• Tidak ada hasil yang ditemukan

Banyak penelitian tentang migrasi telah dilakukan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Naim (1979) tentang pola migrasi suku Minangkabau (Merantau) menunjukkan bahwa pola migrasi suku Minangkabau adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari orang Minangkabau, pola ini semula didorong oleh kebutuhan perluasan wilayah karena potensi sumberdaya

yang ada tidak lagi memadai dalam menunjang kehidupan mereka. Sehingga, penduduk Minangkabau membutuhkan tanah/lahan garapan baru untuk pertanian persawahan. Menurut Naim, merantau adalah suatu kebutuhan yang terkait dengan kebutuhan sosial, merantau bagi orang Minang tidak bisa disamakan dengan migrasi, sekurangnya dalam konteks sosial budaya. Kendati demikian pada masa tersebut menurutnya, sukubangsa yang mempunyai intensitas migrasi relatif tinggi adalah Minangkabau, Batak, Bugis, Banjar, Manado dan Ambon. Sedangkan enam sukubangsa yang memiliki intensitas migrasi yang relatif rendah terdiri dari sukubangsa Sunda, Madura, Aceh, Jawa, Melayu dan Bali. Adapun salah satu faktor yang akhinya ikut mendominasi dalam menentukan pola migrasi adalah faktor ekonomi.

Sjahrir (1984) dalam penelitiannya di desa Jebed, Jawa Tengah menunjukkan adanya migrasi sirkulasi para tukang bangunan. Hal tersebut berlangsung akibat tekanan ekonomi yang terbentuk akibat penerapan program TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) pada tahun 1975 yaitu sejak dikeluarkannya Inpres no 9/1975. Menurut Sjahrir kondisi tersebut diperburuk karena adanya pemusatan kekuasaan pada tangan lurah dan aparatnya yang sangat menentukan dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi, ditentukan secara sepihak dari sana. Migrasi sirkulasi ke kota bagi penduduk desa Jebed merupakan jawaban terhadap kesulitan dan tekanan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Rahmawati (1991) meneliti tentang faktor-faktor sosial ekonomi terhadap migrasi sirkuler desa – kota menyimpulkan bahwa setatus sosial ekonomi yang diukur melalui kepemilikan lahan pertanian mempunyai nilai bervariasi, tetapi lebih besar prosentasenya pada golongan ekonomi rendah. Terdapat tiga jenis lapangan usaha dalam sektor informal yang dimasuki oleh migran yaitu perdagangan, buruh dan jasa angkutan. Lebih lanjut, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kelancaran sistim transportasi dan informasi sebagai hasil dari pembangunan pedesaan juga ikut mempercepat terjadinya migrasi sirkuler desa – kota.

Berbeda dengan penelitaan yang dilakukan Naim, Hugo (1982) dalam studinya tentang migrasi sirkuler di Indonesia menulis bahwa terdapat beberapa suku terbesar di Indonesia yang memiliki tingkat curahan untuk migrasi nonpermanen jenis sirkulasi yang tinggi antara lain suku Jawa, pola tersebut

sudah lama terjadi di Indonesia. Analisa ekonomi yang ditemukan, alasan utama mereka melakukan migrasi nonpermanen adalah karena di desa tempat tinggal asalnya tidak bisa mendapat pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga pola migrasi nonpermanen (sirkulasi) dilakukan untuk memaksimalkan pendapatan rumahtangganya, dan kebanyakan mereka bekerja pada sektor jasa.

Selanjutnya terkait dengan migran sektor informal penelitian yang dilakukan oleh Ponto (1987) melihat karakteristik migran sektor informal di Kodya Manado. Studi ini berkesimpulan semakin besar arus migrasi dari desa ke kota, semakin banyak pekerjaan disektor informal. Menurut Ponto bahwa tingkat ekonomi pekerja atau rumahtangga di sektor informal tidaklah lebih jelek dari rumahtangga sektor formal, dan pada umumnya pekerja migran sektor informal sudah merasa puas dengan tingkat kehidupan yang dijalani karena kegiatan mereka sudah dianggap sesuai dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki.

Penelitian Leuwol (1988) tentang migran sirkuler dan latar belakangnya menunjukkan kesimpulan bahwa para migran terdorong melakukan mobilitas dalam bentuk sirkuler dari Jawa Tengah ke Jakarta karena potensi sumberdaya alam yang ada tidak seimbang dengan potensi sumberdaya manusianya. Lahan pertanian yang merupakan tumpuhan terakhir bagi penduduk pedesaan semakin sempit. Menurut Leuwol, kondisi tersebut nampak dari semakin menyempitnya areal persawahan yang dimiliki petani dan semakin bertambahnya jumlah petani penggarap. Daerah tujuan (Jakarta) yang menjanjikan lapangan pekerjaan disektor informal merupakan daya tarik yang cukup kuat bagi para migran pedesaan. Besarnya jumlah tanggungan di desa dan latarbelakang kultural-historis pada masyarakat disepanjang pantai utara Jawa Tengah turut mempengaruhi intensitas penduduk untuk bermobilitas ke kota. Menurutnya, bagi mereka keputusan untuk bermigrasi sirkuler adalah keputusan yang sangat bijaksana.

Selanjutnya penelitian Sutarno (1989) tentang dampak gerak penduduk desa-kota berkesimpulan bahwa, gerak penduduk ke luar desa (ke kota) menimbulkan dampak positif terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga, kemakmuran desa, minat terhadap pendidikan, dan minat

Sutarno adalah kurangnya peranserta “movers” dalam kegiatan-kegiatan umum di desanya dibanding mereka yang tetap tinggal di desa (“stayers”). Akan tetapi, kekurangan tersebut dapat mereka tutup ketika mereka tidak lagi bekerja keluar desa. Para mantan movers menujukkan bahwa dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka peroleh dari luar desa mereka mempunyai peran yang cukup penting dalam menggerakkan kegiatan-kegiatan pembangunan di desa.

Mantra (1994), meneliti tentang mobilitas sirkuler perdesaan ke perkotaan yang semakin meningkat. Dorongan ekonomi merupakan alasan untuk bersirkulasi kekota. Dalam studi ini Mantra berpendapat adanya hubungan yang erat antara kesempatan kerja dengan mobilitas desa-kota, semakin tinggi perbedaan kesempatan kerja yang ada diperkotaan dengan yang ada diperdesaan maka akan semakin deras arus mobilitas penduduk perdesaan ke perkotaan. Lebih lanjut, fenomena tersebut yang kemudian akan mempengaruhi kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya daerah asal migran. Sayangnya Mantra dalam studi ini belum melihat bagaimana dampak pertumbuhan tenaga kerja perkotaan akibat arus urbanisasi. Sehingga saran yang diajukan dalam studi ini adalah mobilitas jenis sirkuler perlu ditingkatkan untuk memecahkan masalah tenaga kerja diperdesaan.

Penelitian Desiar (2003) tentang dampak migrasi terhadap pengangguran di DKI. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dampak dari masuknya migran ke DKI antara lain adalah besarnya aktivitas (sektor) informal, tingginya tingkat pengangguran dan berkembangnya permukiman kumuh. Dengan menggunakan model log-log penelitian ini menunjukkan bahwa apabila angkatan kerja migran meningkat 10 persen, jumlah pengangguran total akan meningkat 3,06 persen. Sedangkan dampak positif yang menarik dari kesimpulan penelitian ini adalah fenomena migrasi masuk di DKI memberikan kontribusi terhadap berkembang ekonomi informal yang cukup banyak menyerap tenaga kerja, termasuk juga menyediakan tenaga pembantu rumahtangga yang sangat dibutuhkan di DKI Jakarta tetapi tidak bisa disediakan oleh penduduk non migran.

Penelitian mengenai analisis dampak migrasi sirkuler terhadap pembangunan ekonomi perdesaan pada rumahtangga sektor informal dilakukan untuk mengetahui karakteristik rumahtangga perdesaan yang memutuskan untuk migari sirkuler ke daerah tujuan yang relatif masih berdekatan dengan daerah asal, dengan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi

sirkuler. Penelitian ini juga bertujuan menganalisa dampak yang ditimbulkan akibat fenomena migrasi sirkuler melalui analiisa diskriptif untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan, analisa Good service ratio untuk mengetahui tingkat kesejahteraan para migran dan Gini ratio untuk mengetahui distribusi pendapatan antar migran sirkuler. Fokus dalam kerangka teori penelitian ini menekankan pada adanya perbedaan upah sektor pertanian di perdesaan dengan sektor industri di perkotaan yang mendorong para penduduk perdesaan untuk melakukan migrasi. Sektor ekonomi informal yang terkenal dengan upah yang rendah masih saja tetap menarik bagi para migran yang berasal dari pedesaan sebagai alternatif kurang optimalnya bekerja di sektor perdesaan (pertanian). Kondisi yang demikian akan terus berlanjut manakala upah disektor pedesaan (pertanian) belum juga menunjukkan keseimbangan dengan sektor industri di perkotaan. Terlebih lagi tingkat kesejahteraan pada saat mereka melakukan migrasi jauh lebih baik dari pada sebelumnya, begitu juga semakin bertambahnya faktor produksi yang mereka miliki di desa asal. Fenomena ini yang akan membuktikan alasan para migran untuk memilih bentuk sirkulasi dari pada migrasi menetap.

Gambar 2 Skema analisis keputusan bermigrasi menurut Derek Byerlee dalam Todaro 2003

Sistem-sistem sosial (misal, unit keputusan/jumlah orang yg akan membuat keputusan bermigrasi) Kebijakan-kebijakan dari Pemerintah(misal:d ibidang perpajakan) Faktor-faktor Komplementer (misal:ketersedi aan lahan di desa) Besar-kecilnya pendapatan di desa Pengiriman uang dari kota ke desa Tingkat Penddkan Peluang Untuk mendapatkan pekerjaan Pendapatanbila berwiraswasta Tingkat upah di kota Besar-kecilnya pendapatan di kota

Biaya hidup Sehari-hari Biaya oportunitas Biaya transportasi Biaya-biaya psikis (resiko,adaptasi sosial)

Biaya-biaya