• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biaya-biaya migrasi

6.3. Tingkat Pendapatan Dan Tingkat Kesejahteraan

6.3.1. Tingkat Pendapatan Sebelum Menjadi Migran Sirkuler

Pelaku migran sirkuler yang terdapat di daerah tujuan pada umumnya adalah masyarakat perdesaan di bagian selatan kabupaten Lamongan. Masyarakat perdesaan di kabupaten Lamongan sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Data Podes propinsi Jawa Timur tahun 2003 mencatat bahwa dari total 423 desa di kabupaten Lamongan terdapat 82 persen (347 desa) yang penduduknya sebagian besar bekerja disektor pertanian (Statistik potensi desa BPS Propinsi Jawa Timur, 2003). Menurut Sajogyo (2002) penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mengalami penurunan nilai tambah lebih dari 26 persen, pada kurun waktu 1973 -1980 sebesar 32 persen. Peneurunan tersebut terkait erat dengan rendahnya tingkat upah disektor pertanian. Teknologi unggul sektor pertanian bias pada pemilik tanah dan penggarap. Sedangkan tehnologi informasi masuk ke desa-desa dan menunjukkan tingginya peluang di luar sektor pertanian yang menjanjikan pendapatan yang tinggi, mendorong penduduk desa keluar dari sektor pertanian.

Data PDRB kabupaten Lamongan dalam kurun waktu 1999 – 2003 tanaman bahan makanan mengalami kenaikan sebesar 14,2 persen dari total

Rp. 1.047.957,45 (BAPPEDA kabupaten Lamongan, 2003). Sistem irigasi yang didukung oleh lintasan aliran Bengawan Solo, merupakan potensi sumber daya alam yang mendukung sektor pertanian di pedesaan kabupaten Lamongan. Tanaman pangan yang berupa padi-padian dan umbi-umbian merupakan produk unggulan pertanian sejak jaman dulu, kondisi tersebut karena didukung oleh ekologi Tanah perdesaan yang dimiliki.

Kondisi ekologi perdesaan adalah merupakan aset, bentuk sumbangan sumber daya alam yang mendukung sektor pertanian terhadap keperluan hidup penduduk pedesaan pada umumnya. Hal tersebut tidak terlepas dari peran serta masyarakat di pedesaan. Hasil pengamatan dan survei Lapangan menggunakan kuesioner menemukan bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan dikabupaten Lamongan masih jauh dari pemenuhan standart kelayakan sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui upah minimum Regional (UMR) perdesaan. Hal tersebut terlihat melalui semakin bertambahnya jumlah rumahtangga miskin dipedesaan dan rumahtangga yang diduga miskin di pedesaan, serta banyaknya temuan rumahtangga petani yang melakukan strategi nafkah (livelihood Strategies) ganda diluar sektor pertanian, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumahtangganya. Dari wawancara dan pengisian kuesioner di lapangan, juga terungkap bahwa upah yang diperoleh buruh tani berkisar antara Rp. 8.000,- sampai Rp. 10.000,- (4-6 jam per hari kerja) apabila pemilik lahan menyediakan makanan dan minuman, dan antara Rp. 10.000,- sampai Rp. 12.000,- per hari apabila pemilik lahan tidak bersedia menyediakan makanan. Dari data kuesioner yang disebar melaui 159 responden berlatar belakang petani, lebih dari 90 persen mengatakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dengan mengandalkan pekerjaan sebagai buruh tani di desa. Hasil wawancara dengan beberapa pemilik lahan pertanian di desaasal tentang kepantasan pemberian upah buruh tani, diperoleh jawaban bahwa apabila upah bersih buruh tani lebih dari kisaran Rp. 8.000,- sampai Rp. 15.000,- maka pengusahaan pertanian akan rugi, karena ketidak seimbangan antara hasil yang didapat dengan biaya pengusahaan pertanian. Lebih lanjut, pertanyaan kepada responden buruh tani di desa mengapa tidak mengusahakan pekerjaan lain di desa, lebih dari 90 persen responden menjawab akan susah berkembang karena kemampuan membeli (daya beli) masyarakat rendah. Kendatipun pandangan ekonom membenarkan bahwa tingkat pendapatan akan mempengaruhi daya beli

masyarakat, nampak terlihat sebagian masyarakat perdesaan di kabupaten Lamongan masih tetap mempertahankan sektor pertanian, kondisi tersebut lebih didasarkan pada faktor kecintaan sebagian masyarakat perdesaan terhadap kampung halaman dan kaum kerabat di desa asal walaupun pada saat tertentu harus keluar desa untuk mendapatkan tambahan pendapatan.

Tabel 33 Pendapatan migran per hari sebelum memutuskan migrasi sirkuler

Klasifikasi Pendapatan Migran di Desa Asal Frekuensi Prosentase << Rp. 20.000 (Rp. 8000,- - Rp.12000,-) 94 59,1

Rp. 20.000,- - Rp. 30.000,- 62 38.9

Rp.30.000,- - Rp. 50.000,- 3 1.9

Total 159 100

Sumber: Survei Lapangan, 2005

Namun, kondisi yang berbeda juga terjadi pada sebagian masyarakat perdesaan (Pucuk, Kesambi, Siwalanrejo dan Sumberagung) pada dua kecamatan di kabupaten Lamongan. Penduduk perdesaan yang awalnya masih konsisten mempertahankan sektor pertanian dan menjadikan pertanian sebagai satu-satunya sumber pendapatan utama rumahtangganya, harus memutuskan untuk menjadikan sector pertanian sebagai pekerjaan sambilan. Profesi sebagai migran sirkuler sektor informal ke daerah-daerah tujuan yang dipilih dipandang sebagai ”pahlawan” untuk permasalah rendahnya upah pekerjaan di sektor pertanian. Melalui keputusan tersebut, sebagian harapan untuk dapat mengatasi masalah kesulitan ekonomi akibat rendahnya pendapatan di desa dan memiliki simpanan di hari tua terwujud. Menjadi migran sirkuler dipilih sebagai solusi yang bijak dalam mengatasi masalah rendahnya upah sektor pertanian dan faktor kecintaan terhadap lahan pertanian yang dimiliki dalam menunjang penghidupan keluarga di desa asal. Berikut kutipan hasil wawancara dengan seorang pedagang Bakso (NJ) umur 39 tahun asal desa Pucuk yang memilih menjadi migran sirkuler, semula petani kecil dengan lahan sempit dan sudah dua tahun di desa tujuan Brondong bersama istrinya:

kulo awalle puyeng mikir ke pasugatan kebutuhan saben dhinten, kerjaan ngeh mentok ngoten-ngoten mawon, saklintune tani ngeh repot ten dusun niku, nate njajal buka warong ten dusun ngeh malah rugi, malah torok tenogo. Yogo kulo tigo, kebutuhan tambah dhinten tambah katah. Ngandalke tani tok ten dusun, saget ngak karuan yogo kulo. Upah maton niku roto-roto wolong ewu setengah ari, niku diparingi nyamian, kaleh wedang. Nek sedinten tet ngeh saget kaleh

welas ewu nghantos tigo welas ewu dahar sepindah, niku ngeh mboten mesti wonten setinten-dhinten ne. Dah....yogo kalean estri kulo dhos pundhi.... niku. Akhir e, kulo nemokne dalan ngeh niki (dagang Bakso)ten dhusun lintu, paleng mboten saget damel nyukupi kebutuhan sak dhinten-dhinten e kedik -kedik asal saget nyekolahke anak. Syukur-syukur nek wonten luwehan, saget kangge nabong, mbejeng sepah saget di unduh. Kulo mboten saget netep ten dhuson lintu sakteruse, tendusun woten yogo setunggal dherek mbah e ugi sanak family kolo kathah ten ngriko,sekedik -kedik ngeh kadang kangen kramot saben, meniko pangan mbahe yogo kulo. Ten duson niku nyekel duwek sekedik tapi sayok wargo ne. Tanggi-tanggi engkang kaddos kulo ten riki ngeh suaten kados kulo, kadhose remen ngeten niki, ngak ngoyo tapi sekedik-kedik ngasel !, nek kangen ngeh manthok. Kangge dhinten tuwo kulo tetep remen ten dusun asal. ( saya awalnya sakit kepala memikirkan kebutuhan sehari-hari, melihat pekerjaan hanya begitu saja, selain bertani semuanya repot di desa, pernah mencoba buka warung/berdagang tapi terus rugi, capek tenaga. Anak saya tiga, kebutuhan hidup semakin hari semakin bertambah. Mengandalkan bertani saja di desa, bisa tidak terwujud anak saya. Upah buruh tani/nyabut rumput delapan ribu/ serenga hari, itu diberi jajanan dan minum. Kalo kerja sehari upah bisa duabelas ribu sampai tiga belas ribu, makan sekali, itu pun belum tentu ada setiap harinya. Dah.... anak dan istri saya gimana... itu. Akhirnya, saya menemukan jalan yaitu berdagang Bakso di desa lain, paling tidak bisa untuk mencukupi kebutuhansehari-harinya, sedikit-sedikit asal bisa menyekolahkan anak. Bersyukur kalau ada lebihnya, ya ditabung, besok hari tua bisa dinikmati. Saya tidak bisa menetap di desa lain untuk seterusnya/migrasi tetap, di desa masih ada satu anak saya ikut orang tua saya dan juga sanak famili saya banyak disana, sedikit-sedikit kadang juga kangen merawat sawah, itu sumber makan untuk nenek anak saya. Di desa asal itu megang uang sedikit tapi kompak masyarakatnya. Para tetangga yang sama sepeti saya disini ya sependapat dengan saya, sepertinya suka seperti ini, ngak terlalu kejar target tetapi sedikit-sedikit dapat hasil !, kalau kangen (kampung halaman/keluarga) saya pulang. Untuk hari tua saya tetap suka di desa.

Hasil perhitungan distribusi pendapatan menunjukkan bahwa besarnya koefisien Gini pendapatan sebelum migrasi sebesar 0,32 (lihat Lampiran 3) Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pendapatan dalam kategori ketimpangan relatif sedang. Sedangkan distribusi pendapatan migran setelah migrasi adalah sebesar 0,15 (lihat Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan rumahtangga migran sirkuler setelah migrasi adalah rendah dan bisa dikatakan distribusi pendapatan migran sangat merata. Distribusi pendapatan migran yang sangat merata tersebut dapat dimengerti mengingat kegigihan dalam bekerja tanpa mengenal lelah mereka. Rumahtangga migran selalu memanfaatkan waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, kreatifitas mereka untuk mendapatkan penghasilan tambahan sangat tinggi walaupun di daerah tujuan yang relatif dekat dengan desa asal. Hal lain yang mendudukung adalah daya beli masyarakat di daerah tujuan yang sangat tinggi

dengan fasilitas pembangunan yang semakin ramai, sementara pedagang kaki lima relatif belum begitu banyak.

Bukan saja data primer yang mampu menjelaskan ke tidak seimbangan beban anggota keluarga dengan pendapatan di perdesaan, BPS 2004 mencatat bahwa rata-rata jumlah anggota keluarga di perdesaan yang berasal dari dua kecamatan Pucuk dan Sukodadi adalah 5 orang (BPS kabupaten Lamongan, 2004). Sementara, kebutuhan untuk hidup sehari-hari di perdesaan minimal Rp 7.500,- per hari, tiga kali makan dan minum. Kendatipun semangat kerja masyarakat perdesaan sangat tinggi, tetapi bila tidak diimbangi dengan upah yang layak dan yang sesuai dengan beban hidup keluarga, maka semangat untuk mempertahankan bekerja di sektor pertanian akan memudar dan penduduk perdesaan akan mencari alternatif pemecahan kebutuhan hidup. Dengan demikian disparitas upah sektor pertanian adalah merupakan faktor pendorong terjadinya migrasi sirkuler penduduk perdesaan ke daerah-daerah urban terdekat.