• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biaya-biaya migrasi

6.1. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Migrasi Sirkuler

6.1.4. Faktor Pribadi Migran Sirkuler

Pada dasarnya tidak ada aturan atau norma yang mendorong masyarakat perdesaan di Kabupaten Lamongan untuk bersirkulasi kedaerah pesisir pantai utara. Namun ada semacam tradisi yang sudah sekian lama mendasari cara hidup masyarakat perdesaan di kabupaten Lamongan. Tradisi tersebut masih berlanjut sampai sekarang. Walaupun hal tersebut hanya sebatas anjuran atau pendapat dari seorang pemuka agama (Alim Ulama).

Peran birokrasi formal seperti kepala desa tidak mampu mengatasi dan mencegah penduduknya dari proses sirkulasi. Hingga tahun 2003 kepala desa adalah penduduk asli yang dipilih melalui pemilihan kepala desa. Terpilih menjadi kepala desa adalah mereka yang direstui/distujui oleh pimpinan ulama/kaum agama yang berpengaruh didesa. Tidak jarang pada kemudian hari dualisme kepemimpinan didesa terjadi, kepala desa sering kali menempati posisi yang kedua dalam pengambilan keputusan. Keputusan yang ditentukan oleh pemuka agama seringkali menjadi ”petuah” bagi penduduk desa. Fanatisme sosok pemuka agama di perdesaan Kabupaten Lamongan masih sangat besar. Alim Ulama lebih memiliki karisma dalam menyerukan kebijakan atau pun perintah bila dibandingkan kepala desa, karena pada sebagian besar Alim Ulama di pedesaan mempunyai fasilitas dan dukungan massa yang besar, fasilitas tersebut berupa pesantren dengan akses yang berlebih bila dibandingkan dengan lembaga formal yang dimiliki oleh desa. Data departemen agama Kabupaten Lamongan menyebutkan bahwa lebih dari 300 Pondok Pesantren yang ada di kabupaten Lamongan, dan lebih dari 85 persen berlokasi di wilayah pedesaan. Kekuatan tersebut seringkali mengantarkan dengan mudah seorang menjadi kepala desa atau turun dari jabatan kepala desa menjadi warga biasa. Alim Ulama adalah kelompok elit desa dan kepala desa adalah kepanjangan tangan dari Alim Ulama.

Dominasi politik yang kuat kalangan pemuka agama di perdesaan kabupaten Lamongan mampu melemahkan peran birokrasi formal, karena sering kali orientasi pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah diatas birokrasi formal desa terhalang oleh kepentingan pemuka agama yang berbeda. Artinya hanya kalangan elit yang selama ini berperan utama dalam mengendalikan birokrasi formal di desa, termasuk yang menikmati akses sumberdaya desa.

Tarik-ulur kekuatan politik agama, budaya dan birokrasi formal sering kali di menangkan kaum pemuka agama. Penduduk desa dalam kuantitas yang seharusnya merupakan pemilik kekayaan sumberdaya desa seringkali tidak dilibatkan. Sehingga, untuk bisa menikmati akses terhadap kekayaan sumberdaya desa terlebih dahulu seseorang/mereka harus masuk dalam lingkaran elite desa.

Migrasi sirkuler penduduk desa diyakini dan disamakan dengan anjuran "lelana (mengembara)” dalam kisah-kisah pengembara tempo dulu. Seseorang laki-laki dewasa dapat dikatakan kesatria apabila semasa hidupnya pernah menjalani anjuran lelana yang diperintahkan oleh seorang ulama di desa. Lelana dapat disama artikan dengan pengembaraan untuk mencari sesuatu yang baru, yang belum dimiliki oleh seseorang selama hidup didesa. Setelah dalam tahapan lelana, seseorang biasanya kembali ke desa dengan berbekal pengalaman yang didapat di daerah yang pernah di singgahi untuk memperoleh ilmu baru. Seseorang yang berbekal ilmu baru, kemudian diuji untuk menentukan pantas atau tidak masuk dalam kelompok elit desa dalam sebuah pesantren atau jamaah penajian agama.

Namun, kondisi sekarang masyarakat perdesaan yang mengembara atau lelana tidak lagi karena keinginan masuk dalam lingkaran elit desa, dalam pengembaraan juga tidak lagi seorang pemuda dewasa yang masih berstatus sendiri. Tetapi, terdapat pergeseran nilai-nilai yang semula dianjurkan, yaitu faktor ekonomi yang membawa seseorang/mereka (kepala rumahtangga) untuk mengembara mencarai sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidup, yang selama ini hanya dirasakan oleh kelompok elit desa.

Data survei menemukan bahwa anjuran lelana sekarang telah bergeser menjadi alasan ekonomi (33,3 %) yang mendasari pola sirkulasi penduduk perdesan. Sebesar 25,1 persen beralasan karena ingin melatih kemandirian berumahtangga dan sebesar 25,1 persen mengatakan untuk masa depan ingin mencari yang lebih baik dari yang sudah ada di desa serta 16,4 persen responden tidak mengetahui alasan secara pribadi mengapa memilih bersirkulasi ke daerah tujuan. Berikut Tabel 25 menunjukkan Alasan pribadi 159 responden mengapa memilih bentuk mobilitas sirkuler.

Tabel 25 Alasan pribadi bersirkulasi

Alasan Pribadi Frekuensi Persentase

Melatih Kemandirian 40 25.1

Ekonomi 53 33.3

Masa Depan 40 25.1

Tidak Mengetahui 26 16.4

Total 159 100

Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005

Akses sumber daya yang dinikmati dan dikuasai oleh sekelompok elit desa terjadi akibat lemahnya birokrasi formal desa, kepala desa yang seharusnya menjadi decision maker pembangunan tidak mampu lagi membagikan sumber daya desa kepada yang berhak, yaitu penduduk desa yang merupakan aset bagi kemajuan pembangunan desa. Biasanya kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga formal desa (kepala desa) sering ditentang oleh elit desa melalui peran tokoh utama desa yang berada dalam lembaga musyawarah desa (LMD/BPD).

Masyarakat desa yang sudah memilih bersirkulasi ke daerah tujuan masih memiliki bentuk mobilitas yang lebih cocok untuk memaksimalkan pendapatannya. Hal ini terlihat dengan pendapat meraka tentang pola yang dipilih sekarang (sirkulasi denga nginap/mondok). Sebanyak 68 responden yang mengatakan ”biasa” terhadap sirkulasi. Ketika ditanyakan lebih lajut tentang jawaban biasa, menyatakan bahwa tidak terlalu cocok atau menyenangi, tetapi kalau ada pola yang lebih baik untuk menambah pendapatan mereka akan merubah keputusannya untuk bersirkulasi. Sebesar 24 responden mengatakan Sangat senang dan puas denga pendapatan yang diperoleh, serta 23 responden yang mengatakan tidak senang karena belum terpenuhi harapan, sisanya responden tidak mengetahui mengapa mereka harus memilih pola sirkulasi.

Tabel 26 Tingkat kepuasan responden terhadap pola sirkulasi

Tingkat Kepuasan Frekuensi Persentase

Sangat senang/Puas 24 15.1

Biasa 68 42.7

Tdak senang/Tidak Puas 23 14.4

Tidak Menjawab 44 27.6

Total 159 100

Alasan memilih pekerjaan sebagai pedagang di daerah tujuan, lebih banyak didasarkan pada bahan baku dan ramainya pembeli (daya beli masyarakat daerah tujuan) yang disertai dengan tingkat kebutuhan masyarakat tinggi sebesar 66 responden. Responden yang mengatakan bahwa barang dagangannya paling dibutuhkan sebesar 58 orang dan yang beralasan memilih berjualan karena modal yang dibutuhkan sedikit sebesar 33 orang responden, dan yang tidak mengetahui alasan 2 orang responden. Tabel 27 menujukkan alasan responden memilih jenis pekerjaan didaerah tujuan

Tabel 27 Alasan memilih jenis pekerjaan didaerah tujuan

Alasan Memilih Pekerjaan Frekuensi Persentase

Bahan baku mudah didapat 66 41.5

Paling dibutuhkan 58 36.4

Modalnya sedikit 33 20.7

Lainnya 2 1.2

Total 159 100

Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005

Umumnya migran sirkuler pulang kedesa asal dalam 4 sampai 6 bulan sekali (91 orang responden) pada saat pulang biasanya selama 7 hari di desa asal kemudian kembali ke desa tujuan untuk bekerja lagi. Responden yang kembali ke desa antara 1 sampai 3 bulan sekali sebesar 34 orang (21,3 %) dan tidak tentu sebesar 27 responden (16,9 %). Pada umumnya responden kembali kedesa selain untuk mengobati kerinduan teradap keluarga mereka juga kembali untuk merawat dan menanami tanah pertanian yang mereka miliki didesa, sebagai infestasi sektor pertanian yang pada awalnya menjadi tumpuan harapan ekonomi keluarga di desa.

Namun rasa kecintaan masyarakat desa untuk mempertahankan apa yang mereka miliki masih dianggap rendah oleh kaum elit di desa. Peran elit desa menciptakan kelemahan dalam kinerja lembaga formal desa yang dibarengi dengan penguasaan aset dan akses sumberdaya desa. Disamping itu, anjuran lelana yang dulu sering disarankan oleh elit desa, bukan lagi perupa pengembaraan mencari ilmu untuk bisa kembali dan masuk dalam kelompok elit desa. Dasar pengembaraan/lelana merupakan warisan turun temurun pendududk desa di kabupaten Lamongan yang sekarang menjelma menjadi pengembaraan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga di desa.