TOKSIKOLOGI LOGAM
B. Logam Penting 1. Arsenik
5. Kromium a. Sifat Kromium
BAB 7|| Toksikologi Logam 165 di habitatnya, sehingga unsur ini dapat terakumulasi melalui rantai makanan dan membahayakan hewan-hewan laut lainnya. Bahkan juga menjadi sumber racun bagi manusia melalui makanan.
5. Kromium
BAB 7|| Toksikologi Logam Toksikologi Lingkungan
166
Senjata yang ditemukan dalam lubang penguburan berasal dari Pasukan Terakota Dinasti Qin abad ke-3 SM di dekat Xi’an, China telah dianalisis oleh para arkeolog. Meskipun terkubur lebih dari 2.000 tahun, ujung perunggu kuno dari baut busur silang dan pedang yang ditemukan pada situs tersebut menunjukkan hanya sedikit korosi, mungkin karena perunggu sengaja disalut lapisan tipis kromium oksida.
Namun, lapisan oksida bukan logam kromium atau lapisan krom seperti yang kita ketahui saat ini.
Mineral kromium sebagai pigmen menarik perhatian dunia Barat pada abad ke-18. Pada 26 Juli 1761, Johann Gottlob Lehmann menemukan mineral merah-jingga dalam tambang Beryozovskoye di Pegunungan Ural yang ia namakan timbal merah Siberia. Meskipun disalahtafsirkan sebagai senyawa timbal dengan komponen selenium dan besi, mineral ini sebetulnya adalah krokoit (timbal kromat) dengan rumus PbCrO4. Pada tahun 1770, Peter Simon Pallas mengunjungi situs yang sama seperti yang dikunjungi oleh Lehmann dan menemukan mineral timbal merah yang memiliki manfaat sebagai pigmen dalam cat. Penggunaan timbal merah Siberia sebagai pigmen cat kemudian berkembang pesat. Pigmen kuning cerah yang dibuat dari krokoit juga menjadi popular (Guertin et al., 2005).
c. Kegunaan Kromium
Sesuai dengan sifatnya, maka kromium pun digunakan dalam kepentingan banyak hal bagi manusia. Salah satunya adalah untuk melapisi bahan otomotif seperti bus dan bahan dari besi lainnya.
Gambar 27. Bus Sekolah yang Dicat Kuning Krom
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kromium
BAB 7|| Toksikologi Logam 167 Mineral krokoit (timbal kromat PbCrO4) digunakan sebagai pigmen kuning segera setelah penemuannya. Setelah metode sintesis tersedia sejak melimpahnya kromit, kuning krom, bersama dengan kuning kadmium, menjadi salah satu pigmen kuning yang paling banyak digunakan. Pigmen tidak mengalamai fotodegradasi, tetapi cenderung menggelap karena pembentukan kromium (III) oksida. Ia memiliki warna yang kuat, dan digunakan untuk bus sekolah di AS dan untuk layanan pos (misalnya Deutsche Post) di Eropa.
Penggunaan kuning krom ditolak dengan alasan lingkungan dan keselamatan dan digantikan oleh pigmen organik atau alternatif yang bebas dari timbal dan kromium. Pigmen lain berbasis kromium adalah, misalnya pigmen merah cerah merah krom, yang merupakan timbal kromat basa (PbCrO4·Pb(OH)2). Pigmen kromat yang sangat penting, yang pernah digunakan luas dalam formulasi cat dasar logam, adalah seng kromat, sekarang digantikan oleh seng fosfat. Sebuah cat dasar diformulasikan untuk menggantikan praktik berbahaya dari perawatan badan pesawat aluminium dengan larutan asam fosfat.
Teknik ini menggunakan seng tetroksikromat yang terdispersi dalam larutan polivinil butiral. Suatu larutan 8% asam fosfat dalam larutan ditambahkan segera sebelum aplikasi.
Ditemukan bahwa alkohol yang mudah teroksidasi adalah bahan ramuan penting. Suatu lapisan tipis sekitar 10–15 μm diaplikasikan, yang berubah dari kuning menjadi hijau tua ketika sudah pulih. Tetap masih ada pertanyaan terkait mekanisme yang benar. Hijau krom adalah campuran biru Prusia dan kuning krom, sementara hijau krom oksida adalah kromium (III) oksida.
Oksida kromium juga digunakan sebagai pewarna hijau dalam pembuatan kaca dan sebagai glasir pada keramik. Kromium oksida hijau sangat ringan dan seperti digunakan pada penyalut selongsong. Ia juga merupakan ingredien utama dalam cat reflektor inframerah, yang digunakan oleh pasukan bersenjata, untuk mencat kendaraan, untuk memberikan reflektansi IR yang serupa dengan daun hijau.
BAB 7|| Toksikologi Logam Toksikologi Lingkungan
168
Kegunaan lain:
• Kromium (IV) oksida (CrO2) adalah senyawa magnetik. Bentuk idealnya anisotropi, yang memberikan koersivitas tinggi dan sisa magnetisasi, membuatnya sebagai senyawa superior terhadap γ-Fe2O3. Kromium(IV) oksida digunakan untuk pabrikasi pita magnetik yang digunakan dalam pita audio kinerja tinggi dan kaset audio. Kromat dapat mencegah korosi baja pada kondisi basah, dan oleh karena itu kromat ditambahkan pada lumpur pengeboran.
• Kromium (III) oksida (Cr2O3) adalah logam poles yang dikenal sebagai rona hijau.
• Asam kromat adalah oksidator kuat dan senyawa yang berguna untuk membersihkan peralatan gelas laboratorium dari senyawa organik renik apa pun. Ia disiapkan dengan melarutkan kalium dikromat dalam asam sulfat pekat, yang kemudian digunakan untuk membilas peralatan. Natrium dikromat kadang-kadang digunakan karena kelarutannya yang lebih tinggi (masing-masing 50 g/L vs 200 g/L). Penggunaan larutan pembersih dikromat sekarang sudah dihapus karena toksisitasnya yang tinggi dan masalah lingkungan.
Larutan pembersih modern sangat efektif dan bebas kromium.
• Kalium dikromat adalah pereaksi kimia, yang digunakan untuk titrasi.
• Alum krom adalah kromium (III) kalium sulfat dan digunakan sebagai mordan (yaitu zat fiksasi) untuk pewarna kain dan penyamakan.
d. Peran Biologis Kromium
Selain bersifat toksin, kromium juga memiliki peran biologis di alam.
Dilaporkan oleh Bona & Love et al., (2011) bahwa dalam bentuk kromium trivalen, Cr (III), atau Cr3+, kromium diidentifikasi sebagai nutrisi esensial pada akhir tahun 1950-an dan kemudian diterima sebagai unsur renik untuk perannya dalam aksi insulin, hormon penting untuk metabolisme dan penyimpanan karbohidrat, lemak dan protein. Namun, mekanisme tepatnya dalam tubuh belum sepenuhnya didefinisikan, meninggalkan pertanyaan apakah kromium penting untuk kesehatan manusia.
BAB 7|| Toksikologi Logam 169 Wise et al., (2012) melaporkan hasil penelitannya bahwa kromium trivalen terdapat dalam jumlah renik pada makanan, minuman anggur dan air. Sebaliknya, kromium heksavalen Cr (VI) atau Cr6+ sangat beracun dan merupakan mutagen jika terhirup. Menghirup kromium (VI) dalam air telah dikaitkan dengan tumor lambung, dan juga dapat menyebabkan alergi dermatitis kontak (allergic contact dermatitis, ACD).
Defisiensi kromium, yang melibatkan kekurangan Cr (III) di dalam tubuh, atau mungkin beberapa kompleknya, seperti faktor toleransi glukosa masih kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kromium (III) bentuk aktif biologis dalam oligopeptida disebut zat pengikat kromium berat molekul rendah (low-molecular-weight chromium-binding substance, LMWCr), yang mungkin berperan dalam jalur pensinyalan insulin. Meskipun mekanisme kromium dalam peran biologis tidak jelas, suplemen diet kromium meliputi kromium (III) pikolinat, kromium (III) polinikotinat, dan zat terkait. Manfaat suplemen-suplemen tersebut belum terbukti.
Di Amerika Serikat, panduan diet untuk asupan kromium harian pada 2001 cukup rendah, mulai 50-200 μg untuk dewasa hingga 35 μg (pria dewasa) dan 25 μg (wanita dewasa). Pada tahun 2014, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (European Food Safety Authority) menerbitkan laporan yang menyatakan bahwa asupan kromium (III) tidak memiliki manfaat pada kesehatan manusia, sehingga Panel menghilangkan kromium dari daftar unsur nutrisi dan esensial (Vincet et al., 2015).
e. Toksisitas Kromium
Toksisitas oral akut untuk kromium (VI) berkisar antara 50 dan 150 μg/kg (Katz & Salem, 1992). Selanjutnya, terkait dengan toksisitas kromium ini, dilaporkan oleh Dayan & Paine (2001) bahwa di dalam tubuh, kromium (VI) direduksi melalui beberapa mekanisme menjadi kromium (III) yang sudah ada dalam darah sebelum memasuki sel.
Kromium (III) diekskresikan dari dalam tubuh, sementara ion kromat ditransfer ke dalam sel melalui mekanisme transport, bersamaan dengan masuknya ion sulfat dan fosfat ke dalam sel. Toksisitas akut kromium (VI) karena sifat oksidator kuatnya, setelah memasuki aliran darah, ia akan menghancurkan ginjal, liver dan sel darah melalui reaksi oksidasi.
Hasilnya adalah hemolisis, kegagalan ginjal dan liver. Dialisis agresif dapat dijadikan pengobatannya.
BAB 7|| Toksikologi Logam Toksikologi Lingkungan
170
Karsinogenitas debu kromat telah diketahui sejak lama, dan pada tahun 1890 publikasi pertama menjelaskan peningkatan risiko kanker pada pekerja perusahaan pewarna kromat. Tiga mekanisme diusulkan untuk menjelaskan genotoksisitas kromium (VI). Mekanisme pertama mencakup radikal hidroksil yang sangat reaktif dan radikal reaktif lainnya yang merupakan produk sampingan reduksi kromium (VI) ke kromium (III). Proses kedua mencakup pengikatan langsung senyawa kromium (V), yang dihasilkan melalui reduksi dalam sel, dan kromium (IV) pada DNA. Mekanisme terakhir terkait genotoksisitas dengan ikatan DNA dengan produk akhir reduksi kromium (III).
Garam kromium (kromat) juga penyebab reaksi alergi pada beberapa orang. Kromat sering digunakan untuk manufaktur, antara lain, produk kulit, cat, semen, mortar dan anti korosi. Kontak dengan produk yang mengandung kromat dapat menyebabkan alergi dermatitis kontak dan dermatitis iritasi. yang menghasilkan koreng pada kulit, kadang-kadang disebut sebagai “koreng krom”. Kondisi ini sering dijumpai pada pekerja yang telah terpapar larutan kromat kuat pada penyepuhan elektrik, penyamakan, dan pabrik yang menghasilkan krom (Basketter & David et al., 2000).
f. Masalah Lingkungan
Senyawa kromium sering ditemukan di dalam tanah dan air tanah pada situs industri yang sudah tak terpakai, karena senyawa kromium pernah digunakan dalam senyawa pewarna, cat, dan penyamak kulit.
Saat ini, diperlukan pembersihan dan remediasi lingkungan. Cat dasar yang mengandung kromium heksavalen masih banyak digunakan untuk aplikasi finishing pesawat terbang dan mobil. Hal ini mengindikasikan akan berpotensi untuk menjadi limbah yang berada pada lingkungan hidup dan bersifat toksin.
Hal yang mengkhawatirkan adalah apabila tumpukan kromium berada pada sampah atau limbah padat. Limbah tersebut pada tempat terbuka seperti pada tempat pembuangan akhir akan mengalami pencucian oleh air hujan dan mengalir pada tanah. Pada tanah akan mengalami transport dan transformasi dan mengakibatkan keracunan pada organisme.
BAB 7|| Toksikologi Logam 171
6. Nikel
Nikel adalah unsur kimia metalik dalam tabel periodik yang memiliki simbol Ni dan nomor atom 28. Nikel mempunyai sifat tahan karat.
Dalam keadaan murni, nikel bersifat lembek, tetapi jika dipadukan dengan besi, krom, dan logam lainnya, dapat membentuk baja tahan karat yang keras.
Perpaduan nikel, krom dan besi menghasilkan baja tahan karat (stainless steel) yang banyak diaplikasikan pada peralatan dapur (sendok, dan peralatan memasak), ornamen-ornamen rumah dan gedung, serta komponen industri.
a. Proses Pemurnian Refinery Pengolahan Nikel
Nikel ditemukan oleh Cronstedt pada tahun 1751 dalam mineral yang disebutnya kupfernickel (nikolit). Nikel adalah komponen yang ditemukan banyak dalam meteorit dan menjadi ciri komponen yang membedakan meteorit dari mineral lainnya. Meteorit besi atau siderit, dapat mengandung alloy besi dan nikel berkadar 5-25%. Nikel diperoleh secara komersial dari pentlandit dan pirotit di kawasan Sudbury Ontario, sebuah daerah yang menghasilkan 30% kebutuhan dunia akan nikel.
Deposit nikel lainnya ditemukan di Kaledonia Baru, Australia, Cuba, dan Indonesia.
Berdasarkan tahapan proses, pengolahan nikel dapat dilakukan dalam tiga tahapan proses, yaitu tahap preparasi, tahap pemisahan, dan tahap dewatering. Kegiatan pengolahan ini bertujuan untuk membebaskan dan memisahkan mineral berharga dari mineral yang tidak berharga atau mineral pengotor sehingga setelah dilakukan proses pengolahan dihasilkan konsentrat yang bernilai tinggi dan tailing yang tidak berharga. Metode yang dipakai bermacam-macam tergantung dari sifat kimia, sifat fisika, sifat mekanik dari mineral itu sendiri.
Nikel merupakan logam berwarna putih keperak-perakan, ringan, kuat anti karat, bersifat keras, mudah ditempa, sedikit ferromagnetis, dan merupakan konduktor yang agak baik terhadap panas dan listrik.
Nikel tergolong dalam grup logam besi-kobal, yang dapat menghasilkan alloy yang sangat berharga. Spesifik gravity-nya 8,902 dengan titik lebur 1453 0C dan titik didih 2732 0C, resisten terhadap oksidasi, mudah
BAB 7|| Toksikologi Logam Toksikologi Lingkungan
172
ditarik oleh magnet, larut dalam asam nitrit, tidak larut dalam air dan amoniak, sedikit larut dalam hidroklorik dan asam belerang. Memiliki berat jenis 8,8 untuk logam padat dan 9,04 untuk kristal tunggal.
Secara umum, mineral bijih di alam ini dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu mineral sulfida dan mineral oksida. Begitu pula dengan bijih nikel, ada sulfida dan ada oksida. Masing-masing mempunyai karakteristik sendiri dan cara pengolahannya pun juga tidak sama. Dalam bahasan kali ini akan dibatasi pengolahan bijih nikel dari mineral oksida (laterit).
Bijih nikel dari mineral oksida (laterit) ada dua jenis yang umumnya ditemui yaitu saprolit dan limonit dengan berbagai variasi kadar.
Perbedaan menonjol dari 2 jenis bijih ini adalah kandungan Fe (besi) dan Mg (magnesium), bijih saprolit mempunyai kandungan Fe rendah dan Mg tinggi, sedangkan limonit sebaliknya. Bijih saprolit dua dibagi dalam 2 jenis berdasarkan kadarnya, yaitu HGSO (High Grade Saprolit Ore) dan LGSO (Low Grade Saprolit Ore), biasanya HGSO mempunyai kadar Ni ≥ 2%, sedangkan LGSO mempunyai kadar Ni. Adapun tahap-tahap yang dilakukan untuk melakukan proses pengelolaan nikel melalui beberapa tahap utama yaitu, crushing, pengeringan, pereduksi, peleburan, pemurnian, dan granulasi dan pengemasan.
b. Kegunaan Nikel
Nikel diproduksi di dunia untuk digunakan dalam stainless steel. Stainless steel merupakan paduan besi yang tahan karat. Benda ini juga digunakan dalam keperluan rumah tangga seperti pisau, sendok, garpu dan lain sebagainya. Di samping itu, nikel juga digunakan untuk membuat koin untuk berbagai kegunaan. Sebagai senyawa, nikel memiliki sejumlah kegunaan dalam reaksi kimia, seperti katalis untuk hidrogenasi, katoda untuk baterai, pigmen dan perawatan permukaan logam untuk mencegah karat.
c. Toksisitas Nikel
Nikel telah dianggap secara relatif nontoksik bila dibandingkan dengan logam berat lainnya. Namun, hal itu bisa jadi disebabkan karena beberapa bukti kecil yang berbeda, disebabkan oleh perubahan pandangan pada dekade ini. Namun, beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa toksisitas nikel pada spesies air tawar cenderung
BAB 7|| Toksikologi Logam 173 menjadi “terselubungi” oleh kehadiran logam lainnya di dalam air tercemar. Hal ini terjadi akibat aktivitas pertambangan, elctroplating, dan produksi baja tahan karat. Studi lainnya telah menunjukkan terjadinya efek kronik dari paparan nikel seperti penghambatan pertumbuhan dan reproduksi pada invertebrata akibat dari konsentrasi nikel naik dua kali daripada level konsentrasi akut terendah.
Selain itu, beberapa temuan berhubungan dengan paparan sejumlah kecil patikulat senyawa Ni dengan kerusakan DNA telah menjadi perhatian utama berkaitan dengan karsinogenisitas Ni pada mamalia.
Akibat studi ini telah menghasilkan kategori nikel sebagai daftar yang menjadi perhatian oleh US Enviromental Protection Agency (1994) (Wright dan Pamela, 2002).
Toksisitas nikel tergantung pada bentuk di mana nikel diintroduksi ke dalam sel. Senyawa nikel dapat dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan peningkatan toksisitas akutnya:
• Garam nikel larut dalam air [NiCl2, NiSO4, Ni(NO3)2, dan Ni(CH3COO)2].
• Partikulat nikel [Ni3S2, NiS2, Ni7S6, dan Ni(OH)2].
• Karbonil nikel larut dalam lemak [Ni(CO)4].
Nikel karbonat (NiCO3) yang merupakan bagian dari kelompok I dan II. Nikel karbonat larut dalam kultur sel dan terdistribusi di dalam sel sebagai garam yang larut dalam air, tetapi penyerapan terbesar tetap oleh sel dan memiliki toksisitas lebih akut sama halnya dengan partikulat nikel.
Toksisitas akut nikel pada manusia pada umumnya terbalik secara proposional dengan solubilitas Ni dalam air. Nikel karbonil lebih toksik daripada partikulat nikel karena kenetika fase gas mengirim Ni(CO)4 ke jaringan paru-paru dapat lebih cepat daripada inkoporasi partikulat dalam sel. Dalam jangka toksisitas panjang dan karsinogenitas, yaitu nikel sebagai garam larut dalam air< Ni(CO)4< Partikulat Ni (Wright dan Pamela, 2002).
Walaupun toksisitas Ni meningkat sesuai dengan menurunnya solubilitas air senyawa Ni maka Ni2+ bebas merupakan bentuk toksik paling tinggi di dalam sel. Kenyataan ini kontradiksi jika dianggap
BAB 7|| Toksikologi Logam Toksikologi Lingkungan
174
satu rute penyerapan nikel dan pengeluaran oleh sel. Senyawa nikel yang larut memiliki pergantian biologis yang cepat dan toksisitas rendah. Partikulat Ni memasuki sel melalui fagositosis. Lisosom yang terikat dengan vesikel fagositik dan membantu pemutusan Ni, namun mekanisme ini belum banyak diketahui. Vesikel ini kemudian mengelompok di sekitar selubung inti, pada tempat masuknya ion Ni2+ dan bereaksi secara langsung dengan molekul DNA sehingga menghasilkan fragmentasi dan hubungan silang.
Wright dan Pamela (2002) mengemukakan bahwa pada mamalia, karsinogenitas telah menjadi perhatian utama karena partikulat Ni merupakan sumber tahan lama dari Ni2+ yang tersalurkan secara langsung ke dalam DNA sekali terdisolusi. Waktu paruh kolam partikulat Ni pada paru-paru manusia dan jaringan hidung adalah 3-4 tahun. Nikel karbonil merupakan bentuk gas yang memiliki fungsi berbahaya yang spesifik pada pengilangan nikel dan penggunaan pada katalis nikel. Bentuk ini muda larut dalam lemak dan sangat cepat memasuki tameng darah pada alveolar pada dua arah.
Sejumlah signifikan yang dikeluarkan sebagai bentuk Ni(CO)4, dan tetap tersisa yang terlokalisasi pada jaringan (terutama pada paru-paru) dalam bentuk ionik bebas. Toksisitas akut disebabkan oleh terhambatnya aktivitas enzim dalam paru-paru yang selanjutnya berakibat pada kerusakan sistem respirasi.