• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep sektor informal berasal dari makalah Hart tentang lapangan kerja perkotaan di Ghana. Hart pertama kali memperkenalkan pembagian kegiatan ekonomi kedalam sektor “informal” dan sektor “formal”. Istilah sektor informal sendiri adalah merupakan satu bentuk pengembangan dari konsep tradisional, sedangkan istilah sektor formal kurang lebih sama dengan istilah moderen Konsep sektor informal menurut Hart adalah merupakan unit usaha dengan

ciri-ciri padat karya, pengelolaan usaha bersifat kekeluargaan, tingkat pendidikan formal yang rendah, mudah dimasuki pendatang baru, sifatnya yang selalu berubah ubah dan tidak stabil (Tjiptoherijanto, 1989).

Dualisme informal dan formal ini semakin menarik peneliti studi pembangunan dalam kaitan proses industrialisasi dan urbanisasi di negara-negara berkembang, terutama seiring meluasnya kegiatan berusaha di pasar-pasar yang tidak terorganisasi di daerah perkotaan, selanjutnya lebih dikenal dengan sektor informal perkotaan. Namun, pada dasarnya sektor informal akan lebih jelas dpat dibedakan dari sektor formal jika dilihat dari aspek legalitas. Menurut ILO, pembedaan dua sektor (informal dan formal) tersebut dapat didasarkan pada aktivitas, sifat alami pasar dan perusahaan. Berkaitan dengan sektor informal, beberapa ciri yang di tulis oleh Soetjipto (1985) antara lain:

1. Pola kegiatan tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaannya.

2. Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan pemerintah.

3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan hari.

4. Umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya.

5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar.

6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah.

7. Tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja.

8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.

9. Tidak mengenal sistem administrasi bank, pembukuan, perkreditan dan lainya.

Berbeda dengan sektor informal, pasaran tenaga kerja pada sektor formal terdiri dari tenaga kerja bergaji yang melakukan tugas secara permanen,

diorganisasi dengan resmi, dilindungi dan tercatat dalam statistik ekonomi. Mereka yang bekerja disektor formal berada dibawah pengawasan Departemen ketenagakerjaan yang ditunjuk pemerintah dan tunduk terhadap ketentuan tentang upah, jam kerja, hak cuti, keamanan, pemutusan hubungan kerja (PHK), asuransi dan masih banyak lagi perundang-undangan lainnya.

Dalam memahami karakteristik sektor informal, akan lebih jelas jika difokuskan pada pengelolaan usaha dan hubungannya dengan pemerintah. Pembedaan tersebut diantaranya adalah:

a. Sektor Formal

Sektor formal termasuk dalam aktivitas pemerintah, dan juga berusaha disektor swasta yang secara resmi dikenli, dipelihara dan diatur oleh negara. Sektor formal dicirikan secara jelas dengan skala operasi yang relatif besar, teknik padat modal, tingkat upah dan gaji yang tinggi.

b. Sektor Informal

Dalam sektor informal, perusahaan dan individu beraktivitas diluar sistem peraturan dan kepentingan pemerintah, sehingga tidak memiliki akses terhadap institusi kridit formal dan kecukupan modal sumber daya untuk mentransfer teknologi dari luar negeri. Sehingga, banyak ditemukan pelaku ekonomi sektor ini beroperasi secara ilegal. Walaupun pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi relatif sama, keilegalan tidak selau merupakan konsekwensi alamiah dari keterbatasan sumber daya dan akses terhadap sektor formal.

Sampai saat ini dalam perkembangan penelitian tentang sektor informal dan sektor formal yang umumnya berkembang di perkotan, para ahli masih belum sepakat dalam mendefinisikan istilah sektor informal. Ketidak jelasan batas formal-informal juga banyak disebabkan oleh banyaknya interaksi dan keterkaitan antara kegiatan informal dan formal.

Konsep “ends-means” dari Hermando de Soto dalam Sarosa (2006) mengatakan bahwa kegiatan informal pada dasarnya dicirikan pada tujuan (ends) yang legitimate, karena untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi dengan cara-cara (means) yang tidak legitimate, karena tidak memenuhi tata-aturan formal. Tetapi pada intinya terdapat kesamaan cara pandang yang perlu difahami bersama bahwa sektor informal adalah mereka yang bekerja sendiri tanpa ada

yang mempekerjakannya, bekerja sendiri dengan keluarga atau pekerja paruh waktu, dan pekerja keluarga (SEMERU).

Terlepas dari ketidak samaan dan inti dari kesamaan dualisme formal-informal yang umumnya bersifat akademik konseptual, permasalahan sangat nyata dirasakan di kota-kota negara berkembang pada umumnya dan melanda negara-negara maju pada kasus tertentu. Di Indonesia, sektor informal menjadi tumpuan kehidupan sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Data Sakernas 1998 misalnya, menunjukkan terjadinya peningkatan pangsa pasar informal dari 62 persen tahun1997 menjadi 65,4 persen pada tahun 1998. Pada tahun sebelumnya 1985, sektor informal memberi kontribusi terhadap kesempatan kerja 74 persen, pada tahun 1990 menjadi 71 persen. Walaupun terjadi penurunan dari tahun ke tahun. Namun, artinya sektor informal tetap menjadi penampung angkatan kerja domian bila di banding sektor formal.

Catatan tentang sektor informal dalam subsektor dalam perdagangan, misalnya perdagangan kaki lima (PKL), Priyambadha dan Soegijoko menemukan permasalahan dan potensi dari PKL di Yogyakarta yang dapat memberikan gambaran secara nyata bahwa sikap yang banyak diambil oleh pemerintahan kota dalam menghadapi fenomena sektor informal lebih menekankan pada penegakan hukum yang tidak konsisten, kurang pembinaan dan tidk manusiawi. Pada catatan studi ini ditemukan juga bahwa sistem sub-kontrak terkait sektor informal dengan sektor formal, dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi dua kebelah fihak dan dapat menimbulkan multiplier-effects yang positif bagi pertumbuhan ekonomi lokal.

Panennungi (2004) sepakat bahwa tingginya pertumbuhan sektor informal terkait erat dengan fenomena pengangguran di wilayah perdesaan sehingga mempengaruhi ke arah ketimpangan pendapatan antarsektor (perkotaan yang berbasis industri dan perdesaan yang berbasis pertanian) yang menimbulkan fenomena migrasi internal sampai kearah migrasi internasional. Simanjuntak (2006) berpendapat semakin meningginya persoalan migrasi, misalnya migrasi internasional (pengiriman TKW ke Timur Tengah dan Malaysia) disebabkan keterbatasan kesempatan kerja dalam negeri terutama sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997. Keterkaitan sektor informal, sektor formal dan keterbatasan kesempatan kerja akan mempengaruhi perekonomian nasional, jika tidak diselesaikan dengan pengakuan sungguh-sungguh dan penuh perhatian.