• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelompok Tani Paprika “Dewa Family”

Alokasi sumberdaya atau input produksi sangat menentukan besar-

kecilnya kuantitas dan kualitas produksi yang akan dihasilkan. Hubungan antara input produksi dengan produksi yang dihasilkan disebut factor relationship atau

fungsi produksi. Dalam fungsi produksi dikenal istilah “faktor ketidaktentuan

(uncertainty)” dan “risiko (risk)” (Soekartawi 2002). Artinya penggunaan faktor produksi masih dipengaruhi oleh faktor lain diluar kontrol manusia, seperti serangan hama dan penyakit, serta kondisi cuaca dan iklim yang tidak menentu

(Soekartawi et al. 1986). Selain itu, jumlah produksi yang dihasikan juga dapat

dipengaruhi oleh penggunaan input produksi.

Faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produksi paprika

hidroponik adalah luas greenhouse, jumlah benih, jumlah nutrisi yang diberikan,

pupuk pelengkap cair, jumlah obat-obatan (insektisida dan fungisida) yang digunakan, dan jumlah tenaga kerja dalam satu musim tanam paprika (Lampiran 12). Variabel-variabel yang masuk dalam model merupakan variabel log natural

untuk jumlah produksi paprika (Ln Y), luas greenhouse (Ln X1), jumlah benih (Ln

X2), jumlah nutrisi (Ln X3), jumlah pupuk pelengkap cair (Ln X4), jumlah

insektisida (Ln X5), jumlah pestisida (Ln X6), dan jumlah tenaga kerja (Ln X7).

91 (ordinary least square atau OLS) untuk mengestimasi model fungsi produksi dengan pendekatan Cobb-Douglas.

Pendugaan model ketiga (Lampiran 15) diperoleh setelah mengeluarkan dua data pencilan (24 dan 11) untuk mendapatkan data yang normal. Walaupun masih terdapat multikolinieritas pada variabel bebas yang sama dengan pendugaan model pertama, asumsi autokorelasi dan homoskedastisitas sudah terpenuhi. Dilihat dari nilai Durbin Watson (2,028) dari hasil output yang terletak diantara dU (0,877) dan 4-dU (2,251) pada tingkat signifikansi satu persen, serta hasil

grafik residuals versus the fitted value pada Lampiran 16 tidak memperlihatkan

pola yang sistematis.

Pada pendugaan model ketiga diperoleh nilai koefisien determinasi (R2)

sebesar 83 persen, artinya bahwa 83 persen variasi produksi paprika hidroponik dapat dijelaskan oleh variabel yang ada di dalam model dan sisanya 17 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Dari hasil uji signifikansi menggunakan uji-t terdapat dua variabel yang berpengaruh signifikan pada tingkat

kepercayaan 10 persen yaitu benih (Ln X2) dan insektisida (Ln X5). Hasil

parameter penduga model fungsi produksi ketiga dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel9. Hasil Parameter Penduga Ketiga Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Usahatani Paprika Hidroponik di Kelompok Tani Paprika “Dewa

Family” Tahun 2011

Variabel Koefisien Regresi T-hitung P-value VIF

Konstanta -1,570 -0,67 0,510 Ln X1 (Luas GH) 0,3203 0,82 0,418 13,9 Ln X2 (Benih) 0,6986 1,70* 0,100 16,7 Ln X3 (Nutrisi) 0,4993 1,28 0,211 18,7 Ln X4 (PPC) 0,008692 1,05 0,301 1,1 Ln X5 (Insektisida) -0,4091 -1,97* 0,059 5,4 Ln X6 (Fungisida) 0,00097 0,09 0,931 1,5 Ln X7 (TK) -0,1112 -0,83 0,415 2,1 R-Sq = 83,0% R-Sq(adj) = 78,7% F-hitung = 19,50 P = 0,000 DW = 2.02786 Keterangan:

*) nyata pada α = 10%, ttabel = 1,684

Pada Tabel 9 terlihat bahwa terdapat hubungan linier diantara variabel bebas, atau disebut dengan multikolinier. Indikasi yang menunjukkan adanya multikolinearitas dilihat dari nilai VIF yang lebih besar dari 10 untuk variabel luas greenhouse (Ln X1), benih (Ln X2), dan nutrisi (Ln X3). Indikasi lainnya yang memperlihatkan gejala multikolinearitas menurut Gujarati (2006b) adalah nilai R-

92 sq dalam model yang tinggi yaitu 83 persen, tetapi hanya terdapat dua variabel bebas yang signifikan terhadap produksi paprika hidroponik. Implikasi adanya gejala multikolinearitas mengakibatkan koefisien yang diperoleh tidak valid, model yang diduga tidak sesuai harapan, dan uji signifikansi tidak dapat dibaca. Dengan demikian, dapat dikatakan model fungsi produksi Cobb-Douglas tersebut belum mampu menggambarkan model fungsi produksi yang baik.

Salah satu cara untuk mengatasi multikolinieritas menurut Gujarati (2006b) adalah mengeluarkan variabel yang mempunyai nilai VIF paling tinggi

dibanding variabel bebas lainnya, yaitu variabel Ln X2 (benih) dan variabel Ln X3

(nutrisi) secara bergantian. Namun, variabel benih dan nutrisi merupakan faktor penting dalam usahatani paprika hidroponik, sehingga tidak bisa dikeluarkan.

Cara lain dengan mentranformasi variabel luas greenhouse menjadi model fungsi

produktivitas, namun hanya beberapa variabel bebas yang signifikan pada taraf nyata 20 persen. Dengan demikian, diperlukan perbaikan model fungsi produksi untuk menghilangkan masalah multikolineritas.

Pendekatan lain untuk mengatasi masalah multikolinieritas adalah dengan

menggunakan metode Analisis Regresi Komponen Utama (Principal Component

Regression). Metode ini bertujuan untuk mengurangi variabel-variabel bebas yang berkorelasi sangat besar menjadi variabel-variabel baru yang tidak saling berkorelasi (Jollife 1986). Sehingga dapat menduga hubungan setiap variabel bebas yang ada dalam model dengan variabel terikatnya tanpa harus menghilangkan variabel-variabel bebasnya.

Analisis regresi komponen utama dipilih sebagai metode pendugaan lain untuk mendapat model terbaik yang dapat menggambarkan usahatani paparika hidroponik di kelompok tani paprika “Dewa Family”. Tahapan pertama yang dilakukan adalah membakukan variabel bebas awal (Ln X) menjadi Z. Selanjutnya, variabel Z (yang telah dibakukan) diolah dengan regresi komponen

utama (principal component regression) untuk mencari nilai akar ciri, proporsi,

kumulatif, dan vektor ciri dari matriks korelasi. Variabel bebas yang digunakan pada analisis regresi komponen utama merupakan kombinasi linier dari variabel Z, yang disebut dengan komponen utama (W). Dari hasil regresi dengan komponen utama diperoleh skor untuk komponen utama atau disebut dengan

93 variabel W. Tidak semua komponen utama (W) digunakan dalam regresi

selanjutnya. Pemilihan komponen W berdasarkan nilai akar ciri (eigenvalue) yang

lebih dari satu (>1).

Dari hasil regresi komponen utama pada Lampiran 17 akan diambil dua

skor komponen utama (W) karena memiliki nilai akar ciri (eigenvalue) yang lebih

besar dari satu, yaitu komponen utama pertama (W1) sebesar 3,761 dan komponen utama kedua (W2) sebesar 1,286. Dilihat dari nilai proporsi, komponen utama pertama menjelaskan sebesar sebesar 53,7 persen dari keragaman total, komponen utama yang kedua menjelaskan sebesar 18,4 persen, berikutnya sebesar 13,7 persen. Sementara lainnya hanya menjelaskan 10,2 persen, 2,9 persen, 0,7 persen, dan 0,5 persen dari keragaman total. Hal tersebut menunjukkan dari ketujuh komponen utama yang diperoleh, terdapat dua komponen utama yang memegang peranan penting dalam keragama total data, yaitu komponen utama

pertama (W1) dan kedua (W2) karena memiliki nilai akar ciri (eigenvalue) lebih

dari satu. Dari kedua komponen utama yang dipilih dapat dilihat proporsi kumulatif yang dapat dijelaskan sebesar 72,1 persen. Dengan demikian,

persamaan komponen utama W1 dan W2 yang diambil dari vektor ciri ke 1 dan 2,

dapat dirumuskan sebagai berikut:

W1 = 0,499 Z1 + 0,497 Z2 + 0,494 Z3 + 0,097 Z4 + 0,472 Z5– 0,025 Z6 + 0,165 Z7

W2 = 0,036 Z1 + 0,092 Z2 + 0,080 Z3– 0,390 Z4 + 0,091 Z5 + 0,724 Z6– 0,548 Z7

Selanjutnya, meregresikan kembali variabel terikat (Ln Y) terhadap dua

skor komponen utama yang sudah terpilih, yaitu W1 dan W2 (Lampiran 18). Hasil

analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Analisis Regresi Antara Variabel Terikat (Ln Y) dengan Skor Komponen Utama

Variabel Koefisien Regresi T-hitung P-value VIF

Konstanta 8,7444 142,56 0,000

W1 0,2748 8,57 0,000 1,0

W2 0,0537 0,98 0,335 1,0

R-sq = 69,3% F-hitung = 37,19

Berdasarkan Tabel 10, nilai VIF dari dua skor komponen utama (W) sudah

terbebas dari multikolinearitas (nilai VIF kurang dari 10). Sehingga variabel W1

dan W2 dapat digunakan. Persamaan regresi komponen utama yang diperoleh

94

Ln Y = 8,74 + 0,275 W1 + 0,0537 W2

Persamaan regresi tersebut masih dalam fungsi W, sehingga perlu dilakukan trasnformasi balik untuk mendapatkan fungsi dengan variabel X.

Dimana W1 dan W2 merupakan fungsi dari Zij, maka bila persamaan tersebut

disubtitusikan dengan persamaan W1 dan W2, diperoleh persamaan:

Ln Y = 8,74 + 0,139 Z1 + 0,142 Z2 + 0,140 Z3 + 0,006 Z4 + 0,135 Z5 + 0,032 Z6 +

0,016 Z7

Model yang sudah didapat selanjutnya ditransformasikan kembali ke bentuk persamaan yang mengandung variabel bebas (Ln X). Pentansformasian dari variabel Z menjadi variabel asal (Ln X) dapat dilihat pada Lampiran 19. Dari koefisien variabel yang telah diperoleh, dilakukan pengujian signifikansi secara parsial. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui bahwa seluruh koefisien regresi berpengaruh nyata atau tidak pada selang kepercayaan 95 persen, dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Analisis Signifikansi Koefisien Regresi Parsial Komponen Utama

Variabel Koefisien Simpangan Baku T-hitung

Ln X1 (Luas GH) 0,289 0,002413647 119,774 Ln X2 (Benih) 0,284 0,002502582 113,319 Ln X3 (Nutrisi) 0,252 0,002460749 102,239 Ln X4 (PPC) 0,001 0,003235525 0,275 Ln X5 (Insektisida) 0,240 0,002385856 100,566 Ln X6 (Fungisida) 0,006 0,005945143 0,970 Ln X7 (TK) 0,030 0.004568194 6,519 Keterangan: α = 5%, ttabel = 2,021

Berdasarkan uji signifikansi pada Tabel 11, terdapat lima variabel yang berpengaruh signifikan secara statistik pada taraf nyata 5 persen yaitu luas greenhouse (Ln X1), benih (Ln X2), nutrisi (Ln X3), insektisida (Ln X5), dan

tenaga kerja (Ln X7). Sehingga, model fungsi produksi yang diperoleh untuk

menggambarkan usahatani paprika hidroponik sebagai berikut:

Ln Y = -1,436 + 0,289 Ln X1 + 0,284 Ln X2 + 0,252 Ln X3 + 0,001 Ln X4 + 0,240

Ln X5 + 0,006 Ln X6 + 0.030 Ln X7

Nilai koefisien regresi dalam model tersebut menggambarkan nilai elastisitas produksi dari masing-masing faktor. Berdasarkan penjumlahan dari koefisien regresi pada model, diperoleh nilai elastisitas produksi sebesar 1,101. Nilai tersebut menunjukkan bahwa fungsi produksi paprika berada pada daerah I

95 scale. Artinya setiap penambahan faktor produksi secara bersamaan sebesar satu persen akan meningkatkan produksi paprika hiroponik sebesar 1,101 persen. Berdasarkan teori, pada kondisi ini titik produksi optimum belum tercapai. Salah satunya dikarenakan petani menghadapi risiko produksi seperti yang telah dianalisis sebelumnya, yaitu sebesar 0,332. Selain itu juga dikarenakan hubungan input dan output produksi, dimana penggunaan input produksi belum sesuai

sehingga outputnya bervariasi. Untuk melihat pengaruh masing-masing faktor

produksi terhadap produksi paprika hidroponik dapat dilihat dari besarnya koefisien regresi dalam model, uraiannya sebagai berikut:

1) Luas greenhouse (X1)

Penggunaan greenhouse berpengaruh positif dan siginifikan pada tingkat

kepercayaan 95 persen terhadap produksi paprika hidroponik. Faktor produksi

luas greenhouse memiliki nilai elastisitas sebesar 0,289 yang berarti bahwa setiap

penambahan luas greenhouse sebesar satu persen akan meningkatkan produksi

paprika hidroponik sebesar 0,289 persen (ceteris paribus). Nilai elastisitas

variabel luas greenhouse sebesar 0,289 menunjukkan bahwa luas lahan yang

digunakan berada pada daerah II, yaitu daerah rasional karena nilai elastisitas produksinya berada antara nol dan satu. Hal ini sesuai dengan hipotesis yaitu

semakin luas greenhouse yang digunakan oleh petani maka jumlah produksi

paprika akan semakin tinggi karena semakin banyak pula tanaman paprika yang dapat ditanam.

Berdasarkan karakteristik responden, ukuran greenhouse terkecil yang

dimiliki responden adalah 300 m2 dengan kapasitas kurang lebih 1.000 tanaman

dan terbesar adalah 2.500 m2 dengan kapasitas kurang lebih 9.000 tanaman.

Sampai saat ini belum ada hasil penelitian mengenai ukuran luas greenhouse yang

optimum untuk berusahatani paprika. Namun menurut Moekasan et al. (2008),

ukuran luas satu bangunan greenhouse minimal adalah 500 m2 dan maksimal

1.000 m2. Dengan luasan greenhouse 500 m2 budidaya paprika hidroponik secara

ekonomis sudah menguntukan, sedangkan dengan luasan lebih dari 1.000 m2 maka

jika ada serangan organisme penganggu tanaman (OPT) yang membahayakan

(serangan thrips, virus, ataupun layu fusarium) dapat mengakibatkan kerugian

96 2) Benih (X2)

Penggunaan benih berpengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi paprika hidroponik. Faktor produksi benih memiliki nilai elastisitas sebesar 0,284 yang berarti bahwa setiap penambahan benih sebesar satu persen akan meningkatkan jumlah produksi

paprika hidroponik sebesar 0,284 persen (ceteris paribus). Nilai elastisitas

variabel benih sebesar 0,284 menunjukkan bahwa benih yang digunakan berada pada daerah II, yaitu daerah yang rasional. Hal ini sesuai dengan hipotesis yaitu semakin banyak benih yang digunakan semakin banyak tanaman paprika sehingga hasil produksi paprika juga semakin tinggi.

Seluruh petani responden menggunakan benih F1 untuk menanam paprika. Varietas benih yang sering digunakan oleh petani adalah Chang dan Edison untuk paprika merah, dan Sunny untuk paprika kuning. Seperti yang dikemukakan oleh Enza Zaden, salah satu produsen dan pemasok benih paprika di kelompok tani paprika “Dewa Family”, 90 persen dari jumlah benih paprika yang disemai akan berkecambah. Artinya ada kemungkinan 10 persen dari benih yang disemai mengalami gagal semai. Perbanyakan dengan sistem sayat batang untuk mendapatkan bibit F2 yang dilakukan oleh beberapa petani akan menurunkan produktivitas tanaman paprika selanjutnya. Menurut Prihmantoro dan Indriani (2003) benih yang baru mutunya lebih terjamin karena dilengkapi presentase daya kecambah dan tanggal kadaluwarsa, dimana ketika benih yang ditanam melewati tanggal yang ditetapkan akan menurun mutunya.

Berdasarkan nilai elastisitas, jumlah benih yang digunakan petani rsponden selama ini masih memungkinkan untuk ditambah agar dapat menghasilkan produksi yang lebih banyak. Rata-rata jumlah penggunaan benih

paprika sebanyak 3.542 butir per 1.000 m2 dengan rata-rata jarak tanam 26,67 x

50 centimeter, maka tanaman yang akan dihasilkan sebanyak 3.188 tanaman atau

3,19 tanaman per m2. Jumlah tersebut masih dibawah batas yang dianjurkan oleh

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2012)12, yaitu dengan

jarak tanam 45 x 60 centimeter dapat menghasilkan populasi sebanyak 37.000

12

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2012. Konversi Jarak Tanam Terhadap Populasi Buah Buahan Dan Sayuran http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/712

97

tanaman per hektar atau 3.700 tanaman per 1.000 m2. Jika setiap polibag berisi

satu tanaman dan setiap tanaman dipelihara dua cabang utama, maka rata-rata

populasi batang adalah 6,38 batang per m2. Menurut hasil penelitian oleh Balai

Penelitian Sayuran, populasi batang per m2 masih dapat ditingkatkan menjadi 8,3

batang per m2 dengan jarak tanam 1,2 x 0,4 m. Dimana setiap polibag berisi dua

tanaman dan setiap tanaman dipelihara dua batang utama. Dengan sistem tersebut, total paprika dan buah berukuran lebih dari 200 gram yang dihasilkan menjadi

lebih banyak (Gunadi et al. 2006).

3) Nutrisi (X3)

Pupuk merupakan bahan yang diberikan pada media tanam untuk mencukupi kebutuhan hara yang dibutuhkan tanaman paprika agar dapat berproduksi dengan baik. Pupuk yang sudah dilarutkan dengan air disebut dengan nutrisi. Penyiraman (irigasi) pada tanaman paprika dilakukan bersamaan dengan pemberian nutrisi atau pupuk (fertigasi). Pemberian nutrisi secara rutin sesuai dengan fase pertumbuhan akan menghasilkan buah paprika yang maksimal karena

tanaman paprika sangat responsif terhadap air (Gunadi et al. 2006 dan

Prihmantoro dan Indriani 2003). Penggunaan nutrisi berpengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap jumlah produksi paprika hidroponik dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,252. Artinya, penambahan jumlah nutrisi sebesar satu persen akan meningkatkan jumlah produksi paprika

hidroponik sebesar 0,252 persen (ceteris paribus) dan berada pada daerah II atau

daerah rasional.

Petani responden memberikan nutrisi sekitar 0,4 hingga satu liter per polibag per hari. Rata-rata penggunaan nutrisi oleh petani responden sebanyak 0,91 liter nutrisi per polibag per hari, dalam sehari dilakukan dua kali penyiraman. Dalam satu periode tanam, petani responden menghabiskan rata-rata 944.134,74 liter nutrisi encer. Sebagian besar petani responden menyatakan bahwa jumlah nutrisi yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan tanaman dan masih berada di antara dosis yang dianjurkan. Menurut Moekasan (2002) yag diacu dalam

Moekasan et al. (2008), volume fertigasi pada tanaman paprika pada fase vegetatif

sebanyak 600 mililiter per tanaman per hari, pada fase berbunga dan mulai berbuah sebanyak 900 mililiter per tanaman per hari, sedangkan pada fase

98 pematangan buah sebanyak 1.500 mililiter per tanaman per hari. Selama petani masih memberikan nutrisi dibawah dosis yang dianjurkan akan meningkatkan hasil produksi paprika namun penambahan nutrisi yang berlebihan akan mengakibatkan busuk akar sehingga tanaman paprika rusak dan buah yang

dihasilkan akan lembeh dan pecah atau crack. Sebab paprika merupakan tanaman

yang responsif terhadap air. Dimana rata-rata kebutuhan tanaman paprika dewasa terhadap air dalam satu harinya adalah 0,5 liter (Prihmantoro dan Indriani 2003). 4) Pupuk Pelengkap Cair (X4)

Seperti tanaman sayuran lainnya, tanaman paprika juga membutuhkan pupuk lanjutan atau pupuk pelengkap seperti pupuk daun. Koefisien regresi pupuk pelengkap cair adalah sebesar 0,001 dan tidak siginifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen. Tidak nyatanya penggunaan pupuk pelengkap cair ini dikarenakan tidak semua petani responden (58,3%) menggunakan pupuk daun secara rutin. Menurut petani, pupuk daun diberikan jika kondisi tanaman paprika mengalami kelainan atau kekurangan unsur yang seharusnya dibutuhkan. Padahal kebutuhan unsur untuk tanaman paprika sudah terpenuhi dari nutrisi (pupuk AB Mix) yang diberikan secara rutin, namun karena adanya kecurangan yang dilakukan pekerja dengan memberikan dosis yang rendah maka timbul kelainan pada tanaman. Oleh karena itu, penggunaan pupuk pelengkap cair tersebut tidak tampak pengaruhnya.

Manfaat dari pupuk daun atau pupuk pelengkap cair adalah merangsang pertumbuhan, menyuburkan pertumbuhan daun, membuat buah menjadi lebih sehat, zat pengatur tubuh tanaman yang dapat diserap oleh seluruh bagian tanaman paprika mulai dari daun hingga akar, dan mempercepat pertunasan (Kelpitna 2009). Walaupun demikian, besarnya koefisien regresi menunjukkan setiap penambahan jumlah pupuk pelengkap cair sebesar satu persen akan

meningkatkan jumlah produksi paprika hidroponik sebesar 0,001 persen (ceteris

paribus). Pernyataan ini tidak mengikat karena uji statistiknya tidak nyata. 5) Insektisida (X5)

Insektisida yang digunakan mengandung bahan aktif untuk mengendalikan atau membasmi hama pada tanaman paprika. Hama yang paling banyak

99 Penggunaan insektisida berpengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi paprika hidroponik. Faktor produksi insektisida memiliki nilai elastisitas sebesar 0,240 yang berarti bahwa setiap penambahan insektisida sebesar satu persen akan meningkatkan jumlah produksi

paprika hidroponik sebesar 0,240 persen (ceteris paribus) dan berada pada daerah

II atau daerah rasional.

Penyemprotan insektisida dilakukan secara rutin oleh semua petani

responden dengan alasan untuk mencegah serangan hama thrips dan mengurangi

risiko kehilangan hasil panen. Rata-rata petani melakukan penyemprotan 6 hari sekali dengan jumlah penggunaan 14.021,26 mililiter dalam satu periode tanam. Terdapat 4 jenis bahan aktif insektisida yang sering digunakan oleh petani responden untuk mengendalikan hama, yaitu betasiflutrin, abemektin, spinosad, dan imidakloprid. Pengunaan insektisida berdasarkan dosis yang tertera pada

kemasan adalah 0,5 – 1 cc per 1 liter air per bahan aktif untuk sekali

penyemprotan. Petani responden selalu mencampur bahan aktif betasiflutrin

dengan bahan aktif lainnya menjadi 1 – 2 cc per 1 liter air untuk sekali

penyemprotan, dan dilakukan secara ganti-gantian dengan bahan aktif lain untuk penyemprotan selanjutnya. Menurut Robb dan Parrella (1995) dalam Prabaningrum dan Moekasan (2007), penggiliran penggunaan insektisida yang

tidak sejenis dapat menunda terjadinya resistensi thrips terhadap insektisida

tersebut. Namun, lain halnya menurut Moekasan (2004) dalam jurnal yang sama, menyatakan bahwa percampuran suatu jenis insektisida dengan insektisida lain akan menimbulkan efek sinergistik, antagonistik, atau netral. Dengan kata lain, pencampuran yang dilakukan oleh petani suatu tindakan yang kurang tepat.

Sebagian besar petani sudah menggunakan berdasarkan dosis yang

dianjurkan, akan tetapi ketika hama thrips sedang banyak biasanya petani

menambahkan dosis bahan aktif atau mempersering penyemprotan hingga seminggu dua kali. Peningkatan jumlah penggunaan insektisida dapat membantu

mengurangi serangan hama, terutama hama thrips. Prabaningrum dan Moekasan

(2007) menyatakan bahwa daya persistensi insektisida umumnya bertahan 7 hingga 14 hari. Sehingga penyemprotan secara rutin atau ditingkatkan memang dapat mengurangi hama yang ada pada tanaman paprika namun terdapat efek

100 samping yang ditimbulkan, yaitu hama menjadi resistan atau kebal terhadap obat, residu pada buah paprika sehingga tidak aman dikonsumsi, dan biaya produksi meningkat.

6) Fungisida (X6)

Fungisida yang digunakan mengandung bahan aktif yang dapat membunuh penyakit pada tanaman paprika. Koefisien regresi fungsida pada model adalah sebesar 0,006 dan tidak nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Tidak nyatanya koefisien regresi fungisida tersebut disebabkan oleh penyemprotan fungisida yang juga jarang dilakukan oleh petani. Penyemprotan fungisida dilakukan jika tanaman terserang penyakit yang disebabkan oleh jamur atau sebagai pencegahan. Menurut petani, penyakit yang menyerang seperti tepung daun dan bercak daun biasanya dapat dikendalikan dengan sekali penyemprotan, sehingga tidak rutin dilakukan.

Menurut Prabaningrum dan Moekasan (2007) hama thrips merupakan

kendala utama pada sistem produksi paprika, adapun penyakit yang juga sering menyerang tanaman kemungkinan kalah dengan hama. Begitu juga dengan kondisi di lapang, sehingga penggunaan fungisida oleh petani responden tidak tampak pengaruhnya. Walaupun demikian koefisien regresi sebesar 0,006 dapat diartikan bahwa setiap penambahan fungisida sebesar satu persen akan diikuti dengan kenaikkan jumlah produksi paprika hidroponik sebesar 0,006 persen (ceteris paribus). Pernyataan ini tidak terlalu mengikat karena uji statistiknya tidak nyata.

7) Tenaga kerja (X7)

Penggunaan tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi paprika hidroponik. Faktor produksi tenaga kerja memiliki nilai elastisitas sebesar 0,030 yang berarti bahwa setiap penambahan tenaga kerja sebesar satu persen akan meningkatkan jumlah produksi

paprika hidroponik sebesar 0,030 persen (ceteris paribus) dan berada pada daerah

II atau daerah rasional. Tenaga kerja dibutuhkan dalam usahatani paprika pada setiap kegiatan produksi mulai dari persiapan hingga pemanenan. Ketersediaan tenaga kerja bukan saja dilihat dari banyakya jumlah tenaga kerja, namun lebih kepada kualitas dan kemampuan pekerja yang sangat menentukan hasil produksi.

101 Dalam pembudidayaan paprika terdapat pekerjaan yang detail, seperti penyemaian dan penanaman membutuhkan pekerja wanita, sedangkan untuk pemeliharaan membutuhkan satu orang pekerja tetap pria. Tenaga kerja harus disiplin dan mematuhi prosedur yang telah ditetapkan agar dapat memaksimalkan produksi paprika hiroponik.

Rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam usahatani paprika hidroponik mulai dari penyemaian hingga panen yaitu sebanyak 243,28 HOK, baik tenaga kerja dari dalam keluarga maupun luar keluarga. Berdasarkan pengamatan di lapang, penggunaan tenaga kerja telah mencapai jumlah yang optimal. Jika ada penambahan tenaga kerja yang banyak perlu dipertimbangkan baik-baik, karena belum tentu dengan penambahan tenaga kerja akan meningkatkan produksi paprika. Oleh karena itu, pengaruh dari tenaga kerja relatif kecil walaupun tetap berpengaruh secara signifikan.

Dokumen terkait