• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Faktor – Faktor Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup bersama dalam satu rumahtangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak (BPS 2000). Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam hal konsumsi pangan. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh karakteristik keluarga tersebut, diantaranya umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan orang tua dan alokasi pengeluaran rumahtangga.

2.5.1 Pengetahuan

Pengetahuan gizi dapat mempengaruhi keragaman konsumsi pangan penduduk. Namun demikian pengaruh positif ini dapat ditiadakan/berubah oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah daya beli atau ekonomi, ketersediaan waktu untuk membeli, mengolah dan menyiapkan makanan, preferensi atau kesukaan pangan, kepercayaan terhadap jenis pangan, dan ketersediaan pangan. Selain faktor tersebut, menyebutkan ada faktor lain yang berpengaruh terhadap keragaman konsumsi pangan, yaitu pendidikan gizi, paparan media masa dan pengalaman gizi, usia kedua orang tua, dan partisipasi ibu dalam kegiatan sosial (Hardinsyah, 2007).

Selanjutnya, Suhardjo (2003) menyatakan suatu hal yang menyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi, (3) ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga masyarakat dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.

Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati, 1992). Secara umum, di negara berkembang, ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan mempersiapkan pangan untuk dikonsumsi anggota keluarganya. Walaupun seringkali para ibu bekerja di luar, mereka tetap mempunyai andil besar dalam kegiatan pemilihan dan penyiapan makanan dan mengidentifikasi pola pengambilan keputusan dalam keluarga (Hardinsyah, 2007).

Umumnya penyelenggaraan makanan dalam rumahtangga sehari-hari dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai kesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan sehat sedini mungkin kepada putra putrinya. Ibu berperan penting dalam melatih anggota keluarganya untuk membiasakan makan yang sehat. Untuk memperoleh pangan sehat dan sesuai dengan standar maka perlu menguasai pengetahuan tentang pemilihan bahan pangan (Nasoetion & Riyadi 1995).

Pengetahuan ibu tentang gizi adalah apa yang diketahui ibu tentang pangan sehat, pangan sehat untuk golongan usia tertentu (misalnya anak, ibu hamil dan menyusui) dan cara ibu memilih, mengolah dan menyiapkan pangan dengan benar.

Pengetahuan ibu rumahtangga tentang bahan pangan akan mempengaruhi perilaku pemilihan pangan dan ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan dan pengolahan pangan. Pengetahuan tentang gizi dan pangan yang harus dikonsumsi agar tetap sehat, merupakan faktor penentu kesehatan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang pemilihan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi essential. Sedangkan status gizi lebih terjadi apabila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah yang berlebihan, sehingga menimbulkan efek yang membahayakan (Almatsier, 2009).

2.5.2 Pendidikan

Faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah pendidikan (Supariasa, 2002). Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada perubahan tingkah laku yang baik. Pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi tentang gizi. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan

lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi baru di bidang gizi.

Menurut Hardinsyah (2007), semakin tinggi pendidikan seseorang, maka aksesnya terhadap media massa (koran, majalah, media elektronik) juga makin tinggi yang juga berarti aksesnya terhadap informasi yang berkaian dengan gizi juga semakin tinggi. Wanita terpelajar cenderung untuk tertarik terhadap informasi gizi dan banyak di antara mereka yang memperoleh informasi tersebut dari media cetak, khususnya majalah dan koran.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan dan penghasilan lebih tinggi mendapat paparan dari media massa lebih tinggi juga (National Board for Family Planning (BKKBN) and Community System Foundation, 1986). Di Indonesia, seseorang dengan tingkat

pendapatan lebih tinggi relatif lebih mudah mengakses televise dan mereka yang tinggal di daerah perkotaan lebih mudah mengakses berbagai majalah populer. Oleh karena itu, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan rumahtangga dan wilayah tempat tinggal (desa atau kota) diasumsikan mempengaruhi kondisi individu seseorang/rumahtangga untuk terpapar media massa.

2.5.3 Pendapatan

Faktor penting yang diduga sebagai determinan dalam keragaman konsumsi pangan adalah daya beli pangan. Pola ’daya beli pangan’ ini merupakan hal yang umum dalam pustaka ekonomi, walaupun hal ini tidak dapat diukur secara langsung.

Daya beli pangan biasanya didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi rumahtangga

untuk memperoleh bahan pangan yang ditentukan oleh besarnya alokasi pendapatan untuk pangan, harga bahan pangan yang dikonsumsi, dan jumlah anggota rumahtangga. Dengan kata lain, daya beli pangan tergantung pada besarnya pendapatan dan harga bahan pangan. (Hardinsyah, 2007)

Menurut Soekirman (2000), apabila pendapatan meningkat pola konsumsi pangan akan makin beragam, serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi. Peningkatan pendapatan lebih lanjut tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih mahal, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi pangan di luar rumah.Pada kondisi terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil (Soekirman, 2000).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan cenderung semakin menurun sejalan dengan meningkatnya pendapatan walaupun total pengeluaran semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rachman (1994) mengenai Hukum Working yaitu pangsa pengeluaran pangan memiliki hubungan yang negatif dengan pengeluaran rumah tangga. Masyarakat akan terdorong memilih pangan dengan nilai prestise yang lebih tinggi sesuai dengan pendapatannya yang meningkat.

Jika rata-rata konsumsi energi dan protein tahun 2002 dibandingkan dengan Angka Kecukupun Gizi (AKG) berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998, yaitu Angka Kecukupa Energi (AKE) 2200 kkal/kapita per hari dan

Angka Kecukupan Protein (AKP) 48 gram/kapita, hanya penduduk berpendapatan tinggi saja yang telah melampaui AKE dan hanya penduduk berpendapatan rendah yang belum mencapai AKP. Namun jika menggunakan standar yang dihitung oleh Hardinsyah dan Tambunan (2004) yaitu AKE 2000 kkal/kapita/hari dan AKP 52 gram/kapita/hari hanya kelompok penduduk berpendapatan rendah saja yang belum melampaui AKG. Untuk bahasan selanjutnya AKG yang digunakan tetap menggunakan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998.

Menurut Madanijah (2004), menyatakan bahwa perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi keluarga. Jika pendapatan meningkat maka pembelian pangan dalam hal kualitas maupun kuantitas akan lebih baik. Jika pendapatan meningkat, pembelanjaan untuk membeli makanan juga bertambah, termasuk untuk buah–buahan, sayuran dan jenis makanan lainnya.

Dengan demikian pandapatan merupakan faktor yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap zat gizi.

2.5.4 Jumlah Anggota Keluarga

Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang telah bepergian enam bulan atau lebih, dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari enam bulan tetapi bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih, tidak dianggap anggota rumah tangga. Orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga enam bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari enam bulan tetapi berniat

menetap di rumah tangga tersebut, dianggap sebagai anggota rumah tangga (BPS, 2004).

Pemantauan konsumsi gizi tingkat rumah tangga tahun 1995-1998 juga menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga yang semakin banyak, akan semakin mengalami kecenderungan turunnya rata-rata asupan energi dan protein per kapita per hari yang ditunjukkan dengan prevalensi tertinggi pada rumah tangga yang beranggotakan diatas enam orang (Mapandin, 2006). Hasil penelitian Latief, (2000) menunjukkan bahwa selama terjadi krisis moneter, distribusi pangan yang dikonsumsi semakin memburuk pada rumah tangga yang mempunyai anggota yang cukup besar.

Survey pangan di India memperlihatkan bahwa tersedianya protein bagi setiap anak dalam keluarga dengan salah satu atau dua anak, mendapat 22 persen lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai anak empat atau lima anak. Kasus gizi buruk yang paling berat sering menimpa anak-anak dari keluarga besar (Soekirman, 2000). Menurut Hartog, Starveren & Brouwer (1995) ukuran rumah tangga (household size) merupakan penentu dalam konsumsi energi. Semakin besar ukuran rumah tangga, maka semakin sedikit pangan tersedia yang yang dapat didistribusikan pada anggota rumah tangga.

2.5.5 Umur Orang Tua

Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga

cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas perawatan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya dengan sepenuh hati (Gabriel, 2008).

Menurut Hardinsyah (2007), menyatakan bahwa pasangan orang tua dengan usia lebih tua kemungkinan mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan lebih baik jika dibandingkan dengan pasangan orang tua dengan usia muda karena pengalaman mereka dalam menggunakan berbagai layanan kesehatan. Akan tetapi, bahwa pasangan orang tua dengan usia lebih tinggi mungkin mempunyai kekurangan informasi tentang pengetahuan gizi yang terbaru jika dibandingkan dengan pasangan orang tua dengan usia muda. Hal ini terjadi karena perkembangan ilmu gizi dan berbagai promosi produk-produk gizi dan kesehatan.

2.5.6 Pengeluaran Pangan Keluarga

Pengeluaran pangan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan keluarga. Ini dapat dijelaskan dari hasil penelitian Sugiarto (2005), yang menununjukkan ada 32 rumahtangga (35,56%) yang tergolong tidak mampu (persentase pengeluaran pangan lebih dari 60%) yang masih perlu mendapat perhatian. Untuk mendukung Tingginya pengeluaran rumahtangga petani padi sawah untuk pangan dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani padi sawah harus terus ditingkatkan.Walaupun demikian seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi

pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan pangan. Pergeseran komposisi atau pola pengeluaran tersebut terjadi karena elastisitas permintaan terhadap pangan pada umumnya rendah, sementara elastisitas permintaan terhadap barang bukan pangan pada umumnya tinggi. Keadaan ini semakin jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi pangannya sudah mencapai titik jenuh (saturation point), sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan pangan atau ditabung.

Pola pengeluaran pangan rumah tangga telah menunjukkan perubahan dari pola pangan rumah ke pola pangan luar rumah. Selain itu juga terdapat kecenderungan meningkatnya konsumsi mie instan. Hasil analisis data SUSENAS yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian serta Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian menunjukkan bahwa pada tahun 2002, mie merupakan pangan pokok kedua, dan semakin signifikan pada tahun 2005, bahwa semua masyarakat di kota atau desa dan kaya atau miskin hanya mempunyai satu pola pangan pokok yaitu beras dan mie. Analisis lain dengan data data SUSENAS 1999, 2002 dan 2005 yang dilakukan oleh Saliem dan Ariningsih (2008) menunjukkan telah terjadi perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah rangga di pedesaan Indonesia yang mengarah pada mie/terigu, serta meningkatnya konsumsi dan pengeluaran untuk makanan jadi dan rokok (tembakau dan sirih).

Pangsa pengeluaran pangan masih mendominasi pengeluaran rumah tangga (51,92%), rumah tangga nasional dan perkotaan dalam hasil penelitian termasuk ke

dalam rumah tangga mampu karena pangsa pengeluaran pangannya berada pada interval 20-59 persen. Selain itu, karena pangsa pengeluaran pangan ≤ 60 persen pengeluaran total dan tingkat konsumsi energi >80 persen syarat kecukupan gizi, maka rumah tangga tersebut masih termasuk ke dalam kelompok rumah tangga tahan pangan. (Mauludyani & Resty, 2008). Berdasarkan data BPS (1992), rumah tangga yang tidak dinyatakan miskin karena pangsa pengeluaran pangannya lebih kecil dari 70 persen. Kondisi rumah tangga nasional dan perkotaan berbeda dengan rumah tangga pedesaan. Rumah tangga pedesaan termasuk ke dalam rumah tangga miskin.

Rumah tangga tersebut juga termasuk dalam rumah tangga rentan pangan.

2.6 Keterkaitan antar Variabel dan Penelitian-penelitian Terdahulu