• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor penghambat pelaksanaan bimbingan pri badi-sosial di SMA Negeri 1 Enrekang

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

3. Faktor penghambat pelaksanaan bimbingan pri badi-sosial di SMA Negeri 1 Enrekang

Pelaksanaan bimbingan pribadi-sosial diarahkan agar individu dapat memahami dan menyelesaikan masalah pribadinya dan sosialnya sehingga memiliki kepribadian yang mantap. Melalui layanan bimbingan pribadi-sosial, maka membantu individu untuk memperoleh pemahaman diri. Akan tetapi dalam pelaksanaan bimbingan ini tidak akan berjalan dengan lancar jika ada komponen-komponen yang tidak berjalan dengan semestinya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti ada beberapa faktor yang menghambat pelaksanaan bimbingan pribadi sosial yakni:

a. Ketidakterbukaan siswa terhadap masalah yang dihadapi

Masih banyaknya siswa yang menyelesaikan masalah dengan cara non produktif, misalnya; cemas, berdiam di kamar atau keluar dari rumah menunjukkan bahwa peran BK dalam memberikan pemahaman cara penyelesaian terhadap siswa kurang maksimal. Padahal walaupun itu adalah masalah siswa dan siswa memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya, namun alangkah lebih baik jika BK

juga memberikan pemahaman kepada siswa bagaimana cara penyelesaian masalah dengan baik

.

Seperti yang diungkapkan oleh M (17 tahun) bahwa:

“Saya takut untuk menceritakan masalah saya ke guru BK dan juga takut kalau masalah saya di dengar teman-temanku” (wawancara 19 Oktober 2019) Berdasarkan uraian responden diatas yang dilakukan peneliti dapat disimpulkan bahwa siswa lebih memilih diam untuk tidak menceritakan masalahnya yang dianggap sangat pribadi daripada bercerita kepada guru BK dengan alasan dan kurang percaya diri dan malas.

Hal ini kemudian diperkuat wawancara dengan Ibu FZ (35 tahun) bahwa:

“Yang menjadi masalah utama dalam pelaksanaan bimbingan adalah biasanya anak-anak sangat tertutup dan enggan untuk membicarakan masalahnya karena mereka berfikir masalah yang mereka hadapi sangat pribadi sehingga kita sebagai gurunya sangat sulit untuk mengorek-ngorek informasi terkait masalah mereka.” (wawancara 16 Oktober 2019)

Dari uraian responden FZ diatas dapat kita lihat bahwa anak-anak yang sangat tertutup dan enggan untuk menceritakan masalahnya adalah masalah yang paling utama. Karena akan susah untuk mendapatkan informasi terkait masalah yang dihadapi dan akan sulit pula untuk memecahkannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden dapat disimpulkan bahwa apabila siswa enggan, takut bahkan lebih memilih diam untuk tidak menceritakan masalahnya akan mempersulit guru BK untuk mendapatkan informasi terkait masalah yang dihadapi sehingga dalam menyelesaikan masalah kita tidak

mendapatkannya. Hal demikian tentuakan menghambat dalam pelaksanaan bimbingan oleh guru Bimbingan Konseling.

Hal senada juga diungkapkan oleh penulis melalui observasi yang dilakukan bahwa:

“Banyak siswa lebih memilih diam jika ditanya tentang masalah apa dihadapi karena alasan mereka takut bocor dan didengan oleh orang lain yang akan membuat mereka malu kalau disekolah”

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi peneliti dapat disimpulkan bahwa sikap tertutup siswa terhadap masalah yang dihadapi akan menjadi penghambat dalam pelaksanaan bimbingan pribadi-sosial. Hal ini dikarenakan guru akan sulit mendapatkan informasi terkait masalah mereka , maka dari itu penyelesaian masalah akan sulit dilakukan.

b. Mainset BK sebagai polisi sekolah dan tempat pembinaan siswa nakal atau bermasalah

Tidak bisa dipungkiri stigma BK sebagai polisi sekolah masih tertanam di benak siswa termasuk di SMA Negeri 1 Enrekang. Polisi sekolah di sini diartikan bahwa BK adalah sebuah tempat pembinaan siswa nakal atau bermasalah. Dengan kondisi seperti ini tentu akan menghambat guru BK untuk mendapatkan informasi tentang siswa. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak R (45 tahun) bahwa:

“Disini BK biasa diistilahkan siswa sebagai polisi sekolah. Jadi banyak siswa yang enggan untuk datang ke ruang BK. Jadi kita sebagai guru BK susah untuk mendapatkan informasi terkait masalah siswa. Lain halnya kalau siswa siswa yang yang dengan senang hati menghadap ke ruangan itu lebih mudah untuk di bimbing” (wawancara 17 Oktober 2019)

Dari uraian responden R dapat disimpulkan bahwa istilah BK sebagai polisi sekolah oleh siswa menyulitkan guru BK untuk mendapatkan informasi terkait maslah yang dihadapi. Kecuali siswa yang dengan senang hati untuk konsultasi ke guru BK untuk menceritakan masalahnya lebih mudah untuk dipecahkan

Hal ini kemudian diperkuat oleh HB (17 tahun) bahwa :

“Malu kalau mau ke BK. Nanti saya dikira lagi bermasalah, soalnya selama ini apabila ada siswa yang dipanggil oleh BK biasanya dia bermasalah. Makanya saya malu jika ada masalah kemudian ke BK. Paling ketika dipanggil pas ada penyuluhan saja saya datang” (wawancara 18 Oktober 2019)

Dari uraian responden HB dapat disimpulkan bahwa siswa malu ketika bermasalah untuk menceritakan masalahnya ke guru BK dikarenakan mereka beranggapan bahwa BK adalah tempat untuk orang-orang nakal dan bermasalah saja. Maka mereka hanya akan ikut kalau hanya ada penyuluhan biasa.

Dari wawancara dengan para responden disimpulkan bahwa anggapan tentang BK adalah polisi sekolah yang mereka yakini hanya untuk orang-orang nakal dan bermasalah saja menyulitkan guru BK dalam mencari informasi terkait dengan siswa.

c. Kurangnya kerjasama dari orang tua siswa

Ada beberapa orang tua yang hanya memasukkan saja anak atau menitipkan anak mereka ke sekolah hanya sebagai pengugur kewajibanya untuk menyekolahkan anaknya tanpa memperhatikan perkembangan anaknya. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak R (45 tahun) bahwa:

“Selain itu juga kadang orang tua familiar, artinya orang tua jika dipanggil tidak terima dengan masukan kami,malahan mereka bawaannya mau berdebat”. (wawancara 17 Oktober 2019)

Hal senada juga diungkapkan oleh FZ (35 tahun) bahwa:

“Kadangkala pada saat anaknya bermasalah dan kita mengundang orang tua siswa, baik orang tua yang diundang datangnya tidak bisa tepat waktu, bahkan tidak bisa datang, mungkin karena sibuk ataupun sakit” (wawancara 16 Oktober 2019).

Dari wawancara dengan responden-responden diatas dapat disimpulakan bahwa kurangnya kerja sama orang tua dengan pihak sekolah tentu akan membuat pelaksanaan bimbingan terhambat. Maka orang tua perlu diarahkan dalam menanggapi permasalahan yang sedang dihadapi oleh anaknya.

Hal tersebut diperkuat oleh A (17 tahun ) bahwa:

“biasa kalau ada pertemuan dengan guru dengan orang tua, mamaku biasanya jarang datang karena dia sibuk ke pasar untuk berdagang”. (wawancara 19 oktober 2019)

Dari hasil wawancara dengan responden diatas dapat disimpulkan bahwa adanya sikap orang tua yang acuh terkait perkembangan sekolah anaknya dikarenakan lebih mementingkan urusan kerja daripada urusan anaknya disekolah.

Hal senada juga diungkapkan oleh penulis melalui observasi yang dilakukan bahwa:

“Ada siswa yang bermasalah kemudian guru BK menyurati orang tua tersebut, akan tetapi sikap orang tua malah cuek dengan hal itu karena alasan dia sibuk”.

Dari hasil wawancara dan observasi peneliti dapat disimpulkan bahwa kurangnya kerja sama antar guru dan orang tua akan menghambat pelaksanaan bimbingan pribadi-sosial. Hal ini dikarenakan orang tua hanya menggugurkan kewajibannya sebagai orang tua untuk menyekolahkan anaknya tanpa melihat perkembangan karakter anak mereka.

Maka dari itu diharapkan orang tua sebagai pendidik utama bagi peserta didik mampu bekerja sama dengan guru disekolah untuk mewujudkan peserta didik yang berkarakter.

d. Guru BK tidak mempunyai jadwal masuk ke dalam kelas

Selain kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru BK dalam pelaksanaan bimbingan pribadi-sosial, juga harus mempunyai jadwal yang dalam menyalurkan kemampuan yang dimiliki. Guru BK yang tidak mempunyai untuk masuk ke dalam kelas menjadi salah satu faktor penghambat dalam pelaksanaan bimbingan pribadi-sosial. Sebagaimana diuangkapkan oleh guru BK Bapak R (45 tahun) mengatakan bahwa :

“Di sini untuk guru BK memang tidak terjadwal untuk masuk kedalam kelas, karena memang belum ada ketetapan dari kepala sekolah. Yang demikian membuat saya dan guru BK lainnya agak kesulitan dalam pelaksanaan bimbingan pribadi-sosial” (wawancara 17 Oktober 2019)

Hal senada juga di diungkapkan oleh Ibu FZ (35 tahun) mengatakan bahwa : “Guru BK disini memang tidak mempunyai jadwal tetap untuk masuk ke dalam kelas seperti guru mata pelajaran lainnya, ini menjadi salah satu faktor penyebab dalam pelaksanaan bimbingan pribadi-sosial dan guru BK hanya bisa masuk ke dalam kelas ketika guru matapelajaran lainnya tidak bisa hadir untuk mengajar. Bisa dikatakan saya dan guru BK lainnya hanya curi-curi waktu”. ( wawancara 16 Oktober 2019)

Berdasarkan uraian responden dapat disimpulkan bahwa bahwa dengan tidak adanya jadwal khusus untuk masuk ke dalam kelas menjadi salah satu faktor penghambat dalam pelaksanaan bimbingan pribadi-sosial, meskipun tidak hanya di dalam kelas guru BK bisa memantau siswa. Selain itu faktor orang tua yang tidak mau terlibat juga menjadi penghambat pelaksanaan bimbingan konseling

Hal senada juga diungkapkan oleh penulis melalui observasi yang dilakukan bahwa:

“Benar, belum mempunyai jadwal khusus untuk masuk ke dalam kelas, guru BK hanya memantau siswa ketika berada di luar kelas, kalaupun mereka masuk dikelas hanya untuk mengisi kekosongan kelas dikarenakan guru yang mengajar dikelas tidak hadir. Akan tetapi bukan berarti guru BK tidak masuk ke dalam kelas hanya saja tidak terjadwalkan”.

Dari hasil wawancara dan observasi peneliti dapat disimpulkan bahwa tidak adanya jadwal guru dikelas akan menghambat pelaksanaan bimbingan pribadi-sosial karena tidak sepenuhnya bisa memantau kegiatan para siswa dikelas. Dengan adanya jadwal dikelas guru mampu sehingga menyalurkan kemampuan yang dimiliki terkait pelaksanaan bimbingan uttuk mambantu siswa dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi.

B. Pembahasan

1. Faktor yang mempengaruhi karakter siswa di SMA Negeri 1 Enrekang