• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Individual

Dalam dokumen SATRIO BUDI PRAKOSA RACHMAN FKIK (Halaman 59-68)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Determinan Stres Kerja

2.6.2 Faktor Individual

Tiap-tiap individu memiliki ambang stres yang berbeda-beda, tergantung dari karakteristik individu itu sendiri. Karakteristik seorang individu akan mempengaruhi kadar stres yang dialaminya. Evayanti (2003) dikutip dalam Setyani (2013), menyatakan bahwa tidak semua orang dapat menghadapi sumber stres yang sama akan mengalami stres kerja karena adanya perbedaan karakteristik individu. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan NIOSH dimana karakteristik individu merupakan suatu hal yang penting untuk memprediksi apakah pekerjaan tertentu akan mengakibatkan stres, yang mana dengan kata lain satu hal yang menyebabkan stres bagi satu orang mungkin tidak menjadi masalah bagi orang lain (NIOSH, 1999a). Menurut Hurrel & McLaney (1988), faktor individual terdiri dari umur, jenis kelamin, masa kerja, status pernikahan, kepribadian tipe A, dan penilaian diri.

36 a. Umur

Umur diartikan sebagai lamanya keberadaan seseorang yang diukur dalam satuan waktu dipandang dari segi kronologik, individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan anatomis, dan fisiologik sama (Nuswantari (1998) dalam Daniawati 2013). Sedangkan menurut Hoetomo (2005) dalam Kamus Bahasa Indonesia menyatakan bahwa umur merupakan lama waktu hidup sejak dilahirkan.

Hubungan antara umur dengan stres memiliki kesamaan dengan hubungan antara masa kerja dengan stres kerja. Namun tidak selamanya umur dengan stres kerja dihubungkan dengan masa kerja. Terdapat beberapa jenis pekerjaan yang sangat berpengaruh dengan umur, terutama yang berhubungan dengan sistem indera dan kekuatan fisik. Biasanya pekerja yang memiliki umur lebih muda memiliki pengelihatan dan pendengaran yang lebih tajam, serta gerakan yang lebih lincah dan daya tahan tubuh yang lebih kuat. Namun, untuk beberapa jenis pekerjaan lain, faktor umur yang lebih tua biasanya memiliki pengalaman dan pemahaman bekerja lebih banyak. Sehingga pada jenis pekerjaan tertentu umur dapat menjadi kendala dan dapat memicu terjadinya stres (Munandar, 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cardiff University (2000) yang dikutip dalam Suprapto (2008) terhadap faktor demografi yang mempengaruhi timbulnya stres kerja,

37

disimpulkan bahwa umur memiliki hubungan dengan timbulnya stres kerja. Dalam penelitian ini, umur dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu usia 18-32 tahun, 33-40 tahun, 41-50 tahun, dan diatas usia 51 tahun. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa usia 41-50 tahun memiliki persentase terbesar untuk terkena stres tingkat tinggi (20,8%). Sedangkan untuk kategori umur yang memiliki persentase terbesar dalam mengalami stres tingkat rendah adalah usia 18-32 tahun dan usia diatas 51 tahun (83%). Hal ini disebabkan pada usia awal perkembangan, keadaan emosi seseorang masih lebih labil. Sedangkan pada usia lanjut, biasanya daya tahan tubuh seseorang sudah mulai berkurang sehingga sangat berpotensi untuk terkena stres.

Menurut European Commision for Employment and Social Affair (1999) dalam Hidayat (2013), pada usia 20-29 tahun individu berusaha menempatkan diri pada lingkungan sosial yang berubah dengan cepat, adanya konflik, kebimbangan, dan nilai sosial. Individu pada usia tersebut juga mulai memasuki masa bekerja secara formal dan barang tentu mereka memiliki harapan-harapan yang besar di dalam karirnya, namun apabila dirasakan ketidaksesuaian dengan kondisi pekerjaan yang dimiliki saat ini, maka individu tersebut akan merasa tidak puas dan cenderung mengalami stres.

Menurut Minner (1992) dalam Lutfiyah (2011) pekerja mungkin menjadi kurang kompeten setelah usai menginjak 40

38

tahun atau lebih. Pengurangan itu cenderung pada tugas yang menekankan kecepatan, misalnya kecepatan respon otot atau persepsi visual. Berhubungan dengan kematanga seseorang secara psikologis maupun fisik. Pekerja yang umumnya lebih tua sering gagal untuk mempelajari keahlian baru secara besar karena mereka tidak percaya pengetahuan diperlukan, daripada karena kurangnya kemampuan mereka.

Menurut Hidayat (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dari hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,008 yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur dengan stres kerja. Selain itu, menurut penelitian Aulya (2013) diketahui bahwa ada hubungan antara umur dengan stres kerja dengan p =0,012. Sedangkan berdasarkan penelitian Airmayanti (2009) diketahui bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan stres kerja.

Adanya hubungan yang bermakna antara umur dengan stres kerja termasuk faktor yang mempengaruhi stres kerja dapat disebabkan oleh faktor umur yang lebih muda, biasanya disebabkan karena pekerja berusia muda biasanya belum memiliki pengalaman dan pemahaman yang banyak dalam bekerja, sehingga pada jenis pekerjaan tertentu usia menjadi pemicu terjadinya stres (Suprapto, 2008).

39

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan stres di tempat kerja. Menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko dalam mengalami stres yang dapat menimbulkan penyakit akibat stres serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan rentan dalam mengalami stres kerja, yaitu:

a. Perempuan memiliki peran dominan dalam merawat keluarga sehingga total beban kerja perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

b. Tingkatan untuk mengontrol pekerjaan cenderung rendah karena sebagian besar perempuan menempati jabatan di bawah laki-laki.

c. Semakin banyaknya perempuan yang menduduki jabatan pentung.

d. Semakin banyaknya perempuan yang bekerja pada tingkat stres kerja yang tinggi.

e. Terjadinya ketidakadilan dan diskriminasi dari posisi yang lebih senior.

Selain itu, respon perempuan dan laki-laki dalam menghadapi stres cenderung berbeda. Penelitian yang dilakukan Wichert (2002) menjelaskan bahwa laki-laki cenderung untuk mengatasi stres yang dialami dengan melakukan perubahan perilaku seperti merokok, minum alkohol, serta obat-obatan.

40

Sedangkan perempuan cenderung mengatasi stres yang dihadapi dengan melakukan perubahan secara emosional. Sehingga laki-laki cenderung mengalami penurunan kualitas kesehatan secara fisik ketika mengalami stres, sementara wanita mengalami penurunan kualitas kesehatan secara psikologis.

Penelitian yang dilakukan oleh Antoniou, dkk (2006) menyatakan bahwa pekerja perempuan mengalami stres kerja yang lebih tinggi dikarenakan beban kerja dan kelelahan secara emosional. Penelitian lain yang dilakukan oleh Erlina, dkk (2006) diketahui bahwa perempuan lebih cenderung mengalami stres kerja dibandingkan dengan laki-laki dengan persentase 44,1% untuk stres kerja tinggi. Sedangkan dalam penelitian lain, yang dilakukan pada perawat tidak ditemukan hubungan antara stres kerja dengan jenis kelamin (Sukmono, 2013).

c. Status Pernikahan

Status pernikahan dapat pula berpengaruh terhadap pekerjaan. Individu yang menikah biasanya memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Hal ini dikarenakan apabila pekerja mendapat dukungan dalam karir dari pasangannya maka stres kerja yang dialaminya akan cenderung berkurang karena adanya dukungan dari pasangan (Fink, 2010). Namun, pengaruh status pernikahan terhadap stres akan berpengaruh positif apabila pernikahan berjalan dengan baik (Karima, 2014).

41

Evayanti (2003) menyatakan bahwa pekerja yang berstatus menikah, keadaan keluarga dapat menjadi penghambat, mempercepat, atau menjadi penangkal proses terjadinya stres. Apabila seseorang memiliki masalah gawat di rumah, maka kecenderungan untuk mendapatkan stres di tempat kerja akan lebih besar, begitu pula sebaliknya.

Pernikahan yang tidak bahagia akan lebih mungkin menimbulkan stres dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Hasil penelitian Kiecolt-Glaser, dkk (2003) membuktikan bahwa individu yang bercerai serta individu yang menikah namun tidak bahagia akan memiliki tingkat stres yang sama tingginya dibandingkan dengan individu yang memiliki pernikahan yang bahagia (Ogden, 2012).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Utami (2009) menunjukkan bahwa adanya hubungan antara status perkawinan dengan stres kerja dengan p = 0,031. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukmono (2013) pada perawat dimana terdapat hubungan antara status perkawinan dengan stres kerja. Penelitian Vierdelina (2008) dimana dalam penelitiannya menyatakan bahwa responden yang berstatus telah menikah mengalami stres kerja sedang sebanyak 55,8%.

d. Masa Kerja

Masa kerja memiliki potensial untuk terjadinya stres kerja. Baik masa kerja yang sebentar ataupun lama dapat memicu

42

terjadinya stres kerja serta diperberat dengan adanya beban kerja yang besar (Munandar, 2008). Selain itu, masa jabatan yang berhubungan dengan stres kerja sangat berkaitan dengan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang bekerja diatas 5 tahun biasanya memilki tingkat kejenuhan yang lebih tinggi daripada pekerja yang baru bekerja, sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat menyebabkan stres kerja.

Menurut Wantoro (1999) yang dikutip oleh Rivai (2014) mengatakan bahwa pekerja dengan masa kerja lebih lama, lebih memiliki pengalaman yang luas, kematangan berpikir, dan bersikap sehingga dapat bertindak lebih bijaksana. Semakin lama masa kerja seseorang maka semakin tinggi pengalamannya di tempat kerja sehingga semakin tinggi pula kepuasan kerjanya dan memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai situasi pekerjaan serta lebih mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan di sekitarnya.

Budiono (2003) mengatakan bahwa masa kerja dapat berpengaruh secara positif ataupun negatif. Pengaruh positif dimana semakin lama seseorang bekerja maka akan semakin berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Sedangkan akan memberikan pengaruh negatif apabila semakin lama bekerja maka akan menimbulkan kebosanan dan kelelahan.

Hasil penelitian Gautama (2008) diketahui bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan stres kerja dengan p = 0,000.

43

Sejalan dengan penelitian Setyani (2013) dimana menyatakan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja dengan stres kerja dengan p = 0,034.

e. Kepribadian Tipe A

Kepdibadian adalah keseluruhan cara dimana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Salah satu kepribadian yang ada dalam diri individu adalah kepribadian tipe A. Individu dengan kepribadian tipe A cenderung memiliki sifat kompetitif ambisius, tidak sabar, agresif dan sangat kritis. Selain itu, individu dengan kepribadian tipe ini cenderung lebih mudah marah sehingga cenderung mengalami permusuhan dengan lingkungan di sekitarnya (McLeod, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Kristanto, dkk (2007) menyatakan bahwa kepribadian tipe A merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan stres pada indvidu. Selain itu penelitian Karima (2014) menyatakan kepribadian tipe A memiliki korelasi positif dengan stres kerja yang artinya semakin tinggi kepribadian tipe A seseorang maka semakin tinggi tingkat stres.

f. Penilaian Diri

Penilaian diri merupakan persepsi individu terhadap kemampuan, keberhasilan dan kelayakan dirinya. Seseorang yang memiliki konsep diri positif, maka dirinya memiliki penilaian diri yang tinggi sehingga dapat mengembangkan diri dalam

44

mengahadapi kondisi, situasi, atau peristiwa yang mengganggu atau mengancam dirinya. Hal ini menyebabkan dirinya terhindar dalam mengalami stres kerja (Munandar, 2008). Penilitan yang dilakukan oleh Karima (2014) menyatakan bahwa ada hubungan antara penilaian diri dengan stres kerja dengan P = 0,007 dan memiliki korelasi negatif dengan stres kerja dimana ketika penilaian diri seseorang rendah maka akan meningkatkan terjadinya stres kerja.

Dalam dokumen SATRIO BUDI PRAKOSA RACHMAN FKIK (Halaman 59-68)

Dokumen terkait