• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fasilitas Memadai

Dalam dokumen Yang Tersisa Paska 12 Tahun MoU Helsinki (Halaman 170-176)

Dalam sebuah forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), penulis menyinggung kualitas guru sebagai salah satu faktor rendahnya mutu pendidikan di Aceh. Masih banyak guru yang tidak lulus uji kompetensi. Hal ini sangat relevan apabila kita menuduh kualitas guru sebagai faktor terpenting rendahnya mutu pendidikan di Aceh. Namun, tanpa bermaksud membela diri, para guru yang tergabung di dalam MGMP tersebut meyakini bahwa tidak memadainya fasilitas belajar mengajar di sekolah, menghambat terjadinya proses pembelajaran yang efektif.

Tak dapat dipungkiri, fasilitas primer dalam pendidikan merupakan hal terpenting dalam proses belajar mengajar. Ketersediaan buku bacaan, perangkat teknologi pembelajaran dan alat peraga yang efektif, merupakan salah satu faktor keberhasilan pendidikan. Dalam kunjungan penulis ke beberapa sekolah, baik yang terletak di bagian Timur dan Barat, serta pulau terluar Aceh, penulis mengamati bahwa banyak sekolah dijalankan dengan fasilitas seadanya. Ini tentu menjadi ‘cemeti’ bagi Pemerintah Aceh yang konon memiliki Dana Otsus melimpah, namun belum mampu memenuhi hajat primer masyarakat Aceh (baca: pendidikan). Bagi penulis pendidikan adalah hajat primer masyarakat, sama seperti kebutuhan akan kesehatan serta kesejahteraan ekonomi. Oleh karena itu, dalam RPJM Pendidikan hendaknya perlu dibuat target pemenuhan fasilitas pendidikan di seluruh Aceh.

Kemudian dalam merevitalisasi pendidikan di Aceh, perlu juga mengupayakan adanya kepemimpinan institusi yang efektif. Kepala sekolah merupakan komponen terpenting dalam upaya pengembangan mutu pendidikan. Oleh karena itu, perlu diingatkan kepada Pemerintah bahwa pemilihan kepala sekolah harus selalu berpedoman kepada tingkat kompetensi seseorang, bukan atas

dasar faktor lainnya.

Untuk menempatkan seseorang pada posisi kepala sekolah, Dinas Pendidikan perlu memperhatikan beberapa hal seperti, kemampuan akademik calon kepala sekolah. Syarat ini cukup krusial, karena tanpa kemampuan akademik yang memadai, kepala sekolah tidak akan mampu mengomunikasikan isu-isu yang berhubungan dengan komponen kompetensi lainnya. Terkait ini, beberapa hal yang perlu ditempuh untuk meningkatkan kemampuan ini dapat melalui pemberian kesempatan yang luas kepada calon kepala sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke strata yang lebih tinggi. Oleh karena itu, perlu kiranya “Tim RPJM Pendidikan” memasukkan persyaratan khusus untuk menjadi kepala sekolah di Aceh.

Singkatnya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh nantinya dapat mengakomodir persoalan kualitas guru, fasilitas pendidikan serta kepemimpinan institusi pendidikan. Harapannya, kualitas pendidikan Aceh ke depannya akan terus bergerak ke arah yang lebih baik. {-}

‘WIFI’, Menumbuhkan Energi

para Pembelajar

3

Teuku Zulfikar

o

Warung kopi di Aceh merupakan platform sosial yang memiliki sejarah panjang. Hampir di setiap sudut kota maupun di pelosok pedesaan cukup banyak ditemukan berbagai warung kopi. Bahkan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bagi para lelaki (dewasa) melewatkan pagi di warung kopi sebelum memulai aktifitasnya. Kehadiran berbagai lapisan masyarakat, baik kelas menengah ke bawah, kalangan mahasiswa, profesional, sampai eksekutif maupun legslatif di warung kopi merupakan pemandangan yang lazim di Aceh.

Bagi kebanyakan orang Aceh, baik pecinta kopi maupun tidak, seringkali menggunakan warung kopi sebagai platform untuk bersosialisasi. Biasanya, pembicaraan yang terjadi bisa berkisar masalah politik, pendidikan, olah raga, sampai hal-hal yang remeh temeh.

Seakan tak terpengaruh, ketika bisnis-bisnis kuliner ataupun beverages bercorak global, seperti KFC, Pizza Hut, Starbucks, Coffee 3 www.acehresearch.org, 29/5/2017.

Bean, dsb. bermunculan di Indonesia, “warung kopi,” khususnya di Aceh masih terus bertahan dan semakin berkembang. Bahkan ketika kemajuan teknologi tak terbendung dengan sekatan batas-batas tradisional, warung kopi malah bersinergi dengan fenomena ini.

Dalam perkembangannya, konsep warung kopi di Aceh semakin berubah, termasuk bermunculannya warung-warung kopi yang menyediakan sarana WIFI. Jaringan internet dan layar LCD seakan telah menjadi bagian tak terpisahkan di berbagai warung-warung kopi Aceh. Maka tidak heran, apabila warung-warung kopi semakin dipenuhi oleh professional, terutama mahasiswa sembari menjelajahi dunia maya.

Kenyataan ini tentu merupakan sebuah kemajuan, walaupun ekses negatif dengan munculnya WIFI (internet) gratis juga tidak terelakkan. Namun tulisan ini ingin melihat dari sisi positifnya, dan tentu tidak mengenyampingkan sisi negatif dari munculnya warung kopi ber-WIFI. Realitanya, warung kopi yang selama ini hanya menjadi platform sosial, berubah menjadi sebuah institusi dimana proses pendidikan juga berlangsung. Siswa dan mahasiswa sering terlihat mengakses internet di berbagai warung kopi di Aceh, baik siang maupun malam hari.

Fenomena ini sebenarnya menegaskan bahwa banyak pelajar di Aceh dewasa ini sudah melek teknologi. Internet dan laptop bagi mereka bukan lagi barang asing, sama halnya dengan telepon genggam (baca: handphone). Kemampuan para siswa dan mahasiswa ini dalam mengakses banyak hal melalui internet, tanpa disadari merubah pola pikir mereka, dan juga merubah gaya belajar mereka. Siswa dan mahasiswa tersebut sudah lebih independen dan mampu mencari informasi dalam bidang apapun.

menyedot minat siswa/mahasiswa. Khususnya, warung-warung kopi di hampir semua sudut Kota Banda Aceh dipenuhi oleh siswa/ mahasiswa dengan laptop ditangan mereka. Para pencari ilmu tersebut terlihat antusias memaikan huruf-huruf di keyboard komputer mereka sembari asyik menulusuri dunia maya.

Terlepas dari website apapun yang mereka browse (tentunya bukan website senonoh), sudah menunjukkan bahwa WIFI, apalagi yang gratis, dapat menyedot minat para siswa/mahasiswa datang ke warung kopi. Mereka tidak hanya menikmati sajian minuman ataupun makanan, tapi sekaligus juga dapat menjelajahi dunia di depan mereka. Nah, seandainya WIFI yang ada di warung kopi tersebut mampu menjadi magnet untuk siswa/mahasiswa, alangkah eloknya bila fasilitas WIFI juga tersedia secara gratis di kampus-kampus dan di sekolah-sekolah. Perpustakaan di setiap kampus/sekolah perlu pula dipasang perangkat WIFI. Sehingga minat yang sama untuk ke warung kopi juga terlihat perpustakaan. Khususnya di dua kampus yang menjadi ’jantong hate’ rakyat Aceh, UIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala, telah tersedia WIFI, namun masih terasa belum maksimal dan jaringan yang tersedia masih belum mencukupi.

Sebagian orang Aceh yang sudah pernah mengenyam pendidikan di negara maju, seperti Amerika Serikat maupun Australia, tentu bisa merasakan dampak WIFI yang tersedia di semua sudut kampus. Mahasiswa datang ke kampus dengan membawa laptop dan mengakses internet gratis. Kampus juga menyediakan komputer gratis bagi para pengunjung. Buktinya, fenomena ini sangat efektif menarik minat mahasiswa untuk berlama-lama di kampusnya.

Pemerintah Aceh melalui dana pendidikan yang lumanyan besar, perlu melakukan terobosan ini. Selain mengirim putra-putri Aceh ke luar negeri, alangkah baik kalau sebagian dana

tersebut digunakan untuk menbantu lembaga pendidikan menyediakan WIFI (internet) gratis kepada siswa/mahasiswa nya.

Apabila para pengusaha warung kopi di Aceh mampu menjadikan usahanya sebagai ’tempat pendidikan,’ dimana pengunjungnya bisa menikmati teknologi internet. Alangkah ironisnya bila lembaga pendidikan Aceh plus dana pendidikan yang begitu besar tidak mampu melakukannya.

Semoga, suatu saat nanti ketika berbagai lembaga pendidikan di Aceh mampu menyediakan internet gratis melalui perangkat WIFI yang disediakan dapat menjadi magnet bagi siswa/mahasiswanya. Sehingga, baik kampus maupun sekolah dapat seiring sejalan dengan kemajuan teknologi yang disediakan di warung kopi.{-}

Dalam dokumen Yang Tersisa Paska 12 Tahun MoU Helsinki (Halaman 170-176)