• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOGRAFI DAN LATAR BELAKANG SOSIO KULTURAL ASGHAR ALI ENGINEER

B. SETTING SOSIO KULTURAL

Asghai Ali Engineer adalah pemikir Islam modem dari India yang cukup dikenal luas di Indonesia. Pemikiran-pemikirannya mengenai pluralisme, Islam sebagai ideologi pembebasan dan kesetaraan gender telah dibaca oleh kalangan terdidik di Indonesia, juga yang tidak boleh dilupakan adalah pandangan-pandanganya yang menolak keras ide tentang negara Islam dengan semata-mata mencontoh preseden klasik pada zaman Nabi dan sahabat.

Pada masa kecilnya, Asghar menyaksikan eksploitasi atas nama agama terjadi di India. Fenomena tersebut terjadi semenjak ayahnya sendiri berperan sebagai ulama Bohra. Dirinya menyesalkan sistem eksploitatif tersebut, namun ia tidak menemukan jalan lain, seakan-akan ia tidak punya alternatif lain dalam memaknai kehidupan. Pada usia yang masih muda, sampailah Asghar Ali pada suatu kesimpulan bahwa institusi keagamaan dapat dijadikan sebagai pemuas ambisi penguasa, padahal menurutnya, ketika membaca al-Qur'an, ia sangat yakin bahwa tujuan agama yang sebenarnya adalah memperkaya kehidupan batin serta mendekatkan diri kepada Allah.3

Akumulasi dari seluruh pengalaman pada masa kecil hingga beranjak dewasa tersebut memberi Asghar sebuah pandangan baru tentang hidup dan maknanya. Asghar sampai pada kesimpulan bahwa akal sangat penting bagi pembangunan intelektual manusia, tapi itu pun belum cukup. Wahyu

3 Artikel ini diambil dari hasil Talk Show Perspektif Progresif Seri Khazanah Progresif ke-10 kerjasama P3M dan 97,5 Jakarta News FM, pada Senin, 28 Pebruari - Jumat, 3 Maret 2005,

dibedah sebuah buku karya Asghar Ali Engineer beijudul Islam Masa Kini yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar 2004. diakses melaui: http://media.Isnet,org/Islam/mahdi/index.html.

menurutnya, adalah sumber petunjuk yang sangat penting untuk membangun kehidupan batiniah. Akal menurutnya, memainkan peran sangat krusial dalam kehidupan manusia dan signifikansinya tidak dapat diabaikan, tapi tak disangkal bahwa ia tetap memiliki keterbatasan dan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai makna akhir dan tujuan hidup. Berawal dari situ, Asghar menarik satu kesimpulan bahwa wahyulah yang lebih dibutuhkan dalam menjawab berbagai persoalan tersebut.4

Asghar adalah seorang intelektual muslim yang sekaligus aktifis sosial yang membangun karirnya sebagai seorang ilmuwan, jurnalis, reformer sosial, dan aktifis masyarakat. Ia sangat perduli dengan berbagi permasalahan yang dialami masyarakat, saat dunia tertidur, dengan mata tebuka lebar ia menulis buku, artikel, kolom, mengkonsep memorandum tentang hak-hak rakyat, atau merencanakan langkah selanjutnya melawan pemimpin Bohras. Pada saat itu, banyak orang yang terlantar dan hidup menderita dalam ke tidakpastian yang disebabkan meletusnya kerusuhan kota yang sangat mengerikan. Hal tersebut yang telah menggugah hatinya untuk mendengarkan jeritan kesengsaran keluarga-keluarga yang di serang, berbicara dengan para polisi, merekam kesaksian para aktifis politik dan sosial, serta merinci pengalamannya kemudian ditulis dalam majalah “Mingguan politik” dan “Ekonomi Bombay”, sangat banyak figur kota yang diekspos olehnya dalam

ulasannya tentang berbagai kerusuhan komunal pada masa pasca- kemerdekaan India.5

Hidup yang bermakna, bagi Asghar Ali Engineer hanya dapat dicapai kalau seseorang mampu menghormati orang lain tanpa terjebak dalam sekat- sekat yang diciptakan bagi kepentingan kekuasaan. Agama adalah sumber untuk menciptakan perdamaian, itulah esensi agama. Mereka yang menggunakan dalih agama untuk melakukan kekerasan adalah mereka yang bermain dengan kekuasaan. Menjadi orang beragama yang baik berarti tidak menyakiti sesama manusia, dan menjadi manusia yang baik berarti tidak terjebak pada simbol-simbol agama.

Kekerasan menurutnya, tidak akan menghasilkan apa pun kecuali kehancuran. Perdamaian, yang didalamnya berisi tentang keadilan dan harmoni sosial merupakan pilihan dari dua hal: non-violence (anti kekerasan)

atau non-existence (anti eksisitensi). Demi menegakkan perdamaian, Asghar

Ali Engineer memilih yang pertama (anti-kekerasan), pilihan itu acap membawanya pada situasi rumit di dalam masyarakat India yang memiliki spektrum luas dalam agama, kelompok, etnis, dan kasta. Akibatnya, ia tak hanya dipandang sebagai musuh oleh kelompok yang berbeda, tetapi juga di dalam kelompok yang sama dengannya.6

Asghar Ali menggambarkan pertemuannya dengan Mahant Gyndas (salah satu tOKoh Hindu yang berpengaruh di Ayodhya) pasca kasus

5 Robby H. Abror, op.cit., him. 297

0 Artikel Maria Hartiningsih dan Imam Prihadiyoko, dalam Makna Hidup Bagi Dr. Asghar Ali, di akses dari: http://www.Asghar Ali dan Perdamaian.com

pembakaran Masjid Babri di Ayodhya dan insiden kekerasan di Sabarmati Express yang menewaskan 59 orang. Dalam Ayodyc’s Voice tanggal 9

Oktober 2003. la menanyakan kepada Mahant: “Kapan Kuil Ramjanambhooni dibangun di bekas reruntuhan Masjid Babri?”, lantas Mahant mengatakan, “Kuil itu hanya akan dibangun kalau orang Hindu dan Muslim bekerja bersama membangunnya, kalau tidak sepakat tunggu keputusan pengadilan. Kuil itu tak bisa dibangun di atas tumpahnya darah manusia”. Asghar mengambil satu kesimpulan dalam pertemuan tersebut, bahwa kebersatuan Hindu-Islam lebih penting dibandingkan kuil. Kelompok Sangh Parivar dan kelompoknya yang agresif yang mengatasnamakan suara otentik dari 800 juta umat Hindu di India, menganggap suara Mahant tidak berhak mewakili orang Hindu, tetapi setidaknya suara yang mewakili kemanusiaan universal itu mulai mengganggu banyak yang penuh prasangka dan kebencian.7

Sebagai seorang aktifis sosial ia sendiri juga sering mengalami kekerasan. Pada tahun 2000 ia diserang oleh kelompok yang dipimpin oleh Sayedna Mohammed Burdanuddin, Kepala Komunitas Bohra, ketika pulang dari seminar mengenai harmoni sosial. Serangan itu tidak terlepas dari kegiatan Ali dan organisasinya “Gerakan Reformis Bohra” yang membela kelompok Dawoodi Bohra, suatu komunitas kecil Islam yang berbeda aliran dengan kelompok Islam arus utama. Sebagian besar anggota kelompok itu adalah pedagang. Organisasi itu juga melakukan advokasi untuk demokratisasi manajemen komunitas dan akuntabilitas dana komunitas, serta

meminta pemerintah menghentikan penarikan pajak yar.g tinggi oleh para pemuka agama. Perjuangannya menolak kekerasan komunal membuat Asghar beberapa kali diserang; di antaranya di Calcutta tahun 1977, Hyderabad tahun 1977 dan 1981, serta di Mesir tahun 1983.8

la mempertahankan langkah hidupnya dengan menggunakan dua ruangan kecil ai apartemennya yang dilengkapi perabot yang sangat terbatas dalam melakukan berbagai aktifitas intelektualnya. Inisiatif-inisiatif reformisnya muncul karena ia telah merasakan sendiri bagaimana dianiaya dan diserang secara fisik. Hal tersebut berlangsung pada saat ia melakukan kampanye-kampanye publiknya melawan komunalisme.

Banyak dari cita-c'tanya yang belum terpenuhi, yaitu agenda reformasinya yang belum sepenuhnya membebaskan daerahnya dari keterkungkungan, meskipun Ia mempunyai waktu dan terdorong pula oleh tindakan-tindakan yang melampaui batas yang telah dilakuan oleh Imam Besar Bohras. Rekomendasi Komisi Nathawani yang seharusnya membuat perasaan menjadi menyenangkan dalam masyarakat yang beradab, telah di buang ke dalam keranjang sampah sejarah. Pertanyaan yang muncul dalam benak Asghar adalah “Mengapa seseorang harus menantang pemimpin spiritual dari sebuah mitos agama yang berpengaruh di India sebelah Barat?”. Lantas ia mengambil satu kesimpulan, bahwa orang-orang muslim tidak bisa menagkap substansi dari perjuangannya.9

*lbid

Sosok Asghar Ali Engineer bukan hanya seorang pemikir, tetapi juga seorang aktifis. Kebetulan, ia merupakan pemimpin salah satu kelompok

Syi ’ah lsm a’iliyah, Daudi Bohras (Guzare Daudi) yang berpusat di Bombay

India. Melalui wewenang keagamaan yang ia miliki, Asghar Ali berusaha menerapkan gagasan-gagasannya. Untuk itu ia harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung bersikap konservatif, mempertahankan kemapanan.

Daudi Bohras, sebagai satu kelompok yang dipimpin oleh Asghar, banyak membentuk wataknya sebagai seorang aktifis sosial. Para pengikut Daudi Bohras dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi yang dijuluki

Amiru 7 Mukminin. Mereka mengenal 21 orang Imam. Imam mereka yang

terakhir Mawlana Abu ‘1-Qasim al-Thayyib yang menghilang pada tahun 526 H. Akan tetapi mereka masih percaya bahwa ia masih hidup hingga sekarang. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para Da’i (dari perkataan itu berasal ungkapan Daudi) yang selalu berhubungan dengan Imam terakhir itu.10

Menjadi seorang Da’i tidaklah mudah. Ia harus mempunyai 94 kualifikasi yang diringkas dalam 4 kelompok:

1. Kualifikasi-kualifikasi pendidikan 2. Kualifikasi-kualifikasi administratif

3. Kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal, dan 4. Kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.11

10 Eko Prasetyo, Islam Kiri: Jalan Menuju Revolusi Sosial. INSIST, Yogyakarta, cet Ke- 2, Febuari 2004, him. 23

Hal yang menarik adalah bahwa di antara kualifikasi itu, seorang Da’i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Asghar memenuhi semua kriteria seperti disebutkan di atas, maka ia juga disebut sebagai seorang Da’i.

Memahami posisi Asghar seperti disebutkan di atas, maka tidak heran mengapa Asghar Ali Engineer begitu lantang dalam menyoroti berbagai kezaliman dan penindasan yang terjadi dalam masyarakat. Ia menganjurkan bukan sekedar merumuskan teologi transformatif akan tetapi lebih dari itu. Asghar Ali menghimbau generasi muda Islam untuk merekonstruksi teologi radikal transformatif. Wacana tentang teologi pembebasan muncul di kalangan gereja Katolik di Amerika Latin, yang ternyata tidak direstui Vatikan. Pada saat itu Asghar justru menulis artikel tentang “Teologi Pembebasan dalam Islam”. Tulisan-tulisan dalam buku itu sarat dengan analisa filosofikal dan historikal untuk merumuskan teologi pembebasan dalam konteks modern.12

Asghar harus melintasi kerasnya hidup sebagai seorang aktifis sosial sendirian, namun ia tetap konsisten memerangi obskurantisme, intoleransi dan kemunafikan religius. Selama hampir dua dekade, ia bergulat dalam pergerakan dan ini betul-betul menganggu status quo dan merupakan ancaman

bagi kemapanan muslim, politik dan agama. Keprihatinan dan kegelisahannnya telah mendorong untuk menggugat segala bentuk kemapanan

12 Djohan Effendi, “Memikirkan Kembali Kita Asumsi Pemikiran Kita,” dalam Asghar Ali Engineer, Islam dan Pemebebasan ,LKIS, Yogyakarta, cet.Ke-2, Mei 2007, him. xii

yang menindas dan membodohi kaum yang lemah, sekalipun harus berhadapan dengan pemimpin teras spiritual. Semangat revolusioner Asghar cenderung bersifat praksis ketimbang teoritis. Hal itu tercermin dalam seluruh karyanya yang bersifat gugatan epistimologis dan liberatifhya.

Semangat Asghar yang begitu revolusioner tidak terlepas dari keyakinannya, bahwa pembebasan seringkah lahir dari kekuatan orang yang justru mengalami penderitaan, mengingat dia dapat memahami benar tentang penderitaan sesama manusia. Islam menurutnya, datang dari strata yang rendah dalam masyarakat yang didalamnya memiliki dua aspek, yaitu kemiskinan dan penderitaan. Seperti ia mencontohkan, jika Yesus terlahir dalam keluarga tukang kayu, maka Muhammad SAW pada masa kecilnya adalah penggembala onta. Islam hadir dan mendeklarasikan bahwa manusia sederajat dan sejajar di hadapan Allah. Islam juga mengajarkan supaya manusia jangan pernah melakukan pembedaan ataupun diskriminasi, semua orang harus mengupayakan terwujudnya kesejajaran.13

Sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW di masa-masa permulaan menyebarkan Islam juga menjadikan isnspirasi baginya, misalnya Asghar Ali sampai pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner, baik dalam ucapan maupun dalam tindakan, dan beliau berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat di zamannya. Sejarah Nabi adalah sejarah perubahan sosial untuk

13 Harian Kompas, 2002, Dr. Ali: Islam Pembawa Kebebeasan, diakses melalui: http://wvAy.kompas.com/kcm/

menentang sistem yang timpang. Dengan kata lain, sosok Muhammad menurut Asghar, dilahirkan sebagai voice o f social reform, dengan demikian

juga sama dengan Nabi-Nabi sebelumnya. Seperti Nabi Musa yang dianggap sebagai pembebas kaumnya yang mana ditindas oleh arogansi dan kesewenang-wenangan Fir’aun.14

Bertolak dari telaah kesejarahan terhadap dakwah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW tersebut, Asghar merevisi konsep dan pengertian

mukmin dan kafir, dengan mengambil sudut pandang yang berbeda dengan

apa yang umum sebagai mana dipahami oleh umat Islam sekarang. Ia mengatakan bahwa, ’’orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan terus membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan”. Dengan demikian bagi Asghar Ali, seorang mukmin sejati bukanlah sekedar orang yang percaya kepada Allah akan tetapi juga ia harus seorang mujahid yang berjuang menegakkan keadilan, melawan kezaliman dan penindasan, kalau ia tidak berjuang menegakkan keadilan dan melawan kezaliman serta penindasan, terlebih ia justru mendukung sistem dan struktur masyarakat yang tidak adil, meskipun ia percaya kepada Tuhan, orang itu dalam pandangan Asghar masih dianggap tergolong sebagai orang kafir.15

14 Agus Nurwanto, dalam Asghar Ali Engineer: Sang Teolog Pembebasan, op. c it.

Dokumen terkait