• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Faktor Individu Dengan Stres Kerja

Dalam dokumen SATRIO BUDI PRAKOSA RACHMAN FKIK (Halaman 176-183)

BAB VI PEMBAHASAN

6.4 Hubungan Antara Faktor Individu Dengan Stres Kerja

Umur diartikan sebagai lamanya keberadaan seseorang yang diukur dalam satuan waktu dipandang dari segi kronologik, individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan anatomis, dan fisiologik sama (Nuswantari, 1998) dalam (Daniawati, 2013). Sedangkan menurut Hoetomo (2005) dalam Kamus Bahasa Indonesia menyetakan bahwa umur merupakan lama waktu hidup sejak dilahirkan. Menurut Rasasi (2015) umur merupakan salah satu faktor risiko stres kerja pada seseorang. Namun, penelitian mengenai pengaruh umur terhadap stres kerja masih menunjukkan hasil yang seringkali berbeda-beda. Berdasarkan penelitian Aulya (2013) diketahui bahwa ada hubungan antara umur dengan stres kerja. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Airmayanti (2009) diketahui tidak ada hubungan antara umur dengan stres kerja.

Dari penelitian ini yang terdapat pada Tabel 5.15, diketahui rata-rata umur pekerja produksi dalam penelitian ini adalah 32,36 tahun. Umur pekerja termuda pada penelitian ini adalah 19 tahun dan umur pekerja tertua adalah 51 tahun. Rauschenbach dan Hertel (2011) dalam Schlick (2013) menjelaskan bahwa hubungan umur dengan tingkat stres kerja membentuk kura U terbalik dimana tingkat stres pada pekerja muda ( < 35 tahun) cenderung rendah dan mulai mengalami peningkatan dan mencapai puncak stres kerja pada usia menengah (36-50 tahun). Selanjutnya mengalami penurunan pada golongan usia > 50 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Cardiff University (2000) dalam Suprapto (2008), dimana usia 41-50 tahun memiliki persentase terbesar

153

dalam terkena stres tingkat tinggi. Sedangkan pada usia 18-32 tahun dan usia diatas 51 tahun memiliki persentase dalam mengalami stres tingkat rendah. Perbedaan tingkat stres ini dapat dipengaruhi oleh tuntutan kerja yang cenderung berbeda pada masing-masing kelompok umur sehingga menghasilkan tingkat stres yang berbeda-beda.

Berdasarkan hasil bivariat pada Tabel 5.36, berdasarkan signifikansi α = 5% diketahui bahwa umur tidak berhubungan secara signifikan dengan stres kerja dengan p-value 0,157. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lady (2017), Amalina (2016), Saijo (2007), Ibrahim (2016), Prabowo (2010), dan Hidayat (2013) dimana tidak ada hubungan antara umur pekerja dengan stres kerja yang dialami pekerja. Tidak adanya hubungan pada peneilitian ini dikarenakan faktor pekerjaan seperti beban kerja yang diemban oleh pekerja tidak dipengaruhi oleh umur. Baik pada pekerja muda maupun pekerja berumur tua memiliki beban kerja yang tidak berbeda sehingga variabel umur tidak berpengaruh dengan tingkat stres kerja (Karima, 2014).

6.4.2 Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Stres Kerja

Masa kerja memiliki potensial untuk terjadinya stres kerja. Masa kerja berhubungan dengan pengalaman pekerja dalam menghadapi permasalahan di tempat kerja. Pekerja yang bekerja lama (diatas 5 tahun) biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih tinggi daripada pekerja yang baru bekerja. Kejenuhan ini kemudian dapat berdampak pada timbulnya stres di tempat kerja (Munandar, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian ini yang terdapat pada Tabel 5.16, diketahui bahwa rata-rata masa kerja yang dimiliki pekerja produksi adalah

154

93,71 bulan (± 8 tahun). Menurut Harigopal (1995), pekerja yang memiliki masa kerja lebih lama biasanya memiliki permasalahan kerja lebih banyak dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja yang masih sedikit. Sehingga pekerja yang mempunyai masa kerja lebih lama akan mengalami stres yang lebih tinggi dibanding pekerja yang bekerja baru atau memiliki masa kerja sedikit.

Berdasarkan analisa bivariat pada Tabel 5.37 diketahui bahwa antara masa kerja dengan stres kerja tidak berhubungan secara signifikan berdasarkan uji Mann Whiney dengan alfa 5% dengan p-value 0,330. Hasil ini sejalan dengan penelitian Lady (2017), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan secara signifikan antara umur dengan stres kerja. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Bayuwega (2016) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan stres kerja. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Prabowo (2010), yang dalam penelitiannya terdapat hubungan secara signifikan antara masa kerja dengan stres kerja.

Tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan stres kerja, karena masa kerja lama maupun baru sama-sama dapat menjadi pemicu terjadinya stres kerja. Masa kerja yang lama dapat menyebabkan stres kerja karena timbulnya rasa bosan akibat pekerjaan yang monoton. Sementara masa kerja baru dapat menyebabkan stres kerja karena pengalaman seseorang dalam menghadapi suatu pekerjaan (Ismafiaty, 2011; Ibrahim, 2016). Sementara Karima (2014) menjelaskan bahwa tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan stres kerja dapat dipengaruhi karena besarnya tanggung jawab yang diberikan kepada pekerja. Pekerja baru maupun lama sama-sama memiliki

155

tanggung jawab dan beban kerja yang sama besar. Sehingga, masa kerja baru ataupun masa kerja lama yang dimiliki oleh pekerja tidak dapat mempengaruhi tingkat stres kerja yang dialami pekerja.

6.4.3 Hubungan Antara Status Pernikahan Dengan Stres Kerja

Individu yang menikah biasanya memiliki tingkat stres lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak menikah. Hal ini dikarenakan pekerja yang mendapatkan dukungan karir dari pasangan maka stres akan cenderung berkurang (Fink, 2010). Akan tetapi, pengaruh status pernikahan terhadap stres kerja hanya berpengaruh positif apabila pernikahan yang ada berjalan dengan baik (Karima, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.20, diketahui bahwa sebagian besar pekerja produksi PT. Indogravure bestatus menikah (64,5%). Sedangkan sisanya memiliki status tidak menikah (35,5%). Berdasarkan hasil analisa tabulasi silang pada Tabel 5.38, diketahui bahwa sebagian besar responden yang mengalami stres kerja, memiliki status tidak menikah dengan persentase sebsar 59,3%. Akan tetapi berdasarkan hasil analisa bivariat, status pernikahan tidak berhubungan dengan stres kerja dengan p-value 0,676. Hasil ini sejalan dengan penelitian Amalina (2016), Ismafiaty (2011), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara status menikah dengan stres kerja. Tidak adanya perbedaan antara status menikah dengan stres kerja dapat terjadi karena sama tingginya faktor pekerjaan baik pada pekerja yang menikah maupun pekerja yang belum menikah sehingga tingkat stres kerja yang ada tidak terlalu berbeda pada kelompok pekerja yang menikah maupun yang belum menikah (Karima, 2014).

156

Tidak adanya hubungan antara status pernikahan dengan stres kerja juga dapat terjadi akibat status pernikahan yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang baik secara positif maupun negatif tergantung bagaimana seseorang menilai suatu masalah (Ismafiaty, 2011). Seperti yang diungkapkan oleh Evayanti (2003), pekerja yang berstatus menikah, keadaan keluarga dapat menjadi penghambat, mempercepat, atau menjadi penangkal terjadinya stres. Apabila seseorang memiliki masalah di rumah maka kecenderungan untuk mendapat stres di tempat kerja akan lebih besar maupun sebaliknya. Penelitian Kiecolt-Glaser (2003) dalam Ogden (2012), menyatakan bahwa individu yang bercerai atau individu yang menikah namun tidak bahagia akan mengalami tingkat stres yang sama tingginya dibandingkan dengan individu yang memiliki pernikahan yang bahagia. 6.4.4 Hubungan Antara Kepribadian Tipe A Dengan Stres Kerja

Kepribadian dapat diartikan sebagai keseluruhan cara dimana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Salah satu kepribadian yang ada dalam diri individu adalah kepribadian tipe A (Robbins, 2008). Individu dengan kepribadian tipe A, cenderung mengalami tingkat stres yang sedang sampai tinggi. Hal ini karena kepribadian tipe A memiliki pola perilaku sangat ambisius dan agresif, berlomba dengan waktu dan terlibat penuh pada tugas-tugas pekerjaannya (Robbins, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang ditampilkan pada Tabel 5.17, diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki kepribadian tipe A yang tinggi dengan persentase sebesar 53,9%. Individu dengan jenis kepribadian ini, antara lain bercirikan sifat kompetitif, ambisius, tidak sabar, agresif dan

157

sangat kritis. Selain itu, individu dengan tipe kepribadian ini cenderung lebih mudah marah sehingga cenderung mengalami permusuhan dengan lingkungan di sekitarnya serta cenderung menderita ketegangan lebih besar dibandingkan dengan kepribadian tipe B yang cenderung santai (McLeod, 2011; Setyawan, 2008).

Berdasarkan hasil tabel silang pada Tabel 5.39, diketahui bahwa responden yang mengalami stres kerja sebagian besar memiliki kepribadian tipe A yang tinggi dengan persentase sebesar 56,1%. Meskipun demikian, akan tetapi variabel kepribadian tipe A tidak berhubungan secara signifikan dengan stres kerja pada penelitian ini dengan p-value 0,501. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Lady (2017), Tejasurya (2010), Wijono (2006) dimana ada hubungan yang signifikan antara variabel kepribadian tipe A dengan stres kerja. Hasil ini juga tidak sejalan dengan penelitian Aghaei, dkk (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kepribadian tipe A dengan stres kerja pada pekerja sektor swasta. Namun hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Karima (2014) serta Nurazizah (2017) dimana dua penelitian tersebut memberikan hasil tidak adanya hubungan antara variabel kepribadian tipe A dengan stres kerja.

Salah satu ciri kepribadian tipe A menurut Friedman dan Rosenman (1974) adalah mudah mengalami stres. Namun dalam penelitian ini tidak adanya hubungan antara kepribadian tipe A dengan stres kerja pada responden bisa terjadi karena pekerja yang memiliki kepribadian tipe A tinggi maupun pekerja yang memiliki kepribadian tipe A rendah, memiliki tingkat stres kerja yang hampir sama. Sehingga stres kerja yang dialami bukan

158

dipengaruhi oleh kepribadian tipe A namun dapat dipengaruhi oleh faktor lain.

6.4.5 Hubungan Antara Penilaian Diri Dengan Stres Kerja

Penilaian diri merupakan persepsi individu terhadap kemampuan, keberhasilan dan kelayakan dirinya. Seseorang yang memiliki konsep diri positif, maka dirinya memiliki penilaian diri yang tinggi sehingga dapat mengembangkan diri dalam mengahadapi kondisi, situasi, atau peristiwa yang mengganggu atau mengancam dirinya. Hal ini menyebabkan dirinya terhindar dalam mengalami stres kerja (Munandar, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada Tabel 5.18, diketahui bahwa sebagian besar responden telah memiliki penilaian diri yang baik dengan persentase sebesar 53,9%. Hasil ini sejalan dengan penelitian Lady dkk (2017), dimana dalam penelitiannya penilaian diri sudah memiliki kecenderungan yang baik atau tinggi. Menurut Lundberg & Cooper (2011), penilaian diri yang rendah sangat mungkin dalam meningkatkan risiko stres yang dialami oleh seseorang terutama apabila tuntutan pekerjaan dan konflik yang dimiliki cukup tinggi.

Berdasarkan hasil analisa bivariat pada Tabel 5.40, diketahui bahwa penilaian diri dengan stres kerja tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan p-value 0,832. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nurazizah (2017) dimana dalam penelitiannya tidak ada hubungan antara penilaian diri dengan stres kerja denga p-value = 0,536. Menurut Karima (2014), tidak adanya hubungan antara variabel penilaian diri dengan stres kerja dikarenakan meskipun seseorang telah menilai bahwa dirinya memiliki

159

kemampuan diri yang baik, namun penilaian diri tersebut tidak mampu dalam mengurangi perasaan stres yang dialami pekerja dikarenakan faktor pekerjaan yang tinggi salah satunya adalah beban kerja dan kekhawatiran terhadap masa depan pekerjaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana dalam hasil analisa tabel silang yang dilakukan diketahui bahwa responden yang memiliki stres kerja lebih banyak pada mereka yang memiliki penilaian diri baik. Hal ini dapat terjadi, dikarenakan meskipun penilaian diri pekerja sudah cenderung baik namun tingginya faktor pekerjaan seperti jumlah beban kerja yang dirasakannya tinggi tidak dapat mengurangi stres yang dirasakannya.

Dalam penelitian ini, diketahui bahwa penilaian diri pekerja produksi sudah cenderung baik meskipun tidak ada hubungan antara variabel tersebut denga stres kerja. Oleh karena itu, sebaiknya para pekerja tetap berusaha dalam mempertahankan penilaian dirinya. Hal ini dapat dilakukan agar tidak terjadi penurunan dalam penilaian terhadap diri sendiri yang dapat berdampak terhadap peningkatan stres kerja di masa yang akan datang.

6.5 Hubungan Antara Faktor di Luar Pekerjaan Dengan Stres Kerja

Dalam dokumen SATRIO BUDI PRAKOSA RACHMAN FKIK (Halaman 176-183)

Dokumen terkait