• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Ekonomi Desa dan Pembangunan Ekonomi Perdesaan Pengertian ekonomi desa menurut Scott (1981), adalah desa yang

umumnya mempunyai kegiatan ekonomi yang bertumpu pada petani padi dan sawah. Meski demikian, masyarakat yang mempunyai kegiatan yang serupa juga dapat digolongkan petani, misalnya masyarakat dengan kegiatan ekonomi memelihara ikan di tambak atau masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi seperti tambak yang diatasnya diberi ternak serta pematang sawahnya ditanami pohon pisang (tamyamsang) dapat disebut sebagai petani.

Lebih lanjut, menurut Scott, para petani tradisional di Asia Tenggara selalu mendasarkan tindakan ekonominya berdasarkan moral. Keputusan-keputusan strategis tentang ekonomi dan sosial mereka cenderung didasarkan pada prinsip moral subsisten. Prinsip moral subsisten masih banyak tercermin dalam kehidupan ekonomi sebagian masyarakat petani di Indonesia. Kondisi ekonomi petani tersebut relatif banyak ditemukan didaerah pedesaan Pulau Jawa. Kondisi ekonomi perdesaan di Indonesia menurut Boeke (1953), mengatakan bahwa petani tradisional di Indonesia tidak mempunyai rasionalitas dalam prilaku ekonominya. Rasionalitas mereka lebih didasarkan pada kepentingan-kepentingan sosial yang lebih dominan dan paling menonjol diantara sekian banyak kepentingan. Pengakuan sosial dan hubungan kekerabatan yang lebih erat mengalahkan hubungan-hubungan lain yang bersifat rasional.

Ekonomi masyarakat petani tradisional yang banyak berada di daerah perdesaan Indonesia terperangkap pada keseimbangan yang sangat rendah. Proses involusi terjadi bukan hanya pada methode produksinya yang tradisional, tetapi juga karena cara/norma bagaimana hasil produksi dibagikan. Yang lebih tragis lagi dengan mengatakan bahwa bentuk perbaikan macam apapun (benih unggul, pemakaian pupuk dan pestisida, yang di sarankan Boeke) tidak mungkin akan berhasil dilakukan. Dengan menambahkan pernyataan bahwa pertanian di Jawa cenderung tumbuh seiring dengan bertambahnya penduduk yang mengakibatkan keadaan stagnasi dari sektor pertanian dan berhentinya pertumbuhan output pertenagakerja (Geertz, 1970).

Melihat analisis diatas, salah satu masalah pokok dalam pembangunan ekonomi pedesaan adalah bagaimana mewujudkan keterpaduan tujuan

pembangunan nasional yang tidak lagi urban-bias dapat diatasi melalui upaya-upaya: (1) Meningkatkan pendapatan riil rumah tangga di pedesaan baik pada sektor pertanian maupun nonpertanian, melalui penciptaan lapangan kerja, industrialisasi pedesaan, pembenahan pendidikan, kesehatan dan gizi serta penyediaan layanan sosial lainnya, (2) penanggulangan masalah ketimpangan distribusi pendapatan di daerah pedesaan, serta ketidakseimbangan pendapatan dan kesempatan ekonomi antara daerah pedesaan dengan perkotaan, (3) pengembangan kapasitas sektor pedesaan dalam rangka menopang langkah-langkah perbaikan masa mendatang. Untuk pencapaian ketiga asumsi tersebut sangat peting bagi keberhasilan pembangunan nasional, hal tersebut tidak saja disebabkan sebagian besar penduduk di negara-negara berkembang berada di pedesaan. Oleh karena itu, sinergisitas pembangunan nasional sangat di butuhkan untuk memenuhi keseimbangan ekonomi masyarakat pedesaan agar dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antardaerah pedesaan dan antardaerah perkotaan.

Pembangunan ekonomi di desa bukan hanya merupakan tanggung jawab penduduk tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama. Podes 2003 memuat tentang komposisi keuangan desa yang dapat digunakan untuk usaha pembangunan sosial dan ekonomi bagi kesejahteraan penduduk desa, keuangan yang dapat menunjang kearah tersebut adalah: (1) keuangan yang terdiri dari sisa anggaran tahun lalu (2) penerimaan daerah (3) pengeluaran anggaran rutin (4) pengeluaran anggaran pembangunan dan (5) sumber pendapatan asli desa.

Sedangkan yang dimaksud pendapatan asli desa adalah penerimaan yang diperoleh pemerintahan desa yang terdiri dari penerimaan yang diperoleh dari usaha produktif tanah khas desa, pungutan desa, swadaya masyarakat, hasil gotong royong dan sumber lain dari usaha desa (Podes Propinsi Jawa Timur, 2003).

Pembangunan ekonomi perdesaan di era otonomi adalah suatu self governing community yang dinamikanya disesuaikan dengan kebutuhan desa serta adat istiadat masyarakat setempat (Sumodiningrat, 2005). Seiring dengan pendapat tersebut, diperlukan strategi dan kebijakan pembangunan di pedesaan yang kontekstual dan obyektif.

perubahan dalam masyarakat desa, baik dalam bentuk meningkatnya taraf hidup sebagian masyarakat, terrealisasinya berbagai sarana dan prasarana yang memperluas pelayanan dasar kepada masyarakat desa. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat tersebut biasanya ditandai dengan meningkatnya konsumsi sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan dan meningkatnya pendapatan diakibatkan pula oleh meningkatnya produksi. Menurut Sumodiningrat bahwa proses pembangunan tersebut akan dapat terpenuhi apabila terpenuhi asumsi-asumsi pembangunan yaitu kesempatan kerja sudah dimanfaatkan secara penuh (full employment), semua orang mempunyai kemampuan yang sama (equal productivity), dan setiap pelaku ekonomi bertindak rasional (rational-efficient).

Penduduk pedesaan adalah bagian dari pelaku ekonomi. Tidak semua pelaku ekonomi ikut serta dalam proses pembangunan dan tidak semua penduduk pedesaan menikmati peningkatan pendapatan sebagai hasil dari proses pembangunan. Pelaku pembangunan yang tidak memiliki akses dan sumberdaya dalam pembangunan akan menganggur. Karena menganggur, akan menyebabkan berbagai kerawanan sosial, ketimpangan antargolongan penduduk, antarsektor kegiatan ekonomi daerah dan pada akhirnya masalah kemiskinan penduduk. Inti dari masalah tersebut adalah adanya disparitas pembangunan antardaerah dan antarsektor.

Disparitas pembangunan menurut Anwar (2005) akan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk interaksi yang saling memperlemah satu dengan lainnya. Hal itu disebabkan adanya pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash), pengangguran besar yang mengakibatkan terjadinya aliran bersih (net-transfer) dan akumulasi nilai tambah dipusat-pusat secara berlebihan. Sehubungan dengan kondisi tersebut, daerah pedesaan perlu pendekatan yang lebih partisipatif. Pembangunan partisipatif mengandung makna bahwa pembangunan itu harus mengandung prinsip pemberdayaan masyarakat, aparat (birokrasi) serta usaha nasional melalui keterpaduan peran pemerintah dan masyarakat melalui mekanisme musyawarah berdasarkan mekanisme yang disetujui bersama. Menurut Sumodiningrat dengan pembangunan partisipatif pembangunan nasional yang dilaksanakan di perdesaan akan terlaksana secara optimal, memungkinkan rakyat memperoleh

pemerataan dan keadilan serta akan memperluas basis pembangunan yaitu keluarga dan masyarakat.

Melihat kenyataan pembangunan yang ada di daerah perdesaan, masih banyak kekurangan atas kesiapan sumberdaya-sumberdaya termasuk pranata misalnya; rendahnya mutu sum berdaya manusia, lemahnya lembaga pemerintahan desa dan lembaga masyarakat desa dalam menampung dan menyampaikan aspirasi masyarakat, utamanya masih terbatasnya jangkauan pelayanan lembaga perekonomian dalam mendukung usaha ekonomi desa, serta belum meratanya prasarana dan sarana sosial ekonomi dalam melayani kebutuhan masyarakat desa. Dengan demikin, tantangan yang dihadapi dalam pembangunan desa menurut Sumodiningrat adalah meningkatkan fungsi lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan desa untuk menciptakan kesejahteraan kemakmuran masyarakat desa, meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat berpartisipatif aktif dalam pembangunan, mengurangi kesenjangan antardesa dan antara desa dengan kota.

Lebih lanjut, perlu adanya keberpihakan dan komitmen pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan ekonomian rakyat. Keberpihakan terhadap perekonomian rakyat berarti memberikan perhatian khusus kepada upaya peningkatan ekonomi rakyat, termasuk upaya mencari penghasilan melalui migrasi sirkuler dalam mengisi waktu luang disela waktu tanam dan waktu panen. Seharusnya perhatian khusus ini diwujudkan dalam langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada perluasan akses rakyat pada sumberdaya pembangunan disertai penciptaan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat di lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan sehingga mampu mengatasi kondisi keterbelakangan dan memperkuat posisi daya saing ekonominya.