• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Berperan dalam Toksisitas

Dalam dokumen DAFTAR ISI (Halaman 74-81)

TOKSISITAS

C. Faktor yang Berperan dalam Toksisitas

BAB 5|| Toksisitas Toksikologi Lingkungan

50

3. Legalitas

Secara legalitas, persoalan toksin dan toksisitas ini memang harus ada perangkat yuridisnya. Karena hal ini berhubungan dengan nyawa manusia dan kondisi lingkungan hidup. Apabila negara gagal menerapkan kewenangan kekuasaan pemerintah secara legalitas dalam mengatasi persoalan toksisitas, berarti cita-cita negara untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia tentu tidak tercapai.

Memang perangkat hukum tentang lingkungan hidup sudah ada.

Selain Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, ada pula peraturan yang terkait dengan toksisitas ini, yaitu Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) No. 7 Tahun 2016.

Aturan ini dibuat dalam rangka menyelamatkan warga negara terhadap penyalahgunaan bahan xenobiotik berupa senyawa kimia yang bersifat obat-obatan.

Selain 2 peraturan di atas, ada lagi peraturan terhadap uji toksisitas, yaitu Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan No.

7 Tahun 2014. Dengan adanya aturan ini, kegiatan yang bersifat uji toksisitas dapat dikendalikan dalam hal penatalaksanaannya.

Penelitian toksikologi lingkungan senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan toksikologi sebagai ilmu. Kemajuan penelitian terhadap toksisitas pun dengan sendirinya menambah khazanah keilmuan pula pada toksikologi industri. Terkait dengan studi dan riset dalam toksikologi lingkungan secara luas dan detail akan dibahas pada Bab 11.

Paling tidak, pada subbab ini kita memahami bahwa toksisitas merupakan hal yang cukup mendasar dalam ranah toksikologi lingkungan. Secara konsep teori keilmuan dari toksikologi sendiri pun, toksisitas selalu dikaji dan diteliti. Karena di lapangan terjadi variasi terhadap kemampuan daya racun dari suatu toksin maupun zat tertentu.

Begitu juga secara legalitas tentang toksisitas ini pun telah diatur.

BAB 5|| Toksisitas 51 a. jenis racunnya;

b. dosis racun;

c. cara masuk ke dalam tubuh;

d. stabilitas racun dalam tubuh;

e. resapan racun dalam tubuh;

f. kondisi tubuh.

Masing-masing variabel di atas, menjadi faktor dalam toksikologi, sekaligus juga pada toksikologi lingkungan. Karena memang faktor itu memberikan pengaruh terhadap tingkat daya racun suatu zat pada organisme dan lingkungan. Semua faktor di atas sudah dibahas pada bab sebelumnya, di mana tak lepas dari 3 hal, yaitu (1) sumber dan jenis racun; (2) ekokinetika; dan (3) farmakokinetik. Hal ini masing-masing telah disajikan pada Bab 4 sebelum ini, Alur Toksikologi Lingkungan.

Dalam subbab ini, secara fokus akan disajikan 3 faktor utama yang memengaruhi toksisitas suatu toksin. Yaitu (1) faktor toksin itu sendiri; (2) faktor lingkungan; dan (3) faktor organisme sebagai receptor.

Masing-masing diuraikan sebagai berikut.

1. Faktor Toksin (Racun)

Faktor toksin ini, jelas memengaruhi toksisitasnya. Bisa jadi dari sifat fisis kimianya, maupun wujudnya. Pada toksin berwujud gas tentu akan tinggi toksisitasnya karena penyebarannya efektif. Selain jenisnya, juga ditentukan oleh sumber dari racun tersebut.

Sebagaimana telah dipelajari pada bab sebelum ini bahwa sumber racun itu bisa dari biotik dan juga bisa dari abiotik. Jika sumber itu berasal dari biotik maka jenis spesies dalam hal ini sangat menentukan toksisitas racun yang dihasilkannya. Jika sumber itu berasal dari abiotik, maka sifat dan wujud racun itu lah yang sangat menentukan toksisitasnya.

Ada 2 aspek yang menentukan toksisitas dari racun yang dihasilkan dari biotik, yaitu:

a. Jenis Spesies

Sembel (2015) mengemukakan bahwa venom (bisa) yang dihasilkan ular dari ordo dan family yang sama meskipun kadar bisanya sama, ternyata

BAB 5|| Toksisitas Toksikologi Lingkungan

52

toksisitasnya berbeda. Begitu juga spesies dari ordo hymenoptera spp (serangga) seperti lebah dan tabuhan. Toksisitas dari masing-masing lebah meskipun sesama lebah dengan kadar yang sama ternyata berbeda daya racunnya.

Toksisitas yang dihasilkan oleh suatu jenis spesies di atas, apabila memasuki atau menyerang makhluk hidup lain, termasuk juga manusia, selanjutnya juga akan dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh reseptor tersebut.

Sehingga dalam hal ini dapat dipahami bahwa toksisitas sangat dipengaruhi oleh jenis spesies penghasil racun, yang berinteraksi dengan sistem biologis tubuh reseptor. Tentang faktor reseptor ini diuraikan pada poin 3 nantinya.

b. Berat Badan Spesies

Busvine (1971) telah melaporkan hasil penelitiannya dari dahulu bahwa berat badan memengaruhi toksisitas. Sehingga dalam hal farmasi, selalu dosis diukur atau ditakar dengan berat badan. Busvine telah melakukan eksperimen pada berbagai jenis serangga. Disimpulkannya bahwa makin berat badan suatu serangga maka makin tinggi dosis untuknya.

Dengan demikian, disimpulkan bahwa makin berat ukuran berat badan suatu spesies maka toksisitas yang dihasilkan oleh racunnya akan lebih tinggi dibanding dengan spesies yang sama dengan berat badan yang lebih ringan darinya. Dengan kata lain berat badan berbanding lurus dengan toksisitas racun yang dihasilkan oleh suatu spesies.

2. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan adalah berkaitan dengan media transport atau dengan bahasa lain di dalam toksikologi disebut juga dengan fase atau kompartemen. Pada dasarnya faktor lingkungan ini dapat dibagi 2, yaitu biotik dan abiotik.

Pembagian berdasarkan biotik dan abiotik ini adalah tradisi keilmuan dalam konsep ilmu lingkungan. Sehingga pembagian menurut ilmu toksikologi bisa saja berbeda, tetapi secara esensi tetap sama.

BAB 5|| Toksisitas 53 a. Faktor Biotik pada Lingkungan

Yang memengaruhi toksisitas suatu bahan racun dari faktor biotik adalah mikroorganisme pada tanah. Mikroorganisme memiliki enzim untuk menguraikan atau menghancurkan senyawa-senyawa yang merupakan xenobiotik baginya yang berada pada tanah.

Keberadaan mikroorganisme tanah, akan membentuk beberapa kemungkinan interaksi dengan racun, sehingga toksisitas racun tersebut bisa berkurang bahkan bisa hilang. Bisa saja melalui transformasi ataupun akumulasi pada sedimentasi tanah.

b. Faktor Abiotik pada Lingkungan

Terdapat beberapa aspek dalam faktor abiotik pada lingkungan ini yang memengaruhi toksisitas, yaitu:

1) Suhu

Dalam ilmu kimia didapat kenyataan bahwa secara umum, reaksi akan menjadi lebih cepat apabila terjadi kenaikan suhu. Dalam kasus tertentu peran suhu pada reaksi-reaksi logam sangat penting dan menentukan. Goyer & Clarkson (2003) melaporkan hasil penelitiannya bahwa kadmium (Cd) yang telah dipanaskan, atau uap kadmium dapat menyebakan keracunan akut pada paru-paru.

Selain itu, pada flora juga berlaku demikian. Pada suhu yang tinggi, buncis merah menghasilkan toksisitas yang tinggi pula. Racun lektin yang ada pada buncis merah pada suhu 80 derajat celcius memiliki daya racun 5 kali lebih tinggi daripada kacang segar.

Dalam hal ini, bisa dikatakan suhu berbanding lurus dengan toksisitas yang berasal dari abiotik berupa logam dan biotik berupa buncis merah. Belum ditemukan hasil penelitian terbaru yang menghasilkan paradox dengan pernyataan di atas.

2) Kelembapan

Kelembapan yang tinggi untuk biotik tertentu akan menyebabkan pertumbuhannya lebih optimal. Seperti pada jamur dan beberapa jenis bakteri. Terdapat 2 jenis toksin berupa mitotoksin (toksin yang berasal dari jamur), yaitu (1) fumonisins; dan (2) aflatoksin.

BAB 5|| Toksisitas Toksikologi Lingkungan

54

Sembel (2015) menyatakan bahwa kedua jenis mitotoksin tersebut terdapat pada makanan dan berkembang dengan baik di daerah tropis pada kelembapan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh jamur aspergillus spp berkembang dengan baik pula pada kelembapan yang tinggi.

3) Curah Hujan

Curah hujan memberikan pengaruh pada racun pestisida. Setelah aplikasi dilakukan, akumulasi dan residu yang terjadi pada tanah akan diencerkan oleh curah hujan. Dalam hal ini curah hujan dapat menurunkan toksisitas racun pestisida.

Tetapi pada kasus lain, seperti hujan asam dapat diketahui malah sebaliknya. Pada situasi hujan asam maka makin tinggi curah hujan toksisitas hujan asam pun makin tinggi karena jumlah yang turun menjadi lebih banyak.

4) Cahaya

Pada golongan serangga biasanya ada yang bersifat nocturno. Malah lebih banyak yang bersifat nocturno ini. Nocturno adalah serangga yang aktif pada malam hari. Atau bisa juga pada bangsa burung seperti kelelawar.

Hewan yang aktif pada malam hari menandakan ia mampu beradaptasi pada gelap dengan segala kelengkapan antena dan sensorik lainnya.

Hewan ini mempunyai toksisitas pada keadaan gelap atau kekurangan cahaya dibanding pada keadaan cahaya yang cukup.

Begitu juga dengan hasil penelitian dari Lakhovas (2011) yang melaporkan bahwa ular jenis nocturno mempunyai venom yang lebih mematikan daripada ular yang tidak nocturno. Penelitian yang dilakukannya adalah pada ular malaya spesies bungarus candidus. Ular ini tidak aktif di siang hari pada keadaan cahaya yang terang. Tetapi pada cahaya gelap ia mengeluarkan toksin berupa venom neurotoksin. Toksin ini melumpuhkan saraf organisme yang diserangnya.

5) Angin

Angin adalah udara yang bergerak. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara antara satu tempat dengan tempat lain. Dalam hal ini media transportnya adalah udara. Makin kencang angin maka kadar racun yang dibawanya akan makin memiliki toksisitas yang tinggi

BAB 5|| Toksisitas 55 pada daerah yang anginnya tidak kencang. Hal ini terjadi pada toksin yang berasal dari asap pabrik ataupun peristiwa letusan gunung api.

Faktor lingkungan tentu sangat menentukan keberadaan toksin dan sekaligus juga tingkat toksisitas dari racun tersebut. Sebagai ilustrasi sederhana dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Perbandingan Rona Lingkungan

Sumber: Danhas, Y. 2019

Sebagai ilustrasi sederhana dalam merealisasikan hubungan variabel lingkungan dengan toksisitas dan keberadaan xenobiotik dapat dicermati pada Gambar 8. Pada gambar terlihat 2 foto, yang kiri dan kanan. Foto yang kiri memperlihatkan ekosistem padang rumput di salah satu tempat di Kamang Magek, Kabupaten Agam. Sementara foto yang kanan menampakkan ekosistem jalan raya di Jalan Joni Anwar, Lapai, Kota Padang.

Dengan melihat dan membandingkan 2 foto itu saja, tanpa kita memasuki lokasi itu saat sekarang, bisa kita merasakan nuansa yang berbeda. Hanya melalui indra mata melihat foto, sudah berbeda mendatangkan rasa di hati. Kita dapat pahami di rona lingkungan yang manakah toksin lebih berpotensial dan toksisitasnya tinggi, apakah di foto kiri atau kanan?

3. Faktor Receptor

Dalam hal ini receptor adalah organisme yang menerima racun. Pada bahasan kita adalah manusia. Manusia yang menerima racun akan memberikan reaksi yang tidak sama. Reaksi yang tidak sama terhadap

BAB 5|| Toksisitas Toksikologi Lingkungan

56

jenis racun yang sama pada kadar yang sama, dalam hal ini menentukan pengaruh terhadap toksisitas racun tersebut.

Beberapa aspek yang memberikan pengaruh terhadap toksisitas racun ditinjau dari faktor manusia yang menerima ini adalah sebagai berikut.

a. Jenis Kelamin

Sembel (2015) menyatakan bahwa jenis kelamin perempuan lebih tahan terhadap pengaruh racun dari pestisida. Hal ini disebabkan oleh perempuan memiliki lemak yang lebih banyak daripada laki-laki.

Dengan kata lain, toksisitas dari pestisida akan rendah apabila masuk ke tubuh perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

Hal yang sama juga terjadi pada hewan. Dilaporkan oleh Busvine (1971) bahwa jenis kelamin jantan lebih peka terhadap toksin daripada betina. Penelitiannya dilakukan pada serangga periplaneta americana (kecoak). Dengan menyuntikkan beberapa toksin dan hasilnya adalah betina ternyata lebih bisa menurunkan toksisitas daripada jantan. Hal ini disebabkan karena adanya lapisan kadmium pada uterusnya.

b. Umur

Usia lanjut lebih sensitif terhadap toksin dibanding usia muda atau masa pertumbuhan. Tetapi, usia anak-anak juga lebih sensitif terhadap racun daripada usia remaja.

Dalam hal ini secara umum toksisitas jenis racun tertentu akan rendah apabila masuk ke tubuh remaja dan/atau manusia usia pertumbuhan dibanding dengan orang usia lanjut. Sementara itu, toksin akan tinggi toksisitasnya pada balita dibanding dengan remaja.

Kenyataan ini bisa kita lihat bahwa pada kondisi polusi udara, maka jumlah balita dan jumlah orang tua akan lebih banyak menjadi pasien di rumah sakit dengan gejala dan penyakit ISPA.

c. Berat Badan dan Ukuran Tubuh

Seperti pada sumber racun, sama hal dengan receptor bahwa pada manusia yang lebih berat badannya atau ukuran tubuhnya lebih tahan terhadap toksin daripada orang yang lebih kecil tubuhnya dan ringan berat badannya.

BAB 5|| Toksisitas 57 Dengan kata lain, toksisitas menjadi rendah pada orang yang ukuran tubuhnya lebih besar dan berat badan yang lebih berat dari orang lain.

d. Pola Makanan

Pola makan manusia jelas sekali memengaruhi toksisitas racun yang diterimanya. Karena racun juga terdapat pada jenis makanan tertentu.

Dikemukakan oleh Sembel (2015) bahwa cacing trichinella spp yang hidup pada daging babi dapat menimbulkan kerusakan pada tubuh manusia.

Kerusakan yang utama sekali berdampak pada kekebalan dan keseimbangan sistem biologis tubuh sehingga mudah diracuni oleh xenobiotik. Hal ini berarti pola makan bisa memengaruhi secara langsung dan tidak langsung.

Tidak hanya pada daging babi saja, tetapi pada daging sapi juga ada cacing taenia spp. Pola makan yang mengonsumsi daging pada waktu yang intensif akan memengaruhi toksisitas racun yang akan masuk ke dalam tubuh. Makanya salah satu tren hidup sehat dipopulerkan untuk vegetarian.

Dalam dokumen DAFTAR ISI (Halaman 74-81)