• Tidak ada hasil yang ditemukan

aki-laki erempua

6 Rata-rata Kecamata

5.1 Status Gizi Keluarga

Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan pengukuran berat badan menurut tinggi badan dan indeks masa tubuh terhadap umur serta indeks masa tubuh, terungkap bahwa sebagian besar status gizi keluarga dalam kategori baik (73,6%), dan selebihnya dengan kategori tidak baik (26,4%), hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga dalam status gizi normal. Status gizi keluarga merupakan indikator yang dapat menentukan derajat kesehatan. Karena status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh terutama untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga mencapai kematangan yang optimal.

Hasil pengukuran status gizi yang dilakukan ditentukan secara antropometri berdasarkan klasifikasi WHO-2005. Hasil status gizi perorangan yang di dapat pada setiap keluarga diketahui bahwa sebagaian besar anak-anak (usia < 2 tahun) dan remaja (2 s/d < 18 tahun) berstatus gizi normal, sedangkan ibu-ibu dari keluarga yang diteliti, ada yang berstatus gizi gemuk. Arkani (1992), menyatakan bahwa pada dasarnya status gizi seseorang ditentukan berdasarkan konsumsi gizi dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat-zat gizi tersebut. Status gizi yang normal menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi telah memenuhi kebutuhan tubuh. Menurut Supariasa et al. (2002), seseorang yang berada di bawah ukuran berat badan normal memiliki risiko terhadap penyakit infeksi,

sedangkan seseorang yang berada di atas ukuran normal memiliki risiko tinggi penyakit degeneratif.

Gizi yang cukup juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan bebas dari segala penyakit. Sehingga status gizi juga dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan (Hidayat 2008). Gizi yang seimbang selain dapat meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan kecerdasan dan menjadikan pertumbuhan yang normal terutama pada anak.

5.2 Ketersediaan Pangan Keluarga

Hasil analisis univariat pada keluarga sampel menunjukkan bahwa ketersediaan pangan keluarga yang terjamin sebanyak 61 keluarga (55,5%), selebihnya tidak terjamin sebanyak 49 keluarga (44,5%). Dari hasil penelitian menunjukkan sebagian besar kuantitas konsumsi pangan cukup sebanyak 50,8%, sedangkan 49,2% kuantitas konsumsi pangan yang defisit, dengan ketersediaan pangan keluarga yang terjamin. Kebutuhan energi terutama dipenuhi oleh bahan makanan pokok. Disebagian besar wilayah Indonesia, bahan makanan pokok itu adalah beras (nasi), 70-80% dari seluruh energi untuk keperluan tubuh berasal dari karbohidrat (Sediaoetama, 1991).

Hasil statistik dengan uji Chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara ketersediaan pangan keluarga dengan kuantitas konsumsi pangan (p=0,983). Begitu juga dengan hasil statistik dengan uji Chi square menunjukkan

tidak ada hubungan yang signifikan antara ketersediaan pangan keluarga dengan kualitas konsumsi pangan (p=0,917). Kenyataan tersebut bukan berarti bahwa ketersediaan pangan tidak berhubungan dengan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Ada beberapa kemungkinan bahwa tidak ada hubungan ketersediaan pangan keluarga dengan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan, karena alat bantu pengukuran ketersediaan pangan dengan kuantitas dan kualitas memiliki perbedaan waktu. Alat ukur ketersediaan pangan berupa kuesioner yang melihat kondisi ketersediaan pangan pada 12 bulan terakhir. Sedangkan alat ukur kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan di teliti pada saat penelitian. Hal ini yang kemungkinan menjadi penyebab ketidak adanya hubungan antara ketersediaan pangan dengan kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan.

Hasil analisis penelitian ketersediaan pangan keluarga dengan pola konsumsi dalam hal kualitas konsumsi pangan di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan diperoleh yang paling banyak ketersediaan pangan keluarga yang terjamin sebanyak 61 (55,5%) keluarga dengan kualitas konsumsi pangan yang beragam sebanyak 23 keluarga (37,7%). Selebihnya tidak terjamin sebanyak 49 keluarga (44,5%) dengan pola konsusmi yang tidak beragam sebanyak 31 (63,3%).

Hasil analisis penelitian ketersediaan pangan dalam status gizi keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan diperoleh paling banyak ketersediaan pangan keluarga yang terjamin sebanyak 61 keluarga (55,5%), dengan status gizi keluarga yang baik sebanyak 53 keluarga (86,9%). Selebihnya tidak terjamin sebanyak 49 keluarga (44,5%), dengan status gizi keluarga baik

sebanyak 28 keluarga (57,1%). Sesuai dengan penelitian Simarmata (2008) bahwa ketersediaan pangan responden kategori terjamin pada kelompok kasus sebanyak 8 orang dari 70 kasus (11,4%), kelompok kontrol sebanyak 48 (68,6%), rawan pangan tanpa kelaparan pada kasus 53 (75,7%), kontrol 20 (28,6%) dan ketersediaan pangan kategori rawan kelaparan tingkat sedang, kelompok kasus ada 9 (12,9%) dan kontrol hanya 2 (2,9%). Ada hubungan antara ketersediaan pangan dengan status gizi keluarga dengan nilai p = 0,001 diperoleh dari hasil uji Chi Square. Mengacu pada hasil tersebut bahwa semakin terjamin ketersediaan pangan semakin baik status gizi keluarga. Hasil analisis multivariat setelah dilakukan uji statistik dengan uji regresi logistik menunjukkan bahwa ketersediaan pangan berpengaruh terhadap status gizi keluarga dengan p = 0,001. Ketersediaan pangan yang terjamin akan mempunyai kemungkinan tujuh kali lebih besar untuk berstatus gizi baik dibanding dengan ketersediaan pangan yang tidak terjamin.

Sektor pertanian tanaman pangan yang terdapat di Kota Padangsidimpuan adalah berupa tanaman padi sawah, hal ini memungkinkan ketersediaan pangan keluarga menjadi cukup, tapi hal ini juga bukan menjadi ukuran bahwa tidak adanya keadaan status gizi kurang. Hal ini sesuai dengan keadaan di Sulawesi Selatan yang dikenal luas sebagai lumbung pangan nasional ternyata memiliki angka kejadian gizi kurang yang tinggi (Sudirman, 2007), begitu juga di Simalungun, bahwa ketersediaan pangan yang melimpah bukan menjadi ukuran tidak terjadi masalah kekurangan gizi (Simarmata, 2008).

Dari hasil penelitian Hidayat, (2004) menunjukkan hasil bahwa ada hubungan yang positif antara konsumsi makanan dengan status gizi anak (P< 0,001).

Anak yang diberi makanan lengkap status gizinya lebih baik daripada anak yang diberi makanan tidak lengkap. Status sosial ekonomi yang rendah menyebabkan rendahnya daya beli keluarga serta tingginya harga pangan yang juga dapat berkaitan dengan menurunnya ketersediaan pangan di tingkat keluarga. Jika ketersediaan pangan di rumah tangga menurun, otomatis konsumsi makan dan konsumsi zat gizi per anggota keluarga berkurang sehingga menyebabkan masalah gizi yang dapat menentukan status gizi perorangan. Ketersediaan pangan dalam keluarga mempengaruhi banyaknya asupan makan anggota keluarga. Semakin baik ketersediaan pangan suatu keluarga memungkinkan terpenuhinya seluruh kebutuhan zat gizi.

Hasil penelitian di dapat pekerjaan pada keluarga sampel yang terbesar adalah pekerjaan tidak tetap sebesar 78,2% dan tidak tetap sebesar 21,8%. Dimana pekerjaan tidak tetap yang terbesar adalah bekerja sebagai petani yakni 37% dan 21%

sebagai buruh tani. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan tidak ada hubungan yang ketersediaan pangan keluarga, hal ini sesuai dengan pendapat Khumaidi (1994) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terjamin dari hari ke hari, buruh tani memiliki beberapa sumber penghasilan lain baik di dalam maupun diluar pekerjaan utamanya (pertanian) dan/atau memobilisasi anggota rumahtangganya (istri, anak, orang tua) untuk menambah penghasilan rumahtangga. Pendapat Tarigan (1990) menyatakan bahwa dalam memenuhi

kebutuhan hidup rumahtangga buruh tani menerapkan strategi pola nafkah berganda, artinya anggota rumahtangga terlibat mencari nafkah di berbagai sumber baik disektor pertanian maupun diluar sektor pertanian.