• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dalam Pilkada Aceh 2 (Persoalan Kepemimpinan)

Dalam dokumen Yang Tersisa Paska 12 Tahun MoU Helsinki (Halaman 134-140)

Adnan

o

Konteks kepemimpinan perempuan masih terjadi pro-kontra dalam masyarakat hingga saat ini. Hingga melahirkan dua kutub pemikiran besar yang kontradiktif dalam menyikapi persoalan kepemimpinan perempuan. Kutub pertama membolehkan perempuan memegang tampuk kepemimpinan (top leader). Argumen ini berpendapat bahwa persoalan kepemimpinan bukanlah soal jenis kelamin, tapi soal kemampuan memimpin (leadership). Argumen ini mewakili kelompok feminisme dan ilmuwan kontemporer.

Disisi lain, kutub kedua melarang perempuan memegang tampuk kepemimpinan. Argumennya disandarkan pada persoalan kepemimpinan merupakan doktrin agama berdasarkan teks Al-Quran dan Hadits yang tidak bisa diganggu-gugat. Karena Allah SWT telah melebihkan laki-laki daripada perempuan, termasuk dalam konteks kepemimpinan di segala bidang, baik kehidupan keluarga, politik, agama, dan sosial. Argumen ini kelihatan

lebih patriarki dan mewakili kelompok tradisionalis, klasik, dan konservatif.

Tentu, kedua kutub pemikiran di atas memiliki landasan kuat dan ilmiah dari teks-teks agama berupa Al-Quran dan Hadits. Perbedaan keduanya hanya pada sudut pandang (penafsiran), satu sisi lebih mempertimbangkan tekstualitas, doktrin klasik, dan kaku (jumud), sisi lain lebih mempertimbangkan kontekstualitas, kemajuan zaman, dan elastisitas (dinamis). Sebenarnya kedua corak penafsiran tersebut diperlukan dalam memahami teks-teks agama agar lebih kontekstual dan lintas zaman (shalih az-zaman wal makan), tanpa menafikan teks.

Dalam konteks Aceh, secara historis kepemimpinan perempuan bukanlah perkara baru dan tabu. Sebab, beberapa perempuan telah memimpin kerajaan Aceh Darussalam (baca: Sulthanah) pada masa lampau, semisal Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam tahun 1641-1675, Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam tahun 1675-1678, Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah tahun 1678-1688, Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah tahun 1688-1699. Keberadaan para Sulthanah tersebut menunjukkan bahwa perempuan pernah mengisi posisi strategis dalam kepemimpinan pada masa kerajaan Aceh Darussalam.

Akan tetapi, realitas kontestan dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Aceh 2017 masih milik kaum lelaki. Semisal, para kontestan cagub dan cawagub semuanya berjenis kelamin lelaki. Hanya dua (2) calon walikota perempuan yang ikut “bertarung” dalam Pilkada ini, yakni di Banda Aceh dan Langsa, satu (1) calon wakil walikota di Lhokseumawe, dan beberapa perempuan yang menjadi bakal calon wakil bupati, semisal di Simeulue dan Aceh Barat Daya (Serambi Indonesia, 27/10/2016). Mungkin satu penyebab perempuan Aceh tidak berminat mencalonkan diri dalam Pilkada

perempuan hanya bertugas di sumur, dapur, dan kasur saja.

Semantik

Satu ayat yang sering ditafsirkan lebih patriarki mulai dari kepemimpinan rumah tangga hingga politik, sosial, dan agama adalah Qs An-Nisa’: 34; ar-rijalu qawwamuna ‘alannisa.’ Padahal jika dikaji lebih holistik, pengembangan penafsiran ayat tersebut sangat beragam, sehingga tidak melulu ayat tersebut sebagai teks agama yang ingin mendominasi kekuasaan/kewenangan laki-laki daripada perempuan. Akan tetapi, ayat tersebut berbicara tentang keseimbangan peran dalam rumah tangga.

Apalagi jika dikaji dari sisi semantik. Penggunaan kata rijal bukan dzakar, dan kata nisa’ bukan untsa, dan ini menarik untuk diteliti lebih dalam. Sebab kedua kosa-kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Pertama, kata dzakar lebih menunjukkan pada jenis kelamin laki-laki. Sedangkan kata rijal bukan hanya menunjukkan jenis kelamin, akan tetapi ragam makna, semisal rijal diartikan sebagai sifat kelelakian, seumpama lebih kuat, rasional, dan intelektual tinggi (Ibnu Mandzur dalam Rokhman, 2013). Kedua, kata untsa (antonim dzakar) lebih menunjukkan pada jenis kelamin perempuan. Sedangkan nisa’ (antonim rijal) juga memiliki ragam makna, semisal nisa’ diartikan sebagai sifat keperempuanan, seumpana lemah lembut, keibuan, penyayang, lebih emosional. Karena itu, dari sisi semantik ayat tersebut dapat dimaknai bahwa seseorang yang memiliki sifat kelelakian – walaupun tidak berjenis kelamin laki-laki – dapat menjadi pemimpin dan pengayom bagi seseorang yang memiliki sifat keperempuanan – walaupun bukan perempuan - (Abdurrahman dkk, 2011).

Artinya, seseorang yang lebih kuat, lebih pintar, memiliki leadership dapat menjadi pemimpin bagi seseorang yang lemah

secara fisik dan mental. Sebab itu, dari sisi semantik ayat tersebut tidak menunjukkan pada jenis kelamin tertentu untuk menjadi pemimpin dan pengayom bagi yang lain, tapi lebih menekankan pada dominasi sifat.

Sedangkan hadits relevan yang menarik dikaji dalam topik kepemimpinan perempuan adalah sebuah hadist dari Abi Bakrah, bahwa Nabi Saw bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra, “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada perempuan” (HR. Bukhari). Semantik dalam hadits tersebut menunjukkan pada jenis kelamin perempuan (mar’ah). Sehingga hadits ini menjadi pelegalan pengharaman kepemimpinan perempuan bagi kutub pemikiran kedua di atas. Padahal sebab muncul hadist (asbabul wurud) di atas tentang pelarangan putri Kisra menjadi raja saat itu, disebabkan oleh ketidakmampuan putri Kisra dalam memimpin, bukan persoalan jenis kelamin.

Demokrasi

Hematnya, pelarangan terhadap kepemimpinan perempuan (top leader) merupakan ketidakmampuan dan kekakuan dalam memahami elastisitas (murunah) teks-teks agama, serta kekeliruan pemaknaan kepemimpinan dalam sistem demokrasi. Pada sisi lain, saat ini diperbolehkannya kepemimpinan perempuan terkadang lebih bersifat liberal, hingga menyangkut persoalan-persoalan ibadah mahdah, semisal penggugatan agar perempuan boleh jadi khatib, boleh jadi imam shalat jumat, boleh adzan dan lain sebagainya.

Perlu dicermati bahwa dalam sistem demokrasi (konteks Indonesia) tidak ada satupun pucuk pimpinan di setiap lembaga baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang memiliki wewenang dan kekuasaan penuh, absolut, dan mutlak dalam memutuskan

semua hal. Masing-masing lembaga kekuasaan memiliki segmentasi tersendiri dan saling berkorelasi. Karena itu, kepemimpinan dalam sistem demokrasi pada semua tingkatan kekuasaan baik pusat, daerah, maupun Kabupaten/Kota, lebih bersifat kolektif, bukan diktator.

Artinya, tidak ada pucuk pimpinan tertinggi dalam sistem demokrasi, yang ada pucuk pimpinan tertinggi di lembaga masing-masing. Semisal Presiden adalah pimpinan tertinggi pada lembaga eksekutif, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah pimpinan tertinggi pada lembaga legislatif. Karena itu, kedua lembaga tersebut juga memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing. Namun juga memiliki korelasi antar-lembaga untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, kurang tepat melarang kepemimpinan perempuan baik di lembaga eksekutif (semisal melalui Pilkada maupun Pilpres), legislatif (melalui Pileg), maupun yudikatif hanya dengan argument, tidak boleh kekuasaan tertinggi (top leader/diktator) diserahkan kepada perempuan. Sebab dalam sistem demokrasi di Indonesia tidak ada kekuasaan tertinggi secara absolut. Karenanya, dalam konteks Pilkada, perempuan juga berhak mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi meraih jabatan tertinggi di lembaga eksekutif baik untuk menjadi wali kota, bupati, gubernur, bahkan presiden sekalipun selama memiliki kemampuan memimpin.

Mencari Sang

“Pemimpi(n)”

Potret

Dalam dokumen Yang Tersisa Paska 12 Tahun MoU Helsinki (Halaman 134-140)