiwa ini dikenal dengan perang riddah, dalam sejarah Islam.
Beribu-ribu orang mati dalam perang ini dan banyak kepentingan yang terlibat didalamnnya. Perang ini merambah hampir ke seluruh Arab dan nyaris menghancurkan kekhalifahan Islam yang baru saja berdiri. Konflik dalam agama baru (Islam) tersebut lebih disebabakan oleh faktor ekonomi, sosial dan moral.6
Peperangan untuk menaklukkan wilayah lain merupakan sesuatu yang integral dalam permulaan sejarah Islam. Hal tersebut didorong oleh persediaan makanan untuk pendududuk Arab yang telah memeluk agama Islam jumlahnya sangat banyak tidak lagi mencukupi, sedangkan peperangan antar suku sudah dilarang. Pencarian daerah yang subur guna memenuhi kebutuhan masyarakat Arab tidak terelakkan, dengan berekspansinya negara Islam, sumber-sumber pendapatannya pun mengalami peningkatan.7 Dalam prespektif Asghar, penaklukkan (invansi) yang dilakukan oleh para tentara M uslim waktu itu bukan untuk bertujuan menyebarkan Islam, akan tetapi lebih kepada untuk
5 Ibid.,him. 221 6 Ibid. him. 221
7 Asghar Ali Engineer, D evolusi Negara Islam, Imam M uttaqin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. Ke-1, Desember 2000. him. 78
mendapatkan harta rampasan.8 Sejarah kekerasan dalam Islam, lebih banyak disebabkan oleh kepentingan pribadi demi keuntungan sendiri, yang meliputi ekonomi, politik dan kekuasaan daripada karena ajaran Islam atau peperangan melawan non-muslim.
Kekerasan dalam Islam, menurut Asghar hendaknya diletakkan dalam konteks lintasan sejarah umat Islam. Menurutnya, seorang ahli sejarah yang berusaha mengamati asal-usul perkembangan Islam tidak dapat menggunakan pendekatan teologis dalam melihat suatu sejarah. Dia harus menggunakan faktor empiris dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam suatu agama jik a akan menggurai faktor-faktor lain selain faktor ideologis yang terlibat dalam pembentukan sejarah. Teologi, ideologi atau sebuah visi, memainkan peran dalam mendorong, mengarahkan secara apriori dan
memberikan orientasi teologis bagi sejarah. Sejarah tidak dapat dinilai dari faktor pendorong subjektifnya saja, karena ajaran-ajaran agama tidak dapat menciptakan sejarah, karena al-Qur’an juga memberikan kebebasan yang sangat luas kepada manusia untuk bertindak, dan menentukan mana yang baik dan buruk dalam segala tingkah lakunya.9
8 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agug Prihantoro, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. Ke-3, Januari 2003, him. 211
Kekerasan pada masa pasca Islam, lebih merupakan dampak dari perebutan kekuasaan dan tidak ada kaitannya dengan Islam .10 Asghar mencontohkan, tragedi hebat Karbala yang berlangsung pada sepuluh Muharram, yang mana cucu Nabi sampai terbunuh oleh kekuatan jah at saat ia hendak menghidupkan kembali moralitas luhur Islam. Lalu Bani Umayyah merebut kekuasaan dan bertindak keras dan kejam dalam upaya mempertahankannya. Y usuf al-Hajaj, Gubenur Iraq selama priode Umayyah, memakai teror besar dan sangat lalim dalam menghabisi musuh-musuhnya. Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, dengan beberapa pengecualian, tidak punya rasa penyesalan dalam menggunakan kekerasan demi tercapainya tujuan mereka. Para pendiri dinasti Abbasiyyah dikenal sebagai as-Saffah (orang yang
mengalirkan darah).11
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, terjadi perdebatan yang sangat sengit antara dua faham yang berlainan (Jabbariyah dan Qadariyyah). Bani Umayyah, yang pada saat itu berkuasa secara terang-terangan mendukung mereka yang mempercayai faham Jabbariyah, dan menindak tegas bagi mereka yang mempercayai faham Qadariyyah. M ereka yang berfaham Jabbariyyah berpendapat bahwa rezim Umayyah telah di takdirkan oleh Allah, dengan demikian harus diterima apa adanya. Sementara itu, mereka yang berfaham
10 Asghar Ali Engineer, Liberalisasi Teologi Islam, op.cit., him. 190 " Ibid., him. 190
Qadariyyah berpendapat, bahwa seorang muslim berhak menumbangkan rezim Umayyah lantas menggantikannya dengan rezim yang lebih adil. Pertarungan antara faham tersebut menurut Asghar pada dasarnya bersifat politis daripada agama. Dukungan yang diberikan Bani Umayyah lebih untuk mengamankan posisi mereka sebagi penguasa dari ancaman faham-faham yang berpotensi menggulingkan keuasaannya.
Tradisi keagamaan merupakan sesuatu entitas yang kompleks, karena tradisi tersebut bukan hanya perwujudan nyata dari pandangan keagamaan melalui proses sosio-kultural, namun berkembang secara beragam, dan selain itu juga ada yang seragam. Tradisi keagamaan, menurut Asghar dalam konteks ruang dan waktu tertentu akan sangat berbeda dengan tradisi keagamaan dalam ruang dan waktu yang lain.12 13
Dua tradisi besar dalam Islam (Sunni dan Syi’ah) juga mempunyai pandangan yang berbeda terhadap konsep kekerasan. Tradisi Sunni sangat erat dan identik dengan kekuasaan sedangkan tradisi Syi’ah sangat kental dengan kesyahidan {martyrdom). Konsep kekerasan dalam kedua tradisi tersebut juga
akan sangat berlainan. Tetapi dalam kedua tradisi besar tersebut tidak ada konsep tentang non-kekerasan (non-violence), kekerasan tidak begitu
12 Ibid., him. 88
ditonjolkan dalam kedua tradisi tersebut, akan tetapi non-kekerasan juga belum diterima sebagai doktrin yang integral.14
Tentang kekerasan, walaupun dalam al-Qur’an menolak secara tegas kekerasan, tetapi dalam seluruh tradisi Islam tidak ditemukan doktrin yang membahas non-kekerasan, tetapi al-Qur’an tidak menempatkan antara kekerasan dan non-kekerasan sebagai pasangan yang berlawanan, tetapi sebagai dua hal yang berbeda, dua bagian yang hidup yang tidak sama.
Islam di India juga sangat identik dengan kekerasan dan kekuasaan. Munculnya persepsi tersebut tidak berarti lantas menyalahkan semua kekerasan dalam sejarah Islam bersumber dari ajaran al-Qur’an. Pandangan yang mana Islam identik dengan kekerasan di India tersebut menurut Asghar, berasal dari orang Hindu di India Utara, dan tidak sepenuhnya anggapan tersebut salah. Islam masuk ke India Utara berkat invasi yang dilakukan oleh Qasim bin Muhammad. Invasi ini diikuti dengan pertentanggan diantara penguasa- penguasa di Asia tengah (yang memeluk agama Islam dengan berbagai latar belakang) yang terjadi susul-menyusul. Bagian selatan di sepanjang pantai Kerala justru sebaliknya, Islam disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dengan damai, sehingga Islam tidak dipahami sebagai agama dengan tradisi kekerasan, dengan demikian menurut Asghar ada semacam perbedaan orang
Hindu da'am memahami Islam antara India Utara dan India Selatan. Perbedaan persepsi tersebut berangkat dari latar-belakang masuknya Islam di India.15
Faktor-faktor yang melatar-belakangi terjadinya kekerasan dalam tradisi Islam di India harus betul-betul dipahami secara benar. Tujuannya, agar tidak terjadi kesalahan dalam mengidentikkan Islam tersebar melalui cara-cara kekerasan dan membenarkan penggunaan kekerasan. Penguasa Muslim yang melakukan invasi ke India, menurut Asghar, tidak ada yang mempunyai motivasi untuk menyebarkan atau mendakwahkan Islam secara mumi dan tulus. Faktor utama dari para penguasa tersebut adalah merampok, merampas atau menancapkan kekuasaan politik. Namun hal tersebut sulit untuk dijelaskan secara terbuka dan terus terang, dengan kata lain, invasi politik tersebut dilegitimasi dengan dakwah Islam. Asghar mencontohkan Ghaznavi, yang menyatakan sebagai seorang muslim sejati yang menghancurkan berhala di Somnath, dia tidak pernah kembali ke Sonmath untuk mengislamkan orang- orang yang menyembah berhala. Dia buru-buru merampas emas yang ada dikuil-kuil dan lari dengan memberikan kekuasaannya kepada penyembah berhala.16
Perselisihan antar penguasa Muslim di India, dan di banyak juga di daerah lain menurut Asghar, lebih disebabakan oleh faktor perbedaan suku,
15 Ibid., him. 215 16 Ibid., him. 215
bukan faktor agama. Di India, perselisihan itu lebih tepat disebut sebagai perselisiahan antara suku Thughlaq, Pathan, Mughal dan seterusnnya, daripada antara Syi’ah dan Sunni. Berbagai tindak kekerasan tersebut menurutnya, bukan karena agama semata, namun juga banyak dilatar-belakangi oleh struktur sosial yang timpang, dominasi satu etnik terhadap etnik lain dan juga perebutan kekuasaan yang terjadi secara turun-temurun.17 18 Secara tidak langsung dapat disimpulkan, bahwa hal yang paling mendukung terjadinya berbagai kekerasan tersebut karena didukung oleh kondisi ekonomi atau sosio-politik, karena agama tidak akan dapat berbuat banyak jik a memang kondisi sosial memungkinkan terjadinya hal tersebut. Seperti diungkapkan Asghar:
“In other words it is not religion per se wich explains violence but social structure, ethic domination or struggle for power which generates it. Even a religion giving most unrestricted sanction to violence cannot generate it if socio-economic or socio-political condition do not warrant it. And on the other hand, most non-violence religion cannot stop it if the social conditions are congenial to it”.
Asghar mengutip dalam kitab Futuhl al Buldan (pembebasan negeri)
karya al Baldhuri, yang menyebutkan adanya beberapa perjanjian antara muslim dan non-muslim untuk memahamai lebih jauh tentang Islam. Saat terjadi sejumlah peperangan antar berbagai pemimpin muslim maupun peperangan dengan non-muslim, lebih benyak berm otif penaklukan dan
17 Ibid., him. 216
18 Asghar Ali Engineer, Islam A n d Liberation Theology Essays On Liberative Elements In Islam, Sterling Publisher Private Limited L-10, Green Park Exstension, New Delhi, 1990, him. 158
hegemoni politik. Hal yang patut disayangkan adalah, adanya sejumlah sejarawan yang menganggap berbagai peperangan terse out sebagai satu cara untuk menyebarkan Islam. Hal tersebut sangat disayangkan oleh Asghar, karena anggapan tersebut tak berdasar dan terlalau disederhanakan. Menurutnya anggapan para sejarawan tersebut tersebut bukan dikarenakan pemahaman terhadap Islam yang begitu minim, akan tetapi karena kebencian mereka yang begitu mendalam terhadap Islam.19