• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Ketersediaan Pangan dengan Status Gizi Keluarga

aki-laki erempua

6 Rata-rata Kecamata

5.5 Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Ketersediaan Pangan dengan Status Gizi Keluarga

Setelah dilakukan analisis multivariat, didapatkan hasil bahwa kuantitas konsumsi pangan, kualitas konsumsi pangan dan ketersediaan berpengaruh terhadap

status gizi keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013, dengan nilai p = 0,001 untuk variable ketersediaan pangan keluarga, variable kuantitas konsumsi pangan dengan nilai p = 0,006 dan variable kualitas konsumsi pangan dengan nilai p = 0,003 (p < 0,05).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Matheson,DM., Varady, J. Varady, A &

Killen J.D (2002), penelitian ini meneliti hubungan antara ketahanan pangan dan status gizi anak-anak Hispanik dikatakan bahwa pertumbuhan yang memadai tidak hanya merupakan indikator gizi pada anak-anak yang tinggal di keluarga dengan ketersediaan pangan keluarga yang rawan pangan, tetapi status gizi juga dipengaruhi oleh kualitas makanan yang dikonsumsi. Dalam penelitian ini, jenis makanan yang dikonsumsi anak-anak secara signifikan terkait dengan persediaan makanan di rumah tangga mereka.

Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Soblia E.T (2009), didapat bahwa Tingkat ketahanan pangan rumahtangga juga memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan status gizi balita baik dengan indikator BB/U (r=0,290; p<0,01), TB/U (r=0,269;p<0,01), maupun BB/TB (r=0,142; p<0,01). Hal ini berarti makin tinggi tingkat ketahanan pangan rumahtangga maka akan makin tinggi pula tingkat konsumsi energi dan protein serta status gizi pada anak balitanya. Sehingga dapat menunjukkan bahwa pada tingkat konsumsi energi rumahtangga pada keluarga dengan balita berstatus gizi nornal nilainya jauh lebih baik dari pada keluarga dengan balita bersatatus gizi stunted. Tingkat kecukupan energi rumahtangga pada keluarga dengan balita normal berada pada kategori cukup, sedangkan pada keluarga dengan

balita stunted berada pada kategori defisit sedang. Tingkat kosumsi energi rumahtangga yang sekaligus menggambarkan ketahanan pangan rumahtangga ini, memberikan gambaran bahwa rumahtangga makin tinggi tingkat ketahanan pangan keluarga makin baik status gizi balitanya.

Meskipun konsumsi pangan mereka beragam namun tidak menjamin energi yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup dapat dipenuhi dengan baik. Ini terlihat dengan adanya keluarga yang konsumsi pangannya beragam namun TKE masih desifit (49,1 %). Hal tersebut dikarenakan konsumsi pangan yang beragam hanya pada jenisnya tetapi tidak diimbangi dalam jumlah pangannya. Keadaan ini menggambarkan bahwa konsumsi energi tidak hanya ditentukan oleh faktor pengetahuan pangan dan gizi serta pendidikan tetapi juga pengaruh faktor daya beli (Martianto & Ariani 2004). Pengetahuan memiliki hubungan yang erat dengan baik buruknya kualitas gizi dari pangan yang dikonsumsi. Dengan pengetahuan yang benar mengenai gizi, maka orang akan tahu dan berupaya untuk mengatur pola konsumsi pangannya sedemikian rupa sehingga seimbang, tidak kekurangan, dan tidak kelebihan. Pengetahuan gizi, sikap terhadap gizi, dan keterampilan gizi secara bersama-sama akan menentukan perilaku gizi (Pranadji 1988).

Hubungan antara ketersediaan pangan, akses makanan dalam keluarga, konsumsi pangan keluarga dan status gizi terlihat dengan tersedianya pangan di tingkat rumah tangga yang merupakan penentu akses pangan, dimana pada gilirannya, memberi peluang penting untuk meningkatkan konsumsi dan status gizi.

Pendapatan, elastisitas permintaan pangan serta alokasi sumber daya yang merupakan

variabel yang penting, yakni dengan pendapatan yang memadai penyediaan pangan dan akses pangan akan lebih besar, sehingga status gizi baik Perubahan tingkat konsumsi diterjemahkan ke dalam perubahan Status gizi yang dapat dipengaruhi oleh faktor seperti sanitasi, akses terhadap kesehatan, pola asuh anak dan akses ke air bersih.

Rasmussen et.al.(2006), melaporkan ketersediaan pangan rumahtangga sebagai salah satu faktor penentu yang paling penting dari pola makan keluarga.

Ketersediaan pangan keluarga dianggap sebagai hubungan antara masyarakat atau sumber lingkungan penjualan makanan dan asupan gizi perorangan. Berdasarkan penelitian Sisk, et.al. (2010), bahwa masyarakat di Amerika, lebih dari tujuh puluh persen ketersediaan pangan di rumah tangga di dapat dari membeli, dan tujuh puluh lima persen makanan tersebut merupakan sumber energi. Makanan yang tersedia di rumah tangga dapat memberikan gambaran tentang ketersediaan pangan keluarga dan pola konsumsi pangan keluarga.

Pengeluaran keluarga dapat dijadikan sebagai gambaran tingkat pendapatan keluarga. Penggunaan data pengeluaran disebabkan karena kesulitan dan kurang akuratnya data pendapatan. Pengeluaran keluarga yang rendah merupakan salah satu faktor penyebab masalah gizi yang dapat mengakibatkan rumah tangga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal ini berakibat pada kekurangan gizi, baik zat gizi makro maupun mikro. Pada saat pengeluaran keluarga berada suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan, maka ketahanan pangan dan status gizi dari kelompok rawan

mulai terancam. Pengeluaran makan keluarga ditentukan oleh daya beli makanan, kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga dan pola makan keluarga sehingga mempengaruhi asupan zat gizi. Kenaikan penghasilan mendorong masyarakat untuk memilih makanan yang kualitasnya lebih tinggi.

Hal ini sesuai dengan hukum Engel dimana pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga akan semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan (Deaton dan Muellbauer, 1980). Jika konsumsi energi dan protein merupakan gambaran dari ketersediaan pangan, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan dengan arah yang berlawanan antara pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dan ketersediaan pangan. Artinya semakin menurun pangsa pengeluaran pangan menunjukkan ketersediaan pangan yang semakin meningkat. Jika kembali ke Hukum Engel makin jelas bahwa pendapatan seseorang sangat

menentukan ketersediaan pangan. Menurut Engel, pangsa pengeluaran rumah tangga miskin lebih besar dari rumah tangga kaya. Pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung terhadap kesejahteraan (Deaton dan Muellbauer,1980).

Kemiskinan juga menjadi faktor yang meningkatkan kekhawatiran dalam pemenuhan kebutuhan pangan keluarga baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini menyebabkan keluarga menjadi tidak mampu membeli pangan untuk mencukupi kebutuhan mereka (Baliwati, 2004). Kemiskinan dan pendapatan yang rendah akan berakibat pada rendahnya konsumsi energi dan protein keluarga. Tingkat pendapatan keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh. Pada tingkat

pendapatan rendah, sumber energi utama diperoleh dari padi-padian, umbi-umbian, dan sayuran. Kenaikan pendapatan menyebabkan kenaikan variasi konsumsi makanan baik yang berasal dari hewani, gula, lemak, minyak, dan makanan kaleng (Suhardjo 1987).

Apabila pengeluaran makan meningkat, maka pola konsumsi pangan akan makin beragam, serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi. Besar anggota keluarga juga turut menentukan ketersediaan pangan dalam keluarga. Besar keluarga yang bertambah, menyebabkan pangan untuk setiap anak menjadi berkurang, distribusi makanan yang tidak merata juga dapat menyebabkan balita dalam keluarga tersebut menderita kurang gizi. Berdasarkan penelitian Rahma (2007) ditemukan adanya hubungan antara status ekonomi dengan kejadian gizi buruk, keluarga dengan status ekonomi yang rendah mempunyai peluang anaknya untuk menderita gizi.

Sesuai dengan kerangka pikir UNICEF menurut Syarief (2004) terdapat dua faktor yang terkait langsung dengan masalah gizi khususnya gizi buruk atau kurang, yaitu intake zat gizi yang bersumber dari makanan dan infeksi penyakit. Kedua faktor yang saling mempengaruhi tersebut berkaitan dengan berbagai faktor penyebab tidak langsung yaitu ketahanan dan keamanan pangan, perilaku gizi, kesehatan badan dan sanitasi lingkungan. Pada bayi dan anak balita, kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk

diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan pada keluarga sampel yang terbanyak adalah pendidikan dasar (66%),dimana 77% pendidikan SLTP dan 23%

pendidikan SD. Ini merupakan pendidikan yang rendah karena belum mencapai batas minimal pendidikan dasar yang diwajibkan pemerintah yaitu sampai 9 tahun (Sisdiknas, 2002). Pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi termasuk informasi tentang gizi. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi baru di bidang gizi (Suharjo, 1992). Selain itu tingkat pendidikan juga ikut menentukan mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin mudah seseorang menyerap informasi yang diterima termasuk pendidikan dan informasi gizi terkait dengan pentingnya mengkonsumsi energi secara adekuat. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan akan tercipta pola kebiasaan yang baik dan sehat (Handayani, 1994).

Kota Padangsidimpuan yang mempunyai latar belakang sosial budaya yang hampir sama seperti adat, suku dan kepercayaan. Kebiasaan makan seseorang yang merupakan hasil dari pengalamannya di masa lampau. Sianjur (1982), menyatakan bahwa 65 persen kebiasaan makan ditentukan oleh kebiasaan makan sewaktu masa kanak-kanak. Penelitian Mapandin (2006) mengungkapkan bahwa kebiasaan makan

ditentukan oleh faktor sosial budaya. Lingkungan budaya mensyaratkan pilihan makanan tertentu yang secara etnik boleh atau tidak boleh dimakan.

Pilihan akan jenis makanan yang dikonsumsi belum seimbang, dimana keadaan ini dapat dilihat dari proporsi pangan terutama proporsi energi dari pangan hewani yang masih kurang dari ketentuan yang dianjurkan FAO-RAPA. Kemungkinan pangan hewani yang dikonsumsi juga kurang beragam, dimana kebiasaan mengkonsumsi pangan hewani di Kota Padangsidimpuan adalah berasal dari pangan ikan yang telah di olah. Proporsi pangan untuk sumber karbohidrat yang tinggi dari yang dianjurkan juga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan konsumsi pangan, sumber karbohidrat yang tinggi tersebut adalah jenis padi-padian.

Padi-padian adalah sumber karbohidrta yang jika kelebihan akan dapat merugikan kesehatan, seperti dapat menyebabkan obesitas, dan dapat menurunkan konsumsi mikronutrien yang esensial. Jika di bandingkan dengan anjuran FAO-RAPA maka konsumsi padi-padian telah melebihi dari anjuran, maka dapat dikatakan bahwa telah mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah lebih. Dengan demikian kemungkinann terjadinya KEP atau defisit energi akan kecil, hal ini sejalan jika dilihat dari prevalensi KEP anak balita yang relatif kecil di Kota Padangsidimpuan, tetapi untuk mengarah kepada kejadian obesitas kemungkinannya akan lebih besar.

BAB 6