Menurut teori ekonomi, produksi atau memproduksi adalah suatu kegiatan untuk menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari bentuk semula (Putong 2010). Dalam proses produksi barang dan jasa dibutuhkan sumber daya berupa alat atau sarana yang disebut dengan faktor-faktor produksi. Faktor-faktor produksi yang dimaksud adalah manusia (tenaga kerja), modal (uang), sumber
daya alam (tanah), dan skill (teknologi). Bila faktor-faktor produksi tersebut tidak
ada, maka tidak ada juga produksi yang dihasilkan (Griffin dan Ebert 2003, dan Putong 2010).
Dalam pertanian, produksi merupakan perangkat prosedur dan kegiatan yang terjadi dalam penciptaan suatu komoditas berupa kegiatan usahatani maupun usaha lainnya (Rahim dan Hastuti 2008). Soekartawi (1994) menyebut faktor produksi dengan sebutan “korbanan produksi”, karena faktor produksi tersebut “dikorbankan” untuk menghasilkan produksi. Faktor-faktor produksi yang digunakan adalah kekayaan sumber daya alam berupa lahan pertanian, sumber daya manusia berupa tenaga kerja, modal yang berbentuk barang (bibit, pupuk, dan obat-obatan) atau dalam bentuk uang, dan manajemen atau keterampilan (skill), serta faktor pendukung seperti iklim dan teknologi (Kadarsan 1992, Rahim
dan Hastuti 2008, dan Soekartawi et al. 1986). Dapat disimpulkan bahwa produksi
komoditas pertanian merupakan hasil proses dari lahan pertanian dengan berbagai pengaruh faktor-faktor produksi.
Hubungan teknis antara faktor produksi (input) dengan hasil produksi
(output) disebut dengan fungsi produksi atau factor relationship. Analisis fungsi produksi adalah analisis yang menjelaskan hubungan sebab-akibat (Soekartawi 2002, Rahim dan Hastuti 2008, dan Putong 2010). Dimana variabel Y
menggambarkan hasil produksi dan variabel Xi adalah masukan i, maka besarnya
Y dipengaruhi oleh besarnya X1, X2, …, Xi, Xn yang digunakan pada fungsi
20 Y = f (X1, X2, …, Xi, Xn)
dimana: Y = produksi atau output
X1, X2, ..., Xi, Xm = faktor produksi atau input
Dengan fungsi produksi tersebut, maka hubungan Y dan X dapat diketahui dan
sekaligus hubungan X1, …, Xn, dan X lainnya juga dapat diketahui.
Menurut Soekartawi et al. (1986) dan Gujarati (2006a), pemilihan model
fungsi produksi sebaiknya relevan dengan analisis ekonomi. Artinya berlaku
asumsi tambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns) untuk
semua variabel X, dimana setiap tambahan unit masukan (input) akan
mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin kecil dibanding unti tambahan masukan tersebut. Salah satu model fungsi yang biasa digunakan dalam menganalisis usahatani adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Dalam Soekartawi (1994; 1995; dan 2002) fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang dijelaskan disebut variabel terikat (Y) dan variabel yang menjelaskan disebut variabel bebas (X). Tiga alasan pokok memilih menggunakan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas menurut Soekartawi (2002):
1) Penyelesaian fungis produksi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan
dengan fungsi lain. Fungsi Cobb-Douglas dapt dengan mudah diubah ke dalam bentuk linier.
2) Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan
koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan elastisitas.
3) Besaran elastisitas tersebut juga sekaligus menunjukkan pergerakan skala
usaha (return to scale) atas perubahan faktor-faktor produksi yang digunakan
dalam proses produksi. Untuk menetukan keadaan dari suatu usaha, apakah
mengikuti kaidah increasing, constant, atau decresing to scale melalui
penjumlahan seluruh koefisien regresi pada model.
a) Increasing returns to scale, jika (a1 + a2)> 1. Artinya, fungsi produksi berada pada kenaikkan hasil yang semakin bertambah. Dimana proporsi
penambahan input produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang
21 b) Constant returns to scale, jika (a1 + a2) = 1. Artinya fungsi produksi
berada pada kenaikan hasil yang tetap. Dimana penambahan input
produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. c) Decreasing returns to scale, jika (a1 + a2) < 1. Artinya, fungsi produksi
berada pada kenaikan hasil yang semakin berkurang. Dimana proporsi
penambahan input produksi melebihi proporsi penambahan produksi.
Hubungan antara X dan Y diselesaikan dengan cara regresi, yaitu variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Secara matematis, fungsi Cobb- Douglas dapat dituliskan seperti berikut:
Y = a0 eu
Dimana: Y = variabel yang dijelaskan (dependent variable)
X = variabel yang menjelaskan (independent variable)
a0, ai = besaran yang akan diduga
u = faktor kesalahan (disturbance term)
e = logaritma natural (e = 2,718)
Dalam persamaan fungsi tersebut terdapat bilangan berpangkat, maka
untuk memudahkan pendugaan dilakukan transformasi ke dalam bentuk logaritma
natural (Ln) sehingga menjadi fungsi linier berganda (multiple linier). Persamaan fungsi dapat dituliskan kembali menjadi:
Ln Y = Ln a0 + a1 Ln X1 + a2 Ln X2 + … + ai Ln Xi + … + an Ln Xn + u
Pada persamaan tersebut terlihat bahwa nilai a1 dan a2 tetap walaupun
variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini tejadi karena a1 dan a2 pada
fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan elastisitas X terhadap Y (Soekartawi 2002). Elastisitas produksi (Ep) merupakan presentase perbandingan
hasil produksi atau output sebagai akibat dari presentase perubahan input atau
faktor produksi yang digunakan (Soekartawi 2002 dan Rahim dan Hastuti 2008). Elastisitas produksi digunakan untuk mengetahui tingkat produksi yang optimum dari pemakaian faktor-faktor produksi, dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ep =
⁄
Ep =
Ep
=
PM22
Ep
=
Dimana: ΔY = perubahan hasil produksi komoditas pertanian
ΔX = perubahan penggunaan faktor produksi Y = hasil produksi komoditas pertanian X = jumlah penggunaan faktor produksi
ΔY/ΔX merupakan produk marjinal (PM) yaitu tambahan produksi yang
dihasilkan dari tambahan satu unit input, sementara Y/X merupakan produk rata-
rata (PR) yaitu produksi per satuan input (Soekartawi 2002 dan Rahim dan Hastuti
2008). Fungsi produksi dapat dinyatakan dengan kurva produksi, yaitu kurva yang
menggambarkan hubungan fisik faktor produksi (input) dan hasil produksinya
(output), dengan asumsi hanya satu faktor produksi yang berubah dan faktor
produksi lainnya dianggap tetap (ceteris paribus). Selain itu, fungsi produksi juga
menggambarkan produk marjinal (PM) dan produk rata-rata (PR). Hubungan input dan output dapat digambarkan seperti yang tercantum pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan antara Produk Total (PT), Produk Marjinal (PM), dan Produk Rata-rata (PR)
Sumber: Rahim dan Hastuti (2008) dan Soekartawi (2002)
PT
Ep>1 0<Ep<1 Ep<0
I II III X PM/PR PM PR X X1 X2 X3 Y Hasil Produksi Faktor Produksi
23 Berdasarkan Gambar 2 kurva produksi dibagi menjadi tiga daerah, yaitu:
1) Daerah produksi I dengan nilai elastisitas produksi lebih besar dari satu (Ep >
1). Terjadi saat nilai PM lebih besar dari PR, artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi yang selalu lebih besar dari satu persen. Pada daerah ini belum tercapai keuntungan yang maksimum karena produksi masih dapat ditingkatkan. Sehingga, daerah ini disebut daerah irrasional atau inefisien.
2) Daerah produksi II dengan nilai elastisitas produksi antara nol dan satu (0 <
Ep < 1). Terjadi penurunan PR saat PM mencapai titik nol dan PT sedang menaik mencapai titik maksimum. Hal ini menunjukkan setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol persen. Pada daerah ini terjadi
penambahan hasil produksi yang semakin menurun (diminishing returns),
hingga pada titik tertentu penggunaan sejumlah input dapat menghasilkan
produksi yang optimum. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan input di
daerah ini sudah optimal atau nilai produk marjinal sama dengan harga input
(NPM = Px), sehingga disebut daerah rasional atau efisien.
3) Daerah produksi III dengan nilai elastisitas produksi kurang dari nol (Ep < 0).
Terjadi penurunan PT dan PR saat nilai PM menjadi negatif, artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan jumlah produksi. Daerah ini mencerminkan penggunaan faktor produksi sudah tidak lagi efisien dan akan merugikan petani, sehingga daerah ini disebut daerah irrasional.
Soekartawi (2002) menyatakan ada beberapa hal yang menyebabkan petani sulit untuk mencapai tingkat produksi yang optimum, yaitu:
1) Petani tidak atau belum memahami prinsip hubungan input dan ouput. Dimana
petani menggunakan input yang berlebihan, sehingga produksi optimum
tercapai pada saat input sudah terlalu banyak diberikan. Akibatnya, jumlah
keuntungan yang diterima menjadi lebih sedikit.
2) Petani sering dihadapi pada faktor risiko yang tinggi, sehingga produksi
24 adanya iklim dan cuaca yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
3) Petani sering dihadapkan oleh pada faktor ketidakpastian dengan harga di
masa yang akan datang, sehingga pada saat panen harga produk menjadi rendah dan akhirnya keuntungan menjadi kecil.
4) Keterbatasan petani dalam menyediakan input diikuti dengan kurangnya
keterampilan petani dalam berusahatani. Hal ini menyebabkan rendahnya produksi yang diperoleh, sehingga keuntungan yang diperoleh juga semakin berkurang.