• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Pola Konsumsi

Menurut Cahyono (2003), konsep konsumsi, yang merupakan konsep yang di Indonesiakan dari bahasa Inggris ”Consumption”. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut.

Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi

Menurut Hardinsyah (1992), pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu, hal ini berarti bahwa telaahan terhadap konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek

jenis pangan yang di konsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Madanijah (2004) mengartikan pola konsumsi pangan sebagai susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.

Menurut BPS (2010), pola konsumsi adalah jumlah persentase dari distribusi pendapatan terhadap masing-masing pengeluaran pangan, sandang , jasa-jasa serta rekreasi dan hiburan. Secara terperinci pengeluaran konsumsi adalah semua pengeluaran untuk makanan, minuman, pakaian, pesta atau upacara, barang-barang lama ,dan lain-lain. Yang dilakukan oleh setiap anggota rumah tangga baik itu di dalam maupun di luar rumah, baik keperluan pribadi maupun keperluan rumah tangga. Sedangkan menurut Departemen Pertanian (2005) pola konsumsi pangan diartikan sebagai sejumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum penduduk/seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhan hayati.

Menurut Magrabi, Cha, Chung,& Yang, (1991), karakteristik demografi secara empiris berkorelasi dengan pola konsumsi. Karakteristik demografi yang dimaksud antara lain adalah (1) jumlah anggota rumah tangga, dimana makin besar jumlah anggota keluarga maka cenderung jumlah konsumsi rumah tangga semakin besar, (2) komposisi rumahtangga, umur dan jenis kelamin, (3) tahapan siklus hidup keluarga, (4) tingkat pendidikan, (5) status dan jenis pekerjaan anggota rumah tangga, (6) urbanisasi, dalam hal ini aktivitas, kebutuhan dan ketersediaan produk tertentu bervariasi menurut kepadatan penduduk, (7) letak geografis dari tempat tinggal, dan (8) status penguasaan rumah tinggal.

Dari hasil penelitian Purwantini dan Ariani (2010), pola konsumsi pangan hasil analisisnya menunjukkan bahwa: (1) Pengeluaran pangan rumah tangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok, kemudian diikuti dengan pengeluaran tembakau/sirih dan pangan hewani; (2) Beras adalah pangan pokok petani padi dan bersifat tunggal, yang bersumber dari hasil sendiri, berkisar 38-63 persen di Jawa dan 53-94 persen di Luar Jawa. Sumbangan energi terbesar dari kelompok padi-padian (44-69%). Implikasinya adalah masih diperlukan upaya perbaikan pola konsumsi pangan pada rumah tangga petani padi secara terus menerus dan terarah agar pola pangannya sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan.

Muhilal (1994), dalam upaya peningkatan sumber daya manusia diharapkan protein hewani menyumbang 25–30 persen dari total protein yang dibutuhkan atau sama dengan 13–17 gram per orang per hari atau rata-rata lima belas gram perorang per hari. Dari lima belas gram protein tersebut diharapkan enam gram berasal dari peternakan dan sembilan gram dari perikanan. Ini berarti bahwa anak 1–2 tahun membutuhkan protein hewani sebanyak 6,25 gram. Ini berarti 2,5 gram dari peternakan dan 3,75 gram dari ikan. Bila dikonversikan ke bahan makanan ikan maka ikan yang dibutuhkan sebanyak 18,75 gram.

Perilaku konsumsi pangan masyarakat dilandasi oleh kebiasaan makan (food habit) yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga melalui proses

sosialisasi. Kebiasaan makan tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan ekologi (ciri tanaman pangan, ternak dan ikan yang tersedia dan dapat dibudidayakan setempat) lingkungan budaya dan sistem ekonomi. Oleh karena itu kesadaran untuk

mengkonsumsi pangan lokal dapat ditingkatkan. Peningkatan kesadaran tersebut dilakukan melalui kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) sehingga permintaan komoditi pangan lokal akan berkembang yang dapat dimulai dari tingkat rumah tangga

Diversifikasi yang merupakan kebutuhan nasional yang harus segera dilaksanakan. Pemerintah telah membuat kebijakan untuk mendukung diversifikasi makanan dengan tujuan agar dapat memenuhi kebutuhan karbohidrat yang tidak hanya tergantung pada beras. Bahan makanan non beras yang diutamakan dalam diversifikasi makanan sebaiknya bersumber dari produksi daerah seperti jagung, ubi,sagu dan lain-lain. Dengan pemanfaatan produksi bahan makanan non beras yang bersumber dari potensi local diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan di daerah.

Pengukuran keberhasilan upaya diversifikasi baik dibidang produksi, penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diperlukan suatu parameter. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). PPH tidak hanya pemenuhan kecukupan gizi yang diketahui tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas dan kemampuan daya beli. Melalui pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan. Semakin tinggi skor pangan maka semakin beragam dan semakin baik komposisinya (BKP, 2005).

Masing-masing negara didunia mempunyai potensi dan sosial budaya yang berbeda-beda. Di Indonesia menurut hasil Workshop on Food and Agriculture Planning for Nutritional Adequacy di Jakarta tanggal 11-13 Oktober 1989

direkomendasikan sebagai berikut: Kelompok padi-padian sekitar lima puluh persen makanan berpati sekitar lima persen, pangan hewani sekitar 15-20 persen, minyak dan lemak lebih dari sepuluh persen, kacang-kacangan sekitar lima persen , gula 6-7 persen, buah dan sayur lima persen (FAO-MOA, 1989).

Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan. Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolute maupun relatif terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan, yang mampu mencukupi kebutuhan konsumsi pangan penduduk.

Pola Pangan Harapan yang merupakan kumpulan beragam jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi pada komposisi yang seimbang. Pola pangan ini dapat digunakan sebagai ukuran keseimbangan dan keanekaragaman gizi (Hardinsyah, 2001). Selanjutnya dijelaskan bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit kebutuhan zat gizi juga terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Oleh karena itu, skor PPH mencerminkan mutu gizi konsumsi dan keragaman konsumsi pangan. Disamping itu dalam pembobotan setiap kelompok pangan telah mempertimbangkan kepadatan

energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan dan tingkat kelezatan (Riyadi 1996).

PPH disusun berdasarkan DPP (Desirable Dietary Pattern) FAO-RAPA yakni didasarkan pada pertimbangan faktor yang essensial seperti, kondisi iklim, geografis, genetik, sosial, ekonomi, budaya dan gaya hidup penduduk Indonesia. Metode PPH ini dapat menilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan. Skor pangan diperoleh dari hasil perkalian antara tingkat kontribusi energi kelompok pangan dengan bobotnya. Bahan pangan dikelompokkan menjadi sembilan yaitu padi-padian, umbi-umbian/pangan berpati, pangan hewani, minyak dan lemak, buah dan biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur/buah dan lain-lain. Bobot untuk setiapkelompok pangan didasarkan kepada konsentrasi kalori, kepadatan kalori, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan dan tingkat kelezatannya (Suhardjo, 1996).

Perhitungan untuk skor Pola Pangan Harapan: (1) bahan makanan yang dikonsumsi (energy) dikelompokkan ke dalam 9 jenis kelompok bahan makanan; (2) kemudian dihitung persentase masing-masing kelompok terhadap total energi; (3) persentase masing-masing kelompok dikalikan dengan rating menurut FAO untuk golongan padi-padian dan umbi-umbian 0.5; untuk golongan pangan hewani 2; untuk golongan minyak dan lemak 0.5 untuk golongan kacang-kacangan 2; untuk golongan buah/biji berminyak 0.5; untuk golongan gula 0.5; dan golongan sayur/buah 5.

Menurut Swindale & Bilinsky (2006),keragaman konsumsi pangan adalah indikator yang baik untuk alasan sebagai berikut yakni (1) Konsumsi pangan yang

lebih beragam berhubungan dengan peningkatan hasil pada berat kelahiran, status anthropometrik anak, dan peningkatan konsentrasi hemoglobin. (2) Konsumsi pangan yang lebih beragam erat kaitannya dengan faktor seperti: kecukupan energi dan protein, persentase protein hewani (protein kualitas tinggi), dan pendapatan rumah tangga. Bahkan pada rumah tangga yang sangat miskin, peningkatan pengeluaran untuk makanan yang dihasilkan dari penghasilan tambahan berhubungan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan.